CERPEN | Patung
Friday, November 16, 2018
Add Comment
Patung
Namaku
adalah Ibrahim dan ayahku seorang pemahat patung. Tapi aku bukan nabi. Ayahku
pun tak memahat patung untuk sesembahan para raja, justru patung-patung itulah
yang menyembah pada raja.
Aku
mungkin adalah patung pertama pahatan ayah. Sejak pertama kali wajahku diukir
dan dengan sedikit sihir dari ibu peri cantik nan baik hati yang rela
menukarkan nyawanya demi kehidupanku, aku nyaris tak pernah mengenal dunia
luar. Ayah hanya mengizinkanku menginjak tanah ketika akan bersekolah dan
membantunya mencari kayu di hutan untuk membuat saudara-saudaraku,
patung-patung itu.
Hari
sudah semakin gelap di tengah gubuk sederhana kami. Senja makin membakar
langit, namun suhu di sini cukup sejuk. Sejak terakhir kali matahari
menggelincirkan diri ke ufuk Timur, aku sudah siap dengan segala kemisteriusan
malam. Dari sudut-sudut yang sunyi seakan ada yang berbisik lirih. Belum lagi
beberapa potong adegan dan dialog bisu dari para patung. Mereka punya dunia sendiri.
“Dunia
luar mungkin menyenangkan,” batinku dan mungkin juga beberapa patung yang bosan
memainkan peran bisunya.
...
Sekolah,
terkadang menjadi tempat yang menyenangankan bagiku. Di sana aku bisa bercerita
dengan teman-temanku –tentu saja mereka hidup, tak seperti teman-temanku di
rumah–. Namun, sekolah juga menjadi tempat yang menyeramkan. Beberapa dari
mereka adalah penguasa, semua harus tunduk pada mereka, para ‘Fir’aun’ yang
zalim.
“Serahkan
uang kalian,” seperti biasa, kami adalah budak yang harus patuh titah raja.
“Him,
kamu punya uang?” kawan karibku berbisik.
“Tidak,”
kataku, balas berbisik.
Mungkin
telinga para ‘Fir’aun’ ini telah dianugrahi dengan kekuatan yang dahsyat.
Mereka mendengar bisikan kami yang nyaris lebih sayup dari semilir angin.
“Jadi,
kalian tidak memiliki sesuatu yang bisa kalian serahkan kepada kami?”
Seperti
biasa, siapa pun yang tidak patuh kepada titah para ‘Fir’aun’ maka hidupnya
akan sengsara. Seperti yang aku dan Sulaiman alami, kami disiksa dan dipermalukan
habis-habisan. Tak ada yang akan berani melapor kepada guru atau mereka akan
mengalami nasib yang sama.
...
Sepenggal
adegan tentang dunia luar, malam itu membuatku takut dan terkadang berpikir
tak ingin mengenal dunia luar lebih jauh. Tapi, tumpukan buku-buku itu kembali
membangkitkan gairah berpetualang dalam diriku. Melihat negeri yang seelok
dongeng-dongeng para pujangga dan penyair. Khayalanku makin dipacu untuk bisa
bebas dari sanggar. Mungkin suatu hari nanti ayah akan mengizinkan ‘pangeran
patung’-nya ini untuk berkelana.
“Yah,
aku punya janji dengan Sulaiman, kawanku untuk menggerjakan tugas sekolah
bersama besok,” sebelum berbicara seperti ini, tentu aku sudah mengumpulkan
nyali yang banyak.
“Tidak
bisa. Kerjakan tugasmu sendiri di rumah dan lekas beristirahat,” jawaban yang
sudah kuduga.
“Aku
ini anak laki-laki, ayah. Kenapa ayah
mengekangku?”
“Belum
waktunya kau mengenal dunia lebih jauh. Kau belum siap!”
“Aku
sudah cukup siap, ayah. Aku bukan patung-patung pahatan ayah yang harus tunduk
dan patuh pada skenario dan peran mereka sesuai kehendak ayah. Aku sudah siap!”
“Itu
menurutmu!”
“Lalu
bagaimana menurut ayah?”
Ayah
terdiam. Beberapa detik sudah berlalu tapi tak juga ada sepatah katapun yang ia
lontarkan untuk menjawab pertanyaanku. Dari wajahnya jelas terukir sebuah
kesedihan, entah karena apa? Ayah beranjak dari tempatnya dan berlalu masih
tanpa kata. Bahkan jika tak bergerak ayah pasti sama dengan patung-patung bisu
itu.
Emosiku
memuncak. Dan berusaha kuredam sebisaku. Nyaris tertumpah di ujung kelopak mata.
Aku pun beranjak menuju ke arah kamarku yang sunyi. Dalam langkah bisu itu aku
coba memikirkan cara untuk keluar dari peranku yang membosankan ini. Ayah
sebagai sutradara tak perlu tahu tentang rencana pemberontakan ‘parengan
patung’-nya ini.
“Besok aku harus bisa kabur
dari tempat ini. Walaupun besok adalah hari libur.”
batinku.
Aku
juga beranjak dan menuju kamar tidur yang sudah akrab dengan keluh-kesahku.
Kamar itu sudah terbiasa ditemani malam yang gelap dengan sorot rembulan yang
mengintip dari sela-sela jendela kayu, cahayanya redup dan sering kali ada,
namun tak jarang juga mengilang tanpa kabar.
Gubuk
tengah alas[1]
kami cukup luas untuk didiami oleh kami berdua dan patung-patung itu. Bahkan dari
ruang tempatku dengan ayah berdebat tadi aku harus melewati sebuah ruangan
tempat ayah menyimpan patung-patung buatannya. Langkahku terhenti tepat di
depan pintu ruangan.
Ruangan
yang dua kali luas kamarku itu cukup gelap. Bahkan cahaya rembulanpun enggan menyusup
masuk. Patung-patung itu diam, membisu tanpa kata. Di sana ada patung yang
paling besar dan mungkin itu yang menjadi alasan kebungkapan yang lain. Mereka
segan dengan sang pemimpin.
“AAAAA...”
dalam keadaan yang masih terbawa emosi, aku melampiaskan amarahku pada
patung-patung yang diam namun seolah meneriakkan kebebasan, sepertiku. Satu per
satu patung itu hantur dan berserakan.
“Bebaslah!
Pergilah!” kataku dengan masih membabi buta.
“Ibrahim?
Apa yang kau lakukan?” ayah mendapatiku yang sudah meratakan patung-patung itu,
kecuali yang paling besar.
“Bukan
aku yang melakukannya. Mereka yang memintaku melalukan ini. Mereka sama
sepertiku, yah. Mereka ingin bebas!”
PLAAAAKKK...
Untuk
pertama kalinya ayah menamparku.
“Jangan
bodoh! Kau tahu, patung-patung inilah yang menjadi sumber nafkah kita!”
“Ayah
masih saja bersikap egois.”
“Ini
semua demi kebaikanmu, nak! Lihatlah, kau masih belum bisa mengendalikan
emosimu. Itu cukup menegaskan bahwa kau belum siap untuk menjelajah dunia luar.”
...
Bisu;
diam; kaku. Benarkah hanya itu yang bisa dilakukan patung-patung ini? Bagaimana
jika dalam sebuah diorama, patung-patung itu saling bercengkrama satu sama
lain? Atau bahkan, mungkin mereka bosan dengan peran yang mereka mainkan dan
berpikir untuk bebas. Berharap cerita mereka seindah kisah Pinokio dalam
dongeng penghantar tidur mereka. Ibu peri datang dan memberi mereka nyawa.
Sayang, Pinokio hanyalah tokoh penghibur hati para patung.
Aku
sudah berada di kamar. Ternyata, malam ini cahaya rembualan tak sudi
menemaniku. Lagi-lagi, tak ada tempat bagiku untuk bercerita. Namun, dari balik
kegelapan suara seseorang terdengar sangat tersedu-sedu memecah konsentrasi
pada ratapanku.
Aku
telusuri. Kudapati ayahlah sebagai sumber suara tersebut. Dia berlutut di
hadapan seorang peri cantik yang sedang tersenyum dalam balutan bingkai kayu
dan kaca transparan yang melindungi senyumnya.
“Aku
sudah gagal menjadi seorang ayah yang baik. Kau pasti sangat kesal dan juga
akan memarahiku di surga nanti,” sosok itu tak menjawab.
“Ibrahim
makin tumbuh dewasa. Dia sudah mulai mengenal dunia. Tapi, sesuai kesepakan
kita, tak akan membiarkannya jalan sendiri sebelum dia benar-benar siap,” ayah
terdiam sejenak dan mengusap air matanya, “kaupun pasti setuju dan pasti
melihatnya, anak kita belum siap untuk itu semua.”
Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan.
Palopo, 09 September 2018.
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERPEN | Patung"
Post a Comment