CERPEN | Sahabat Setengah Akrab
Tuesday, September 18, 2018
Add Comment
SAHABAT
SETENGAH AKRAB
Empat
semester sudah, kami bersama. Waktu yang terlalu banyak bila hanya disebut
berteman. Namun terlalu sedikit untuk menyebut kami adalah akrab. Ini bukan
tentang bagaimana kami menyatukan perbedaan tapi ini tentang bagaimana kami
menghargai perbedaan. Ini kisah kita, TI E -atau aku boleh memanggil kalian TI
Error?-, ini tentang aku dan kalian. Sebut saja aku sedang merindukan kalian
semua. Walau pun kita masih di tempat yang sama, tapi rasanya kita saling berjauhan.
Kita baru setengah jalan, baru setengah akrab.
***
Palopo,
September 2016.
Aku
ingat. Itu adalah pertama kalinya kita saling bertegur sapa. Acara tahunan
kampus, acara penyambutan mahasiswa baru sekaligus perkenalan kampus menjadi
awal kita saling menatap. Dari hanya sekadar melempar senyum sampai akhir
saling tahu nama satu sama lain tanpa perlu bertanya.
Aku
pikir wajah-wajah menakutkan kalian adalah monster yang nanti akan menjadi
orang-orang liar di kelas. Tubuh sangar berotot, wajah ala preman pasar, suara
berat menggema. Tak dinyana bisa juga berjalan ala wanita lemah gemulai.
Sungguh konyol.
...
“Orang
tua dari salah satu teman kita telah meninggal dunia.”
Sebuah
kabar datang di awal kebersamaan.
Dan
untuk pertama kalinya aku mengenal kalian dari sebuah kepedulian. Tak peduli
seberapa jauh. Tak peduli juga perbedaan keyakinan di antara kita, kalian
buktikan itu bukan pembatas. Jarak kalian dan aku tempuh hanya sekadar
mengucapkan bela sungkawa. Padahal itu bisa kita lakukan melalui telepon media
lain. Aku salut dengan kita yang dulu.
...
Semester
satu,
“Hahahaha...”
Suara
tawa menyambutku. Kedua kakiku masih berada di dua tempat yang berbeda. Kaki
kananku sudah mantap berpijak pada lantai ruang kelas, sedang kaki kiriku baru
saja berancang-ancang menyusulnya. Suara itu bukan menertawaiku. Bahkan aku tak
tahu suara itu milik siapa. Yang jelas suasana kelas sedang gaduh-gaduhnya.
“Banyaknya
mi ini tugas!”[1] keluh seseorang.
“Baru
ji ko semester satu, na mengeluh mi ko? Bagaimana mi nanti
kalau semester semester lima ma ko?”[2] ketua tingkat[3] terlihat lebih dewasa
daripada kami dalam menyikapi sesuatu.
“Iyo, kalau ndak mau ko banyak
tugasmu, jangan mi ko kuliah!”[4] seseorang menimpali,
sepakat dengan si ketua.
“Begini
mi saja. Kan dua bulan lagi libur
semester. Bagaimana kalau kita ke Toraja?” kembali si ketua berbicara, kali ini
mengusulkan rencana berlibur.
“Ayo
mi!”
“Ayo
ke mana? Belum pi libur!”
“Hahahaha...”
Sederhana.
Hal-hal kecil seperti ini sudah cukup menjadikan kami makin akrab.
...
Tak
hanya dalam lingkungan kampus. Di luar kampus pun kami sering menghabiskan
waktu bersama. Sekadar kumpul, bercerita atau mengusir kesuntukan di ruang kost atau rumah masing-masing. Ya, dunia
luar jauh lebih mengerti dibanding dengan tembok-tembok bisu di rumah.
Tempat
favorit kami adalah rumah milik salah seorang kawan. Di sana adalah tempat yang
lumayan nyaman. Hal ini dikarenakan kami bisa makan gratis dan yang terpenting
adalah koneksi WI-FI yang lancar
jaya, memudahkan kami dalam mengerjakan beragam tugas kampus. Ibunya yang asli
keturunan Jawa sangat ramah setiap kali kami menyambangi rumahnya. Meski
usianya terbilang tak muda lagi, tapi ia lebih sering berbaur bersama kami.
Selain
tempat itu, destinasi tempat berkumpul kami biasanya hanya di kost beberapa teman, termasuk di kost-ku. Tempat yang tadinya selalu
ramai, baik ada mau pun tak ada mereka. Namun, saat ini tempat itu serasa
mencekam dengan sekat pembatas yang mengerikan. Suasana gaduh dalam keakraban
yang nantinya akan kurindukan.
...
Penghujung
semester telah tiba. Inilah saatnya merealisasikan apa yang pernah ketua
tingkat deklarasikan. Berlibur ke kabupaten Tana Toraja. Hari itu pun tiba,
kesepakatan yang dibuat adalah “yang ingin bergabung datang ke tempat yang
telah dijanjikan pada pukul 07:00 WITA”. Seperti biasa, mereka baru berkumpul
sekitar pukul 10:00 WITA dengan beragam alasan. Setelah dirasa hanya beberapa
saja yang akan ikut, maka perjalanan pun dimulai. Sayangnya, tak semua teman
kelas ikut bergabung.
Perjalanan
dimulai. Sebagian kami ada yang mengendari motor dan yang lain pun menggunakan
mobil. Jarak tempuh sebenarnya tak terlalu jauh. Hanya saja karena ini adalah
liburan, maka beberapa titik kami singgahi hanya untuk sekadar berfoto ria.
Belum lagi ada beberapa teman yang harus mengalami mabuk perjalanan.
“Kau
tadi bilang kuat, tidak muntah, eh kok paling banyak,” aku sedikit meledek
mereka harus mengakui kekalahannya.
“Uwwwweeeekkkk....”
...
Tiba
di tempat tujuan. Kami sempatkan bertandang ke rumah salah seorang teman. Kami
disambut baik. Disajikan santapan makan siang yang sederhana namun tetap nikmat
dengan kebersamaan. Ditambah lagi salang seorang teman rupanya membawa daging
ayam. Alhasil, raib seketika dengan kecepatan makan masing-masing.
Ya, itulah kelebihan
kami. Makan dengan kecepatan melebihi siapa pun.
Cuaca
belum mengizinkan kami beranjak dari tempat duduk kami. Hingga beberapa lama,
kami tetap berdiam sembari menanti hujan reda. Hujan akhirnya mau mendengarkan
pengharapan kami. Kami pun melanjutkan perjalanan berkeliling kota Toraja dan
berniat menyambangi sebuah tempat wisata pemakaman khas Toraja yang terkenal.
Namun, karena satu dan lain hal kami tak jadi ke sana. Hingga matahari
membenam, kami hanya terkeliling saja di kota besar itu.
Berhenti
di sebuah objek wisata Ke’te’ Kesu. Setelah memarkirkan kendaraan
masing-masing. Kami baru sadar dua orang paling belakang, tak terlihat.
“Mana
mereka?”
“Tidak
tahu mi itu. Tadi, ada!”
“Coba
hubungi!”
Setelah
dihubungi, diketahui bahwa mereka telah berputar arah kembali ke Palopo.
Alsannya karena kesal ditinggalkan oleh yang lainnya. Berapa kali dibujuk untuk
kembali mereka tetap tak mau.
“Biar
mi kami pulang. Kalian lanjutkan saja
perjalanannya,” kedua wanita itu tetap memberanikan diri untuk kembali.
Permasalahan
lain timbul. Kami tak memiliki cukup dana untuk masuk ke objek wisata ini dan
kembali berkeliling.
...
Perjalanan
kami berakhir pada sebuah jalanan menuju jalur pendakian Sesean, gunung yang
menjadi salah satu destinasi wisata di Toraja. Menyaksikan sesuatu yang
menarik, kami putuskan berhenti di sebuah pemakaman batu –pemakaman khas
Toraja-. Menyempatkan berfoto bersama.
Pada
akhirnya beberapa teman yang lain memutuskan untuk kembali dengan mobil karena
malam telah tiba. Sedangkan yang lain termasuk aku memutuskan untuk menginap di
rumah salah satu teman, dan besok merencanakan melakukan pendakian, bukan ke
Sesean tapi sebuah gunung lain yaitu Lolai. Di rumah tersebut kami kembali
disambut dengan ramah. Karena paham tamu mereka malam itu kebanyakan adalah
umat muslim, hidangan pun diberikan sewajarnya. Ya, Toraja adalah tempat
mayoritas beragama Nasrani.
...
Keesokan
paginya. Pukul empat pagi kami sudah harus bergegas. Mengingat yang kami kejar
adalah matahari terbitnya. Amat disayangkan, perjalanan kami harus memakan
waktu yang sedikit lebih lama. Ini dikarenakan jalanan yang masih basah akibat
hujan, maklum jalur yang kami pilih adalah jalan pintas yang saat itu belum
beraspal. Membuat kendara-kendaraan kami harus susah payah menghindari jalanan
licin dan berlumpur.
Sebuah
kenyataan baru harus kami terima. Jalur yang kami pilih ternyata salah. Alhasil
kami harus kembali lagi ke persimpangan yang sudah sangat jauh kami tinggalkan.
Matahari sudah terbit, tapi kami masih dalam perjalanan. Salah seorang dari
kami bahkan nyaris pingsan. Namun, semua itu terbayar lunas. Sesampainya di
puncak Lolai, pemandangan indah terhampar. Sawah-sawah yang hijau, matahari
pukul tujuh yang elok, pepohonan yang tersusun rapi menyambut kami. Sungguh
indah Tuhan menciptakan semesta, hanya kita yang patut menjaganya dan tetap
bersyukur atas semua itu.
...
Sorenya,
kami memutuskan kembali ke Palopo. Namun, dua orang memutuskan menetap beberapa
malam lagi. Satu adalah dia yang sudah menyambut baik kami di tanahnya dan satu
lagi seorang teman yang masih ingin menikmati indahnya Toraja.
Dalam
perjalanan pulang kami pun tak mudah. Kami harus menghadapi derasnya hujan dan
juga dingin yang menusuk hingga kulit. Kota Toraja memang sangat dingin,
semalam saja kami harus mengenakan pakaian berlapis-lapis. Beberapa masalah di
perjalanan pulang pun dihadapi seperti ban yang bocor dan hal-hal mengerikan
lainnya.
Semua
itu seakan hilang. Banyolan-banyolan konyol kami lontarkan sepanjang perjalanan.
Beberapa motor yang digunakan harus dimanfaatkan dengan baik. Bahkan ada yang
sampai berbinceng tiga. Hingga tibalah kami dengan selamat di kota Palopo.
Inilah
kenangan yang tak akan terlupakan.
***
Semester
dua,
Kami
adalah sahabat yang adanya. Bahkan kami terkesan terlalu kasar dalam bertutur
kata. Memanggil sesama teman dengan julukan-julukan yang tak pantas, seperti
bodoh bahkan menggunakan nama hewan. Bukan untuk ditiru, kami pun sudah
terbiasa dengan suasana konyol itu. Namun inilah persahabatan kami. Kami punya
cara sendiri untuk menjadi akrab.
Layaknya
kisah persahabatan yang lain. Kisah ini pun dibumbui dengan kisah cinta. Kisah
inilah yang menjadi awal renggangnya persahabatan. Aku tak akan membahasnya
lebih jauh. Akan ada hati yang nantinya mengenang sakit lagi. Sudahlah, yang
lalu biarlah berlalu.
***
Semester
tiga,
Tak
banyak kisah terukir. Kami seperti mulai membangun mimpi sendiri-sendiri. Walau
begitu, kami masih cukup kompak. Ini terbukti dari satu orang mencoba sesuatu
dan yang lain pun berbondong-bondong mengikuti. Ya, kami mulai mengenang dunia
dengan segi materi, jadi wajar jika usaha demi usaha akan dilakukan. Di
penghujung semester. Kami runtuh oleh yang namanya uang.
***
Semester
empat,
Sebuah
masalah kecil akhir membuat kami benar-benar runtuh berhamburan. Hal ini yang
akhirnya memutuskan masing-masing kami menentukan jalan sendiri. Menjelang awal
semester lima kami benar-benar telah melangkah jauh. Ada yang memutuskan pindah
kelas, ada yang menetap dan ada juga yang justru memilih mengambil cuti.
Kami
terlalu sibuk mengusrusi ego masing-masing. Ada yang sibuk menjadi aktivis. Ada
yang sibuk merangkai kata. Ada yang sibuk menikmati dunia dengan ukuran materi.
Ada yang sibuk merakit mimpi menjadi tenar. Bahkan ada yang pula hanya sibuk
dengan dunia hura-huranya.
Hingga
kami lupa mengisi bangku-bangku kosong persahabatan kami yang dulu selalu penuh
dengan gelak tawa. Bangku yang kini berdebu bahkan tak lagi karuan bentuknya.
Entah mengapa sedikit saja canda hari ini bagaikan segudang makian.
...
Aku
tak apa kalian menjadi makin bertumbuh. Bahkan telah asyik dengan dunia yang
baru. Namun, sesekali kembalilah ke dunia kini yang dulu. Kembali mengisi
bangku-bangku kosong itu dan kembali berbagi berbagai cerita. Kembali dengan
sapaan-sapaan konyol kalian, layaknya kita yang dulu.
Aku rindu kalian.
***
Keppe, 11 Agustus 2018.
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERPEN | Sahabat Setengah Akrab"
Post a Comment