Sinopsis Laskar Tanpa Nama
Tuesday, April 25, 2017
Add Comment
Laskar Tanpa Nama
Lahir 10 Agustus 1998,
dari sebuah keluarga yang sederhana. Ayah bernama Umardin, dan ibu bernama
Asmah. Tumbuh dalam sebuah desa yang sederhana pula. Banyak yang tak tahu
tentang desa ini. Desa terpencil di ujung barat pulau tertimur Indonesia. Desa
yang mengajariku tetang banyak hal pertama yang kulakukan dalam hidup. Mulai
dari pertama kali berjalan, pertama kali berbicara, pertama kali berteman,
hingga pertama kali mengenal yang namanya cinta.
Majemau, desa dengan segala hal yang takkan
pernah kulupakan. Dermaga pantai dengan semilir anginnya. Dua pohon kelapa
tertinggi yang menjulang. Suasana mencekam makam yang terlebih dahulu menyambut.
Persimpangan dan gapura jalur satu, tempat kita bermain bola. Bukit kecil
pendali jalur satu, tempat kita bermain layang-layang. Balai desa jalur dua, tempat
berkumpul dan bermain bersama. Jernihnya air pendali jalur dua, tempat berenang
bersama kala itu. Suasana jalur tiga yang ramah. Longsoran tanah dekat sekolah
yang licin, tempat kita berselancar waktu hujan. Lapangan sekolah yang luas, tempat
melakukan hampir segala jenis olahraga. Dan yang terakhir, gedung yang menjadi
tempat kita bertegur sapa, tempat bercanda tawa, bermarah-marahan, bersuka dan
berduka pun di sana, gedung SD INPRES 132 MAJEMAU.
Dibesarkan oleh seorang
Kakek dan Nenek yang sangat mengutamakan ajaran agama, membuatku terkadang
sedikit bosan. Mereka bahkan tak paham dengan pendidikan formal. Terutama sang
Kakek yang hampir tak pernah mendukung anak cucunya menempuh pendidikan formal.
Itu juga sebabnya banyak anak mereka yang tak menamatkan SDnya.
Kisah ini berlanjut
pada kehidupan di dunia pendidikan pertamaku selama hidup, yaitu SD. Kisah yang
hanya bercerita tetang indahnya dunia persahabatan. Teman pertama dalam
hidupku, teman-teman yang membantuku mengenal indahnya dunia. Teman-teman juga
yang membantu melupakan kusamnya suasana dalam rumah.
Tiap waktu dalam setiap
harinya hanya dihabiskan memandangi wajah-wajah para sahabat. Pagi, bertemu
mereka di suasana sekolah yang hanya terdiri dari tiga ruang kelas dan satu
ruang guru yang dipadukan dengan perpustakaan serta singgasana sang kepala
sekolah. Siang, menghabiskan waktu dengan berjelajah menyusuri hutan di sekitar
desa yang penuh dengar beragam cerita di dalamnya. Malam, terkadang
kembali berkumpul dengan teman-teman
yang itu-itu lagi di masjid, guna mengejar akhirat, konon katanya.
Di sana aku punya tiga
orang sahabat yang tidak akan pernah kulupakan. Aku punya dua orang sahabat
laki-laki yang takkan pernah bisa kulupakan. Agus dan Yono namanya, mereka
adalah saudara kakak dan adik. Dan satu sahabat perempuan yang bernama Ulfah.
Persaingan sangat
terasa juga dalam perjalanan bersahabat. Bukan persaingan negatif, ini adalah
kompetisi dalam kelas kami, kelas yang hanya berisi enam orang siswa. Patnerku yang satu ini adalah orang
hebat pertama yang menjadi sainganku. Aku nyaris tak pernah berhasil
mengalahkan dalam hal prestasi. Hanya sekali dalam sejarah SDku, aku berhasil
mengalahkannya yaitu saat di bangku kelas lima, namanya Reyndi Ardian.
Di desa kami hanya ada
satu bangunan sekolah yaitu hanya SD Inpres 132 Majemau. Inilah sebabnya
setelah lulus SD kebanyakkan para pelajar harus melanjutkan pendidikannya di
kota yang harus di tempuh dengan jarak yang tak dekat. Menyeberangi lautan
dengan waktu sekitar dua jam, dan perjalanan darat dengan mobil sekitar dua jam
pula. Atau bahkan beberapa pelajar memilih untuk tidak melanjutkan
pendidikannya, ekonomi menjadi salah satu alasannya.
Faktor ini juga yang
membuatku terpisah jauh dengan para sahabat. Agus tidak melanjutkan sekolahnya
karena masalah ekonomi, sedangkan adiknya memang belum lulus. Reyndi memilih
melanjutkan sekolah ke sekolah favorit di kota bersama Ulfah, karena keluarga
mereka memang terbilang cukup mampu. Sedangkan aku sempat dilarang oleh Kakek
untuk melanjutkan sekolah dengan alasan aku harus mendalami agama di desa.
Beruntung Ayah dan Ibu berhasil memperjuangkan keberlangsungan pendidikanku.
Dari desa ke kota. Aku
didaftarkan di SMP Negeri 2 Kota Sorong, bertemu lagi dengan teman-teman baru.
Hanya satu semester aku bersama mereka, bagiku tak ada kisah yang berkesan
bersama mereka. Bahkan aku nyaris melupakan satu per satu nama mereka.
Berlanjutlah lagi
kisahku dalam petualangan bersahabat. Kini sayap burung besi mengepak
mengantarkanku menuju pulau paling tengah Indonesia. Rantebelu, Kecamatan
Larompong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan menjadi pendaratanku untuk menempuh
pendidikan. Sesuai dengan keinginan Kakekku dulu untuk melanjutkan pendidikan
berbasis agama. MTs Keppe menjadi sekolah selanjutnya.
Di sana bertemulah aku
bersama sahabat yang bahkan aku masih bisa bersahabat hingga sekarang. Salah
satu dari sahabat-sahabat terbaikku. Sahabat yang menjadi teman dalam berbagai
kegilaan-kegilaan dalam hidupku. Bertemu lagi dengan sahabat baru, setidaknya
tiga nama sahabat yang tidak akan terlupakan. Bahkan di jenjang pendidikan
selanjutnya yaitu MA. Rantebelu, saat banyak sahabat silih berganti, tiga orang
ini tetap bersahabat denganku.
Di MA. Rantu, menjadi
masa terbaik dalam hidupku. Sahabat sejati makin teruji kekokohannya dengan
banyak rasa yang ikut menghampiri indahnya persahabatan. Yang kuyakini,
rasa-rasa itulah yang membuat persahabatan makin terasa.
September 2016, menjadi
pertanda awal langkahku menuju bangku kuliah. Tentunya kisahku takkan jauh dari
yang namanya persahabatan. Universitas Cokroaminoto Palopo, mempertemukanku
dengan orang baru yang disebut sahabat. Mulai dari teman satu kelas di TI E
hingga teman lama yang akhirnya bisa berjumpa kembali dan di masa ini juga yang
aku kembali bisa berkomunikasi dengan kawan-kawan lama di desa Majemau.
Memang tak ada yang
abadi, sepertinya pun persahabatan. Mudah diucap ialah sahabat, mudah pula
dilupa ia pernah jadi sahabat. Tak semua mungki serupa, namun sebahagiannyalah
nyata adanya, bukanlah ini yang dijuluki sahabat. Apalah arti sebuah
persahabatan, layaknya apa arti sebuah nama. Terpatrilah dalam hati tentang
keyakinan, Laskar Tanpa Nama inilah yang kujuluki SAHABAT.
Aku bisa menyimpulkan,
bahwa masa SD adalah masa terindah dalam hidup ini. Masa melakukan ribuan hal
pertama, masa belajar banyak hal yang baru pertama kali dilakukan. Bila dapat
mengulang masa, masa SD-lah salah satu masa yang ingin kurangkai kembali.
Inilah kisahku, kisah
tentang pencarian sebuah arti tentang persahabatan yang sesungguhnya. Adakah
benar arti tentang sahabat, adakah juga benar sahabat itu nyata. Biar saja
waktu yang pasti menjawab, bahwa benar atau tidak hati ini tulus bersahabat.
Inilah kisahku, Ah. Muslim Mabrur Umar. Kelahiran
desa Majemau, 10 Agustus 1998, anak pertama dari dua bersaudara, Ia sempat
menjadi anak tunggal selama 11 Tahun. Badannya sedikit berisi, tingginya
sekitar 160 cm, rambutnya sedikit bergelombang berwarna hitam. Ia adalah
manusia sejuta mimpi, ia selalu bermimpi dan selalu berjuang mewujudkan
mimpi-mimpinya itu. Tidak mudah memang dalam mewujudkan mimipi-mimpi itu, ia
pun terkadang menyerah dengan mimpi-mimpi itu. Seseorang bernama Mabrur itu
adalah Aku, akan kuceritakan perjalanan hidupku dalam merangkai dan berjuang
mewujudkan mimpi. Satu hal yang sering teringat dari seseorang, seseorang itu
pernah berkata “mimpi itu tidak akan terwujud jika kita hanya bermimpi dan
tertidur, mimpi akan terwujud bila kita bangun dan mulai mewujudkan mimpi-mimpi
itu”
********
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "Sinopsis Laskar Tanpa Nama"
Post a Comment