CERPEN | Langgar Tua
Sunday, August 19, 2018
Add Comment
Langgar Tua
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
Belum
habis gelapnya malam. Suara pria paruh baya itu sudah lantang memecah
kesunyian. Membangunkan satu demi satu dengkuran yang masih lelap. Sesaat
kemudian gemercik air terdengar bersahutan membasuh raga tua itu. Menyucikannya
dari hadas kecil yang melekat. Setelahnya masih juga memanggil-manggil nama
istrinya dengan singkat.
“Iah... Iah... Wes subuh.[1]”
dia asli Pandeglang, Banten.
Pukul lima kala itu. Tak juga ada jawaban. Lantunan
adzan dikumandangkannya dengan lantang. hingga sholawat ditembangkan masih saja
ia hanya ditemani pelita sebagai sumber pecahayaan dalam pekatnya kegelapan.
Sesaat kemudian derapan langkah mulai menyusuri jembatan menuju tempat
peribadatan -yang dindingnya hampir lapuk digerogoti rayap-, dialah sang istri.
Jarak hanya lima meter dari rumah.
Semua itu terdengar jelas ditelingaku. Entah setan
apa yang merasukiku, setiap subuh tiba, rasa enggan memisahkan raga dari
ranjang mengelayutiku. Meski berkali-kali semua itu berulang tiap hari. Sejam
kemudian barulah aku mau mengambil air wudhu dan melaksanakan dua rokaat dengan
cepat.
Abah tua[2]
memang seperti itu. Bangun lebih awal di penghujung malam, boleh dikata ayam
saja kalah dengannya. Disusul oleh Nenekku yang usianya sampir sama dengan Abah
tua. Dia adalah pria yang sangat taat dengan agama. Itulah mengapa langgar tua
itu berdiri di samping rumahnya. Di sanalah ia mendidik anak-cucunya menjadi
orang yang beragama.
Pukul setengah tujuh pagi. Aku siap dengan seragam
sekolahku. Sedang Nenek telah duduk manis di kursi dapur, seperti biasa ia baru
saja menyelesaikan sajian sarapannya. Dan sang kepala rumah tangga yang tak
lain adalah Abah tua telah membuka pintu langgar -yang berbunyi khas itu- lalu
dengan merdunya melantukan ayat demi ayat dari kitab suci umat Islam.
“Kamu nggak sarapan dulu? Nenek udah siapin sarapan
buat kamu.” Wanita paruh baya itu menegurku.
“Nggak, Nek. Takut telat.” Aku menolak tawarannya.
“Ya udah. Ini buat sangu.” Tandasnya sambil
menjulurkan tangan dengan selembar rupiah pecahan seribu.
Aku mencium tangannya yang beraroma khas itu lalu
pergi menjinjing tas dan mengucap salam, “Assalamualaikum...” dan dijawabnya
dengan dialeg yang khas, “Wa’alaikum salam...”
Rumah sederhana itu hanya dihuni kami bertiga.
Anak-anak Abah tua dan Nenek hampir semuanya telah berkeluarga. Hanya anak
bungsunya saja yang masih bersekolah ditingkat SMA kala itu. Mamaku sebagai
anak tertua pun harus meninggalkan kami untuk menemani bapakku di tempat
kerjanya yang berada di dalam hutan -sebuah camp
perusahan kayu yang pemukimannya terdiri dari barak-barak-. Jaraknya tak
begitu jauh, hanya saja akses jalan yang harus melalui laut membuat mereka
hanya pulang sesekali saja. Rumah itu barulah ramai jika ada rekan kerja bapak
dan omku yang datang berkunjung. Semua keluarga pun hanya kumpul setahun sekali
saat hari raya idul fitri.
Dua bulan lalu aku dan mama baru saja kembali dari
kota. Setelah setahun setengah menempuh pendidikan di kota, kami putuskan
kembali ke desa ini. Desa transmigrasi tempat aku dilahirkan. Kembali ke rumah
lama dan sekolah lama.
Waktu pulang sekolah tepat beberapa saat sebelum adzan
dzuhur dikumandangkan. Dari kejauhan samar terdengar lantunan ayat dilafadzkan.
Seperti biasa, Abah tua sudah berada di langgar tua itu dengan melanjutkan
bacaannya. Menunggu adzan dikumandangkan aku telah berganti pakaian dan
bergegas membasuh diri dengan air wudhu.
“Allahu akbar,
Allahu Akbar”
Adzan telah dikumandangkan. Sampailah pada lafadz
terakhirnya “La illaha ilallah.”
Masing-masing kami mengambil sholat sunnah dua rokaat hingga iqomah
dikumandangkan. Abah tua sebagai imam memimpin kami dengan hikmat dalam
gerakan-gerakan yang fasih, seperti biasa. Empat rokaat agung dalam sebuah
kesederhanaan.
“Nek, aku izin main ke rumah Bagus ya?” aku memelas
izin siang itu.
“Tapi pulangnya jangan terlalu sore ya. Bantu
ngangon sapi.” Izin bersyaratnya.
“Iya, Nek.”
“Ali!” belum juga kaki kananku menapak setelah
kuangkat, Abah tua tiba-tiba memanggil.
Matilah aku, apa
bakal dilarang bermain.
“Beliin Abah tua rokok dulu!”
“I-Iya.” Selamat!!!
***
Sesuai janji. Sebelum tiba waktu ashar aku sudah
kembali. Setelah empat rokaat ashar ditunaikan, sapi-sapi itu kami giring dari
hutan di belakang rumah menuju jalanan berumput di depan pekarangan rumah. Desa
ini adalah pemukiman yang jauh dari kota. Wajar saja bila jalanannya pun belum
diaspal.
Bukan perkara mudah mengatur sapi-sapi ini. Kami
harus membuat segerombolan mereka tetap dalam satu kelompok. Abah tua
mengajarkan akar tak menggiringnya dari belakang, itu hanya akan membuat mereka
lari berhamburan. Cara paling ampuh adalah dengan menarik beberapa induk sapi,
dengan begitu maka yang lain akan mengikuti.
Mentari nyaris tenggelam di ufuk barat. Biasan
cahayanya yang menyentuh awan berwarna jingga. Imajiku membayangkan langit
mulai terbakar. Di penghujung senja, lakon-lakon tak kasat mata berderik
nyaring dari semak belukar di sekitar hunian. Sayap-sayap serangga penghisap
darah mulai berdenging di sana seni. Tak hanya dia, satu rekannya sesama
penghisap darah yang lebih mungil pun ikut meramaikan suasana. Agas, begitu
kami menyebutnya.
“Li! Nyalain pelitanya!”
Satu-satunya sumber penerangan untuk hunian kami
ini. Menemani beri hangat ditengah gelap yang mencekam. Kumandang adzan magrib
dipersuarakan. Berlanjut pada sholawat menjunjung manusia paling mulia
sepanjang masa. Kami tetap dalam hikmat menyembah sang Khalik dalam kesunyian
malam. Kondisi desa yang makin sepi membuat hunian kami itu nyaris tak
bertetangga.
Menunggu waktu isya di langgar tua itu. Abah tua
biasa mengajariku membaca Al-Qur’an. Abjad-abjad Arab beliau menuntunku
melafadzkannya. Satu-satunya abjad yang ia tahu cara bacanya. Mengusaikan
bacaan, selanjutnya beliau ajarkan aku beragam doa sehari-hari, tak jarang bila
masih ada waktu ia pun sering mendongeng. Inilah moment yang paling kusukai. Mulai dari dongeng umum seperti si
kancil hingga dongeng agama selalu ia ceritakan dengan fasih. Tak jarang
beberapa tokoh dalam dongengnya pun ia sisipkan dengan namaku.
....
Suatu hari, ada
seorang pemuda bernama Ali. Ia mengembara mencari ilmu katanya. Menembus hutan
lebat, malam pekat dalam kesendirian. Tak pernah lelah ia berjalan. Hingga
suatu ketika ia kelaparan. Perbekalannya telah habis. Berdiam dirilah ia di
tepi sebuah sungai. Tiba-tiba, melintaslah sebuah apel segar terbawa arus. Ali
mengambilnya.
“Jangan pernah
mengambil hak yang bukan kita punya.”
Baru saja ingin
ia santap buah itu. Sebuah pesan berngiang di ingatannya. Dengan sigap pemuda
itu berjalan menyusuri sungai. Di temuinya sebuah ladang buah yang luas, dengan
seorang pemilik yang terlihat mulai renta.
“Maaf pak, tadi
saya menemukan buah ini hanyut di sungai. Mungkin ini milik bapak?” dengan
penuh sopan santun pemuda itu mengembalikan yang bukan haknya.
Si pemilik kebun
pun hanya tersenyum. Merasa bangga dengan kemurahan hati sang pemuda. Dengan
ramah ia mengajak si pemuda berkunjung ke rumahnya.
Singkat cerita...
“Kau akan
kujodohkan dengan anakku. Apakah kau bersedia?”
Merasa tak akan
lagi menemukan pemuda seperti ini. Sang ayah menawarkan putrinya kepada pemuda
baik hati tersebut.
“Jikalau itu
memang yang terbaik, saya bersedia!”
“Namun, anak
saya adalah orang yang buta.”
Risau hati sang
pemuda mungkinkah ia harus menikahi seorang wanita yang cacat.
“Juga tuli dan
bisu.”
Makin risaulah
ia. Bertambah lagi satu keburukannya.
“Serta kedua
tangan dan kakinya sangatlah pendek.”
“Matilah aku!!!”
ia menggerutu dalam hati. Apakah ia telah salah menerima tawaran ini?
“Jikalau memang
ia jodohku, dengan besar hati aku akan menerimanya.” Kemurahan hatinya
mengalahkan rasa takut yang berkecamuk.
Seketika, wanita
tersebut dipanggil oleh ayahnya. Betapa terkejutnya pemuda ini. Bidadari cantik
nan rupawan tanpa cacat apa pun tiba dengan senyuman manis merekah di bibirnya.
Rupanya yang dimaksud buta ialah tak pernahnya ia melihat dunia luar. Tuli dan
bisu dimaksudkan bahwa gadis ini tak pernah membicarakan kejelekan orang lain.
Serta kaki dan tangannya pendek mengartikan ia tak pernah ke luar rumah untuk
hal-hal yang tak penting.
Inilah salah satu dongeng yang paling kuingat.[3]
****
2010
Tibalah saat Ujian kelulusanku di SD Inpres 132
Mamau usai. Ia bersikeras agar aku tetap tinggal bersamanya dan juga nenek. Aku
memang harus meninggalkan mereka. Hal ini dikarenakan di desa Mamau hanya ada
fasilitas pendidikan sebatas Sekolah Dasar. Untuk melanjutkan ke jenjang
selanjutnya harus meninggalkan desa.
“Kalau Ali mau dilanjutkan sekolahnya, dia harus
masuk pesantren!” Tandas Abah tua pada mamaku.
“Kalau itu mungkin harus dibicarakan dulu dengan
bapaknya.” Kata mama.
Akhirnya aku tak dimasukkan pesantren. Aku
melanjutkan pendidikan di sebuah SMP Negeri di kota Sorong. Menjelang semester
keduaku. Bapak memutuskan kembali ke kampung halamannya di tanah Bugis, Luwu.
Sejak saat itu aku sering mendengar kabar bahwa Abah tua mulai sakit-sakitan.
2014
“Li! Abah tua sudah nggak ada!”
Kabar itu kudengar dari Bibiku di kota Sorong.
Setelah beberapa bulan keluar-masuk rumah sakit. Akhirnya Abah tua
menghembuskan napas terakhir dalam tidurnya. Sebuah kepergian yang tenang dari
sosok yang luar biasa, yang mengajarkanku berbagai ilmu agama. Dialah orang
pertama yang mengajariku dekat dengan Tuhan. Tuhan yang kini lebih
menyayanginya.
Setahun sebelum kepergiannya. Aku sembat berbicara
dengan Abah tua melalu telepon. Tak lama, karena ia terbatas waktu menelepon
melalui telepon umum di desa.
“Hallo, Li. Abah tua kangen sama kamu. Kamu kapan
balik ke sini? jangan lupa jaga kesehatan, biar bisa ketemu lagi sama Abah
tua.” Dengan suara yang mulai melemah ia berusaha melepas rindu denganku sambil
menahan sakit. Sayang, aku tak bisa memenuhi permintaan terakhirnya yang sangat
sederhana. Bertemu denganku menjadi permintaannya yang sangat kuingat.
Mei 2017
Tiga tahun setelah kepergian Abah Tua. Kini giliran
Nenekku yang dipanggil Tuhan. Beliau meninggal di tanah leluhurnya di Banten.
Di makamkan jauh dari pembaringan sang suami yang telah lebih dulu berpulang di
tanah rantau desa Mamau.
2018
Aku rindu pada mereka. Mereka yang mendidikku bahkan
ikut susah payah merawat serta membesarkanku. Aku rindu pada mereka. Pada Abah
Tua, Nenek dan Langgar Tua kami.
....
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERPEN | Langgar Tua"
Post a Comment