Yang Melindungi Ingatanmu

Yang Melindungi Ingatanmu

Di sudut ruangan ini aku coba mengingat-ngingat apa yang telah terjadi. Dari waktu ke waktu yang membuatku merasa sedikit bermakna. Sulit rasa menggambarkan hidup dalam sajak. Untuk apa kisah ini kukenang ? Untuk apa kenangan ini kuingat ? Masih pedulikah sang pemilik kisah padaku ? Bila tidak, mengapa “iya” ? Bila iya, mengapa “tidak” ? Dia pula yang menyeruku mengukir tulis ini. Dialah yang hidup dalam setiap maknaku.
Jumpa pertama dari takdir yang tak sengaja. Indahnya peduli yang ia beri dari secarik tisu, seputih itu kiraku kala itu. Dia mengerti arti peduli, dia paham cara peduli itu pula. Jatuh cintakah aku kala itu ? Kurasa tidak, mungkin belum, aku masih setia kala itu. Belum paham pula seluk beluk hidupnya.
Waktu menuntunku berkawankan para sahabat di masa yang makin menerobos maju. Dia, satu dari sekian banyak nyawa yang berjalan sejajar denganku. Dia, satu nama yang membuatku bisa mengenang rindu di hari-hariku, nama yang serupa dengan hal indah lainnya. Berkawankan insan-insan luar biasa dalam satu laskar yang pandai berlogika.
Malam makin larut di sudut kota Palopo. Suara merdu para jagkrik menegaskan kelarutan malam itu. Namun, tak semua memejamkan mata malam itu, masih sibuk dengan tugas menjadi alasan. Dering tiba-tiba memanggilku di sela-sela suara jangkrik. Siapa dia yang menggangguku menyusun angka malam itu ?
“Hallo ?”
Suara lembutnya mempertegas bahwa ia seorang wanita. Dia yang kuukir kisahnya, untuk pertama kali bercakap-cakap lama denganku. Tugas jadi alasan pembahasan kami malam itu. Dialegnya pun menegaskan dia bukan asli penghuni pulau yang berbentuk huruf ‘K’ ini. Dari sana persahabatan kami mulai terukir.
Hari yang tetap kuingat, 26 November 2016, aku, dia dan tiga sahabat lain mengukir indah dunia persahabatan dalam carik kertas. Langit jingga senja itu seakan jadi saksi kami coretan celoteh kami. Indahnya besahabat kami buktikan. Benarkah sahabat sejati itu ada ? Kalau ada, seperti apa ?
Kami bukanlah bukti atas adanya sahabat sejati. Namun, kami buktikan bahwa memang benar, dalam persahabatan tak hanya ada satu rasa tentang sekadar persahabatan saja. Ada rasa lain yang ikut mencampuri indahnya rajutan persahabatan kami. Rasa-rasa itulah yang membuat persahabatan makin terasa. Aku memiliki rasa padanya bukan sekadar sebagai teman atau sahabat. Aku tahu dia pun rasakan hal yang sama, itu pikirku. Salahkah merasa seperti itu saat aku telah dengan yang lain ? Salahku yang tak sanggup lagi setia kala itu. Dia pun tahu rasaku, dia pun tahu aku ada yang punya.
Pikirku mungkin saja salah, dia tak punya rasa yang kupunya. Aku hanya terlalu berharap di khayalku hingga lupa aku bukan hidup di khayal. Yang kulihat dia memilih sahabatku sendiri. Khayalku berkata “Itu hanya kepura-puraan karena ia tak ingin merusak jalinanku dengan sang kekasih,” lagi-lagi pikir yang kuasaiku. Mungkin aku bodoh itu benar, meski milik orang, aku tetap mengharapnya.
Tak harus memiliki, itulah kisahku kala itu. Dia mungkin berhasil memiliknya kala itu, namun ia tak berhasil membunuh rasaku. Karena besar sang rasa membuatku putuskan tinggalkan kekasih kala itu. Berkeras-keras sang pikir menerima logika yang kubuat-buat. Mungkin salah tinggalkan kekasih, itu logikaku. Aku kembali padanya, sang kekasih.
