CERPEN | Pelangi Abu-Abu
Friday, November 9, 2018
Add Comment
Pelangi
Abu-Abu
Karya:
Ahmad M Mabrur Umar
“Ali!”
Saat
wanita itu memanggilku, aku sempat tak mengenalinya. Suaranya pun sudah sangat
berubah sejak terakhir kali aku berjumpa dengannya. Kala itu dia baru saja
lulus dari bangku sekolah dasar. Sedang aku masih harus menunggu setahun lagi.
Kami memang berbeda setahun. Cinta monyetkah?
“Asih?”
Kepalaku
dipaksa menanggung semua kenangan yang kembali bergulir. Dengan sadisnya
beberapa potong adegan menghakimiku. Sebuah tanda berupa tahi lalat mungil di
tepi hidungnya yang tak terlalu mancung membuatku kembali mengingat.
“Kamu
masih ingat janji itu?” dia bertanya tanpa perlu menatapku, yang menjadi objek
pandangannya adalah sebuah fenomena alam warna-warni tepat di bawah langit
senja.
***
“Ah... Ali mah mainnya sama cewek
terus!”
“Ali kan naksir sama Asih, jadi wajar
tiap hari main ke rumahnya.”
Randi dan Bagus secara berturut-turut
mengolokku. Kawan lain pun sering meledekku.
“Cuma teman, kok,” aku mengelak.
“Temen apa demen?” mereka memang sering
seperti itu.
Anak perempuan itu masih menatapku
sambil tersenyum malu-malu. Dia pun mungkin sedang diledek juga dengan
teman-teman perempuannya yang lain. Sebelum akhirnya bel sekolah menyudahi perbincangan
kami di masa istirahat.
“Ok, anak-anak. Karena buku cetaknya
cuma ada satu jadi kalian kerja PR-nya secara berkelompok ya!” pak Supri
menutup pertemuan siang itu dengan sebuah tugas.
Seperti yang beliau katakan. Satu buku
itu harus kami bagi dengan teman sekelas lainnya. Ini bukanlah masalah yang
besar dan sudah biasa terjadi. Kelas lima tahun ini dihuni delapan orang saja.
Jadi tak terlalu susah membuat kami menjadi satu kelompok kerja.
“Hari ini kerjanya di mana?” Ardan
menanyakannya lebih dulu.
“Di rumahku!” Randi mengusulkan.
“Bosan ah. Kayak nggak ada tempat lain
aja?” Edo menolak.
“Rumah Ardan?” Rosalin mengusulkan.
“Ciiiieeeee... yang mau silaturahmi
sama Ardan!” ledekku, “rumah Ani aja, kan belum pernah tuh. Yang lain mah
bosan.”
“Tahu deh, yang mau ketemu sama
kakaknya Ani,” sindir Bagus.
“Lah terus di mana?”
“Rumah Rosalin aja, deket pantai. Seru
tuh,” usulan terakhir dari Ani menyudahi perdebatan kami.
...
Di sini tak ada kendaraan bermotor.
Sepeda pun jarang. Jadi, setelah pulang ke rumah masing-masing, siang itu kami
sepakat untuk berjalan kaki bersama.
“Nggak
ke rumah Asih, Li?” Bagus memukul pundakku.
“Apaan? Kan mau kerja kelompok.”
“Berarti kalau nggak ada kerja kelompok, kamu ke sana, kan?” Randi menangkap basah
akal bulusku.
“Aaahhh... Lagian Asih juga nggak lagi di rumah kok,” Ani memotong pembicaraan kami.
“Nah loh? Kemana?” Edo mencari tahu.
“Dia tuh ada kerja kelompok juga di
rumah Jasti,” terang Ani.
“Rumah siapa?”
“Rumah Jasti, Li. Kakaknya Rosalin.”
”Jadi anak kelas enam juga ada di
sana?”
“IYA, ALI!!!” semua membentakku.
...
Benar saja, setibanya kami di tempat
tujuan mereka sudah berkumpul.
“Eh, ada Ratih juga,” Randi berlagak
tak tahu apa-apa. Yang digoda diam saja, sibuk dengan tugasnya. Siang itu semua
sibuk dengan penanya masing-masing. Menggarap habis soal demi soal yang
tertera, tak lupa jawaban disertakan.
Pantai dalam balutan semilir angin
menjadi saksi keakraban kami. Indahnya masa kecil, bercanda tawa, masa seperti
inilah yang di masa depan nati pasti akan kita rindukan.
“Kawan-kawan. Saya ingin kita berjanji.
Suatu hari di masa depan nanti, kita bisa kembali ke tempat ini dan
menceritakan semua yang sudah kita lalui,” Ardan tiba-tiba menjadi sangat
serius.
“Persahabatan jangan habis sampai di
sini,” aku ikut menimpali.
“Sahabat sampai mati!”
Tiba-tiba hujan mengguyur dengan lebat.
Seolah ingin mengikat janji bersama. Membuat satu lagi kisah terukir. Di saat
yang lain sibuk mencari tempat untuk berteduh. Asih justru tak bergeming.
“Sih, hujan!” aku mengingatkan.
“Setelah hujan ada pelangi,” dia
menjawab dengan lembut, “aku ingin lihat pelangi.”
“Kan bisa nanti. Setelah hujannya
reda.”
“Aku tak ingin kehilangan moment.”
“Aku akan menemanimu,” kumenghalangi
ribuan rintik yang tumpah di kepalanya dengan sehelai daun pisang. Asih hanya
tersenyum.
Hujan pun reda. Yang ia nanti pun
akhirnya menampakan diri. Pelangi.
“Ali, aku ingin kau pun berjanji untuk
kita berdua. Suatu hari nanti di masa depan nanti, aku dan kamu kembali ke
tempat ini dan menatap pelangi yang sama.”
“Asal kamu mau menungguku.”
“Aku janji akan setia menunggumu. Ali.”
...
Sebulan kemudian. Ujian kelulusan untuk
siswa kelas enam pun dilaksanakan. Sama seperti ujian-ujian sebelumnya. Ujian
mereka harus disatukan dengan sekolah lain sekecamatan, hal ini dikarenakan
jumlah siswa tiap sekolah hanya berjumlah kurang dari lima belas orang tiap
tahunnya.
Setelah dinyatakan lulus, mereka yang
ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya harus ke kota. Di kampung,
satu-satunya fasilitas sekolah hanya sebatas sekolah dasar. Ya, itu pula yang
dilakukan Asih, kabar yang kudengar ia masuk pesantren.
Setahun kemudian. Aku dan angkatanku
pun menyusul untuk lulus. Laskar tanpa nama pun seperti lenyap ditelan bumi.
Nyaris tak ada kabar dari mereka hingga bertahun-tahun. Aku pun makin jauh
terlempar dari tempat di ujung barat pulau tertimur tanah air itu.
...
Bertahun-tahun kemudian. Aku kembali
ketempat itu. Memenuhi janji kepada sahabat-sahabat masa kecilku dan janji
kepda seseorang. Namun, ada rasa kecewa berkecamuk di batinku. Dia tak bisa
menepati janjinya untuk menungguku.
***
“Kamu
masih ingat janji itu?”
Aku
menatapnya yang masih asyik menikmati pesona menggoda sang pelangi.
“Aku
tidak lupa. Tapi aku janji tak akan mengingatnya lagi.”
“Mengapa?”
“Kau
tahu sendiri alasannya.”
Dia
menunduk. Ada raut penyesalan di wajahnya. Dari paras matanya yang berkaca-kaca,
dia tampak sedang mengenang pula.
“Maaf!”
sayup terdengar suara lembutnya berbisik nyaris menyatu dengan semilir angin,
“kau berhasil menepati janjimu. Tapi aku, aku tak bisa menepati janjiku. Maaf,
Li.”
Bulir
air matanya tumpah menyatu dengan lautan penyesalan yang terhampar di hadapnya.
Aku hanya tersenyum tipis dan berkata, “sudahlah.”
...
“Asih!”
seseorang memanggil namanya.
Asih
mengusap air matanya dan berbalik.
“Itu
suami dan anakku,” ujarnya sambil tersenyum tipis ke arah mereka.
Langkahnya
pun perlahan menghampiri. Menjauh dariku. Bahkan bayangan diri yang tercipta
dari siraman cahaya senja pun ikut menjauh. Seakan semua kenangan telah
terhapus desiran ombak yang sedari tadi bernyanyi bersama semilir angin yang
menggoda. Warna-warni pelangi pun telah pudar.
Aku
masih asyik menikmati langit senja. Terpaku oleh ribuan kenangan yang begitu
sadisnya membuatku bungkam. Harusnya aku mungkin tak seperti ini.
“Ali,”
aku menoleh ke arah Asih yang sudah setengah jalan menuju pria yang setia menantinya
di ujung sana, “jaga Ratih ya! Ingat, dia itu sahabatku.”
Aku
hanya tersenyum tipis tanpa menjawab apa pun. Langkah Asih akhirnya sampai.
Mereka adalah keluarga kecil yang sangat bahagia. Aku masih berdiri di sana,
menatap punggung mereka yang perlahan mulai mejauh. Sesekali Asih menoleh ke
arahku dan tersenyum.
...
“Ali?”
wanita itu tiba-tiba muncul di hadapanku dengan senyum manisnya-senyum manis
nona Manado-.
“Ratih?”
“Yuk!”
masih dengan senyuman yang sama. Dia menjulurkan tangannya.
Aku
membalas dengan senyuman pula. Menunduk sejenak. Kemudian kembali menatap
senja. Menunduk lagi. Menghela napas dan memantapkan langkah menuju masa depan
baru yang setia menantiku. Lalu menggandeng tangannya dan berjuang hingga
akhir.
...
Seandainya Ardan masih ada. Dia pasti
akan menertawakanku.
***
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERPEN | Pelangi Abu-Abu"
Post a Comment