Yang Melindungi Ingatanmu
Friday, June 2, 2017
Add Comment
Yang Melindungi Ingatanmu
Di
sudut ruangan ini
aku coba mengingat-ngingat apa yang telah terjadi. Dari waktu ke waktu yang
membuatku merasa sedikit bermakna. Sulit rasa menggambarkan hidup dalam sajak.
Untuk apa kisah ini kukenang ? Untuk apa kenangan ini kuingat ? Masih pedulikah
sang pemilik kisah padaku ? Bila tidak, mengapa “iya” ? Bila iya, mengapa
“tidak” ? Dia pula yang menyeruku mengukir tulis ini. Dialah yang hidup dalam
setiap maknaku.
Jumpa
pertama dari takdir
yang tak sengaja. Indahnya peduli yang ia beri dari secarik tisu, seputih itu
kiraku kala itu. Dia mengerti arti peduli, dia paham cara peduli itu pula.
Jatuh cintakah aku kala itu ? Kurasa tidak, mungkin belum, aku masih setia kala
itu. Belum paham pula seluk beluk hidupnya.
Waktu
menuntunku
berkawankan para sahabat di masa yang makin menerobos maju. Dia, satu dari
sekian banyak nyawa yang berjalan sejajar denganku. Dia, satu nama yang
membuatku bisa mengenang rindu di hari-hariku, nama yang serupa dengan hal
indah lainnya. Berkawankan insan-insan luar biasa dalam satu laskar yang pandai
berlogika.
Malam makin larut di sudut kota Palopo.
Suara merdu para jagkrik menegaskan kelarutan malam itu. Namun, tak semua
memejamkan mata malam itu, masih sibuk dengan tugas menjadi alasan. Dering
tiba-tiba memanggilku di sela-sela suara jangkrik. Siapa dia yang menggangguku
menyusun angka malam itu ?
“Hallo
?”
Suara
lembutnya mempertegas bahwa
ia seorang wanita. Dia yang kuukir kisahnya, untuk pertama kali bercakap-cakap
lama denganku. Tugas jadi alasan pembahasan kami malam itu. Dialegnya pun
menegaskan dia bukan asli penghuni pulau yang berbentuk huruf ‘K’ ini. Dari sana
persahabatan kami mulai terukir.
Hari yang tetap kuingat, 26 November
2016, aku, dia dan tiga sahabat lain mengukir indah dunia persahabatan dalam
carik kertas. Langit jingga senja itu seakan jadi saksi kami coretan celoteh
kami. Indahnya besahabat kami buktikan. Benarkah sahabat sejati itu ada ? Kalau
ada, seperti apa ?
Kami
bukanlah bukti
atas adanya sahabat sejati. Namun, kami buktikan bahwa memang benar, dalam
persahabatan tak hanya ada satu rasa tentang sekadar persahabatan saja. Ada
rasa lain yang ikut mencampuri indahnya rajutan persahabatan kami. Rasa-rasa
itulah yang membuat persahabatan makin terasa. Aku memiliki rasa padanya bukan
sekadar sebagai teman atau sahabat. Aku tahu dia pun rasakan hal yang sama, itu
pikirku. Salahkah merasa seperti itu saat aku telah dengan yang lain ? Salahku
yang tak sanggup lagi setia kala itu. Dia pun tahu rasaku, dia pun tahu aku ada
yang punya.
Pikirku
mungkin saja salah,
dia tak punya rasa yang kupunya. Aku hanya terlalu berharap di khayalku hingga
lupa aku bukan hidup di khayal. Yang kulihat dia memilih sahabatku sendiri.
Khayalku berkata “Itu hanya kepura-puraan karena ia tak ingin merusak jalinanku
dengan sang kekasih,” lagi-lagi pikir yang kuasaiku. Mungkin aku bodoh itu
benar, meski milik orang, aku tetap mengharapnya.
Tak
harus memiliki, itulah kisahku
kala itu. Dia mungkin berhasil memiliknya kala itu, namun ia tak berhasil
membunuh rasaku. Karena besar sang rasa membuatku putuskan tinggalkan kekasih
kala itu. Berkeras-keras sang pikir menerima logika yang kubuat-buat. Mungkin
salah tinggalkan kekasih, itu logikaku. Aku kembali padanya, sang kekasih.
Hari-hari
dalam sepekan silih berganti bertukar
giliran. Tegas sekali mereka membawaku menyaksikan pedih ke masa depan. Di
hari-hari mereka makin mengeratkan genggaman. Aku sedih, mungkin iya, aku
marah, mungkin juga, aku mendendam, terkadang ada. Dia yang buatku tinggalkan
prinsip ‘tak percaya siapa pun’, namun ia juga yang mengembalikan prinsip itu pada pikirku.
Sekali lagi, aku yang terlalu bodoh dengan berharap.
Meski
milik orang, entah
mengapa aku yang lebih dekat dengannya. Suara-suara merdunya masih menemaniku
di tiap-tiap hening setiap malam. Aku bahagia, namun tak bahagia. Merdunya
justru yang buatku makin terpuruk. Harus kuakhiri kebodohan ini, ‘kami sahabat’
pikirku coba mempertegas, namun tak bisa. Aku pengagum sang pengagum.
Sang bual tunjukkan taringnya. Ia
tinggalkan sang dambaan yang jadi rebutan dengan alasan jenuh. Tahukah kau
rasaku kala itu, kawan ? Ingin kubunuh sang bual di hadapan sang dambaan dan
mendekapnya agar hilang laranya di hati. Apa daya, atas nama persahabatan emosi
kuredam. Inikah takdir yang orang sebut cinta ? Mengapa tak seperti dongeng
yang indah di akhir cerita
?
Peluangkah
ini bagiku ?
Sudah kulakukan semua untukmu yang kisahnya kuukir. Tinggalkan kekasih adalah
satu dari ribuan hal yang kulakukan, bodohkah aku ? Namun, bila tak begini,
haruskah terus kubohongi kekasih tentang rasa yang ‘lah tiada lagi. Bagiku
inilah yang terbaik saat ini. Mengertikah dia yang kuukir kisahnya tentang apa
yang kulakukan ? Mungkin tidak, sebab mungkin dia telah berpikir aku pun sama
dengan sang
bual.
Pernah
kuberpikir, mungkin tak
akan pernah ada kesempatanku di hatinya. Aku sadar aku siapa. Hanya mimpi
bagiku jadi sempurna di matanya; hanya khayal bagiku bisa milikinya. Apa pun
kulakukan mungkin tak ‘kan ia pandang sebagai serius di matanya, bahkan sekedar
sebelah mata pun mungkin tak akan pernah. Berkorban mati sekali pun tak ‘kan ia
percaya bila hanya berucap. Terkadang aku berpikir, mungkin hanya bila tak lagi
aku ada, barulah ia percaya akan tulusku. Apa lagi bukti yang bisa ia
percaya ? Dengan apa dia harus mengerti ?
Kisah
ini kuukir lagi
atas inginnya yang memintaku untuk menulis. Dia tahu aku masih memiliki rasa
yang sama, dia hanya berkata ‘akan indah pada waktu’. Dia nyaris sempurna,
bahkan sempurna di mataku sebagai hal terindah. Lembut tuturnya, lincah
gayanya, dan paras nan indahnya buatku bukan sekedar jatuh cinta padanya, juga
jatuh hati dan lebih dari sekedar itu. Aku pun tak paham, tak bisa kujelaskan.
Kisah
yang kuukir agar ingatnya tentangku tetap terlindungi hingga nanti, bahkan bila
nanti tak ada takdir indahku bersamanya.
Bila itu terjadi aku ingin ia mengenangku sebagai teman baiknya. Dan bila itu
terjadi, kuingin dia tahu telah kupatri dialah yang terakhir. Maka bila bukan
dia, siapa pun dia yang berdiri di sampingku mungkin tak besar rasaku padanya,
tak ‘kan sebesar rasaku pada yang kuukir kisahnya. Ini mungkin tajuk tak bermakna
baginya, namun mendalam arti bagiku.
...
(MENUNGGU BALASAN)
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "Yang Melindungi Ingatanmu"
Post a Comment