[CERPEN ROMANSA] BEDA - Karya Ahmad M. Mabrur Umar

 


Beda

Karya: Ahmad M. Mabrur Umar

Entah sudah berapa kali aku bolak-balik di hadapan cermin pada sudut kamarku ini. Aku hanya ingin berpenampilan sempurna di hadapan kekasihku malam ini. Tepat setengah delapan nanti, waktu yang telah kami tentukan untuk bertemu di taman kota. Sama seperti muda-mudi lain, malam menuju Minggu adalah waktu yang selalu kami gunakan untuk merancang temu. Apalagi akhir-akhir ini kami jarang bertemu.

Lima menit kemudian, ponselku berdering. Aku berbalik badan, melangkah menuju tempat tidur. Meraih ponsel yang terletak di atas kasur. Yang kunanti, namanya terpampang di layar gawai disertai emotikon hati. Gambar telepon berwarna hijau kugeser.

“Halo, sayang. Jadi, ketemu malam ini?” sapaku untuk seseorang di ujung panggilan itu.

Hening. Tanpa suara sedikit pun.

“Halo?” kupastikan panggilan itu masih terhubung, “sayang? Tiwi?”

Terdengar suara tarikan napas yang disertai dengan lendir. Dia menangis.

“Kamu kenapa?” nadaku berubah menjadi lebih pelan.

Isak tangisnya terdengar semakin jelas di telingaku. Aku menyadari sesuatu. Kududukkan tubuhku di atas tempat tidur. Kuhela dan embuskan napas sedikit kecewa. Tak heran bagiku.

“Dilarang lagi?”

“Bukan cuma dilarang, sekarang aku dikunci di kamar.” Akhirnya dia bersuara.

Sejak tahu anaknya menjalin hubungan denganku. Orang tua Tiwi kerap memarahinya. Melarangnya bertemu denganku. Memaksa Tiwi agar segera memutuskan hungan denganku. Alasannya adalah karena kami berbeda.

Aku dan Tiwi memang sangat berbeda. Mulai dari strata sosial. Aku hanyalah anak seorang petani yang merantau dari ujung Barat pulau Jawa yang datang ke tanah Bugis Makassar karena ingin menempuh pendidikan. Jika lazimnya, mahasiswa Timur merantau ke tanah Barat. Aku justru sebaliknya. Selepas menyelesaikan kuliahku, aku terjebak di sini. Tak bisa kembali ke tanah asalku kerena biaya yang tak mencukupi.

Mencari kerja sana-sini pun sulit. Mau jadi apa? Semua butuh uang, bahkan mencari kerja pun demikian. Orang dalam pun tak punya, hanya kenal sesama mahasiswa yang baru saja lulus. Sama getirnya, mereka pun sedang mencari kerja. Tak seperti mereka yang punya kerabat orang penting, dengan mudah bisa mendapat kerja.

Sedangkang Tiwi. Dia adalah anak dari seorang ayah anggota DPRD. Pejabat yang disegani oleh banyak orang. Belum lagi ibunya, seorang rektor di salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar ini. Perbedaan yang sangat mencolok.

Perbedaan lain antara aku dan Tiwi adalah suku. Orang tua Tiwi bukan berasal dari tanah Makassar ini. Namun, berasal dari Tanah Toraja, tempat yang sangat kental adat istiadatnya. Mengenai perbedaan ini, aku pernah mendengar cibiran orang tua Tiwi secara saat berkunjung ke rumahnya. Logat Sunda-Bantenku langsung dikenali oleh mereka.

“Suku kami sangat menjunjung tinggi adat istiadat. Kami tidak yakin kamu siap dengan semua itu. Sukumu terbiasa dengan lemah lembut sedangkan kami sebaliknya. Pantang pula bagi kami menikahkan anak kami satu-satunya dengan orang yang bukan berasal dari suku kami,” begitu katanya dengan sangat angkuh.

“Menyatukan perbedaan itu indah. Begitu kata orang-orang. Tapi, …” suara Tiwi bergetar, aku yakin air matanya saat ini sedang berkucuran, ia tak ingin melakukan panggilan video, mungkin ingin menyembunyikan air matanya. Namun, suaranya yang bergetar tak bisa berbohong, “jika menyatukan perbedaan itu indah, kenapa perbedaan kita terasa sangat berbeda?”

Mata mulai berkaca-kaca. Tak ada kata sedikit pun.

“Kenapa kita tidak kabur saja?” ide gila itu terucap dari bibir Tiwi.

“Aku tidak bisa, Wi!”

“Kenapa? Kamu tidak cinta?”

“Bukan. Aku jelas sangat cinta padamu. Tapi, bukan begitu cara cinta bekerja. Aku tidak bisa membiarkan cintaku kepadamu membuat cinta lain menjadi hancur. Orang tuamu juga cinta kepadamu. Orang tuamu membesarkanmu dengan cinta, dengan kasih sayang dan penuh perjuangan. Aku tidak mungkin membawamu begitu saja tanpa izin dari mereka.”

“Jadi, kamu mau kita putus seperti yang mereka inginkan?”

“Jika itu bisa menghentikan air matamu. Daripada terus seperti ini, daripada kamu harus menangis karena hubungan kita. Mengapa tidak?”

“Kamu ingin menyerah?”

Aku diam.

“Kamu pikir aku akan bahagia dengan kita putus?” tangis Tiwi semakin menjadi,  “tidak. Aku kenal siapa kamu dan sebaliknya. Aku akan tetap bersamamu. Kalau aku tidak bisa hidup denganmu, mending aku mati saja.”

“Jangan bicara begitu!”

Tok tok tok

Terdengar pintu kamar Tiwi diketuk. Sesaat kemudian panggilan itu berakhir, aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di kamar Tiwi.

Malam itu mataku seakan sungkan terpejam. Terbayang kenangan demi kenangan yang telah kami lalui bersama. Sungguh malang nasib dua insan yang mencoba membangun cinta dan kasih, terpisah hanya karena beda. Beda yang dibuat sendiri oleh para manusia. Beda yang sangat terasa berbeda.

Kuhaturkan sujudku pada gelaran sajadah di sudut ruangan yang sunyi. Belinangan air mata ini membasahi sajadah itu. Tak kuasa membendung semuanya. Kucurahkan keluhku kepada-Nya dalam doa.

“Mengapa hamba harus menerima semua ini? Apa yang harus hamba lakukan? Mengapa cinta dan kasih yang konon indah begitu pelik hamba rasakan?” pertanyaan demi pertanyaan kutantunkan.

“Satukan kami di keabadian kelak!” kututup doaku. Kuusap kedua telapak tanganku ke wajah, bercucuran lagi air mataku. Isak tangis yang tak bisa kubendung bagaimana pun usahaku.

Minggu, 28 Maret 2021

Mataku kembali terbuka. Padahal baru saja berhasil tertutup sejam yang lalu. Ponselku kembali berdering. Mencoba mengatur fokus kornea mataku. Membaca siapa gerangan yang meneleponku? Kembali terpampang nama sang pujaan hati dengan emotikon hati.

“Halo?”

“Jemput aku sekarang!” seru Tiwi tegas.

“Jemput? Di mana?”

“Di Katedral. Cepat sebelum orang tuaku lihat!”

“Kita mau ke mana?”

“CEPAT!”

Panggilan berakhir.

Aku bergegas menuju alamat yang disebutkan. Sebuah gereja Katedral di jalan Kajaolalido Kota Makassar. Jaraknya lumayan jauh dari tempat indekosku. Apalagi dengan sepeda motor butut ini. Beberapa saat sebelum sampai, posnselku berdering lagi. Kuangkat, kuselipkan pada helm, di telinga kananku.

“Kamu di mana?”

“Sedikit lagi sampai!”

“LAMA!”

“Iya, iya, sabar.”

“Cepat!”

Ponsel tidak dimatikan. Beberapa saat terdengar lagi ketus Tiwi di ujung telepon.

Cuek banget sih!”

Cuek? Siapa? Aku?” tanyaku dengan heran.

“Bukan. Ini ada orang, suami-istri di depan depan pintu gerbang masuk gereja naik motor, boncengan.”

“Spesifik sekali,” kataku sedikit tertawa.

“Iya, dikasih senyum bukannya balas, malah pasang muka tidak enak!” Tiwi lanjut bercerita, “yang perempuan pakai cadar sih, tapi kelihatan dari matanya kalau dia tidak balas senyumku. Begitu juga si suami, sama-sama tidak ramah.”

“Pakai cadar?”

“Iya!” Tiwi masih ketus, “kamu di mana? Cepat!”

“Iya, aku sudah di depan, itu aku lihat kamu berdiri.”

Kami saling tatap. Kulajukan sepeda motorku menuju tempat Tiwi menunggu, tepat di pintu gerbang. Aku melintas di depan sepasang suami-istri yang tadi Tiwi ceritakan. Dia terlihat sangat cantik dengan kemeja putihnya yang dibalut jas hitam. Makeup yang sesuai, tidak terlalu berlebihan.

“Maaf, ya lama.”

Tiwi segera mengenakan helm yang kuberikan. Duduk di jok belakang.

“Siap?”

“Siap!”

Bersamaan dengan pedal gas yang kurarik. Terdengar lantang seorang pria dan wanita berteriak. Berseru, mengagungkan nama Tuhan.

“Allahu Akbar!”

BOOOOMMM…

Ledakan keras terdengar. Suasana menjadi kacau. Alarm mobil-mobil yang terparkir terdengar bersahutan. Aku tak lagi berada di atas motor. Terlempar hinggar ke seberang jalan. Tubuhku tak bisa bergerak. Samar kulihat tubuh Tiwi tergeletak di ujung aspal, berlumuran darah. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi.

Ledakan bom terjadi di Gereja Katedral, jalan Kajaolalido Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) pada, Minggu 28 Maret 2021.

Bom Bunuh Diri di Katedral Makassar, Polri: 2 Pelaku Gunakan Sepeda Motor Matic.

Headline berita segera menyebar. Membahas aksi teror yang terjadi hari itu. Aku selamat, tapi tidak dengan Tiwi. Dia menjadi salah satu korban tewas hari itu. Aku kehilangan belahan jiwaku, hidupku. Cintaku yang tak pernah kumiliki seutuhnya.

“Jika menyatukan perbedaan itu indah. Lantas, mengapa perbedaan kita terasa sangat berbeda?”



_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "[CERPEN ROMANSA] BEDA - Karya Ahmad M. Mabrur Umar"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo