Essai Pengorbanan - Bertepuk Sebelah Tangan
Friday, June 8, 2018
Add Comment
Cinta
adalah anugerah terindah yang Tuhan ciptakan untuk hamba-Nya. Beragam cinta di muka
bumi ini: Cinta orangtua kepada anaknya; cinta anak kepada orangtuanya; cinta
kepada teman dan sahabat; dan tentu cinta terbesar adalah cinta antara Tuhan
dan hamba-Nya. Itulah mengapa Tuhan disebut Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Lahir ke
muka bumi sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Diberi akal dan
pikiran untuk mencerna tiap anugerah yang diberikan dan mensyukurinya. Ia utus
malaikat tanpa sayap-Nya untuk menjaga kita, membimbing kita dan mengenalkan
kita pada-Nya. Malaikat baik itu adalah orangtua. Ibu yang mengandung dan
melahirkan kita dengan susah payah, serta ayah yang ikut mencukupkan segala
sesuatu yang dibutuhkan dari kita masih dalam kandungan hingga dewasa. Kita ada
hingga hari ini adalah berkat jasa mereka. Sudahkah kita bersyukur hari ini?
“Kasih
Ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali.
Bagai sang surya menyinari dunia.” (Kasih ibu – Cipt. SM Mochtar[1])
Benar.
Cinta ibu bagai mentari yang selalu menyinari bumi. Walau tak berbalas ia tetap
mencintai sepenuh hati. Saat mendung dan hujan sekali pun, mentari tetap
berusaha terbit. Memutar, mencari cela agar tetap bisa menyinari dan memberi
hidup untuk bumi. Tak hanya itu, bahkan saat malam sekali pun mentari tetap
menyinari bumi ini, mengutus bulan menyampaikan sinarnya.
Tak hanya
ibu. Ayah pun sama, rela membanting tulang demi sesuap nafkah: Bergelut dengan
lumpur di tengah sawah; menahan kantuk hingga larut; menantang badai di tengah
gelombang; bahkan menantang maut sekali pun. Semua ia lakukan demi buah
hatinya. Demi kebahagian keluarga kecilnya.
Pernahkah
kita sejenak berpikir?
Saat
pulang ke rumah, istana kecil yang hampir rapuh itu masih berusaha terlihat
tegar. Kayu rapuh masih berdiri meski ditopang dengan yang rapuh pula.
Dinding-dinding seringkali menyorotkan sinar dari mentari luar. Atap-atap
terkadang harus terus ditambal, agar hujan tak membasahi seisi istana. Malukah
kita dengan kondisi itu?
Baju
compang-camping masih setia membalut tubuh renta itu. Sekadar agar tak ‘masuk
angin’ katanya, namun koyak di mana-mana. Aroma sudah tak lagi menunjukkan
kelayakan. Tapi masih saja dipakai, ‘masih bagus’ katanya. Bandingkan dengan
yang kita kenakan. Selalu terlihat indah, rapu dan menawan. Malukah kita dengan
keadaan itu?
Bekas luka
tersayat di sana-sini. Bukti perjuangannya selama ini. Kuku-kuku yang
menghitam, segala jenis getah pepohonan mungkin saja jadi menghiasnya. Rambut
yang kusut seperti tak terawat. Badingkan dengan kulit mulus kita, dengan kuku
cantik kita, dan rambut halus kita. Malukah kita mengakuinya?
Semua itu:
rumah yang rapuh, baju yang koyak, dan tubuh yang tak terawat. Tak ia pedulikan
kondisinya. Semua diabaikannya hanya demi satu tujuan. Hanya demi kebahagian
anaknya. Ia tak mau anak yang dicintainya terlihat buruk, terlihat jelek di
depan teman-temannya. Dan juga demi pendidikan sang anak, demi masa depan yang
cerag. Agar tak serupa nasib malang kedua orangtua. Masih malukah kita tentang
semua itu?
Pernahkah
kita peduli?
Saat
pulang, di meja makan yang kau dapatkan hanya sepenggal ikan. Kau tanyakan
padanya, “Ibu dan ayah sudah makan?” Pasti mareka menjawab, “Sudah nak, kami sudah kenyang.” Atau mereka akan
berkata, “Kami puasa.” Tapi boleh jadi, sedari tadi mereka belum makan. Boleh
jadi perut mereka masih kosong. Dan boleh jadi apa yang kau makan itu, hanya
pemberian orang atau hasil pinjaman dari tetangga samping rumah. Tak pedulikah
kau dengan mereka?
Saat kita
meminta ini-itu dengan merengek-rengek mereka tak kuasa menolak. Sebisa mereka
memenuhi permintaan anaknya. Entah meminjam atau kerja serabutan. Bahkan boleh
jadi mereka rela melakukan hal jahat hanya demi memenuhi permintaan ‘sederhana’
sang buah hati tercinta. Banting tulang sana-sini demi hasil yang digunakan
foya-foya tak jelas oleh sang anak. Handphone, laptop, motor, bahkan
mungkin mobil yang kita miliki adalah upaya mereka membahagiakan kita. Tak
pedulikah kita pada mereka?
Penahkah
kita sejenak merenung?
Kalau kita
tahu bagaimana rasa sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan. Semua yang kita
lakukan untuk cinta: mengorbankan waktu, perasaan, dan rela mati demi yang
terkasih nan tersayang. Namun yang terkasih tak acuh pada itu semua. Bayangkan
orangtua kita yang berada pada posisi ini. Ia rela tak makan seharian asalkan
perut anaknya tak lapar. Ia rela tak tidur semalaman demi menjaga anaknya dari
gigitan seekor nyamuk. Saat anaknya sakit, bahkan ia berdoa, “Ya Tuhan, biar
aku saja yang menanggung sakit anakku ini.” Namun anak yang dikasihinya justru
tak mengasihinya. Dapatkah kau rasakan betapa hancur perasaannya?
Saat
mereka sakit. Tubuh renta itu makin tak berdaya di atas tempat tidurnya. Batuk,
deman dan segala gejala bercampur aduk. Ketika ditanya, “Ke rumah sakit, ya?”
Dia masih menolak dengan ucapan yang sangat sederhana, “Tidak perlu, ini cuma
batuk biasa kok. Cuma kecapaian, butuh istirahat. Besok juga sembuh.” Padahal
ia tahu itu adalah sakit yang sangat parah. ‘Dibanding harus membayar rumah
sakit, lebih baik uang itu digunakan untuk pendidikan anaknya’ begitu pikirnya.
Pernahkah kita merenungkannya?
Bayangkan,
ketika pulang dari perantauan. Dengan bangga kita membawa sejuta kesuksesan.
Siap memamerkan ijazah sarjana yang hebat itu pada mereka. Tak ada yang
menyambutmu. Tak ada senyum ramah penuh cinta itu. Hanya sekumpulan orang yang
memenuhi teras depan rumahmu serta bendera kuning yang kibar-kibar diterpa
angin.
“Ada apa,
pak?” Tanyamu pada seseorang di sana.
“Yang
sabar, nak. Orangtuamu telah tiada.”
Seberapa
banyak pun tetesan air mata, tak akan membuat mereka kembali. Seberapa dalam
pun penyesalan, tak akan pernah membangkitkan mereka. Seberapa hebat pun doa,
tak akan mampu mengubah takdir. Mereka telah tiada. Namun, untukmu yang masih
berada di samping malaikat-malaikat itu. Peluk dia, katakan kau menyayangi
mereka. Jangan ragu, jangan malu.
....
Allahummagfirly
dzunuby waliwali dayya warhamhuma kama robbayani shogiro.
“Ya
Allah, ampunilah bagiku segala dosaku dan juga dosa dua ibu bapakku dan
kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka memelihara dan mendidikku di
waktu kecil.”
Amin.
....
Sebagai Peserta Terinteraktif dalam Lomba
Cipta Essai Nasional bertema “Pengorbanan” bersama Jejak Publisher.
|
[1] Dari laman web CNN Indonesia: SM Mochtar alias Mochtar Embut adalah
pria asal Makassar, Sulawesi Selatan yang lahir pada 5 Januari 1934. Pria ini
sudah menunjukkan bakat bermusik sejak kecil, dan akhirnya tumbuh menjadi
seorang pencipta lagu anak.
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "Essai Pengorbanan - Bertepuk Sebelah Tangan"
Post a Comment