CERPEN | Langgar Tua


Langgar Tua

Karya: Ahmad M. Mabrur Umar

        Belum habis gelapnya malam. Suara pria paruh baya itu sudah lantang memecah kesunyian. Membangunkan satu demi satu dengkuran yang masih lelap. Sesaat kemudian gemercik air terdengar bersahutan membasuh raga tua itu. Menyucikannya dari hadas kecil yang melekat. Setelahnya masih juga memanggil-manggil nama istrinya dengan singkat.
“Iah... Iah... Wes subuh.[1]” dia asli Pandeglang, Banten.
Pukul lima kala itu. Tak juga ada jawaban. Lantunan adzan dikumandangkannya dengan lantang. hingga sholawat ditembangkan masih saja ia hanya ditemani pelita sebagai sumber pecahayaan dalam pekatnya kegelapan. Sesaat kemudian derapan langkah mulai menyusuri jembatan menuju tempat peribadatan -yang dindingnya hampir lapuk digerogoti rayap-, dialah sang istri. Jarak hanya lima meter dari rumah.
Semua itu terdengar jelas ditelingaku. Entah setan apa yang merasukiku, setiap subuh tiba, rasa enggan memisahkan raga dari ranjang mengelayutiku. Meski berkali-kali semua itu berulang tiap hari. Sejam kemudian barulah aku mau mengambil air wudhu dan melaksanakan dua rokaat dengan cepat.
Abah tua[2] memang seperti itu. Bangun lebih awal di penghujung malam, boleh dikata ayam saja kalah dengannya. Disusul oleh Nenekku yang usianya sampir sama dengan Abah tua. Dia adalah pria yang sangat taat dengan agama. Itulah mengapa langgar tua itu berdiri di samping rumahnya. Di sanalah ia mendidik anak-cucunya menjadi orang yang beragama.
Pukul setengah tujuh pagi. Aku siap dengan seragam sekolahku. Sedang Nenek telah duduk manis di kursi dapur, seperti biasa ia baru saja menyelesaikan sajian sarapannya. Dan sang kepala rumah tangga yang tak lain adalah Abah tua telah membuka pintu langgar -yang berbunyi khas itu- lalu dengan merdunya melantukan ayat demi ayat dari kitab suci umat Islam.
“Kamu nggak sarapan dulu? Nenek udah siapin sarapan buat kamu.” Wanita paruh baya itu menegurku.
“Nggak, Nek. Takut telat.” Aku menolak tawarannya.
“Ya udah. Ini buat sangu.” Tandasnya sambil menjulurkan tangan dengan selembar rupiah pecahan seribu.
Aku mencium tangannya yang beraroma khas itu lalu pergi menjinjing tas dan mengucap salam, “Assalamualaikum...” dan dijawabnya dengan dialeg yang khas, “Wa’alaikum salam...”
Rumah sederhana itu hanya dihuni kami bertiga. Anak-anak Abah tua dan Nenek hampir semuanya telah berkeluarga. Hanya anak bungsunya saja yang masih bersekolah ditingkat SMA kala itu. Mamaku sebagai anak tertua pun harus meninggalkan kami untuk menemani bapakku di tempat kerjanya yang berada di dalam hutan -sebuah camp perusahan kayu yang pemukimannya terdiri dari barak-barak-. Jaraknya tak begitu jauh, hanya saja akses jalan yang harus melalui laut membuat mereka hanya pulang sesekali saja. Rumah itu barulah ramai jika ada rekan kerja bapak dan omku yang datang berkunjung. Semua keluarga pun hanya kumpul setahun sekali saat hari raya idul fitri.
Dua bulan lalu aku dan mama baru saja kembali dari kota. Setelah setahun setengah menempuh pendidikan di kota, kami putuskan kembali ke desa ini. Desa transmigrasi tempat aku dilahirkan. Kembali ke rumah lama dan sekolah lama.
Waktu pulang sekolah tepat beberapa saat sebelum adzan dzuhur dikumandangkan. Dari kejauhan samar terdengar lantunan ayat dilafadzkan. Seperti biasa, Abah tua sudah berada di langgar tua itu dengan melanjutkan bacaannya. Menunggu adzan dikumandangkan aku telah berganti pakaian dan bergegas membasuh diri dengan air wudhu.
“Allahu akbar, Allahu Akbar”
Adzan telah dikumandangkan. Sampailah pada lafadz terakhirnya “La illaha ilallah.” Masing-masing kami mengambil sholat sunnah dua rokaat hingga iqomah dikumandangkan. Abah tua sebagai imam memimpin kami dengan hikmat dalam gerakan-gerakan yang fasih, seperti biasa. Empat rokaat agung dalam sebuah kesederhanaan.
“Nek, aku izin main ke rumah Bagus ya?” aku memelas izin siang itu.
“Tapi pulangnya jangan terlalu sore ya. Bantu ngangon sapi.” Izin bersyaratnya.
“Iya, Nek.”
“Ali!” belum juga kaki kananku menapak setelah kuangkat, Abah tua tiba-tiba memanggil.
Matilah aku, apa bakal dilarang bermain.
“Beliin Abah tua rokok dulu!”
“I-Iya.” Selamat!!!
***
Sesuai janji. Sebelum tiba waktu ashar aku sudah kembali. Setelah empat rokaat ashar ditunaikan, sapi-sapi itu kami giring dari hutan di belakang rumah menuju jalanan berumput di depan pekarangan rumah. Desa ini adalah pemukiman yang jauh dari kota. Wajar saja bila jalanannya pun belum diaspal.
Bukan perkara mudah mengatur sapi-sapi ini. Kami harus membuat segerombolan mereka tetap dalam satu kelompok. Abah tua mengajarkan akar tak menggiringnya dari belakang, itu hanya akan membuat mereka lari berhamburan. Cara paling ampuh adalah dengan menarik beberapa induk sapi, dengan begitu maka yang lain akan mengikuti.
Mentari nyaris tenggelam di ufuk barat. Biasan cahayanya yang menyentuh awan berwarna jingga. Imajiku membayangkan langit mulai terbakar. Di penghujung senja, lakon-lakon tak kasat mata berderik nyaring dari semak belukar di sekitar hunian. Sayap-sayap serangga penghisap darah mulai berdenging di sana seni. Tak hanya dia, satu rekannya sesama penghisap darah yang lebih mungil pun ikut meramaikan suasana. Agas, begitu kami menyebutnya.
“Li! Nyalain pelitanya!”
Satu-satunya sumber penerangan untuk hunian kami ini. Menemani beri hangat ditengah gelap yang mencekam. Kumandang adzan magrib dipersuarakan. Berlanjut pada sholawat menjunjung manusia paling mulia sepanjang masa. Kami tetap dalam hikmat menyembah sang Khalik dalam kesunyian malam. Kondisi desa yang makin sepi membuat hunian kami itu nyaris tak bertetangga.
Menunggu waktu isya di langgar tua itu. Abah tua biasa mengajariku membaca Al-Qur’an. Abjad-abjad Arab beliau menuntunku melafadzkannya. Satu-satunya abjad yang ia tahu cara bacanya. Mengusaikan bacaan, selanjutnya beliau ajarkan aku beragam doa sehari-hari, tak jarang bila masih ada waktu ia pun sering mendongeng. Inilah moment yang paling kusukai. Mulai dari dongeng umum seperti si kancil hingga dongeng agama selalu ia ceritakan dengan fasih. Tak jarang beberapa tokoh dalam dongengnya pun ia sisipkan dengan namaku.
....
Suatu hari, ada seorang pemuda bernama Ali. Ia mengembara mencari ilmu katanya. Menembus hutan lebat, malam pekat dalam kesendirian. Tak pernah lelah ia berjalan. Hingga suatu ketika ia kelaparan. Perbekalannya telah habis. Berdiam dirilah ia di tepi sebuah sungai. Tiba-tiba, melintaslah sebuah apel segar terbawa arus. Ali mengambilnya.
“Jangan pernah mengambil hak yang bukan kita punya.”
Baru saja ingin ia santap buah itu. Sebuah pesan berngiang di ingatannya. Dengan sigap pemuda itu berjalan menyusuri sungai. Di temuinya sebuah ladang buah yang luas, dengan seorang pemilik yang terlihat mulai renta.
“Maaf pak, tadi saya menemukan buah ini hanyut di sungai. Mungkin ini milik bapak?” dengan penuh sopan santun pemuda itu mengembalikan yang bukan haknya.
Si pemilik kebun pun hanya tersenyum. Merasa bangga dengan kemurahan hati sang pemuda. Dengan ramah ia mengajak si pemuda berkunjung ke rumahnya.
Singkat cerita...
“Kau akan kujodohkan dengan anakku. Apakah kau bersedia?”
Merasa tak akan lagi menemukan pemuda seperti ini. Sang ayah menawarkan putrinya kepada pemuda baik hati tersebut.
“Jikalau itu memang yang terbaik, saya bersedia!”
“Namun, anak saya adalah orang yang buta.”
Risau hati sang pemuda mungkinkah ia harus menikahi seorang wanita yang cacat.
“Juga tuli dan bisu.”
Makin risaulah ia. Bertambah lagi satu keburukannya.
“Serta kedua tangan dan kakinya sangatlah pendek.”
“Matilah aku!!!” ia menggerutu dalam hati. Apakah ia telah salah menerima tawaran ini?
“Jikalau memang ia jodohku, dengan besar hati aku akan menerimanya.” Kemurahan hatinya mengalahkan rasa takut yang berkecamuk.
Seketika, wanita tersebut dipanggil oleh ayahnya. Betapa terkejutnya pemuda ini. Bidadari cantik nan rupawan tanpa cacat apa pun tiba dengan senyuman manis merekah di bibirnya. Rupanya yang dimaksud buta ialah tak pernahnya ia melihat dunia luar. Tuli dan bisu dimaksudkan bahwa gadis ini tak pernah membicarakan kejelekan orang lain. Serta kaki dan tangannya pendek mengartikan ia tak pernah ke luar rumah untuk hal-hal yang tak penting.
Inilah salah satu dongeng yang paling kuingat.[3]
****
2010
Tibalah saat Ujian kelulusanku di SD Inpres 132 Mamau usai. Ia bersikeras agar aku tetap tinggal bersamanya dan juga nenek. Aku memang harus meninggalkan mereka. Hal ini dikarenakan di desa Mamau hanya ada fasilitas pendidikan sebatas Sekolah Dasar. Untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya harus meninggalkan desa.
“Kalau Ali mau dilanjutkan sekolahnya, dia harus masuk pesantren!” Tandas Abah tua pada mamaku.
“Kalau itu mungkin harus dibicarakan dulu dengan bapaknya.” Kata mama.
Akhirnya aku tak dimasukkan pesantren. Aku melanjutkan pendidikan di sebuah SMP Negeri di kota Sorong. Menjelang semester keduaku. Bapak memutuskan kembali ke kampung halamannya di tanah Bugis, Luwu. Sejak saat itu aku sering mendengar kabar bahwa Abah tua mulai sakit-sakitan.
2014
“Li! Abah tua sudah nggak ada!”
Kabar itu kudengar dari Bibiku di kota Sorong. Setelah beberapa bulan keluar-masuk rumah sakit. Akhirnya Abah tua menghembuskan napas terakhir dalam tidurnya. Sebuah kepergian yang tenang dari sosok yang luar biasa, yang mengajarkanku berbagai ilmu agama. Dialah orang pertama yang mengajariku dekat dengan Tuhan. Tuhan yang kini lebih menyayanginya.
Setahun sebelum kepergiannya. Aku sembat berbicara dengan Abah tua melalu telepon. Tak lama, karena ia terbatas waktu menelepon melalui telepon umum di desa.
“Hallo, Li. Abah tua kangen sama kamu. Kamu kapan balik ke sini? jangan lupa jaga kesehatan, biar bisa ketemu lagi sama Abah tua.” Dengan suara yang mulai melemah ia berusaha melepas rindu denganku sambil menahan sakit. Sayang, aku tak bisa memenuhi permintaan terakhirnya yang sangat sederhana. Bertemu denganku menjadi permintaannya yang sangat kuingat.
Mei 2017
Tiga tahun setelah kepergian Abah Tua. Kini giliran Nenekku yang dipanggil Tuhan. Beliau meninggal di tanah leluhurnya di Banten. Di makamkan jauh dari pembaringan sang suami yang telah lebih dulu berpulang di tanah rantau desa Mamau.
2018
Aku rindu pada mereka. Mereka yang mendidikku bahkan ikut susah payah merawat serta membesarkanku. Aku rindu pada mereka. Pada Abah Tua, Nenek dan Langgar Tua kami.
....


[1] Sudah Subuh
[2] Kakek
[3] Abah tua selalu mendongeng dengan menggunakan bahasa sunda-banten

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERPEN | Langgar Tua"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo