KISAH DI BALIK KOSAN KARYA

Kisah di Balik Kosan Karya

Karya: Ahmad M. Mabrur Umar

06.20 pagi.

Sepuluh jemariku telah berada di atas papan ketik yang menyala. Kurang lebih sekitar lima menit yang lalu, aku memutuskan untuk mencoba memulai lagi. Merangkai kata yang bertumpuk di kepala dan meronta-ronta, membuat tengkorakku retak dan nyaris meledak. Namun anehnya, seberapa pun banyaknya kata di kepala, sampai saat ini jemariku belum sanggup mengukir satu aksara pun di lembar kerja digital yang menyorotiku seakan berkata, “kau tak seperkasa dulu”. Dia menghakimiku.

Tadinya aku ingin bercerita tentang diriku sendiri. Menjalani hidup dengan patuh pada takdir yang lumayan getir. Dalam keterbatasan dan kesederhanaan. Dalam juang seorang ayah yang doanya tak pernah habis bercampur peluh dengan tubuh yang makin menua. Juga tentang ibu yang kutahu doanya tak kalah hebat. Tak pernah putus ataupun pupus walau jarak membelenggu wajah untuk saling sua. Sesekali ruang daring membuat pilu itu sedikit terobati. Tapi tetap saja tak cukup. Setumpuk rindu tak akan habis hanya dengan menatap rupa visual yang semakin menua dan menyimpan getir rindu nan sama denganku.

Bahkan aku pun ingin bercerita tentang mereka. Tentang ayah yang memutuskan kembali ke kampung halaman dan bersua dengan sanaknya. Dengan dalih hanya menyambangi dan akan kembali. Yang pada nyatanya, ayah tak hanya ingin menyambangi, namun memutuskan untuk menetap bersama kami. Sebuah keputusan yang menjadi awal pilunya merinduku. Ibu yang tak terima dengan kebohongan ayah, malakukan hal yang sama. Dengan dalih ingin mengambil barang yang masih tertinggal, ibu pergi bersama adikku satu-satunya meninggalkanku dan ayah. Hingga kabar itu kudengar sendiri dari mulut ibu tanpa menatap wajahnya, kabar bahwa ia akan menikah lagi.

“Kalau pun saya bilang ‘tidak’, mama tetap akan menikah dengan orang itu, kan?” kalimat itu selalu kuingat. Kalimat yang kuucapkan saat ibu meminta restuku via telepon kala itu. Tak perlu bertanya rasanya menjadi aku.

...

Kicau dari si mungil bersayap yang hinggap dari ranting satu ke ranting yang lain saling bersahutan. Pagi hari adalah saat yang tepat bagi mereka untuk melatih vokal. Bersiap menghadapi dunia yang terkadang terasa salah dari beberapa sudut pandang. Juga terasa pilu dari beberapa kisah. Entah memang kenyataan yang kurang berpihak atau syukur yang jarang berjamah oleh akal dan nurasi? Jika unggas lebih peka dengan keagungan Sang Maha Kuasa, mengapa manusia yang konon makhluk paling mulia tak bisa?

...

07.00 pagi.

Aku masih tak tahu akan bercerita apa. Kepala masih dipenuhi kenangan-kenangan masa lalu yang seakan menjerit, “ceritakan aku pada dunia, agar ada yang bisa mendengarmu”. Kisah-kisah menyenangkan di masa lalu, kisah pengundang senyum dan bahagia. Atau kisah lara yang membuatku terkadang memandang dunia dari sisi yang lain. Merasa tak adil, kecil, dan bahkan terbuang.

Kisah kawan sebaya yang merajut akrab sedari dahulu. Membagi kisah dalam lantang curahan hati perihal cinta, kasih sayang bahkan juga getir hidup yang mereka punya. Saling berbagi, merasakan dunia yang kurang atau lebih dalam suka juga duka yang sama. Sesekali saling tak acuh, mengadu argumen dengan keras kepala masing-masing. Tak lama, beberapa saat pasti kembali saling melempar tawa tanpa kata ‘maaf’. Lalu, melempar canda berbalut humor tanpa ketersinggungan.

Ada pula yang berkawan hanya karena mengharap bantu. Menyandarkan kepala di bahu, membuat beban kepalanya juga ikut terpikul. Membuat peluhnya tak terlihat terlalu deras, atau air matanya yang terhapus oleh jemariku. Lantas pergi, meninggalkan jejak mereka di sini dan beban yang masih terasa di pundakku.

...

07.29 pagi.

Teringat pada kisah yang tak kalah getir. Sebuah perjalanan cinta yang tak pernah melabuh pada dermaga yang tepat. Sekali aku pernah merasakan cinta. Padanya, seorang berparas rupawan. Sekali itu pula, aku merasakan kalah, benar-benar kalah dalam cinta. Dia yang kudamba memilih untuk pergi dan serupa dengan yang lain, ia meninggalkan jejak yang sangat membekas. Hatiku masih mengenangnya hingga saat ini. Bukan lagi sebagai orang yang kudamba. Rasa itu telah berubah, tidak, bukan benci. Dia hanya berubah menjadi orang yang ‘pernah’ kudamba.

...

07.39 pagi.

Aku ingat seorang guru pernah membuatku jatuh cinta pada aksara. Membuatku memutuskan mengungkap curahan hati melalui ukir-ukir aksara. Mengabadikan kisah dalam susunan kata, rasa dan makna. Aku hanya ingin bercerita agar dunia tahu bahwa aku adalah bagian darinya.

Rangkai-rangkaian aksaraku beberapa kali berhasil bertengger di pelaksanaan adu ketangkasan merangkai aksara. Beberapa ada yang berhasil menjadi juara, sebagian besar lainnya hanya sebagai pelengkap. Beberpa kawanku kudapat dari rangkaian aksara itu. Kawan yang tak pernah bersua, namun akrab dalam media daring.

Kemudian datang seorang teman memberi saran, agar aku membuat sebuah tempat untuk mengabadikan aksara-aksara itu. Dari sanalah, ruang aksaraku ini tercipta. Sebuah peron digital yang di dindingnya penuh dengan coretan-coretan kata. Dari kisahku sendiri, kisah orang lain, hingga kisah yang kucuri dari ruang imajinasiku yang belum liar.

Kosan Karya, tajuk yang kupilih untuk peronku itu. Tajuk yang kupilih saat aku harus melanjutkan pendidikan sarjana di kota dan harus menetap di sebuah barak indekos bersama salah seorang kawan karibku. Beberapa aksaraku berhasil tercipta di ruang ini. Seperti pagi ini, aku pun masih berada di sini.

“Balas hujatan dengan karya positif,” tulisku pada baris selanjutnya di bawah tajuk.

18 September 2016, coretan pertamaku di dinding peron. Puisi pertamaku pula, bertajuk “desaku”. Hari itu kuberi lingkar merah sebgai lahirnya Kosan Karya. Lahirnya sebuah mimpi, harapan dan perjuangan baruku. Hingga Oktober 2018 sebuah surat elektronik mengabarkan bahwa peronku layak untuk menampilkan iklan.

...

Semua kenangan pagi ini melekat sempurna dalam sanubari. Menjadi jejak-jejak yang terus menyempurnakan perjalananku. Perjalanan yang entah akan mengarah ke mana atau berakhir seperti apa. Hanya Yang Maha Kuasa yang tahu.

***

08.04 pagi.

Jemariku belum berhasil merangkai aksara apapun. Sepuluh jemariku masih terdiam. Tak satu pun dari kenangan itu mampu diukirnya. Fantasi imajinasiku pun seakan melemah. Tak satu pun mampu menari di atas lembar kerja virtualku.

Kosan Karya rehat sejenak. Hingga batas waktu yang tak ditentukan. Keputusan ini kuambil, sebab sebuah tanggung jawab. Sebuah tugas akhir harus kuselesaikan terlebih dahulu. Namun, aku akan kembali memberi nyawa pada peronku ini. Membuatnya kembali hidup dengan coretan-coretan di dindingnya yang berwarna putih itu. Memberi warna lain dengan aksaraku. Entah kisah hidupku, perjalanan orang lain, atau ambisi imajinasi yang liar. Karena Berkarya adalah Hidup yang TAK AKAN PERNAH MATI.

...

Terima kasih!

...

Palopo, 30 Desember 2020


CEK PROFIL KOSAN KARYA


_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "KISAH DI BALIK KOSAN KARYA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli dalam bentuk E-Book di Google Books dan di Payhip
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.