INTRO/PROLOG - AKU INGIN PULANG (VERSI NOVEL)
Aku Ingin Pulang
“Aku
Ingin pulang!”
Kalimat itu bahkan telah terngiang di benakku sejak
pertama kali menginjakan kaki di tempat ini. Tanah leluhurku sendiri dari garis
keturunan bapak. Aku lupa sejak kapan kalimat itu berhenti kuorasikan secara
terbuka kepada bapak. Yang pasti, hingga hari ini, walau tak terucap lagi
secara lisan, namun masih sangat mantap terpatri dalam hatiku.
“Pulang
ke mana? Bukankah ini tanah leluhurku sendiri?” –Ya, semoga saja setelah ini
mereka masih sudi menganggapku seperti itu.
...
Sembilan tahun lalu. Sejak bapak memutuskan untuk pulang
ke kampung halamannya di tanah Luwu, Sulawesi Selatan, sejak saat itulah kalimat
ini mulai menguasai inginku. Seakan tak ada lagi ingin yang paling besar,
selain ‘pulang’ pada tanah di mana aku dilahirkan. Sebuah desa di ujung Barat pulau
tertimur negeri ini.
Pada kenyataannya aku masih berada di sini, terdampar di
tanah leluhurku sendiri. Jauh dari tempat yang kuinginkan; jauh dari kawan-kawan
masa kecil yang riang, semilir angin di tepi dermaga yang sejuk, dua pohon
kelapa yang menjulang tinggi seolah menjadi penyambut siapa pun yang akan
memasuki tempat itu, sebuah area pemakaman yang mencekam menjadi suasana pertama
yang harus dihadapi, lalu gapura-gapura pembatas jalur yang saling menghadap,
tempat ‘iseng’ bermain bola, pendali[1] tempat memancing, dan
sekolah dasar dengan lapangan luas yang menyimpan banyak kenangan. Dan yang
paling kurindukan adalah sosok wanita di ujung jarak itu, sosok yang harusnya
menjadi tiga dari empat baktiku, mama.
***
Januari 2020,
Semalam, seluruh dunia menyambut detik-detik pergantian
tahun. Kabarnya masih sangat hangat tersiar di seluruh stasiun TV yang sekarang
sedang mesra-mesranya bermonolog dengan bapak. Terdengar dari sudut telingaku;
musik tahun baru, suara kembang api, dan reporter
yang menyampaikan beragam berita. Dari sudut ini pula kuperoleh informasi bahwa
beberapa daerah di tanah air merayakan tahun baru dengan berkawan guyuran hujan
dan banjir.
Biar kujelaskan di mana aku saat ini. Aku sedang duduk
menghadap sebuah laptop yang terletak di atas sebuah meja yang sangat tidak
rapi. Buku-buku berdebu yang berserakan di mana-mana, sepasang speaker kecil tua yang dalam keadaan on sedari pagi tadi dengan sambungannya
terhubung langsung pada laptop ini, dan sebuah kasur lusuh yang kududuki saat
ini, kamar yang sempit membuat meja dan ranjang sangat berdekatan maka jadilah
ranjang ini sebagai tempat dudukku.
Satu benda lagi yang menurutku sangat bersejarah. Sebuah
buku tulis dengan sampul dari bahan chipboard
berwarna kuning dengan motif batik. Sekarang buku itu ada di sisi kiri
laptopku dalam posisi sampul belakang berada di bagian atas, dengan keadaan
yang mulau usang; robekan di mana-mana, dan tulisan yang mulai luntur –aku
yakin, jika bukan karena selotip bening yang merekat di sana sampul itu sudah
lama tak berada di tempatnya–, berisi puisi-puisi yang kutulis secara ‘iseng’
dan merupakan buah dari logikaku tak karuan selama setidaknya lima tahun. Dan
bisa disebut juga isi hariku. Aggaplah seperti sebuah diary –walau pun mungkin aneh seorang lelaki punya diary.
Di luar sana cuaca pun sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya
itulah yang disampaikan oleh atap rumah yang riuh terpukul rintik hujan. Semoga
tak berujung banjir seperti di daerah lain. Walau pun banjir tak akan menyentuh
lantai rumah panggung dengan jarak dari permukaan tanah ini sekitar satu
setengah meter. Memang jika hujan lebat di sini pun sering terjadi banjir,
namun cukup aman untuk kediaman kami.
Rumah ini bukan milik kami. Rumah ini milik seorang sanak
yang secara suka rela membiarkan kami mengisi rumahnya telah lama tak
berpenghuni ini. Sejak pertama kali menempati rumahnya, kurasa tak banyak
berubah; masih dengan dinding-dinding kayu yang kini mulai rapuh, beberpa
bahkan telah diganti oleh bapak dengan kayu seadanya, yang paling baru adalah
dinding kamar dari tripleks yang bapak ganti sekitar setahun lalu.
Rumah ini lumayan luas untuk ditinggali dua orang saja;
aku dan bapak. Saat memasuki rumah ini, kau akan disanbut dengan satu set meja
dan kursi plastik berwarna merah. Saat duduk, pandangan langsung mengarah ke
Barat dan jeng jeng sebuah TV
keluaran China terpajang di sana, tepat berdampingan dengan jendela tanpa
penutup yang akan membuatmu melihat dunia luar. Untuk rumah yang hanya dihuni
dua orang lelaki, tempat ini tak begitu rapi, bahkan sangat berantakan; pakaian
bersih menumpuk di depan TV, beberapa daun yang tak tersapu –atau bahkan tak
pernah disapu, dan beberapa peralatan lain milikku dan bapak yang entah masih
dibutuhkan atau tidak.
Berbelok ke sebelah kiri dari ruang TV tadi, kau akan
menemukan sebuah dapur. Posisinya lebih rendah dari ruangan yang lain. Bagian
yang kami sebut ‘dapur’ itu harus diakses dengan menuruni anak tangga yang
berjumlah lima –kalau tidak salah- dengan
jarak antaranak tangga sekitar 20-25 cm. Sebelum menuruni tangga kau boleh
menengok sebentar ke arah kiri, di sana ada kamar milik bapak dengan jendela
yang terbuka dan lemari-lemari dengan tumpukan baju yang beberapa telah koyak
tergigit oleh tikus. Di dapur kau akan menemukan; kompor dua mata yang salah
satunya sudah tak lagi berfungsi, sebuah rak piring dari kayu, sebuah WC tanpa
pintu yang biliknya dari papan, dan tempat mandi kecil merangkap tempat cuci
piring dengan tumpukan piring kotor di atasnya.
Masih banyak bagian dari rumah ini yang belum
kuceritakan. Namun, sayang kisah ini tak akan membahas tentang rumah dan kamar
ini secara spesifik.
***
Kami telah menghuni rumah ini sekitar sembilan tahun. Sebuah
rentang waktu yang tak sebentar. Sebuah rentang waktu yang telah mengukir
banyak kisah, tak hanya tentang rumah ini, tapi juga tentang beragam kisah yang
terukir di sepanjang rentang waktuku; rindu, kasih-sayang, persahabatan, dan sedikit
bumbu romansa cinta yang aneh. Kisah yang entah akan berujung di mana?
“Entah siapa yang salah dan siapa yang benar? Entah siapa
yang egois? Entah takdir apa yang tega mempermainkanku selama ini,” awalnya
sulit untuk bisa menerima semua ini. Hingga hari ini, aku tak yakin aku telah
benar-benar menerimanya sebagai sebuah kenyataan. Sayangnya, ini semua
benar-benar nyata.
Dan tibalah aku pada perjumpaan kesekiankalinya dengan Januari.
Januari adalah awal dari sebuah hitungan kalender masehi. Bagiku, Januari pun
adalah awal. Awal dari kisahku yang entah apa sebutannya ini; sendu? Pilu?
Haru? Atau apa sajalah yang bagimu pantas untuk disematkan pada kisah ini.
Kuharap, siapa pun kau yang membaca kisah ini, sudi menyimaknya hingga akhir.
Aku hanya ingin bercerita, itu saja.
Aku, Ahmad Farid. Dan aku ingin pulang...
***
[1] Sebutan untuk sebuah tempat
seperti kolam dengan beberapa sumur di sekitarnya, sering digunakan masyarakat
sekitar untuk sumber kebutuhan air mereka.
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "INTRO/PROLOG - AKU INGIN PULANG (VERSI NOVEL)"
Post a Comment