Hari-hari dalam sepekan silih berganti bertukar giliran. Tegas sekali mereka membawaku menyaksikan pedih ke masa depan. Di hari-hari mereka makin mengeratkan genggaman. Aku sedih, mungkin iya, aku marah, mungkin juga, aku mendendam, terkadang ada. Dia yang buatku tinggalkan prinsip ‘tak percaya siapa pun’, namun ia juga yang mengembalikan prinsip itu pada pikirku. Sekali lagi, aku yang terlalu bodoh dengan berharap.
Meski milik orang, entah mengapa aku yang lebih dekat dengannya. Suara-suara merdunya masih menemaniku di tiap-tiap hening setiap malam. Aku bahagia, namun tak bahagia. Merdunya justru yang buatku makin terpuruk. Harus kuakhiri kebodohan ini, ‘kami sahabat’ pikirku coba mempertegas, namun tak bisa. Aku pengagum sang pengagum.
Sang bual tunjukkan taringnya. Ia tinggalkan sang dambaan yang jadi rebutan dengan alasan jenuh. Tahukah kau rasaku kala itu, kawan ? Ingin kubunuh sang bual di hadapan sang dambaan dan mendekapnya agar hilang laranya di hati. Apa daya, atas nama persahabatan emosi kuredam. Inikah takdir yang orang sebut cinta ? Mengapa tak seperti dongeng yang indah di akhir cerita ?
Peluangkah ini bagiku ? Sudah kulakukan semua untukmu yang kisahnya kuukir. Tinggalkan kekasih adalah satu dari ribuan hal yang kulakukan, bodohkah aku ? Namun, bila tak begini, haruskah terus kubohongi kekasih tentang rasa yang ‘lah tiada lagi. Bagiku inilah yang terbaik saat ini. Mengertikah dia yang kuukir kisahnya tentang apa yang kulakukan ? Mungkin tidak, sebab mungkin dia telah berpikir aku pun sama dengan sang bual.
Pernah kuberpikir, mungkin tak akan pernah ada kesempatanku di hatinya. Aku sadar aku siapa. Hanya mimpi bagiku jadi sempurna di matanya; hanya khayal bagiku bisa milikinya. Apa pun kulakukan mungkin tak ‘kan ia pandang sebagai serius di matanya, bahkan sekedar sebelah mata pun mungkin tak akan pernah. Berkorban mati sekali pun tak ‘kan ia percaya bila hanya berucap. Terkadang aku berpikir, mungkin hanya bila tak lagi aku ada, barulah ia percaya akan tulusku. Apa lagi bukti yang bisa ia percaya ? Dengan apa dia harus mengerti ?
Kisah ini kuukir lagi atas inginnya yang memintaku untuk menulis. Dia tahu aku masih memiliki rasa yang sama, dia hanya berkata ‘akan indah pada waktu’. Dia nyaris sempurna, bahkan sempurna di mataku sebagai hal terindah. Lembut tuturnya, lincah gayanya, dan paras nan indahnya buatku bukan sekedar jatuh cinta padanya, juga jatuh hati dan lebih dari sekedar itu. Aku pun tak paham, tak bisa kujelaskan.
Kisah yang kuukir agar ingatnya tentangku tetap terlindungi hingga nanti, bahkan bila nanti tak ada takdir indahku bersamanya. Bila itu terjadi aku ingin ia mengenangku sebagai teman baiknya. Dan bila itu terjadi, kuingin dia tahu telah kupatri dialah yang terakhir. Maka bila bukan dia, siapa pun dia yang berdiri di sampingku mungkin tak besar rasaku padanya, tak ‘kan sebesar rasaku pada yang kuukir kisahnya. Ini mungkin tajuk tak bermakna baginya, namun mendalam arti bagiku.
...

(MENUNGGU BALASAN)

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "Yang Melindungi Ingatanmu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo