[Cerpen Romance] SANG PEMAHAT
Friday, May 15, 2020
Add Comment
Sang Pemahat
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
Malam
ini aku bersimpuh penuh sesal di hadapan sebuah figura besar berbingkai kayu
yang kuukir sendiri penuh seni dan cinta. Lapisan kaca benging dengan kokoh
melindungi senyum manis wanita hebatku. Wanita yang dulu pernah memberiku
nyawa, saat aku benar-benar nyaris mati dalam kubangan luka masa lalu.
Aku
ingat bagaimana senyumnya berhasil menyelamatkanku. Senyum yang sama dengan apa
yang kutatap lekat-lekat malam ini. Dialah peri penolongku, malaikat hatiku,
atau apapun sebutannya. Dialah yang banyak mengajarkanku perihal air mata,
cinta, kasih sayang, dan seni. Ya, seni. Dia yang mengajarkanku bercerita dan
berbicara melalui seni. Hingga hari ini, aku selalu melihatnya dalam
karya-karya seniku.
***
Pikirku
berkelana jauh ke masa lalu. Enam belas tahun silam. Saat itu aku sedang terkapar
nyaris tak berdaya di tepi jalan yang sepi. Terakhir yang kuingat adalah
kekasihku yang baru saja menghianatiku. Sebuah pesta pora di sebuah club dan sebotol miras. Selain itu aku
tak ingat apa-apa.
“Aku
di mana?” mataku terbuka dengan pandangan yang sedikit samar, sekujur tubuh
rasanya sakit.
“Kamu
di rumah sakit,” seseorang menjawab. Wajahnya samar, dari suaranya aku bisa
menyimpulkan dia adalah seorang wanita.
“Rumah
sakit?”
“Seseorang
membawamu ke mari.”
Penglihatanku
masih tak jelas. Yang ada di pikiranku, jika aku bertemu orang itu aku harus
berterima kasih. Ah, pada seseorang di hadapanku pun aku harus berterima kasih,
bukan?
“Istirahatlah
dulu. Kau perlu memulihkan kondisi tubuhmu.”
...
Pagi
tiba dengan semburat fajar yang langsung menerobos jendela kaca di hadapanku. Sinarnya
langsung menuju kelopak mataku yang masih tertutup. Pupilku merespon. Kelopak mata
terbuka dan mempersilakan sang pupil memastikan cahaya apa yang mengganggunya
pagi ini. Kali ini, semua sudah nampak jelas, tak lagi samar. Seisi ruang bangsal
rumah sakit ini serba putih dan beberapa peralatan serba silver.
“Sudah
bangun?”
Aku
terkejut. Seseorang telah berdiri di samping tempat tidurku sambil merapikan
peralatannya. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya. Dia terlihat sangat cantik
dengan kemeja merah jambu yang dibalut jas putih, bawahan hitam dan sebuah kaca
mata. Rambut hitam sebahu yang dibiarkan terurai, menambah kesan keanggunannya.
“Anda
siapa?”
“Saya
dokter Sarah, yang menangani Anda sejak semalam.”
Harusnya
aku tak perlu bertanya, dari penampilan dan seragam yang ia kenakan harusnya
aku tahu kalau dia adalah seorang dokter. Efek terkejut dan tak tahu harus
berkata apa.
“Apa
yang terjadi? Mengapa Anda sampai babak belur dan terkapar di tepi jalan?”
“Saya
tidak ingat apa-apa, dok!”
“Kaki
Anda sedikit terkilir. Tapi beberapa hari pasti bisa sembuh.”
“Terima
kasih, dok!”
Dia
melempar senyum sebelum akhirnya melenggang pergi ke luar ruangan.
...
Aku
tak bisa tinggal diam. Ruangan ini mulai terasa membosankan. Dengan kondisi
yang belum benar-benar pulih, kuputuskan untuk berjalan menyusuri lorong rumah
sakit dengan selang infus masih tertancap di tangan dan gaya berjalan sedikit
sempoyongan. Di ujung lorong terdapat sebuah bangku panjang dan seorang gadis
berseragam dokter tengah asyik membaca sebuah novel.
“Suka
baca buku, dok?” aku mencoba memulai percakapan.
Dia
menoleh ke arahku. Wajahnya sedikit panik.
“Anda
belum pulih, kenapa Anda~~~”
“Bosan,
dok!” aku langsung memotong percakapannya.
Dia
hanya menghela napas sambil perlahan memerhatikanku yang mulai duduk di
sampingnya. Setelah sikap dudukku telah sempurna, dia lanjut membaca bukunya. Tak
ada percakapan hingga beberapa menit.
“Dokter
kok baca novel? Romace lagi?” aku coba memulai.
Fokus
matanya terhenti. Pandangannya beralih kepadaku.
“Saya
suka seni. Semua jenis seni saya suka; novel, cerpen, puisi, atau bahkan seni
ukir. Makanya kalau sedang libur atau sedang istirahat seperti ini saya lebih
suka membaca, menulis, dan membuat kerajinan.”
Mendengarnya
aku jadi ingat sesuatu. Tanganku dengan cepat meraba saku celanaku yang untung
saja belum diganti dari semalam. Aku menemukan benda itu.
Wanita
di hadapanku memerhatikan jam tangannya.
“Saya
harus segera kembali, jam istirahat sudah selesai. Anda pun harus segera
kembali ke ruangan Anda.” Dia bergegas bangkit dari duduknya.
“Dok,”
panggilanku mencegahnya untuk pergi dan dia kembali menatapku, “ini untuk
Dokter, anggap saja sebagai tanda terima kasih. Tadinya ingin saya berikan
kepada seseorang, tapi tidak jadi.”
Ia
meraihnya. Sebuah kalung dengan ukiran kayu berbentuk hati di ujungnya. Benda yang
tadinya akan kuberikan kepada kekasihku. Sayang, dia lebih dulu kupergoki
berselingkuh dengan pria lain.
“Wah,
ini indah sekali. Terima kasih,” dia tersenyum bahagia, sebelum menyodorkanku
sebuah tanya, “kenapa tidak jadi diberikan ke orang itu? Saya yakin dia pasti
suka!”
“Dia
lebih suka menghianati saya dan pergi dengan sahabat saya sendiri.”
Senyumnya
perlahan menghilang. Dia menatapku penuh iba, “maaf, ya? Saya tidak tahu soal
itu!”
Aku
hanya tersenyum. Ia bergegas pergi, kembali melaksanakan tugas mulianya sebagai
seorang dokter.
...
Sejak
saat itu, aku dan Sarah menjadi lebih dekat dan akrab. Bahkan setelah aku pulih
dan keluar dari rumah sakit. Kami sering bertemu di sela-sela kesibukannya di
rumah sakit. Setelah tahu Sarah suka dengan seni ukir, aku mulai mencoba lebih
mendalaminya. Di beberapa kesempatan dia sering mengajakku pergi ke pameran
seni ukir. Di sana dia sering berkata, “suatu hari nanti, kamu juga harus punya
pameran seni ukir sendiri.”
Setahun
kemudian aku memutuskan untuk melamarnya. Sebuah cincin unik dari kayu jati
yang terukir namanya dan namaku menjadi saksi makin eratnya hubungan kita. Di hari
pernikahan kita, dia terlihat sangat cantik dan aku makin jatuh cinta pada maha
karya seni Tuhan yang satu ini.
Pasca
ikrar pernikahan kita, aku memutuskan untuk makin serius menggeluti seni ukir. Setelah
berbulan-bulan hanya menjual karya seniku pada pemesan saja, kali ini aku
memutuskan membuat pemeran seniku sendiri sesuai keinginan wanita yang kini
resmi menjadi istriku.
Kumulai
dengan membuat sebuah meja. Di atasnya terdapat secangkir teh yang dalam imajiku
masih sangat hangat. Tiga gelas selanjutnya, lengkap sudah sajian minuman untuk
keempat sahabat yang nantinya akan memenuhi masing-masing sudut nostalgia di
atas meja ini.
“Sayang!”
malaikatku datang memasuki ruang pahat, disodorkannya segelas teh hangat yang
nyata, “ini teh untuk inpirasimu.”
Dia
sangat paham aku lebih suka ketenangan secangkir teh daripada aroma sejuta
makna dari serbuk kopi yang diseduh. Tak terlalu banyak gula, tapi cukup manis
ditemani senyum menawannya.
“Terima
kasih, sayang!” kukecup keningnya dengan penuh cinta. Ia pun tak malu
mempersilakanku.
“Apa
yang kau ukir hari ini, sayang?”
“Empat
cangkir teh. Setelah ini, empat orang kawan yang akan saling berbagi nostalgia
di atas meja rindu mereka. Seorang koboy yang baru saja tiba dari masa
kelananya, seorang revolusioner yang baru saja mengabdikan diri pada masa
depan, seorang wartawan yang tak segan menggali dan membagikan informasi hingga
ke pelosok negeri, serta seorang sahabat lain yang tak seberuntung ketiga
kawannya.”
“Apa
yang terjadi padanya?”
“Ia
terlalu sibuk menghabiskan masa mudanya dengan hura-hura, hingga membuatnya
mati dalam hidup di masa depan,” aku meratap pada masa laluku yang kelam.
Malaikatku
tersenyum, tahu apa yang ada dalam benak suaminya ini. Usapan manja mendarat di
pipi kiriku.
“Aku
punya berita baik untuk kita,” dia tersenyum malu-malu, oh Tuhan, rona wajahnya
sangat membuatku tak ingin berpaling.
“Apa
itu?”
“Kau
akan menjadi seorang ayah!” tangannya meraih tanganku dan meletakkannya tepat
di perutnya.
Mataku
terbelalak, bibirku tak kuasa menahan bahagia. Hari itu menjadi hari paling
bersejarah dalam cerita cinta kita.
...
Hari
berganti bulan, aku makin bersemangat menyelesaikan karya seniku. Sebuah patung
bisa memakan waktu hingga sebulan bahkan lebih, untuk detail yang rumit. Tiga patung
usai di usia kandungan Sarah yang menginjak lima bulan. Semua itu terbilang
cepat, karena semangatku yang menggebu-gebu. Di bulan selanjutnya, sebuah patung
terakhir dari empat sekawan usai.
“Sudah
selesai?”
“Sudah,
tinggal tahap finishing-nya. Pemberian
warna dan motif seperti mata, hidung, dan yang lain.”
“Suamiku
memang hebat!”
Butuh
waktu sebulan untuk menyelesaikan taha finishing.
Dan kini hanya tinggal menunggu catnya kering dan siap untuk dipamerkan. Impian
besarku dan Sarah akan terwujud sebentar lagi. Perut Sarah pun semakin
membesar, tepat tujuh bulan usianya kini.
Katanya
anak kami adalah seorang laki-laki, walau pun sampai hari ini aku tak pernah
melihatnya secara langsung. Sarah selalu menolak jika ingin kuantarkan ke rumah
sakit. Dia selalu mengatakan, “kau harus tetap fokus dengan pameranmu,
selesaikan senimu secepatnya. Urusan pemeriksaan, aku bisa sendiri. Aku ini
dokter, lebih paham soal begini daripada seniman sepertimu.”
Senyum
manisnya selalu meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Tak ada yang bisa
kupercaya selain maha perkasanya senyuman sang malaikat cantikku. Aku percaya
maha sempurnanya dia.
Hingga
suatu hari di bulan ketujuh usia kandungannya, ia terlihat sangat lesu hingga
jatuh pingsan tepat di ruang seniku. Bercampur panik segera kubawa ia menuju
rumah sakit. Betapa terkejutnya aku mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada
Sarah.
“Ada
benjolan di rahim Sarah, ini sangat berbahaya bagi ibu dan bayinya. Kita harus
segera mengambil tindakan!” jelas dokter yang menanganinya, “Sarah tidak pernah
memberitahukan soal ini?”
Aku
hanya menggelengkan kepala. Inilah alasan mengapa Sarah tak pernah ingin
kutemani ke dokter.
“Aku
tak ingin membuatmu panik dan sedih. Kau harus tetap menyelesaikan maha
karyamu, sayang!” Sarah menggenggam tanganku. Rasa haru tak sanggup kutahan.
Tibalah
di ambang keputusan. Aku harus memilih menyelamatkan Sarah atau bayi kami di
kandungannya. Sarah sendiri bersikeras bahwa ia akan melakukan apapun demi bayi
kita, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri.
Malam
yang sangat mencekap. Suasana ruang operasi sangat menegangkan. Keputusan ini
telah diambil. Aku harus siap. Jika Sarah kuat, maka aku pun harus tegar.
“Beri
nama dia Ibrahim. Dia akan menjadi anak yang hebat dan pemberani di masa depan
kelak. Ajari dia cinta, kasih sayang, dan seni!” wasiat Sarah terlontar
beberapa saat sebelum operasi dimulai.
Suasana
mencekam itu buyar dengan suara tangisan bayi jagoan yang lahir prematur. Serentak
dengan tangisan itu, detak jantung Sarah pun tak lagi terdeteksi. Ia dinyatakan
meninggal dunia, bertukar jiwa dengan Ibrahim, anak kami.
...
Berhari-hari
berlalu. Ruang pahat, ruang inspirasiku telah mati. Semangat yang tadinya
menggebu-gebu telah lenyap. Ukiran empat sekawan yang telah rampung sempurna
pun tak lagi bermakna di mataku. Ibrahim yang terlahir prematur masih tetap
harus dirawat di rumah sakit. Selama itu, aku hanya bolak-balik rumah sakit dan
rumah kita, semua terasa semu.
Suatu
malam, Sarah datang dalam mimpiku.
“Bangkitlah!
Kau harus melanjutkan mimpimu. Mimpi kita. Buat Ibrahim bangga dengan ayahnya!”
Malam
itu, tekadku kembali membara. Kulangkahkan kaki dengan penuh keyakinan. Malam itu
kubuat sebuah diorama baru, sesuatu yang terinspirasi dari legenda seorang anak
yang durhaka kepada orang tuanya. Suatu hari, aku ingin Ibrahim dan anak
lainnya belajar dari karya seniku.
Tiga
bulan kemudian. Semua karyaku telah siap. Pagi itu kutatap ranjang bayi milik
Ibrahim, ia masih terlelap. Kulangkahkan kaki menuju ruang pahat untuk mempersiapkan
karya seniku di pameran esok hari.
Gagang
pintu kuraih, batang kunci kuhunuskan ke dalam liang gembok. Kuputar ke arah
berlawanan dengan arah kuncian. Pengait terbuka. Gagang pintu ditarik turun,
dan pintu terbuka.
Aku
tersenyum kepada hasil karyaku di hari-hari yang lalu. Si pemuda legenda yang
durhaka, masih sempurna dengan peran egoisnya. Sang ibu yang merintih tanpa
suara masih syahdu dengan peran sedihnya. Sang istri yang menawan masih anggun
dengan guratan seni di wajahnya.
Empat
sekawan di atas meja nostalgia pun masih indah memerkan senyum rindu yang
diukir sempurna di wajahnya. Sang koboy yang baru pulang dari kelana, sang
revolusioner yang baru saja mengabdikan diri pada masa depan, sang wartawan
dengan kalungan kamera di leher, dan sang pria miskin yang tak seberuntung
ketiga sahabatnya. Serta empat cangkir teh yang tak bergeser sedikit pun.
Aku siap, Sarah. Ibu Peri
cantik yang telah rela bertukar nyawa demi hasil pahatan pertamaku, Ibrahim.
***
Kini.
Empat belas tahun lebih sejak pameran pertamaku berhasil digelar. Ada penyesalan
besar dalam benakku. Aku tak berhasil mendidik Ibrahim menjadi anak yang penuh
cinta dan seni. Dengan cinta dari sudut pandangku, aku justru mengekangnya. Menjauhkannya
dari dunia luar.
Bukan
tanpa sebab, aku terlalu takut Ibrahim memilih jalan yang salah seperti aku di
masa lalu sebelum aku bertemu Sarah. Bahkan luka lebam, babak belur sekujur
tubuh, dan kaki yang terkilir malam itu mungkin saja karena ulahku sendiri yang
mencari masalah saat di bawah pengaruh minuman keras.
Kemarin
malam, puncak kemarahan Ibrahim. Ia memberontak dan menghancurkan patung-patung
kayu pahatanku selama ini. Bahkan patung empat sekawan, dan patung legenda
putra durhaka. Kecuali empat gelas teh, mereka telah lama lenyap entah ke mana,
sehari setelah pameran empat belas tahun lalu. Mungkin sesuatu semacam Ibu Peri
dalam dongeng Pinokio telah membantunya bebas dari belenggu kaku, beku, dan
bisu.
“Aku
sudah gagal menjadi seorang ayah yang baik. Kau pasti sangat kesal dan juga akan
memarahiku di surga nanti,” gerutuku pada figura Sarah.
“Ibrahim
makin tumbuh dewasa. Dia sudah mulai mengenal dunia. Tapi, sesuai kesepakan
kita, tak akan membiarkannya jalan sendiri sebelum dia benar-benar siap,” aku
terdiam sejenak dan mengusap air mataku, “kaupun pasti setuju dan pasti
melihatnya, anak kita belum siap untuk itu semua.”
...
Aku
mungkin pandai mengukir seni dan memberi nyawa pada para patung. Tapi aku gagal
memberi nyawa pada anakku sendiri. Aku hanya ingin ia mendapatkan yang terbaik.
Tak menjadi seperti ayahnya di masa lalu.
***
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[Cerpen Romance] SANG PEMAHAT"
Post a Comment