[CERPEN] Balada Seekor Anjing dan Pelacur - karya Ahmad M. Mabrur Umar
Balada Seekor Anjing dan Pelacur
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
Malam telah datang menyelimuti langit. Gemintang berkerlip sebujur
gelap, beradu terang dengan gemerlap kota. Rembulan pun tampak tersenyum riang
kala itu. Lautan manusia masih terhampar sepanjang mata memandang. Pasar malam,
begitu mereka menyebutnya. Tempat banyak orang menghibur diri. Rumah hantu,
gulali, komedi putar hingga boneka aneka rupa. Di sudut lain pasangan muda-mudi
memadu kasih, bak kata pujangga, dunia milik berdua.
Aku pun senang dengan
pasar malam. Ini adalah surga makanan bagiku. Walau hanya sisa-sisa yang
kudapat, bagiku cukup untuk sekadar menghilangkan rasa lapar. Kehidupan liar
membuatku sering kali mengais makan di tumpukan sampah, atau di mana saja, itu
lebih dari sekadar cukup, anugerah bagiku. Terkadang aku pun iri dengan kaumku
yang lain, iri kepada mereka yang hidup dengan layak. Namun, beberapa cerita
tentang penyiksaan dan rantai di leher membuatku merasa lebih nyaman hidup
seperti ini. Malam itu terbukti, kulihat si bulu putih cantik yang memberiku
tatapan sendu, perasaan ingin bebas dari belenggu di panggal lehernya.
Aku hanyalah seekor anjing
liar. Perangai buruk melekat erat dengan pribadiku. Belum lagi label haram yang
disematkan oleh beberapa kaum manusia membuatku semakin terabaikan. Mencuri
adalah keahlian wajib jika aku ingin sekadar memakan makanan lezat seperti ikan
segar. Ya, ikan segar seperti yang
banyak terpajang di pasar malam kali ini.
“Dasar anjing sialan!”
umpatan itu kudapat setelah seekor ikan berhasil tercapit mulus di antara
rahangku. Mengandalkan empat kakiku, aku berlari berusaha menghindari kejaran
sang pemilik ikan.
Beberapa orang yang lain
ikut mengejarku. Lemparan batu dan beberapa benda melayang ke arahku. Prak, sebuah
sandal jepit mendarat mulus di wajahku, seketika itu santap malamku pun
terlepas. Berusaha menghindari kejaran dengan kepala masih sedikit pusing, aku
terus berlari menuju pintu keluar pasar malam. Sejurus kemudian sebuah batu
berukuran cukup besar tepat mengenai kaki belakangku. Aku tersungkur. Kakiku
terasa amat sakit. Masih berusaha kabur, aku pun bangkit.
Masih berlari menuju pintu
dengan kaki terpincang-pincang. Beberapa masih mengejarku hingga menuju pintu
keluar. Mereka terlihat amat kesal. Seperti menganggapku layak untuk dibunuh.
Sesaat langkahku terhenti tepat di pintu keluar. Seorang wanita ‘manusia’
berdiri tepat di hadapanku. Matilah aku, pikirku. Mungkin wanita
berpakaian seksi ini akan membunuhku malam itu. Dia menatapku, begitu pun aku.
Sejenak kemudian, ia melangkahkan kakinya ke samping, isyarat memberiku jalan.
Aku melanjutkan berlari menjauhi pintu pasar malam.
Beberapa langkah kemudian
aku menengok ke belakang. Kini kulihat wanita itu tengah bergandeng tangan dan
melangkah masuk pasar malam bersama seorang pria yang terlihat lebih dewasa
darinya. Tepatnya, lebih berumur dari wanita itu. Mungkin kekasihnya, entahlah.
Aku kembali memalingkan wajah. Dan seketika itu sebuah balok besar menghujam
tepat di kepalaku. Aku terkapar, samar kulihat seorang pria bertubuh besar
menggenggam balok itu. Perlahan pandanganku mulai pudar. Malam terlihat semakin
gelap.
…
Aku membuka mata. Aku
masih di bumi. Lautan manusia di pasar malam tak ada lagi. Sudah sangat larut.
Jalanan di sampingku pun terlihat lengang. Kepalaku masih terasa sakit. Aku
berusaha bangkit, namun tenagaku tak sanggup lagi menopang tubuhku. Suara
lirihku pun pudar di antara heningnya malam.
Aku tak berdaya. Terkapar
di tepi jalan yang sepi. Lapar, haus dan rasa sakit bercampur kurasakan. Aku
hanya berharap malam itu langit akan menurunkan hujan, agar aku dapat melepas dahagaku.
Namun, langit gemintang mengisyaratkan cuaca malam itu baik-baik saja, tak akan
ada hujan. Tubuhku semakin lemas. Aku pasrah malam itu.
Samar kudengar langkah
kaki mendekat. Suara sepatu berhak tinggi beradu dengan aspal jalan terdengar semakin
jelas. Anugerah pendengaran yang diberikan kepadaku membuat aku dapat mengenali
beragam bunyi.
“Ya Tuhan, kasihan sekali
kamu!” seorang wanita menatapku yang terkapar, itu adalah wanita yang tadi
memberiku jalan.
Melihat lidahku yang
terjulur lemas. Ia mengerti aku tengah kehausan. Dengan sigap ia membuka
tasnya. Meraba-raba isinya. Lalu berkata, “yah, maaf aku tak punya air. Sudah
habis kuminum tadi.”
Dia terlihat tergesa-gesa.
Menoleh ke arah kanan dan kiri. Lalu pandangannya tertuju pada genangan air di
sebuah selokan tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan sigap ia menuju selokan
itu. Mencari wadah yang bisa menampung air. Tak ia temukan. Kemudian ia menatap
sepatu di kakinya. Tanpa pikir panjang, dilepasnya kedua sepatu itu. Dua sepatu
berisi air pun dia antarkan ke arahku.
Aiiingg… Aiiingg...
Aku meringkih dan berusaha
untuk bangkit dengan sempoyongan, dan kaki yang gemetar hebat. Wanita itu tanpa
ragu menyentuh tubuhku dan membantuku untuk bangkit. Aku lekas
menjulur-julurkan lidahku. Seperti menemukan air di tengah gurun. Dahagaku pun lenyap
seketika. Tangan wanita itu masih menopangku, dengan sabar menungguku
menghabiskan air yang ia bawa.
“Habiskanlah,” suara
lembutnya mempersilakan dengan senyum yang teramat manis. Malaikat itu ada.
Aroma tubuhnya tak begitu
baik, entah apa yang baru saja ia konsumsi. Satu lagi anugerah yang diberikan
padaku, penciuman yang tajam.
Guuuggg…
Terima kasih, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
“Kau juga lapar?” ia
meraih sebungkus roti di tasnya. Membuka bungkusnya dan membiarkanku yang
sedari tadi kelaparan, melahapnya dengan rakus.
Guuuggg…
Terima kasih, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
Ia tersenyum. Ia meraih
kedua sepatunya. Hendak memasangnya, namun basah. Alhasil sepatu itu pun hanya
ia jinjing.
“Sampai nanti!” ucapnya
sambil mengusap kepalaku.
Guuuggg…
Aku ingin ikut denganmu, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
Ia pun berjalan. Aku
mengikutinya dari belakang dengan kaki yang pincang. Beberapa langkah kemudian,
ia sadar aku mengikutinya.
“Jangan ikut. Tempatku
kecil, tidak cocok jika kau menjadi peliharaanku!”
Guuuggg…
Aku bisa tidur di mana
saja, kataku,
walau yang ia dengar berbeda.
“Pergilah!” ia melambaikan
tangannya, tanda mengusirku.
Aku terdiam.
Wanita itu kembali
berjalan menjauh. Aku tak melangkah lagi. Terdiam melihatnya semakin menjauh.
…
Wanita itu membuka pintu
kamarnya di lantai dua sebuah rusun. Ia terlihat cantik hari itu dengan kemeja
putih dan roknya yang berwarna hitam. Tumpukan buku di dekapnya. Sangat cantik
dan rapi. Berbeda dengan penampilannya malam tadi. Sepasang sepatu tak berhak
terpasang di kedua kakinya. Menutup dan mengunci pintunya sebelum pergi ke
suatu tempat.
Guuuggg…
Selamat pagi, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
Ia terkejut, membalikkan
badan dan melihatku menyambutnya di depan pintu.
“Ya ampun, kau
mengikutiku?”
Guuuggg…
Iya, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
“Kaki terluka!” ia
menyadari kakiku yang sakit, “mari kuobati.”
Ia membuka kembali pintu
kamarnya. Menyuruhku masuk dan dengan sigap mengambil kotak obat di atas
lemari. Dengan cekatan ia meneteskan cairan dan membalutkan perban di kakiku
yang terluka. Terasa perih namun ia
berusaha menenangkanku dengan suara lembutnya.
Aiiinggg… Aiiinggg…
Aduh. Sakit, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
“Tenang, ya. Agar cepat
sembuh.”
Beberapa saat kemudian ia
selesai membalutkan perban.
“Namaku Sumbi,” ia
memperkenalkan diri.
Guuuggg…
Nama yang bagus, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
“Karena kau adalah anjing
kuat dan hebat, bagaimana kalau kau kupanggil ‘Jago’?”
Guuuggg…
Aku suka nama itu, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
“Baiklah, Jago, aku harus
pergi.”
…
Seharian aku di dalam
kamar ini. Membuatku akhirnya merasakan betapa membosankannya menjadi anjing
rumahan. Inikah kehidupan yang banyak diidamkan anjing jalanan sepertiku? Tak
bisa berburu ikan segar di pasar atau mengais tulang di tumpukan sampah yang
menggunung di depan sebuah restoran daging ayam ‘pak tua’.
Walau makanan telah
disediakan oleh Sumbi –dua potong roti di sebuah piring. Namun, aku merasa ini
bukan kehidupanku. Ini terlalu membosankan. Astaga, sejenak aku teringat,
apakah nanti Sumbi akan merantai leherku seperti anjing lain?
Saat sore menjelang.
Cahaya senja perlahan terlihat dari sela-sela jendela kata yang setengah
terbuka. Sumbi terlihat membuka pintu. Aku terkesiap dari atas sebuah sofa. Dia
tidak terlihat membawa rantai. Aku aman.
Guuuggg…
Selamat datang, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
“Hei, Jago. Bagaimana
lukamu?”
Guuuggg…
Mendingan, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
“Rotimu habis? Kau lapar?”
ia melihat piring roti itu telah kosong. Kemudian, ia mengambil sebuah roti
dari tasnya. Membuka bungkusnya dan memberikannya kepadaku.
Guuuggg…
Terima kasih, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
…
Menjelang malam Sumbi
terlihat tengah berdandan di kamarnya. Ia kembali menggunakan pakaian yang
terlihat seperti kekurangan bahan. Merias wajahnya. Membuat rona palsu di
pipinya, memerahkan bibir mungilnya. Penampilannya berbeda lagi dengan yang
tadi pagi.
Ia terlihat terburu-buru.
Meraih tasnya. Mengunci pintu. Bahkan ia tak sadar aku mengikutinya dari
belakang. Ia terus berjalan menuju sebuah bangunan megah yang tak jauh dari
rusun. Seorang pria yang terlihat menyambutnya. Pria yang terlihat lebih tua darinya
dengan perut buncit berbalut kemeja berdasi dan jas hitam.
“Maaf, pak. Tidak boleh
membawa hewan peliharaan ke dalam hotel!” seorang pria berbadan kekar dengan
kumis lebat menghentikan langkah mereka.
Sumbi dan pria itu menoleh
ke belakang. Mereka melihatku di sana. Dengan sigap Sumbi mengenaliku.
“Jago, kenapa kau
mengikutiku?”
“Itu anjingmu?” si pria
berdasi bertanya dengan wajah suram.
“Iya,” Sumbi menjawab
dengan tersenyum tipis.
Sumbi pun kembali
menatapku.
“Pulang sana. Nanti,
kubawakan kau roti yang banyak!”
Guuuggg…
Baiklah, kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
Pulang? Ke tempat sempit
itu? Nanti sajalah. Aku ingin menikmati hidupku sejenak. Restoran ayam ‘pak
tua’ adalah tujuanku. Tumpukan sampah itu terlihat masih baru. Pasti ada tulang
yang baru saja dibuang. Aku mengobrak-abrik tumpukan sampah itu. Benar saja,
sekantung tulang terlihat di sana.
…
Perutku terasa merdeka
malam itu. Langkahku pun berlarian riang menyusuri gang yang sunyi menuju rusun
Sumbi. Di sudut gang terlihat beberapa pria sedang mabuk. Berceloteh tak jelas.
Beberapa botol miras di sana. Di tangan mereka, dan yang kosong tergeletak di
tanah. Aku menghentikan langkahku.
Sumbi terlihat melintas di
sana. Berjalan tergesa-gesa melewati para pemabuk itu. Seseorang menghalangi jalannya.
Menggodanya dengan suara yang terdengar teler. Sumbi berusaha menghindar.
“Kenapa buru-buru, neng?”
seorang di antara mereka menggoda, “temanilah kami dulu di sini.”
Sumbi terus berusaha
menghindar. Teman pemabuk yang lain menghalang jalannya.
“Jangan sok jual
mahal. Kami tahu kau baru saja tidur dengan pejabat itu di hotel kan?”
Sumbi terdiam. Tiba-tiba
seseorang mendekapnya dari belakang, “dasar jalang!”
“Tooo…” belum berhasil ia
berteriak mulutnya dibekap.
Akuyang merasa Sumbi dalam
bahaya, berusaha menolongnya.
Guuuuggg… Guuuggg…
Lepaskan! Lepaskan! kataku, walau yang mereka
dengar berbeda.
Sumbi menyadari
kehadiranku. Matanya membelalak. Mulutnya tak sanggup berteriak. Namun, dari
matanya ia seperti menyuruhku untuk pergi.
Guuuggg… Guuuggg…
Lepaskan! Lepaskan! kataku, walau yang mereka
dengar berbeda.
Aku berusaha menolong.
Kugigit kaki pria yang mendekap Sumbi. Tenanga pria itu sangat kuat.
Hembasannya membuatku terlempar ke tembok. Dengan sigap aku kembali bangkit dan
menggigit tangan salah seorang di antara mereka.
“Anjing sialan!” seseorang
mengumpat sambil mengayunkan botol bekas miras ke arah wajahku. Botol itu pecah
berhamburan. Gigitanku terlepas dari tangan si pria. Aku terkapar dengan
pelipis yang mengeluarkan darah.
“Jago!” samar kudengar Sumbi
memanggilku. Ia menggigit tangan pria yang mendekapnya.
“Dasar wanita jalang!”
Setelah itu aku tak tahu
apa yang terjadi.
…
“To-long,” suara parau
Sumbi yang kian lirih. Tak ada yang mendengar suaranya itu. Hanya aku yang
mulai tersadar kembali.
Guuuggg… Guuuggg…
Kau tidak apa-apa? kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
“Ja-go, k-kau masih
hidup?” ia tergagap. Tubuhnya terkulai lemah. Sela-sela kakinya berlumuran
darah. Bajunya terlihat compang-camping.
Guuuggg… Guuuggg…
Bertahanlah, Sumbi! kataku, walau yang ia
dengar berbeda.
“Kau lapar, Jago? Aku
membawakanmu roti di tasku!” katanya dengan suara yang semakin habis.
Guuuggg… Guuuggg… Guuuggg…
Tak usah memikirkanku. Aku
sudah makan tadi, kataku, walau yang ia dengar berbeda.
Aku mengendus-endus
tubuhnya. Bau darah, alkohol dan parfum bercampur di sana. Ia semakin tak
berdaya.
Guuuggg… Guuuggg…
Bertahanlah! Aku akan
mencarikan pertolongan untukmu! kataku, walau yang ia dengar berbeda.
“Pergilah, Jago.
Berusahalah bertahan hidup di kota ini!”
…
Aku berlari menyusuri
jalan. Menghampiri siapa pun yang kutemui. Berusaha meminta tolong.
Guuuggg… Guuuggg…
Tolong! Ada yang terluka.
Tolonglah! kataku, walau yang mereka dengar berbeda.
“Pergi sana! Jangan
berisik di sini!” seorang wanita tua justru melempariku.
Aku berlari lagi dengan
terpincang-pincang. Seorang pria berkumis tebal yang tadi berada di depan gedung besar terlihat. Aku berusaha meminta pertolongannya.
Guuuggg… Guuuggg…
Tolong! Ada yang terluka.
Tolonglah! kataku, walau yang ia dengar berbeda.
“Pergi, anjing nakal!”
serupa dengan wanita tua tadi, si penjaga melempariku juga.
…
Guuuggg… Guuuggg…
Tolong! Ada yang terluka.
Tolonglah! kataku, walau yang mereka dengar berbeda.
Ke sana-kemari aku mencari
pertolongan. Tak ada satu pun yang peduli. Aku hanya dianggap anjing liar yang
pincang dan berisik di tengah malam. Aku memutuskan kembali dengan membawa
sebotol air yang kucuri dari toko kecil di pinggir jalan. Mungkin saja Sumbi
haus, pikirku.
Tibalah aku di sudut gang,
tempat Sumbi terkapar. Kuletakkan botol berisi minum itu di samping tubuhnya.
Ia tak bergerak sama sekali.
Guuuggg… Guuuggg…
Sadarlah! Aku membawakanmu
air minum! Kataku walau dia tak mendengarku.
Guuuggg… Guuuggg…
Bangunlah! Kataku walau dia tak
mendengarku.
Sumbi tak mejawab.
Guuuggg… Guuuggg…
Bangunlah! Kataku walau dia tak
mendengarku.
Masih tak ada jawaban.
Pagi harinya kerumunan
orang menggotong tubuh Sumbiku yang malang. Mereka membawanya entah ke mana.
***
Sejak saat itu aku tak
lagi melihat Sumbi. Kamarnya kosong. Sumbi yang selalu menatapku dengan senyum
itu telah pergi dari hidupku. Tak ada lagi roti. Tak ada lagi Sumbi yang baik
hati, menolong seekor anjing liar yang nyaris mati ini. Aku pun kembali pada
kehidupan jalanan yang liar dan kejam. Kali ini tanpa malaikat secantik Sumbi.
Jalang, Pelacur, Murahan,
Lonte atau apa pun itu sebutannya. Bagiku, Sumbi adalah malaikat penyelamatku.
Aku jatuh cinta padanya. Bukan kepada dia yang maha sempurna. Namun, kepadanya
yang paling banyak berlumur dosa.
Bak dalil yang tak sahih.
Di saat semua orang mengejarku hendak membunuh, dia justru memberiku jalan
untuk berlari. Saat kupikir hidupku akan berakhir, dia datang memberiku nyawa
dan tanpa rasa jijik sedikit pun menopang tubuhku. Saat yang lain memberiku
label haram, dia dengan kasih sayangnya membasuh lukaku.
Terima kasih, Sumbi.
05 Desember 2021
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[CERPEN] Balada Seekor Anjing dan Pelacur - karya Ahmad M. Mabrur Umar"
Post a Comment