Cerpen - SKENARIO – Hari Terakhir, Aku dan Senja
Friday, June 22, 2018
Add Comment
SKENARIO – Hari Terakhir, Aku dan Senja
Terlihat bodoh saat mengukir ini. Aku dikawani air mata mengenang bodohku,
mengenang jalan lalu penuh duri hingga terluka-luka dan terlupakan. Masih
hangat dalam ingatan, sebab baru kemarin aku alaminya.
Paras indah dambaan banyak orang. Tutur cemerlang ia lihatkan sebagai
penyempurna sempurnanya. Ditambah cerdas pikirnya siapa tak terpesona. Dambaan,
pujaan, idaman, semua tahta itu ia miliki. Salahkah hati bila mengaguminya, dia
yang menjadi sasaran kagum banyak orang. Katanya aku dibutakan oleh cinta.
Siapa pun tak tega membiarkan ia sendiri, terutama aku barisan terdepan
mendambanya. Aku hampir tak peduli sakit pedihku, ia tertawa bahagia jadi sebab
aku berbahagia pula.
Awal jumpa di hari pertama bertemu, benar menyiratkan kenangan terkesan
padanya. Peduli dari secarik tisu yang kuanggap tak kudapat dari siapa pun,
bahkan tak kusangka darinya. Masih biasa aku tak jatuh cinta, hanya sebatas
kagum. Kala itu kupatrikan setia pada yang lain, yang terdahulu memberi
senyumannya. Lugu, anggun, tutur menyejuk hati, semua tahta kuberi lagi.
Aku ingat tutur pertamanya. Ia ujarkan tanya pada yang lain tentang
pelajaran. Semua tercengang, bukan kagum, kawan, mereka merasa konyol. Ia
tanyakan sesuatu yeng telah jelas tertulis di naskah yang di bagikan. “Apa saja
enam masa penciptaan alam semesta?”. Aku meresponnya dengan sedikit menyindir,
“Bukankah telah jelas?”. Katanya menguji, ia sosok yang suka menguji.
Malam gelap melelampkan banyak nyawa di heningnya. Tutur-tutur tersembunyi
di balik dengkuran. Aku masih asyik menyusun angka berkawan satu dalam tembok
bersekat-sekat. Jangkrik-jangkrik mendongeng menyuruhku lekas terlelap sebab
larut telah menyapa. Aku tak hirau. Masih asyik membagi desimal ke binner,
merangkainya lagi merubah oktal, hingga heksa desimal menampakkan formasi
huruf-angka yang rumit.
Dering menyusup di sela-sela hening jangkrik dan dengkur sang pulas. Siapa
malam begini memanggilku dengan sambungan yang rumit dimengerti bagi awam.
Sayup menyapaku “Hallo?” dikawankan tanya dan nama yang tak kusuka “Al?”
berbincang lama dengannya yang buatku tahu ia pun tak satu suku dengan kawan
lain. Aku bertanya “Jawa?” ia bilang “Bukan!” aku sambung “Lalu apa?”.
“Mataram.” katanya.
Bulan berkawan bintang tak memilih dan membedakan bintang mana yang ingin
ia temani. Gadis desa nan ramah sayup membagi senyumnya tuk semua orang yang
siap jadi pujangga terhebat. Akulah salah seorangnya. Rasa itu tiba-tiba ada, menghampiri
lantas memporak-porandakan hati yang berusaha tuk setia. Oh, Tuhan aku berdosa.
Hari-hari berkawan dia tersenyum manis di depan pintu. Aku atau dia itu
saja selalu berganti. Lainnya datang pun dengan senyum beragam-ragam. Terpilih
terpilah mana kawan, mana akrab.
Dia tahu aku punya kekasih. Namun, tahu pula aku berkasih padanya. Pikirku
mungkin sama dia denganku. Makin tinggi khayal, makin besar pula sang harap.
Hari-hari sindir matanya mengisyaratkan rasa itu. Aku tahu dia sama. Dalam
benaknya menunggu kekasih pergi dariku.
Kawan sejalan punya pesona di sampingku. Konon kata, kami bersahabat. Aku,
kawan dan pujaan. Secarik kertas jadi bukti persahabatan kami, berkawan juga
dengan dua yang lainnya. Di penghujung senja pertama, kami mengukir janji persahabatan.
Sejenak memendam rasa ingin memiliki. Berlaku baik, semua butuhnya aku berikan.
Hari berganti. Kawan sejalan menutur kisah dalam bisik, “Aku mencintainya.”
Dia berkata seolah tak tahu rasaku. “kau telah memiliki kekasih, tolong jangan
menaruh hasrat padanya!” Bisiknya makin lirih menyeruku.
“Tapi, jika kau buat dia menangis. Aku orang pertama yang akan
menghajarmu!” Aku memberinya satu perjanjian.
*****
“Apa yang kau pilih?”
Penghujung senja kedua. Isna harus memilih aku atau Yusran. Bimbang di
matanya. Dengan sejuta kata, ia mainkan alur senja. Dibuatnya kami berharap.
Kadang terdengar indah katanya persahabatan.
“Yusran!” dia memilih.
Benarkah pilihannya?
Aku selalu berpikir pilihannya hanyalah karena tak ingin mengganggu
kisahku. Tapi, mungkin salah. Di hari-hari tatapku, mereka makin akrab nan sayu
bermanja-manja sambil mengeratkan genggaman. Pedih rasanya. Dari awal memang
hanya menganggapku teman. Aku saja yang terlalu bodoh mengharap sesuatu yang
mustahil. Aku dan mereka masih bersahabat. Kekasihku dalam kisah yang lain pun
aku tinggalkan. Aku bilang sudah tak ingin bersama.
Bodohkah aku? Yang mungkin tulus aku tinggalkan. Lalu mengharap yang lain
yang tak tentu, yang bahkan milik sahabatku sendiri. Dosakah aku? Dalam doa
kuminta Tuhan yang tidak-tidak, seakan Tuhan-lah hamba. Sungguh aku berdosa.
“Albar!” Merdu suara itu masih saja menyapaku. Merdu yang membuatku makin
lara.
“Kami putus.”
Entah apa. Mungkin aku bahagia. Sisi burukku menampak ria di hadapnya.
Bertanya mengapa, seolah ikiut berduka.
“Katanya, dia jenuh.” Hatiku tersenyum jahat mendengarnya. “maaf mungkin
dulu kau kecewa padaku. Aku berjanji tak akan buatmu kecewa lagi.” Dia bertutur
padaku.
Di naungan senja ketiga. Aku beri dia kali kedua. Besar harapku akan sama
kali ini rasanya dan rasaku. Semoga benar firasatku. Sebab kini aku pun
sendiri, kekasih lama telah kulupakan. Hanya kawan.
*****
Aku mulai mengukir kisah untuknya. Dari kata demi kata, kuuntai kalimat
indah kisahku dengannya. Di masa lalu dan harap masa mendatang. Bukan inginku
mengukir ini. Permintaannya tak sanggup kutolak. Satu tanda kuberi agar paham
ia akan rasaku. Benar saja, ia mengerti. Katanya sangat indah. Kuminta balasan
darinya.
“Mata harus kupejamkan dari kemilau dunia yang menyilaukan dan godaan nafsu
yang melenakan.Telinga sengaja kubuat tuli dari cibiran manusia yang menimpali
juga hinaan yang menjejali. Dalam sujud hati menangis, mengadukan pilu yang
mengiris merindu tetes-tetes yang gerimis. Raga kuajak berpuasa, menahan dari
berbagai asa, membuangkan nafsuku agar tidak berkuasa.” Entah dari mana
indahnya puisi ini ia dapat.
Kami masih bersahabat. Dengan indah ukir-ukir yang kami cipta untuk satu
sama lain. Aku berpuisi dia berpuisi. Sajakku merayu-rayu, sajaknya pun
malu-malu. Dua insan yang mabuk kepayang.
*****
“Benarkah kau mendambanya?” seorang kawan bertanya padaku. Aku tak
menjawab.
“Wanita seperti itu. Gaya bersoleknya tak karuan. Lebih mirip ondel-ondel.”
Di hadapku ia menghinanya. Aku bergeming. Biar orang berkata apa, bagiku dialah
sempurna.
Tertutup senja keempat. Dia masih asyik bernyanyi di ujung telponku.
Syair-syair indah bersahutan sana-sini. Tutur-tuturnya aku dambakan. Sungguh
keindahan yang terindah. Hati tak pernah henti mohonkan dia di indahnya masa
depanku.
Aku dan dia masih mengingat. Handphone
yang dia genggam itu, pemberianku kala lalu. Dia yang dulu baru saja
tertimpa malapetaka. Hunian sederhananya dimasuki maling yang berbudi. Menjarah
harta dia dan kawan kosnya. Salah satu adalah hpnya. Denagn baik aku berinya
ganti. Tak hanya aku. Budi baiknya pun selamatkan aku. Saat tugas-tugas
menumpuk, dengan baik ia beriku bantu.
Hingga datang seorang pangeran gagah berani. Menawarkan segala rupa bantu
yang penuhi ingin sang permaisuri. Hal yang tak pernah bisa rakat jelata
seperti berikan. Sekejap sang pangeran menjadi pujangga. Pandai merangkai kata,
bertutur sopan. Hingga gelimang harta ia beri.
Jelas sang permaisuri kalap. Angannya dipenuhi harap-harap indah di masa
depan. Merasa pasti jelas hidup nila bersama sang pangeran. Hingga tutur
indahnya padaku dilupakan. Siapa peduli pada orang sepertiku?
“Kekasihmu, ya?” tersulut aku bertanya.
“Bukan, dia hanya teman. Semua sama, semua hanya teman.” Dia bertutur.
Dalam ukirnya ia berkata, “cinta itu sebuah makna yang menggores langit
hati kita dan meninggalkan warna-warna yang sangat indah, paduannya rumit
tetapi semuanya nayata. Jatuh cinta itu sebuah fitrah bagi setiap manusia,
tergantung bagaimana seseorang mengaplikasikannya dalam dirinya. Sementara pacaran itu tidak dikatakan cinta
melainkan hawa nafsu yang mengatasnamakan cinta.”
“Aku tak suka kau dekat dengannya!” tanpa kendali nadaku menyeringaikan
amarah.
“Ini hidupku. Kau tak berhak mengaturnya!” dengan balas nadanya pun sama.
“kamulah yang terbaik yang pernah kukenal. Untuk apa mencari yang lain kalau
memang telah menemukan yang terbaik dan ternyaman. Percayalah!” sambung dia
yang katanya masih sahabatku itu membujukku.
Bukan apa. Aku kenal lelaki itu. Dia kawan akrabku. Adil itu namanya.
Dialah yang dulu pernah mengumandangkan hina pada pujaanku. Dia yang justru
kini ikut memujanya.
Tersiar kabar kini mereka adalah sepasang kekasih. Namun belum pernah
kudengar langsung dari ucapan mereka. Setiap kali kutanya mereka mengelak.
Mengaku hanya teman.
Benarkah?
Nalarku menelisik.
Tanpa sengaja ponsel lelaki itu terjatuh. Kupuaskan segala tanya malam itu.
Kucari sendiri jawabannya. Banyak hal malam itu yang membuktikan ocehan
kabar-kabar tak salah. Pesan-pesan singkat itu. Durasi-durasi bincang itu
mematahkan semua argumen persahabatan mereka dalam nalarku. Membuat firasatku
makin menuduhnya yang tidak-tidak. Belus sempat selesai aku menamatkan semuanya
yang punya ponsel mengambilnya.
Malam Minggu di ujung curigaku.
TRRRUUUTTT... TRRRUUUTTT...
“Hall...”
“Sudah berapa kalian pacaran?” belum sempat yang mengangkat menyelesaikan
sapanya, kupotong dengan tegas.
“Sudah dua minggu.” Lelaki itu menjawab dengan santai.
“Begitu ya?” entah apa yang kurasakan.
“Dia tidak akan kukekang, aku akan membiarkan dia berteman siapa pun.”
Mungkin dia menyindirku.
“Memang harusnya seperti itu.”
Perbincangan selesai.
TRRRUUUTTT... TRRRUUUTTT... TRRRUUUTTT... TRRRUUUTTT...
“Hallo...” kali ini kubiarkan wanita itu berkata.
“Mengapa tak pernah mengatakan padaku? Bukankah kita sahabat? Mengapa tak
pernah bercerita bahwa kalian sudah pacaran? Dan mengapa selama ini hanya
bilang bersahabat?” kuhujani dia dengan tanya-tanya itu.
“Apa yang kau maksud? Aku tak pernah berpacaran dengannya.” Yang ditanya
diam sejenak, “dia memang pernah menyatakan perasaannya tapi tak pernah
kuterima atau kutolak.”
“Kalau begitu mengapa dia berkata kalian adalah sepasang kekasih?”
Telpon tersambung kembali apa Adil. Dan dia menjawab...
“Waktu itu Isna hanya dia jadi kupikir ia menerimaku. Maaf Albar, aku tahu
bagaimana perasaanmu kini. Tapi aku tak bisa bohongi perasaanku.”
“Kalau begitu Isna, beri Adil jawaban atas pertanyaannya!” dengan berlagak
‘sok’ tegar aku beri dia waktu berkata.
“IYA!!!”
Seketika, rasanya nyawaku telah dicabut. Dengan pernahan urat-urat nadiku
ditarik dan diputuskan. Aliran darah serasa berhenti. Jantung tak terasa lagi.
Air mata. Entah mengapa aku menjadi tak tegar malam itu.
“Maaf, Albar!”
Maaf? Maaf untuk apa?
*****
Ke mana semua dalilnya yang indah itu? Katanya pacaran tak tertulis dalam
syariatnya. Sajak-sajaknya. Akan menjaga rasanya bahkan menungguku. Bahwa telah
ia temukan yang terbaik. Semua yang kuberi untuknya. Benarkah aku hanya
dimanfaatkan?
Senja kelima, aku tanpa dia. Kuukir ini dalam carik-carik yang entah untuk
siapa. Menjadi senja terpiluku. Sebab kini aku sadar, senja hanya menemaniku
saat hari telah sore. Ke mana senjaku saat malam, pagi hingga siang? Keindahan
senja yang menyilaukan, buat aku lupa esok pun masih ada senja yang lain, senja
yang tak sama dengan senja hari ini. Mungkin senja esok tak menyakitkan. Bila
bukan senja, semoga fajar dan terik adalah yang terbaik dari Tuhan.
Aku. Terkadang rindu. Namun, pilu memaksaku melupakan
senja.
Mungkin, sudah tak ada kali ketiga. Kali yang akan buatku
makin sakit.
Keindahan senja, bagiku telah tiada.
....
Sebagai Peserta Terinteraktif dalam Lomba Cipta Cerpen Nasional bertema
“Raib” bersama Jejak Publisher.
|
TERKAIT:
|
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "Cerpen - SKENARIO – Hari Terakhir, Aku dan Senja"
Post a Comment