[Cerpen Romance Fantasi] DUA
Friday, April 24, 2020
Add Comment
Dua
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
Awan
kelam sedari tadi menyelimuti langit, membawa kabar pasal hujan yang akan tiba
tak lama lagi. Membalut kelamnya hari yang tak pernah baik-baik saja sejak
detik pertamanya. Dingin menguasai setiap jengkal derajat di ruang ini. Jarum jam
seakan beku, tak ingin lekas berganti menjadi esok yang lebih cerah atau
sekadar membawa malam dengan sejuta misterinya. Aku tahu, lelaki ini ingin
lelap sebentar saja.
Dia
masih larut dalam lamunannya. Entah berapa banyak kata yang terbuang sia-sia
dari mulutnya. Rangkaian kata yang seakan mewakili semua rasa yang saat ini
menyiksanya. Sebuah kecewa perihal diri sendiri yang tega berbuat salah secara
sadar di masa lalu. Bercampur aduk dengan rasa sesal tiada tara yang terus
menghantuinya. Walau semua itu tak ia ucap, terang saja raut wajah dan matanya
tak pandai berbohong.
“Bagaimana
kalau mereka berbuat nekad?” tanyanya, entah kepadaku atau langit-langit yang
ia tatap. Kedua telapak tangan menyapu wajahnya, membuang semua bayangan adegan
yang terputar semu di matanya. Dia bangun dari tempatnya terbaring, menatap
dirinya sendiri di dalam cermin.
“Ini
salahku!” dua kata yang sudah kudengar kini bergema lagi di ruangan itu.
Kali
ini ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari seseorang, namun tanpa
nama. Ditatapnya sejenak, sebelum akhirnya benda hitam dengan layar cukup lebar
itu ia raih. Jemarinya tahu apa yang harus ia lakukan.
“Halo?”
kini benda itu menempel erat di telinganya.
“Sudah
dengar kabar, Nuhu masuk rumah sakit?” nama kekasihnya terdengar sangat jelas
di sana.
Lelaki
berkulit sedikit gelap itu mengganti wajahnya dengan rauh sedikit terkejut.
“Katanya
tadi dia muntah-muntah setelah menelan sesuap nasi. Sebelumnya dia belum makan
hampir seharian. Mungkin maagnya kambuh lagi.”
Panggilan
diakhiri tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Wajahnya kembali
murung. Ditatap lagi dengan lekat cermin di hadapannya. Tangannya mengepal
dengan kuat. Sebuah murka tentang dirinya sendiri.
“Ini
semua salahku!” kalimat itu lagi.
“Andai
saja aku tak bermain api, semua tak akan seperti ini!” kali ini ia sambung
dengan sebuah kalimat penuh penyesalan.
Ponselnya
berdering lagi. Kembali panggilan tanpa nama, namun kali ini rangkaian angkanya
berbeda. Diraihnya kembali benda hitam itu. Seperti sebelumnya, jemarin itu
tahu apa yang harus ia lakukan. Telinganya pun sudah siap mendengar kabar apa
pun di ujung ponselnya.
“Halo,
kak! Kak Fia tiba-tiba kesakitan. Dari tadi menangis, katanya perutnya sakit. Sekarang
ayah sedang membawanya ke rumah sakit,” nada bicara gadis itu sangat
tergesa-gesa.
Panggilan
berakhir, kembali tanpa sepatah kata pun yang ia ucap. Lelaki itu mengulang
lakunya, menatap cermin. Matanya menatap tajam, tangannya terkepal, sebuah
tinju mendarat tepat pada wajahnya di cermin. Serpihan kata dan aliran darah
berpadu erat dalam segala sesal, sedih, pilu dan apa saja yang bisa mewakili
gundahnya malam ini.
Hujan
pun turun. Benar saja kabar dari kelabu sore tadi. Senja dan jingga tak
bersahabat sore ini. Mereka melebur dalam gelap dengan jalan masing-masing. Menyisakan
tanya yang entah siapa yang akan menjawab. Aku masih setia menanti adegan
selanjutnya.
“Ini
salahku!” sudah kuduga, kalimat itu lagi, “andai aku bisa setia, tak akan
terjadi seperti ini!” pipinya dilumuri air mata yang samar.
Ia
mengangkat kepala. Menatap dirinya sekali lagi pada retakan-retakan kaca di
hadapannya. Binar di matanya, nanar kosong tak memalukan. Siapa pun akan
meneriakinya pecundang. Andai aku bisa, aku pun akan meneriakinya.
“Semua sudah terjadi!” sebuah
suara menggema, lelaki itu tak asing dengan suara yang baru saja ia dengar. Pantulan
diri di cermin tak lagi mengikuti tuannya. Refleksi diri itu melangkah maju,
keluar dari tempat seharusnya ia berada.
“Kau harusnya tahu risiko
terbakar yang akan kau dapat jika berani bermain api. Lalu, jika kebenaran itu
telah kau miliki dalam akalmu, apa lagi yang kau sesali? Bukankah sekarang
harusnya kau buktikan bahwa kau benar-benar leleki, benar-benar bisa
bertanggung jawab?” dia yang lain berbicara dengan nasihat
penuh hikmat.
“Aku sering mendengar kau
berargumen mengajukan teori-teori di kepalamu dengan sangat masuk akal. Bukankah
itu juga yang membuat mereka jatuh hati padamu?”
dia yang lain memegang pundak dia yang asli. Perlahan ia memeluk dirinya
sendiri kali ini.
“Lagipula, kau masih
cukup beruntung bukan? Kedua kekasihmu itu tak mencacimu sedikit pun, apalagi
menamparmu. Mereka justru seluasa menampakkan diri yang baik-baik saja di
hadapanmu, agar kau tak merasa bersalah. Mereka orang baik. Mereka hanya butuh
waktu untuk membuang rasa kecewa itu. Aku yakin, mereka akan menjadi akrab
setelah ini,” dekapannya makin erat, “kau yang terlalu mengekang dirimu sendiri
dalam rasa bersalah!”
“Bangunlah, bangkitlah! Tak
baik terlalu lama terpuruk dalam kepiluan semacam ini. Di mana logikamu yang
hebat itu? Jika kau benar-benar merasa bersalah, maka tunjukkan bahwa kau
benar-benar bertanggung jawab! Padamkan api yang terlanjur berkobar!”
Lelaki
yang dipenuhi rasa sesal itu memejamkan matanya. Merasakan dengan indah, betapa
adilnya semesta kepada diri selama ini. Lalu, apa yang bisa ia perbuat untuk
membalas semua itu?
...
Lelaki
itu pun membuka mata. Tubuhnya terbaring di atas kasur. Ia merasa sesuatu yang
aneh baru saja terjadi padanya. Ia mengangkat tubuhnya dengan tupangan kedua
tangan. Punggung tangan kanannya terasa sangat sakit. Ia menoleh ke arah rasa
sakit itu, sebuah luka dengan sisa-sisa kucuran darah segar di sana. Ia menatap
ke arah cermin, retakan itu terlukis indah lengkap dengan bekas darahnya yang
tersisa.
“Apa
yang terjadi?”
Ia
kembali menatap pantulannya di cermin. Kali ini tak butuh waktu lama. Sebuah jaket
kulit diraihnya, dengan sigap tangannya langsung meraih kunci kendaraan yang
tergantung di sampingnya. Ia telah siap menunjukkan bahwa ia tak akan lari dari
masalah. Ia menatap cermin retak itu sekali lagi. Wajahnya terpantul jelas,
matanya penuh percaya diri.
“Akan
kubuktikan bahwa aku benar-benar lelaki!” melangkahlah ia ke arah pintu dan
meninggalkan ruang ini. Dia yang lain tertinggal di dalam cermin menatap
langkahnya sendiri dengan senyum.
...
Setidaknya,
jatuh cinta dan mendua tak akan berlaku padaku. Aku hanya akan memberi tanpa
harus mengharap balas. Aku hanya perlu berbagi dan setia pada takdirku sendiri.
Cinta tak akan berlaku padaku, sebuah patung hias di sudut kamar.
...
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[Cerpen Romance Fantasi] DUA"
Post a Comment