[Cerpen Romance Fantasi] DUA


Dua
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar

Awan kelam sedari tadi menyelimuti langit, membawa kabar pasal hujan yang akan tiba tak lama lagi. Membalut kelamnya hari yang tak pernah baik-baik saja sejak detik pertamanya. Dingin menguasai setiap jengkal derajat di ruang ini. Jarum jam seakan beku, tak ingin lekas berganti menjadi esok yang lebih cerah atau sekadar membawa malam dengan sejuta misterinya. Aku tahu, lelaki ini ingin lelap sebentar saja.
Dia masih larut dalam lamunannya. Entah berapa banyak kata yang terbuang sia-sia dari mulutnya. Rangkaian kata yang seakan mewakili semua rasa yang saat ini menyiksanya. Sebuah kecewa perihal diri sendiri yang tega berbuat salah secara sadar di masa lalu. Bercampur aduk dengan rasa sesal tiada tara yang terus menghantuinya. Walau semua itu tak ia ucap, terang saja raut wajah dan matanya tak pandai berbohong.
“Bagaimana kalau mereka berbuat nekad?” tanyanya, entah kepadaku atau langit-langit yang ia tatap. Kedua telapak tangan menyapu wajahnya, membuang semua bayangan adegan yang terputar semu di matanya. Dia bangun dari tempatnya terbaring, menatap dirinya sendiri di dalam cermin.
“Ini salahku!” dua kata yang sudah kudengar kini bergema lagi di ruangan itu.
Kali ini ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari seseorang, namun tanpa nama. Ditatapnya sejenak, sebelum akhirnya benda hitam dengan layar cukup lebar itu ia raih. Jemarinya tahu apa yang harus ia lakukan.
“Halo?” kini benda itu menempel erat di telinganya.
“Sudah dengar kabar, Nuhu masuk rumah sakit?” nama kekasihnya terdengar sangat jelas di sana.
Lelaki berkulit sedikit gelap itu mengganti wajahnya dengan rauh sedikit terkejut.
“Katanya tadi dia muntah-muntah setelah menelan sesuap nasi. Sebelumnya dia belum makan hampir seharian. Mungkin maagnya kambuh lagi.”
Panggilan diakhiri tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Wajahnya kembali murung. Ditatap lagi dengan lekat cermin di hadapannya. Tangannya mengepal dengan kuat. Sebuah murka tentang dirinya sendiri.
“Ini semua salahku!” kalimat itu lagi.
“Andai saja aku tak bermain api, semua tak akan seperti ini!” kali ini ia sambung dengan sebuah kalimat penuh penyesalan.
Ponselnya berdering lagi. Kembali panggilan tanpa nama, namun kali ini rangkaian angkanya berbeda. Diraihnya kembali benda hitam itu. Seperti sebelumnya, jemarin itu tahu apa yang harus ia lakukan. Telinganya pun sudah siap mendengar kabar apa pun di ujung ponselnya.
“Halo, kak! Kak Fia tiba-tiba kesakitan. Dari tadi menangis, katanya perutnya sakit. Sekarang ayah sedang membawanya ke rumah sakit,” nada bicara gadis itu sangat tergesa-gesa.
Panggilan berakhir, kembali tanpa sepatah kata pun yang ia ucap. Lelaki itu mengulang lakunya, menatap cermin. Matanya menatap tajam, tangannya terkepal, sebuah tinju mendarat tepat pada wajahnya di cermin. Serpihan kata dan aliran darah berpadu erat dalam segala sesal, sedih, pilu dan apa saja yang bisa mewakili gundahnya malam ini.
Hujan pun turun. Benar saja kabar dari kelabu sore tadi. Senja dan jingga tak bersahabat sore ini. Mereka melebur dalam gelap dengan jalan masing-masing. Menyisakan tanya yang entah siapa yang akan menjawab. Aku masih setia menanti adegan selanjutnya.
“Ini salahku!” sudah kuduga, kalimat itu lagi, “andai aku bisa setia, tak akan terjadi seperti ini!” pipinya dilumuri air mata yang samar.
Ia mengangkat kepala. Menatap dirinya sekali lagi pada retakan-retakan kaca di hadapannya. Binar di matanya, nanar kosong tak memalukan. Siapa pun akan meneriakinya pecundang. Andai aku bisa, aku pun akan meneriakinya.
“Semua sudah terjadi!” sebuah suara menggema, lelaki itu tak asing dengan suara yang baru saja ia dengar. Pantulan diri di cermin tak lagi mengikuti tuannya. Refleksi diri itu melangkah maju, keluar dari tempat seharusnya ia berada.
“Kau harusnya tahu risiko terbakar yang akan kau dapat jika berani bermain api. Lalu, jika kebenaran itu telah kau miliki dalam akalmu, apa lagi yang kau sesali? Bukankah sekarang harusnya kau buktikan bahwa kau benar-benar leleki, benar-benar bisa bertanggung jawab?” dia yang lain berbicara dengan nasihat penuh hikmat.
“Aku sering mendengar kau berargumen mengajukan teori-teori di kepalamu dengan sangat masuk akal. Bukankah itu juga yang membuat mereka jatuh hati padamu?” dia yang lain memegang pundak dia yang asli. Perlahan ia memeluk dirinya sendiri kali ini.
“Lagipula, kau masih cukup beruntung bukan? Kedua kekasihmu itu tak mencacimu sedikit pun, apalagi menamparmu. Mereka justru seluasa menampakkan diri yang baik-baik saja di hadapanmu, agar kau tak merasa bersalah. Mereka orang baik. Mereka hanya butuh waktu untuk membuang rasa kecewa itu. Aku yakin, mereka akan menjadi akrab setelah ini,” dekapannya makin erat, “kau yang terlalu mengekang dirimu sendiri dalam rasa bersalah!”
“Bangunlah, bangkitlah! Tak baik terlalu lama terpuruk dalam kepiluan semacam ini. Di mana logikamu yang hebat itu? Jika kau benar-benar merasa bersalah, maka tunjukkan bahwa kau benar-benar bertanggung jawab! Padamkan api yang terlanjur berkobar!”
Lelaki yang dipenuhi rasa sesal itu memejamkan matanya. Merasakan dengan indah, betapa adilnya semesta kepada diri selama ini. Lalu, apa yang bisa ia perbuat untuk membalas semua itu?
...
Lelaki itu pun membuka mata. Tubuhnya terbaring di atas kasur. Ia merasa sesuatu yang aneh baru saja terjadi padanya. Ia mengangkat tubuhnya dengan tupangan kedua tangan. Punggung tangan kanannya terasa sangat sakit. Ia menoleh ke arah rasa sakit itu, sebuah luka dengan sisa-sisa kucuran darah segar di sana. Ia menatap ke arah cermin, retakan itu terlukis indah lengkap dengan bekas darahnya yang tersisa.
“Apa yang terjadi?”
Ia kembali menatap pantulannya di cermin. Kali ini tak butuh waktu lama. Sebuah jaket kulit diraihnya, dengan sigap tangannya langsung meraih kunci kendaraan yang tergantung di sampingnya. Ia telah siap menunjukkan bahwa ia tak akan lari dari masalah. Ia menatap cermin retak itu sekali lagi. Wajahnya terpantul jelas, matanya penuh percaya diri.
“Akan kubuktikan bahwa aku benar-benar lelaki!” melangkahlah ia ke arah pintu dan meninggalkan ruang ini. Dia yang lain tertinggal di dalam cermin menatap langkahnya sendiri dengan senyum.
...
Setidaknya, jatuh cinta dan mendua tak akan berlaku padaku. Aku hanya akan memberi tanpa harus mengharap balas. Aku hanya perlu berbagi dan setia pada takdirku sendiri. Cinta tak akan berlaku padaku, sebuah patung hias di sudut kamar.
...


_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "[Cerpen Romance Fantasi] DUA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo