FIKSI MINI | Terserah Tuhan
Friday, November 30, 2018
Add Comment
Terserah
Tuhan
Dia datang. Seperti
biasa aku bisa melihatnya. Matanya sedikit basah, mungkin karena cuaca di luar
sana tak bersahabat untuk wanita tua itu. Atau barangkali dia baru saja mandi,
itu terbukti dari aroma tubuhnya yang lebih wangi dari bunga imitasi di ruangan
ini.
“Apa kabar kau, nak?”
bicaranya sedikit bergetar dan matanya kembali lembab.
Aku tak menjawabnya.
Terserah bila dia akan marah atau mungkin mengutukku.
“Tenanglah! Kau akan
baik-baik saja.”
Ya, aku baik-baik
saja. Satu-satunya yang tidak baik hanyalah senyum bercampur duka yang terlihat
dari wajahnya. Aku seperti ingin bangkit dan lantas memeluknya lalu berkata,
“aku baik-baik saja, bu.”
“Sebentar lagi ayahmu
datang. Dia akan mendampingimu, kau akan baik-baik saja. Dan kita akan segera
menjadi keluarga yang utuh kembali,” dia mengulang kalimat itu lagi.
Benar saja, pria super
itu sudah tiba dengan senyum yang merekah –lebih baik dari ibu–, sepertinya dia
sudah mahir menyembunyikan sedihnya. Dengan kegagahannya diboponglah aku dari
atas kasur menuju sebuah kursi dengan empat buah roda: dua roda kecil dan dua
sisanya lebih besar.
“Kau adalah putra ayah
yang hebat, kau pasti bisa melewati semua ini,” pria itu masih sangat kuat, tak
takluk dengan air mata.
Aku membalasnya dengan
sebuah senyum yang agak berat. Bahkan untuk tersenyumpun sulit. Apa benar semua
akan baik-baik saja?
“Ya Tuhan, aku masih
ingin melihat mereka esok hari. Kumohon, kumohon pada-Mu!” bisikku lirih dalam hati.
“Semua akan baik-baik
saja,” semua orang berkata seperti itu, termasuk seorang dokter yang kali ini
sedang bertatap mata denganmu. Semua memang baik-baik saja, hanya mereka yang
terlalu berlebihan.
...
Tuhan mendengar doaku.
Pagi ini aku masih diizinkan-Nya membuka mata. Kali ini yang menyambutku adalah
seorang malaikat cantik. Tangannya menggenggamku, tersenyum dan menyakinkanku
untuk tetap bertahan di dunia ini. Apakah dia juga akan berkata “semua
baik-baik saja”?
“Kau masih punya janji
untuk menikahiku. Jangan buat aku berpikir kau sama saja dengan lelaki di
luaran sana,” aku salah. Dia justru datang untuk menagih hutang kepadaku.
Seperti biasa, aku tak
menjawab. Aku hanya sedikit tersenyum dan menggenggam tangannya lebih erat:
isyarat ‘Aku baik-baik saja dan akan segera membayar lunas hutangku’. Dengan
apa? Rambut saja aku tak punya.
“Mengapa kau
rahasiakan semua ini? Andai kau bisa mengatakannya lebih awal, semua pasti tak
seperti ini,” matanya berkaca-kaca dan dia tak sehebat ayah atau ibu, tangisnya
pecah.
“Ya Tuhan, aku tak
tega melihatnya menangis,” Tuhan tak menjawab.
Kuusap pelan air
matanya. Untuk melakukan itu aku perlu banyak tenaga. Penyakit yang
menggerogoti otakku membuatku nyaris tak bisa apa-apa.
Ayah dan ibu datang.
Mengganggu suasana drama yang sudah terbangun secara apik. Dengan sigap gadisku
menghapus air matanya yang tersisa dan berlaku seolah tak terjadi apa-apa. Kali
ini mereka tak sendiri, seseorang yang tak kukenali mengikuti dari belakang:
mungkin dokter baru yang akan menanganiku.
“Bagaimana keadaanmu?”
seperti biasa mereka kembali menanyakan sesuatu yang bisa mereka lihat sendiri.
'Aku tak baik-baik saja'.
“Dia baik. Dia semakin
baik,” bukan aku yang menjawab, tapi malaikat cantikku.
“Ya Tuhan, apakah Kau
masih mengizinkanku untuk melihat senyum mereka esok pagi?” sama, Tuhan tak menjawab. Apa mungkin Tuhan sedang sakit juga? Atau
Dia sedang sibuk mengurusi doa-doa hamba-Nya yang lain? Atau mungkin Dia sudah
bosan mendengar keluhanku? Entahlah.
Dokter baru itu tak
berkata apa-apa. Hanya tersenyum dan berdiri tepat di sampingku. Entah apa yang
akan dia lakukan? Aku tak peduli, yang terpenting dia bisa membuatku masih
bernapas esok pagi.
Tiba-tiba, semua
gelap. Aku bisa mendengar tiga suara memanggilku secara bersamaan dan penuh
kepanikan. Aku tak bisa merasakan apa-apa, tubuhku seperti terpaku. Suara-suara
perlahan mulai hilang. Dingin. Sunyi. Gelap.
“Ya Tuhan, apa yang
akan Kau lakukan?” Tuhan tak menjawab lagi, “apapun
yang Kau lakukan, aku tak akan lagi memaksa-Mu untuk melakukan yang kuinginkan.
Ya Tuhan, semua terserah Kau saja.”
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "FIKSI MINI | Terserah Tuhan"
Post a Comment