[Cerpen Romance] SANG PEMAHAT


Sang Pemahat
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
Malam ini aku bersimpuh penuh sesal di hadapan sebuah figura besar berbingkai kayu yang kuukir sendiri penuh seni dan cinta. Lapisan kaca benging dengan kokoh melindungi senyum manis wanita hebatku. Wanita yang dulu pernah memberiku nyawa, saat aku benar-benar nyaris mati dalam kubangan luka masa lalu.
Aku ingat bagaimana senyumnya berhasil menyelamatkanku. Senyum yang sama dengan apa yang kutatap lekat-lekat malam ini. Dialah peri penolongku, malaikat hatiku, atau apapun sebutannya. Dialah yang banyak mengajarkanku perihal air mata, cinta, kasih sayang, dan seni. Ya, seni. Dia yang mengajarkanku bercerita dan berbicara melalui seni. Hingga hari ini, aku selalu melihatnya dalam karya-karya seniku.
***
Pikirku berkelana jauh ke masa lalu. Enam belas tahun silam. Saat itu aku sedang terkapar nyaris tak berdaya di tepi jalan yang sepi. Terakhir yang kuingat adalah kekasihku yang baru saja menghianatiku. Sebuah pesta pora di sebuah club dan sebotol miras. Selain itu aku tak ingat apa-apa.
“Aku di mana?” mataku terbuka dengan pandangan yang sedikit samar, sekujur tubuh rasanya sakit.
“Kamu di rumah sakit,” seseorang menjawab. Wajahnya samar, dari suaranya aku bisa menyimpulkan dia adalah seorang wanita.
“Rumah sakit?”
“Seseorang membawamu ke mari.”
Penglihatanku masih tak jelas. Yang ada di pikiranku, jika aku bertemu orang itu aku harus berterima kasih. Ah, pada seseorang di hadapanku pun aku harus berterima kasih, bukan?
“Istirahatlah dulu. Kau perlu memulihkan kondisi tubuhmu.”
...
Pagi tiba dengan semburat fajar yang langsung menerobos jendela kaca di hadapanku. Sinarnya langsung menuju kelopak mataku yang masih tertutup. Pupilku merespon. Kelopak mata terbuka dan mempersilakan sang pupil memastikan cahaya apa yang mengganggunya pagi ini. Kali ini, semua sudah nampak jelas, tak lagi samar. Seisi ruang bangsal rumah sakit ini serba putih dan beberapa peralatan serba silver.
“Sudah bangun?”
Aku terkejut. Seseorang telah berdiri di samping tempat tidurku sambil merapikan peralatannya. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya. Dia terlihat sangat cantik dengan kemeja merah jambu yang dibalut jas putih, bawahan hitam dan sebuah kaca mata. Rambut hitam sebahu yang dibiarkan terurai, menambah kesan keanggunannya.
“Anda siapa?”
“Saya dokter Sarah, yang menangani Anda sejak semalam.”
Harusnya aku tak perlu bertanya, dari penampilan dan seragam yang ia kenakan harusnya aku tahu kalau dia adalah seorang dokter. Efek terkejut dan tak tahu harus berkata apa.
“Apa yang terjadi? Mengapa Anda sampai babak belur dan terkapar di tepi jalan?”
“Saya tidak ingat apa-apa, dok!”
“Kaki Anda sedikit terkilir. Tapi beberapa hari pasti bisa sembuh.”
“Terima kasih, dok!”
Dia melempar senyum sebelum akhirnya melenggang pergi ke luar ruangan.
...
Aku tak bisa tinggal diam. Ruangan ini mulai terasa membosankan. Dengan kondisi yang belum benar-benar pulih, kuputuskan untuk berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan selang infus masih tertancap di tangan dan gaya berjalan sedikit sempoyongan. Di ujung lorong terdapat sebuah bangku panjang dan seorang gadis berseragam dokter tengah asyik membaca sebuah novel.
“Suka baca buku, dok?” aku mencoba memulai percakapan.
Dia menoleh ke arahku. Wajahnya sedikit panik.
“Anda belum pulih, kenapa Anda~~~”
“Bosan, dok!” aku langsung memotong percakapannya.
Dia hanya menghela napas sambil perlahan memerhatikanku yang mulai duduk di sampingnya. Setelah sikap dudukku telah sempurna, dia lanjut membaca bukunya. Tak ada percakapan hingga beberapa menit.
“Dokter kok baca novel? Romace lagi?” aku coba memulai.
Fokus matanya terhenti. Pandangannya beralih kepadaku.
“Saya suka seni. Semua jenis seni saya suka; novel, cerpen, puisi, atau bahkan seni ukir. Makanya kalau sedang libur atau sedang istirahat seperti ini saya lebih suka membaca, menulis, dan membuat kerajinan.”
Mendengarnya aku jadi ingat sesuatu. Tanganku dengan cepat meraba saku celanaku yang untung saja belum diganti dari semalam. Aku menemukan benda itu.
Wanita di hadapanku memerhatikan jam tangannya.
“Saya harus segera kembali, jam istirahat sudah selesai. Anda pun harus segera kembali ke ruangan Anda.” Dia bergegas bangkit dari duduknya.
“Dok,” panggilanku mencegahnya untuk pergi dan dia kembali menatapku, “ini untuk Dokter, anggap saja sebagai tanda terima kasih. Tadinya ingin saya berikan kepada seseorang, tapi tidak jadi.”
Ia meraihnya. Sebuah kalung dengan ukiran kayu berbentuk hati di ujungnya. Benda yang tadinya akan kuberikan kepada kekasihku. Sayang, dia lebih dulu kupergoki berselingkuh dengan pria lain.
“Wah, ini indah sekali. Terima kasih,” dia tersenyum bahagia, sebelum menyodorkanku sebuah tanya, “kenapa tidak jadi diberikan ke orang itu? Saya yakin dia pasti suka!”
“Dia lebih suka menghianati saya dan pergi dengan sahabat saya sendiri.”
Senyumnya perlahan menghilang. Dia menatapku penuh iba, “maaf, ya? Saya tidak tahu soal itu!”
Aku hanya tersenyum. Ia bergegas pergi, kembali melaksanakan tugas mulianya sebagai seorang dokter.
...
Sejak saat itu, aku dan Sarah menjadi lebih dekat dan akrab. Bahkan setelah aku pulih dan keluar dari rumah sakit. Kami sering bertemu di sela-sela kesibukannya di rumah sakit. Setelah tahu Sarah suka dengan seni ukir, aku mulai mencoba lebih mendalaminya. Di beberapa kesempatan dia sering mengajakku pergi ke pameran seni ukir. Di sana dia sering berkata, “suatu hari nanti, kamu juga harus punya pameran seni ukir sendiri.”
Setahun kemudian aku memutuskan untuk melamarnya. Sebuah cincin unik dari kayu jati yang terukir namanya dan namaku menjadi saksi makin eratnya hubungan kita. Di hari pernikahan kita, dia terlihat sangat cantik dan aku makin jatuh cinta pada maha karya seni Tuhan yang satu ini.
Pasca ikrar pernikahan kita, aku memutuskan untuk makin serius menggeluti seni ukir. Setelah berbulan-bulan hanya menjual karya seniku pada pemesan saja, kali ini aku memutuskan membuat pemeran seniku sendiri sesuai keinginan wanita yang kini resmi menjadi istriku.
Kumulai dengan membuat sebuah meja. Di atasnya terdapat secangkir teh yang dalam imajiku masih sangat hangat. Tiga gelas selanjutnya, lengkap sudah sajian minuman untuk keempat sahabat yang nantinya akan memenuhi masing-masing sudut nostalgia di atas meja ini.
“Sayang!” malaikatku datang memasuki ruang pahat, disodorkannya segelas teh hangat yang nyata, “ini teh untuk inpirasimu.”
Dia sangat paham aku lebih suka ketenangan secangkir teh daripada aroma sejuta makna dari serbuk kopi yang diseduh. Tak terlalu banyak gula, tapi cukup manis ditemani senyum menawannya.
“Terima kasih, sayang!” kukecup keningnya dengan penuh cinta. Ia pun tak malu mempersilakanku.
“Apa yang kau ukir hari ini, sayang?”
“Empat cangkir teh. Setelah ini, empat orang kawan yang akan saling berbagi nostalgia di atas meja rindu mereka. Seorang koboy yang baru saja tiba dari masa kelananya, seorang revolusioner yang baru saja mengabdikan diri pada masa depan, seorang wartawan yang tak segan menggali dan membagikan informasi hingga ke pelosok negeri, serta seorang sahabat lain yang tak seberuntung ketiga kawannya.”
“Apa yang terjadi padanya?”
“Ia terlalu sibuk menghabiskan masa mudanya dengan hura-hura, hingga membuatnya mati dalam hidup di masa depan,” aku meratap pada masa laluku yang kelam.
Malaikatku tersenyum, tahu apa yang ada dalam benak suaminya ini. Usapan manja mendarat di pipi kiriku.
“Aku punya berita baik untuk kita,” dia tersenyum malu-malu, oh Tuhan, rona wajahnya sangat membuatku tak ingin berpaling.
“Apa itu?”
“Kau akan menjadi seorang ayah!” tangannya meraih tanganku dan meletakkannya tepat di perutnya.
Mataku terbelalak, bibirku tak kuasa menahan bahagia. Hari itu menjadi hari paling bersejarah dalam cerita cinta kita.
...
Hari berganti bulan, aku makin bersemangat menyelesaikan karya seniku. Sebuah patung bisa memakan waktu hingga sebulan bahkan lebih, untuk detail yang rumit. Tiga patung usai di usia kandungan Sarah yang menginjak lima bulan. Semua itu terbilang cepat, karena semangatku yang menggebu-gebu. Di bulan selanjutnya, sebuah patung terakhir dari empat sekawan usai.
“Sudah selesai?”
“Sudah, tinggal tahap finishing-nya. Pemberian warna dan motif seperti mata, hidung, dan yang lain.”
“Suamiku memang hebat!”
Butuh waktu sebulan untuk menyelesaikan taha finishing. Dan kini hanya tinggal menunggu catnya kering dan siap untuk dipamerkan. Impian besarku dan Sarah akan terwujud sebentar lagi. Perut Sarah pun semakin membesar, tepat tujuh bulan usianya kini.
Katanya anak kami adalah seorang laki-laki, walau pun sampai hari ini aku tak pernah melihatnya secara langsung. Sarah selalu menolak jika ingin kuantarkan ke rumah sakit. Dia selalu mengatakan, “kau harus tetap fokus dengan pameranmu, selesaikan senimu secepatnya. Urusan pemeriksaan, aku bisa sendiri. Aku ini dokter, lebih paham soal begini daripada seniman sepertimu.”
Senyum manisnya selalu meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Tak ada yang bisa kupercaya selain maha perkasanya senyuman sang malaikat cantikku. Aku percaya maha sempurnanya dia.
Hingga suatu hari di bulan ketujuh usia kandungannya, ia terlihat sangat lesu hingga jatuh pingsan tepat di ruang seniku. Bercampur panik segera kubawa ia menuju rumah sakit. Betapa terkejutnya aku mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada Sarah.
“Ada benjolan di rahim Sarah, ini sangat berbahaya bagi ibu dan bayinya. Kita harus segera mengambil tindakan!” jelas dokter yang menanganinya, “Sarah tidak pernah memberitahukan soal ini?”
Aku hanya menggelengkan kepala. Inilah alasan mengapa Sarah tak pernah ingin kutemani ke dokter.
“Aku tak ingin membuatmu panik dan sedih. Kau harus tetap menyelesaikan maha karyamu, sayang!” Sarah menggenggam tanganku. Rasa haru tak sanggup kutahan.
Tibalah di ambang keputusan. Aku harus memilih menyelamatkan Sarah atau bayi kami di kandungannya. Sarah sendiri bersikeras bahwa ia akan melakukan apapun demi bayi kita, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri.
Malam yang sangat mencekap. Suasana ruang operasi sangat menegangkan. Keputusan ini telah diambil. Aku harus siap. Jika Sarah kuat, maka aku pun harus tegar.
“Beri nama dia Ibrahim. Dia akan menjadi anak yang hebat dan pemberani di masa depan kelak. Ajari dia cinta, kasih sayang, dan seni!” wasiat Sarah terlontar beberapa saat sebelum operasi dimulai.
Suasana mencekam itu buyar dengan suara tangisan bayi jagoan yang lahir prematur. Serentak dengan tangisan itu, detak jantung Sarah pun tak lagi terdeteksi. Ia dinyatakan meninggal dunia, bertukar jiwa dengan Ibrahim, anak kami.
...
Berhari-hari berlalu. Ruang pahat, ruang inspirasiku telah mati. Semangat yang tadinya menggebu-gebu telah lenyap. Ukiran empat sekawan yang telah rampung sempurna pun tak lagi bermakna di mataku. Ibrahim yang terlahir prematur masih tetap harus dirawat di rumah sakit. Selama itu, aku hanya bolak-balik rumah sakit dan rumah kita, semua terasa semu.
Suatu malam, Sarah datang dalam mimpiku.
“Bangkitlah! Kau harus melanjutkan mimpimu. Mimpi kita. Buat Ibrahim bangga dengan ayahnya!”
Malam itu, tekadku kembali membara. Kulangkahkan kaki dengan penuh keyakinan. Malam itu kubuat sebuah diorama baru, sesuatu yang terinspirasi dari legenda seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya. Suatu hari, aku ingin Ibrahim dan anak lainnya belajar dari karya seniku.
Tiga bulan kemudian. Semua karyaku telah siap. Pagi itu kutatap ranjang bayi milik Ibrahim, ia masih terlelap. Kulangkahkan kaki menuju ruang pahat untuk mempersiapkan karya seniku di pameran esok hari.
Gagang pintu kuraih, batang kunci kuhunuskan ke dalam liang gembok. Kuputar ke arah berlawanan dengan arah kuncian. Pengait terbuka. Gagang pintu ditarik turun, dan pintu terbuka.
Aku tersenyum kepada hasil karyaku di hari-hari yang lalu. Si pemuda legenda yang durhaka, masih sempurna dengan peran egoisnya. Sang ibu yang merintih tanpa suara masih syahdu dengan peran sedihnya. Sang istri yang menawan masih anggun dengan guratan seni di wajahnya.
Empat sekawan di atas meja nostalgia pun masih indah memerkan senyum rindu yang diukir sempurna di wajahnya. Sang koboy yang baru pulang dari kelana, sang revolusioner yang baru saja mengabdikan diri pada masa depan, sang wartawan dengan kalungan kamera di leher, dan sang pria miskin yang tak seberuntung ketiga sahabatnya. Serta empat cangkir teh yang tak bergeser sedikit pun.
Aku siap, Sarah. Ibu Peri cantik yang telah rela bertukar nyawa demi hasil pahatan pertamaku, Ibrahim.
***
Kini. Empat belas tahun lebih sejak pameran pertamaku berhasil digelar. Ada penyesalan besar dalam benakku. Aku tak berhasil mendidik Ibrahim menjadi anak yang penuh cinta dan seni. Dengan cinta dari sudut pandangku, aku justru mengekangnya. Menjauhkannya dari dunia luar.
Bukan tanpa sebab, aku terlalu takut Ibrahim memilih jalan yang salah seperti aku di masa lalu sebelum aku bertemu Sarah. Bahkan luka lebam, babak belur sekujur tubuh, dan kaki yang terkilir malam itu mungkin saja karena ulahku sendiri yang mencari masalah saat di bawah pengaruh minuman keras.
Kemarin malam, puncak kemarahan Ibrahim. Ia memberontak dan menghancurkan patung-patung kayu pahatanku selama ini. Bahkan patung empat sekawan, dan patung legenda putra durhaka. Kecuali empat gelas teh, mereka telah lama lenyap entah ke mana, sehari setelah pameran empat belas tahun lalu. Mungkin sesuatu semacam Ibu Peri dalam dongeng Pinokio telah membantunya bebas dari belenggu kaku, beku, dan bisu.
“Aku sudah gagal menjadi seorang ayah yang baik. Kau pasti sangat kesal dan juga akan memarahiku di surga nanti,” gerutuku pada figura Sarah.
“Ibrahim makin tumbuh dewasa. Dia sudah mulai mengenal dunia. Tapi, sesuai kesepakan kita, tak akan membiarkannya jalan sendiri sebelum dia benar-benar siap,” aku terdiam sejenak dan mengusap air mataku, “kaupun pasti setuju dan pasti melihatnya, anak kita belum siap untuk itu semua.”
...
Aku mungkin pandai mengukir seni dan memberi nyawa pada para patung. Tapi aku gagal memberi nyawa pada anakku sendiri. Aku hanya ingin ia mendapatkan yang terbaik. Tak menjadi seperti ayahnya di masa lalu.
***

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "[Cerpen Romance] SANG PEMAHAT"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo