CERPEN | Sahabat Setengah Akrab


SAHABAT SETENGAH AKRAB

Empat semester sudah, kami bersama. Waktu yang terlalu banyak bila hanya disebut berteman. Namun terlalu sedikit untuk menyebut kami adalah akrab. Ini bukan tentang bagaimana kami menyatukan perbedaan tapi ini tentang bagaimana kami menghargai perbedaan. Ini kisah kita, TI E -atau aku boleh memanggil kalian TI Error?-, ini tentang aku dan kalian. Sebut saja aku sedang merindukan kalian semua. Walau pun kita masih di tempat yang sama, tapi rasanya kita saling berjauhan. Kita baru setengah jalan, baru setengah akrab.
***
Palopo, September 2016.
Aku ingat. Itu adalah pertama kalinya kita saling bertegur sapa. Acara tahunan kampus, acara penyambutan mahasiswa baru sekaligus perkenalan kampus menjadi awal kita saling menatap. Dari hanya sekadar melempar senyum sampai akhir saling tahu nama satu sama lain tanpa perlu bertanya.
Aku pikir wajah-wajah menakutkan kalian adalah monster yang nanti akan menjadi orang-orang liar di kelas. Tubuh sangar berotot, wajah ala preman pasar, suara berat menggema. Tak dinyana bisa juga berjalan ala wanita lemah gemulai. Sungguh konyol.
...
“Orang tua dari salah satu teman kita telah meninggal dunia.”
Sebuah kabar datang di awal kebersamaan.
Dan untuk pertama kalinya aku mengenal kalian dari sebuah kepedulian. Tak peduli seberapa jauh. Tak peduli juga perbedaan keyakinan di antara kita, kalian buktikan itu bukan pembatas. Jarak kalian dan aku tempuh hanya sekadar mengucapkan bela sungkawa. Padahal itu bisa kita lakukan melalui telepon media lain. Aku salut dengan kita yang dulu.
...
Semester satu,
“Hahahaha...”
Suara tawa menyambutku. Kedua kakiku masih berada di dua tempat yang berbeda. Kaki kananku sudah mantap berpijak pada lantai ruang kelas, sedang kaki kiriku baru saja berancang-ancang menyusulnya. Suara itu bukan menertawaiku. Bahkan aku tak tahu suara itu milik siapa. Yang jelas suasana kelas sedang gaduh-gaduhnya.
“Banyaknya mi ini tugas!”[1] keluh seseorang.
“Baru ji ko semester satu, na mengeluh mi ko? Bagaimana mi nanti kalau semester semester lima ma ko?[2] ketua tingkat[3] terlihat lebih dewasa daripada kami dalam menyikapi sesuatu.
Iyo, kalau ndak mau ko banyak tugasmu, jangan mi ko kuliah!”[4] seseorang menimpali, sepakat dengan si ketua.
“Begini mi saja. Kan dua bulan lagi libur semester. Bagaimana kalau kita ke Toraja?” kembali si ketua berbicara, kali ini mengusulkan rencana berlibur.
“Ayo mi!”
“Ayo ke mana? Belum pi libur!”
“Hahahaha...”
Sederhana. Hal-hal kecil seperti ini sudah cukup menjadikan kami makin akrab.
...
Tak hanya dalam lingkungan kampus. Di luar kampus pun kami sering menghabiskan waktu bersama. Sekadar kumpul, bercerita atau mengusir kesuntukan di ruang kost atau rumah masing-masing. Ya, dunia luar jauh lebih mengerti dibanding dengan tembok-tembok bisu di rumah.
Tempat favorit kami adalah rumah milik salah seorang kawan. Di sana adalah tempat yang lumayan nyaman. Hal ini dikarenakan kami bisa makan gratis dan yang terpenting adalah koneksi WI-FI yang lancar jaya, memudahkan kami dalam mengerjakan beragam tugas kampus. Ibunya yang asli keturunan Jawa sangat ramah setiap kali kami menyambangi rumahnya. Meski usianya terbilang tak muda lagi, tapi ia lebih sering berbaur bersama kami.
Selain tempat itu, destinasi tempat berkumpul kami biasanya hanya di kost beberapa teman, termasuk di kost-ku. Tempat yang tadinya selalu ramai, baik ada mau pun tak ada mereka. Namun, saat ini tempat itu serasa mencekam dengan sekat pembatas yang mengerikan. Suasana gaduh dalam keakraban yang nantinya akan kurindukan.
...
Penghujung semester telah tiba. Inilah saatnya merealisasikan apa yang pernah ketua tingkat deklarasikan. Berlibur ke kabupaten Tana Toraja. Hari itu pun tiba, kesepakatan yang dibuat adalah “yang ingin bergabung datang ke tempat yang telah dijanjikan pada pukul 07:00 WITA”. Seperti biasa, mereka baru berkumpul sekitar pukul 10:00 WITA dengan beragam alasan. Setelah dirasa hanya beberapa saja yang akan ikut, maka perjalanan pun dimulai. Sayangnya, tak semua teman kelas ikut bergabung.
Perjalanan dimulai. Sebagian kami ada yang mengendari motor dan yang lain pun menggunakan mobil. Jarak tempuh sebenarnya tak terlalu jauh. Hanya saja karena ini adalah liburan, maka beberapa titik kami singgahi hanya untuk sekadar berfoto ria. Belum lagi ada beberapa teman yang harus mengalami mabuk perjalanan.
“Kau tadi bilang kuat, tidak muntah, eh kok paling banyak,” aku sedikit meledek mereka harus mengakui kekalahannya.
“Uwwwweeeekkkk....”
...
Tiba di tempat tujuan. Kami sempatkan bertandang ke rumah salah seorang teman. Kami disambut baik. Disajikan santapan makan siang yang sederhana namun tetap nikmat dengan kebersamaan. Ditambah lagi salang seorang teman rupanya membawa daging ayam. Alhasil, raib seketika dengan kecepatan makan masing-masing.
Ya, itulah kelebihan kami. Makan dengan kecepatan melebihi siapa pun.
Cuaca belum mengizinkan kami beranjak dari tempat duduk kami. Hingga beberapa lama, kami tetap berdiam sembari menanti hujan reda. Hujan akhirnya mau mendengarkan pengharapan kami. Kami pun melanjutkan perjalanan berkeliling kota Toraja dan berniat menyambangi sebuah tempat wisata pemakaman khas Toraja yang terkenal. Namun, karena satu dan lain hal kami tak jadi ke sana. Hingga matahari membenam, kami hanya terkeliling saja di kota besar itu.
Berhenti di sebuah objek wisata Ke’te’ Kesu. Setelah memarkirkan kendaraan masing-masing. Kami baru sadar dua orang paling belakang, tak terlihat.
“Mana mereka?”
“Tidak tahu mi itu. Tadi, ada!”
“Coba hubungi!”
Setelah dihubungi, diketahui bahwa mereka telah berputar arah kembali ke Palopo. Alsannya karena kesal ditinggalkan oleh yang lainnya. Berapa kali dibujuk untuk kembali mereka tetap tak mau.
“Biar mi kami pulang. Kalian lanjutkan saja perjalanannya,” kedua wanita itu tetap memberanikan diri untuk kembali.
Permasalahan lain timbul. Kami tak memiliki cukup dana untuk masuk ke objek wisata ini dan kembali berkeliling.
...
Perjalanan kami berakhir pada sebuah jalanan menuju jalur pendakian Sesean, gunung yang menjadi salah satu destinasi wisata di Toraja. Menyaksikan sesuatu yang menarik, kami putuskan berhenti di sebuah pemakaman batu –pemakaman khas Toraja-. Menyempatkan berfoto bersama.
Pada akhirnya beberapa teman yang lain memutuskan untuk kembali dengan mobil karena malam telah tiba. Sedangkan yang lain termasuk aku memutuskan untuk menginap di rumah salah satu teman, dan besok merencanakan melakukan pendakian, bukan ke Sesean tapi sebuah gunung lain yaitu Lolai. Di rumah tersebut kami kembali disambut dengan ramah. Karena paham tamu mereka malam itu kebanyakan adalah umat muslim, hidangan pun diberikan sewajarnya. Ya, Toraja adalah tempat mayoritas beragama Nasrani.
...
Keesokan paginya. Pukul empat pagi kami sudah harus bergegas. Mengingat yang kami kejar adalah matahari terbitnya. Amat disayangkan, perjalanan kami harus memakan waktu yang sedikit lebih lama. Ini dikarenakan jalanan yang masih basah akibat hujan, maklum jalur yang kami pilih adalah jalan pintas yang saat itu belum beraspal. Membuat kendara-kendaraan kami harus susah payah menghindari jalanan licin dan berlumpur.
Sebuah kenyataan baru harus kami terima. Jalur yang kami pilih ternyata salah. Alhasil kami harus kembali lagi ke persimpangan yang sudah sangat jauh kami tinggalkan. Matahari sudah terbit, tapi kami masih dalam perjalanan. Salah seorang dari kami bahkan nyaris pingsan. Namun, semua itu terbayar lunas. Sesampainya di puncak Lolai, pemandangan indah terhampar. Sawah-sawah yang hijau, matahari pukul tujuh yang elok, pepohonan yang tersusun rapi menyambut kami. Sungguh indah Tuhan menciptakan semesta, hanya kita yang patut menjaganya dan tetap bersyukur atas semua itu.
...
Sorenya, kami memutuskan kembali ke Palopo. Namun, dua orang memutuskan menetap beberapa malam lagi. Satu adalah dia yang sudah menyambut baik kami di tanahnya dan satu lagi seorang teman yang masih ingin menikmati indahnya Toraja.
Dalam perjalanan pulang kami pun tak mudah. Kami harus menghadapi derasnya hujan dan juga dingin yang menusuk hingga kulit. Kota Toraja memang sangat dingin, semalam saja kami harus mengenakan pakaian berlapis-lapis. Beberapa masalah di perjalanan pulang pun dihadapi seperti ban yang bocor dan hal-hal mengerikan lainnya.
Semua itu seakan hilang. Banyolan-banyolan konyol kami lontarkan sepanjang perjalanan. Beberapa motor yang digunakan harus dimanfaatkan dengan baik. Bahkan ada yang sampai berbinceng tiga. Hingga tibalah kami dengan selamat di kota Palopo.
Inilah kenangan yang tak akan terlupakan.
***
Semester dua,
Kami adalah sahabat yang adanya. Bahkan kami terkesan terlalu kasar dalam bertutur kata. Memanggil sesama teman dengan julukan-julukan yang tak pantas, seperti bodoh bahkan menggunakan nama hewan. Bukan untuk ditiru, kami pun sudah terbiasa dengan suasana konyol itu. Namun inilah persahabatan kami. Kami punya cara sendiri untuk menjadi akrab.
Layaknya kisah persahabatan yang lain. Kisah ini pun dibumbui dengan kisah cinta. Kisah inilah yang menjadi awal renggangnya persahabatan. Aku tak akan membahasnya lebih jauh. Akan ada hati yang nantinya mengenang sakit lagi. Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu.
***
Semester tiga,
Tak banyak kisah terukir. Kami seperti mulai membangun mimpi sendiri-sendiri. Walau begitu, kami masih cukup kompak. Ini terbukti dari satu orang mencoba sesuatu dan yang lain pun berbondong-bondong mengikuti. Ya, kami mulai mengenang dunia dengan segi materi, jadi wajar jika usaha demi usaha akan dilakukan. Di penghujung semester. Kami runtuh oleh yang namanya uang.
***
Semester empat,
Sebuah masalah kecil akhir membuat kami benar-benar runtuh berhamburan. Hal ini yang akhirnya memutuskan masing-masing kami menentukan jalan sendiri. Menjelang awal semester lima kami benar-benar telah melangkah jauh. Ada yang memutuskan pindah kelas, ada yang menetap dan ada juga yang justru memilih mengambil cuti.
Kami terlalu sibuk mengusrusi ego masing-masing. Ada yang sibuk menjadi aktivis. Ada yang sibuk merangkai kata. Ada yang sibuk menikmati dunia dengan ukuran materi. Ada yang sibuk merakit mimpi menjadi tenar. Bahkan ada yang pula hanya sibuk dengan dunia hura-huranya.
Hingga kami lupa mengisi bangku-bangku kosong persahabatan kami yang dulu selalu penuh dengan gelak tawa. Bangku yang kini berdebu bahkan tak lagi karuan bentuknya. Entah mengapa sedikit saja canda hari ini bagaikan segudang makian.
...
Aku tak apa kalian menjadi makin bertumbuh. Bahkan telah asyik dengan dunia yang baru. Namun, sesekali kembalilah ke dunia kini yang dulu. Kembali mengisi bangku-bangku kosong itu dan kembali berbagi berbagai cerita. Kembali dengan sapaan-sapaan konyol kalian, layaknya kita yang dulu.
Aku rindu kalian.
***
Keppe, 11 Agustus 2018.


[1] “Tugasnya banyak sekali!”
[2] “Kamu baru semester satu saja sudah mengeluh. Bagaimana kalau sudah semester lima.”
[3] Ketua tingkat=ketua kelas
[4] “Iya, kalau kamu tidak ingin banyak tugas, lebih banyak kamu jangan kuliah!”

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERPEN | Sahabat Setengah Akrab"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo