CERPEN | Pelangi Abu-Abu


Pelangi Abu-Abu
Karya: Ahmad M Mabrur Umar
“Ali!”
Saat wanita itu memanggilku, aku sempat tak mengenalinya. Suaranya pun sudah sangat berubah sejak terakhir kali aku berjumpa dengannya. Kala itu dia baru saja lulus dari bangku sekolah dasar. Sedang aku masih harus menunggu setahun lagi. Kami memang berbeda setahun. Cinta monyetkah?
“Asih?”
Kepalaku dipaksa menanggung semua kenangan yang kembali bergulir. Dengan sadisnya beberapa potong adegan menghakimiku. Sebuah tanda berupa tahi lalat mungil di tepi hidungnya yang tak terlalu mancung membuatku kembali mengingat.
“Kamu masih ingat janji itu?” dia bertanya tanpa perlu menatapku, yang menjadi objek pandangannya adalah sebuah fenomena alam warna-warni tepat di bawah langit senja.
***
“Ah... Ali mah mainnya sama cewek terus!”
“Ali kan naksir sama Asih, jadi wajar tiap hari main ke rumahnya.”
Randi dan Bagus secara berturut-turut mengolokku. Kawan lain pun sering meledekku.
“Cuma teman, kok,” aku mengelak.
“Temen apa demen?” mereka memang sering seperti itu.
Anak perempuan itu masih menatapku sambil tersenyum malu-malu. Dia pun mungkin sedang diledek juga dengan teman-teman perempuannya yang lain. Sebelum akhirnya bel sekolah menyudahi perbincangan kami di masa istirahat.
“Ok, anak-anak. Karena buku cetaknya cuma ada satu jadi kalian kerja PR-nya secara berkelompok ya!” pak Supri menutup pertemuan siang itu dengan sebuah tugas.
Seperti yang beliau katakan. Satu buku itu harus kami bagi dengan teman sekelas lainnya. Ini bukanlah masalah yang besar dan sudah biasa terjadi. Kelas lima tahun ini dihuni delapan orang saja. Jadi tak terlalu susah membuat kami menjadi satu kelompok kerja.
“Hari ini kerjanya di mana?” Ardan menanyakannya lebih dulu.
“Di rumahku!” Randi mengusulkan.
“Bosan ah. Kayak nggak ada tempat lain aja?” Edo menolak.
“Rumah Ardan?” Rosalin mengusulkan.
“Ciiiieeeee... yang mau silaturahmi sama Ardan!” ledekku, “rumah Ani aja, kan belum pernah tuh. Yang lain mah bosan.”
“Tahu deh, yang mau ketemu sama kakaknya Ani,” sindir Bagus.
“Lah terus di mana?”
“Rumah Rosalin aja, deket pantai. Seru tuh,” usulan terakhir dari Ani menyudahi perdebatan kami.
...
Di sini tak ada kendaraan bermotor. Sepeda pun jarang. Jadi, setelah pulang ke rumah masing-masing, siang itu kami sepakat untuk berjalan kaki bersama.
Nggak ke rumah Asih, Li?” Bagus memukul pundakku.
“Apaan? Kan mau kerja kelompok.”
“Berarti kalau nggak ada kerja kelompok, kamu ke sana, kan?” Randi menangkap basah akal bulusku.
“Aaahhh... Lagian Asih juga nggak lagi di rumah kok,” Ani memotong pembicaraan kami.
“Nah loh? Kemana?” Edo mencari tahu.
“Dia tuh ada kerja kelompok juga di rumah Jasti,” terang Ani.
“Rumah siapa?”
“Rumah Jasti, Li. Kakaknya Rosalin.”
”Jadi anak kelas enam juga ada di sana?”
“IYA, ALI!!!” semua membentakku.
...
Benar saja, setibanya kami di tempat tujuan mereka sudah berkumpul.
“Eh, ada Ratih juga,” Randi berlagak tak tahu apa-apa. Yang digoda diam saja, sibuk dengan tugasnya. Siang itu semua sibuk dengan penanya masing-masing. Menggarap habis soal demi soal yang tertera, tak lupa jawaban disertakan.
Pantai dalam balutan semilir angin menjadi saksi keakraban kami. Indahnya masa kecil, bercanda tawa, masa seperti inilah yang di masa depan nati pasti akan kita rindukan.
“Kawan-kawan. Saya ingin kita berjanji. Suatu hari di masa depan nanti, kita bisa kembali ke tempat ini dan menceritakan semua yang sudah kita lalui,” Ardan tiba-tiba menjadi sangat serius.
“Persahabatan jangan habis sampai di sini,” aku ikut menimpali.
“Sahabat sampai mati!”
Tiba-tiba hujan mengguyur dengan lebat. Seolah ingin mengikat janji bersama. Membuat satu lagi kisah terukir. Di saat yang lain sibuk mencari tempat untuk berteduh. Asih justru tak bergeming.
“Sih, hujan!” aku mengingatkan.
“Setelah hujan ada pelangi,” dia menjawab dengan lembut, “aku ingin lihat pelangi.”
“Kan bisa nanti. Setelah hujannya reda.”
“Aku tak ingin kehilangan moment.
“Aku akan menemanimu,” kumenghalangi ribuan rintik yang tumpah di kepalanya dengan sehelai daun pisang. Asih hanya tersenyum.
Hujan pun reda. Yang ia nanti pun akhirnya menampakan diri. Pelangi.
“Ali, aku ingin kau pun berjanji untuk kita berdua. Suatu hari nanti di masa depan nanti, aku dan kamu kembali ke tempat ini dan menatap pelangi yang sama.”
“Asal kamu mau menungguku.”
“Aku janji akan setia menunggumu. Ali.”
...
Sebulan kemudian. Ujian kelulusan untuk siswa kelas enam pun dilaksanakan. Sama seperti ujian-ujian sebelumnya. Ujian mereka harus disatukan dengan sekolah lain sekecamatan, hal ini dikarenakan jumlah siswa tiap sekolah hanya berjumlah kurang dari lima belas orang tiap tahunnya.
Setelah dinyatakan lulus, mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya harus ke kota. Di kampung, satu-satunya fasilitas sekolah hanya sebatas sekolah dasar. Ya, itu pula yang dilakukan Asih, kabar yang kudengar ia masuk pesantren.
Setahun kemudian. Aku dan angkatanku pun menyusul untuk lulus. Laskar tanpa nama pun seperti lenyap ditelan bumi. Nyaris tak ada kabar dari mereka hingga bertahun-tahun. Aku pun makin jauh terlempar dari tempat di ujung barat pulau tertimur tanah air itu.
...
Bertahun-tahun kemudian. Aku kembali ketempat itu. Memenuhi janji kepada sahabat-sahabat masa kecilku dan janji kepda seseorang. Namun, ada rasa kecewa berkecamuk di batinku. Dia tak bisa menepati janjinya untuk menungguku.
***
“Kamu masih ingat janji itu?”
Aku menatapnya yang masih asyik menikmati pesona menggoda sang pelangi.
“Aku tidak lupa. Tapi aku janji tak akan mengingatnya lagi.”
“Mengapa?”
“Kau tahu sendiri alasannya.”
Dia menunduk. Ada raut penyesalan di wajahnya. Dari paras matanya yang berkaca-kaca, dia tampak sedang mengenang pula.
“Maaf!” sayup terdengar suara lembutnya berbisik nyaris menyatu dengan semilir angin, “kau berhasil menepati janjimu. Tapi aku, aku tak bisa menepati janjiku. Maaf, Li.”
Bulir air matanya tumpah menyatu dengan lautan penyesalan yang terhampar di hadapnya. Aku hanya tersenyum tipis dan berkata, “sudahlah.”
...
“Asih!” seseorang memanggil namanya.
Asih mengusap air matanya dan berbalik.
“Itu suami dan anakku,” ujarnya sambil tersenyum tipis ke arah mereka.
Langkahnya pun perlahan menghampiri. Menjauh dariku. Bahkan bayangan diri yang tercipta dari siraman cahaya senja pun ikut menjauh. Seakan semua kenangan telah terhapus desiran ombak yang sedari tadi bernyanyi bersama semilir angin yang menggoda. Warna-warni pelangi pun telah pudar.
Aku masih asyik menikmati langit senja. Terpaku oleh ribuan kenangan yang begitu sadisnya membuatku bungkam. Harusnya aku mungkin tak seperti ini.
“Ali,” aku menoleh ke arah Asih yang sudah setengah jalan menuju pria yang setia menantinya di ujung sana, “jaga Ratih ya! Ingat, dia itu sahabatku.”
Aku hanya tersenyum tipis tanpa menjawab apa pun. Langkah Asih akhirnya sampai. Mereka adalah keluarga kecil yang sangat bahagia. Aku masih berdiri di sana, menatap punggung mereka yang perlahan mulai mejauh. Sesekali Asih menoleh ke arahku dan tersenyum.
...
“Ali?” wanita itu tiba-tiba muncul di hadapanku dengan senyum manisnya-senyum manis nona Manado-.
“Ratih?”
“Yuk!” masih dengan senyuman yang sama. Dia menjulurkan tangannya.
Aku membalas dengan senyuman pula. Menunduk sejenak. Kemudian kembali menatap senja. Menunduk lagi. Menghela napas dan memantapkan langkah menuju masa depan baru yang setia menantiku. Lalu menggandeng tangannya dan berjuang hingga akhir.
...
Seandainya Ardan masih ada. Dia pasti akan menertawakanku.
***




_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERPEN | Pelangi Abu-Abu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo