Essai Pengorbanan - Bertepuk Sebelah Tangan


Cinta adalah anugerah terindah yang Tuhan ciptakan untuk hamba-Nya. Beragam cinta di muka bumi ini: Cinta orangtua kepada anaknya; cinta anak kepada orangtuanya; cinta kepada teman dan sahabat; dan tentu cinta terbesar adalah cinta antara Tuhan dan hamba-Nya. Itulah mengapa Tuhan disebut Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Lahir ke muka bumi sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Diberi akal dan pikiran untuk mencerna tiap anugerah yang diberikan dan mensyukurinya. Ia utus malaikat tanpa sayap-Nya untuk menjaga kita, membimbing kita dan mengenalkan kita pada-Nya. Malaikat baik itu adalah orangtua. Ibu yang mengandung dan melahirkan kita dengan susah payah, serta ayah yang ikut mencukupkan segala sesuatu yang dibutuhkan dari kita masih dalam kandungan hingga dewasa. Kita ada hingga hari ini adalah berkat jasa mereka. Sudahkah kita bersyukur hari ini?
“Kasih Ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.” (Kasih ibu – Cipt. SM Mochtar[1])
Benar. Cinta ibu bagai mentari yang selalu menyinari bumi. Walau tak berbalas ia tetap mencintai sepenuh hati. Saat mendung dan hujan sekali pun, mentari tetap berusaha terbit. Memutar, mencari cela agar tetap bisa menyinari dan memberi hidup untuk bumi. Tak hanya itu, bahkan saat malam sekali pun mentari tetap menyinari bumi ini, mengutus bulan menyampaikan sinarnya.
Tak hanya ibu. Ayah pun sama, rela membanting tulang demi sesuap nafkah: Bergelut dengan lumpur di tengah sawah; menahan kantuk hingga larut; menantang badai di tengah gelombang; bahkan menantang maut sekali pun. Semua ia lakukan demi buah hatinya. Demi kebahagian keluarga kecilnya.
Pernahkah kita sejenak berpikir?
Saat pulang ke rumah, istana kecil yang hampir rapuh itu masih berusaha terlihat tegar. Kayu rapuh masih berdiri meski ditopang dengan yang rapuh pula. Dinding-dinding seringkali menyorotkan sinar dari mentari luar. Atap-atap terkadang harus terus ditambal, agar hujan tak membasahi seisi istana. Malukah kita dengan kondisi itu?
Baju compang-camping masih setia membalut tubuh renta itu. Sekadar agar tak ‘masuk angin’ katanya, namun koyak di mana-mana. Aroma sudah tak lagi menunjukkan kelayakan. Tapi masih saja dipakai, ‘masih bagus’ katanya. Bandingkan dengan yang kita kenakan. Selalu terlihat indah, rapu dan menawan. Malukah kita dengan keadaan itu?
Bekas luka tersayat di sana-sini. Bukti perjuangannya selama ini. Kuku-kuku yang menghitam, segala jenis getah pepohonan mungkin saja jadi menghiasnya. Rambut yang kusut seperti tak terawat. Badingkan dengan kulit mulus kita, dengan kuku cantik kita, dan rambut halus kita. Malukah kita mengakuinya?
Semua itu: rumah yang rapuh, baju yang koyak, dan tubuh yang tak terawat. Tak ia pedulikan kondisinya. Semua diabaikannya hanya demi satu tujuan. Hanya demi kebahagian anaknya. Ia tak mau anak yang dicintainya terlihat buruk, terlihat jelek di depan teman-temannya. Dan juga demi pendidikan sang anak, demi masa depan yang cerag. Agar tak serupa nasib malang kedua orangtua. Masih malukah kita tentang semua itu?
Pernahkah kita peduli?
Saat pulang, di meja makan yang kau dapatkan hanya sepenggal ikan. Kau tanyakan padanya, “Ibu dan ayah sudah makan?” Pasti mareka menjawab, “Sudah  nak, kami sudah kenyang.” Atau mereka akan berkata, “Kami puasa.” Tapi boleh jadi, sedari tadi mereka belum makan. Boleh jadi perut mereka masih kosong. Dan boleh jadi apa yang kau makan itu, hanya pemberian orang atau hasil pinjaman dari tetangga samping rumah. Tak pedulikah kau dengan mereka?
Saat kita meminta ini-itu dengan merengek-rengek mereka tak kuasa menolak. Sebisa mereka memenuhi permintaan anaknya. Entah meminjam atau kerja serabutan. Bahkan boleh jadi mereka rela melakukan hal jahat hanya demi memenuhi permintaan ‘sederhana’ sang buah hati tercinta. Banting tulang sana-sini demi hasil yang digunakan foya-foya tak jelas oleh sang anak. Handphone, laptop, motor, bahkan mungkin mobil yang kita miliki adalah upaya mereka membahagiakan kita. Tak pedulikah kita pada mereka?
Penahkah kita sejenak merenung?
Kalau kita tahu bagaimana rasa sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan. Semua yang kita lakukan untuk cinta: mengorbankan waktu, perasaan, dan rela mati demi yang terkasih nan tersayang. Namun yang terkasih tak acuh pada itu semua. Bayangkan orangtua kita yang berada pada posisi ini. Ia rela tak makan seharian asalkan perut anaknya tak lapar. Ia rela tak tidur semalaman demi menjaga anaknya dari gigitan seekor nyamuk. Saat anaknya sakit, bahkan ia berdoa, “Ya Tuhan, biar aku saja yang menanggung sakit anakku ini.” Namun anak yang dikasihinya justru tak mengasihinya. Dapatkah kau rasakan betapa hancur perasaannya?
Saat mereka sakit. Tubuh renta itu makin tak berdaya di atas tempat tidurnya. Batuk, deman dan segala gejala bercampur aduk. Ketika ditanya, “Ke rumah sakit, ya?” Dia masih menolak dengan ucapan yang sangat sederhana, “Tidak perlu, ini cuma batuk biasa kok. Cuma kecapaian, butuh istirahat. Besok juga sembuh.” Padahal ia tahu itu adalah sakit yang sangat parah. ‘Dibanding harus membayar rumah sakit, lebih baik uang itu digunakan untuk pendidikan anaknya’ begitu pikirnya. Pernahkah kita merenungkannya?
Bayangkan, ketika pulang dari perantauan. Dengan bangga kita membawa sejuta kesuksesan. Siap memamerkan ijazah sarjana yang hebat itu pada mereka. Tak ada yang menyambutmu. Tak ada senyum ramah penuh cinta itu. Hanya sekumpulan orang yang memenuhi teras depan rumahmu serta bendera kuning yang kibar-kibar diterpa angin.
“Ada apa, pak?” Tanyamu pada seseorang di sana.
“Yang sabar, nak. Orangtuamu telah tiada.”
Seberapa banyak pun tetesan air mata, tak akan membuat mereka kembali. Seberapa dalam pun penyesalan, tak akan pernah membangkitkan mereka. Seberapa hebat pun doa, tak akan mampu mengubah takdir. Mereka telah tiada. Namun, untukmu yang masih berada di samping malaikat-malaikat itu. Peluk dia, katakan kau menyayangi mereka. Jangan ragu, jangan malu.
....
Allahummagfirly dzunuby waliwali dayya warhamhuma kama robbayani shogiro.
“Ya Allah, ampunilah bagiku segala dosaku dan juga dosa dua ibu bapakku dan kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka memelihara dan mendidikku di waktu kecil.”
Amin.
....
Sebagai Peserta Terinteraktif dalam Lomba Cipta Essai Nasional bertema “Pengorbanan” bersama Jejak Publisher.


[1] Dari laman web CNN Indonesia: SM Mochtar alias Mochtar Embut adalah pria asal Makassar, Sulawesi Selatan yang lahir pada 5 Januari 1934. Pria ini sudah menunjukkan bakat bermusik sejak kecil, dan akhirnya tumbuh menjadi seorang pencipta lagu anak.


_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "Essai Pengorbanan - Bertepuk Sebelah Tangan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo