FIKSI MINI | Terserah Tuhan


Terserah Tuhan
Dia datang. Seperti biasa aku bisa melihatnya. Matanya sedikit basah, mungkin karena cuaca di luar sana tak bersahabat untuk wanita tua itu. Atau barangkali dia baru saja mandi, itu terbukti dari aroma tubuhnya yang lebih wangi dari bunga imitasi di ruangan ini.
“Apa kabar kau, nak?” bicaranya sedikit bergetar dan matanya kembali lembab.
Aku tak menjawabnya. Terserah bila dia akan marah atau mungkin mengutukku.
“Tenanglah! Kau akan baik-baik saja.”
Ya, aku baik-baik saja. Satu-satunya yang tidak baik hanyalah senyum bercampur duka yang terlihat dari wajahnya. Aku seperti ingin bangkit dan lantas memeluknya lalu berkata, “aku baik-baik saja, bu.”
“Sebentar lagi ayahmu datang. Dia akan mendampingimu, kau akan baik-baik saja. Dan kita akan segera menjadi keluarga yang utuh kembali,” dia mengulang kalimat itu lagi.
Benar saja, pria super itu sudah tiba dengan senyum yang merekah –lebih baik dari ibu–, sepertinya dia sudah mahir menyembunyikan sedihnya. Dengan kegagahannya diboponglah aku dari atas kasur menuju sebuah kursi dengan empat buah roda: dua roda kecil dan dua sisanya lebih besar.
“Kau adalah putra ayah yang hebat, kau pasti bisa melewati semua ini,” pria itu masih sangat kuat, tak takluk dengan air mata.
Aku membalasnya dengan sebuah senyum yang agak berat. Bahkan untuk tersenyumpun sulit. Apa benar semua akan baik-baik saja?
“Ya Tuhan, aku masih ingin melihat mereka esok hari. Kumohon, kumohon pada-Mu!” bisikku lirih dalam hati.
“Semua akan baik-baik saja,” semua orang berkata seperti itu, termasuk seorang dokter yang kali ini sedang bertatap mata denganmu. Semua memang baik-baik saja, hanya mereka yang terlalu berlebihan.
...
Tuhan mendengar doaku. Pagi ini aku masih diizinkan-Nya membuka mata. Kali ini yang menyambutku adalah seorang malaikat cantik. Tangannya menggenggamku, tersenyum dan menyakinkanku untuk tetap bertahan di dunia ini. Apakah dia juga akan berkata “semua baik-baik saja”?
“Kau masih punya janji untuk menikahiku. Jangan buat aku berpikir kau sama saja dengan lelaki di luaran sana,” aku salah. Dia justru datang untuk menagih hutang kepadaku.
Seperti biasa, aku tak menjawab. Aku hanya sedikit tersenyum dan menggenggam tangannya lebih erat: isyarat ‘Aku baik-baik saja dan akan segera membayar lunas hutangku’. Dengan apa? Rambut saja aku tak punya.
“Mengapa kau rahasiakan semua ini? Andai kau bisa mengatakannya lebih awal, semua pasti tak seperti ini,” matanya berkaca-kaca dan dia tak sehebat ayah atau ibu, tangisnya pecah.
“Ya Tuhan, aku tak tega melihatnya menangis,” Tuhan tak menjawab.
Kuusap pelan air matanya. Untuk melakukan itu aku perlu banyak tenaga. Penyakit yang menggerogoti otakku membuatku nyaris tak bisa apa-apa.
Ayah dan ibu datang. Mengganggu suasana drama yang sudah terbangun secara apik. Dengan sigap gadisku menghapus air matanya yang tersisa dan berlaku seolah tak terjadi apa-apa. Kali ini mereka tak sendiri, seseorang yang tak kukenali mengikuti dari belakang: mungkin dokter baru yang akan menanganiku.
“Bagaimana keadaanmu?” seperti biasa mereka kembali menanyakan sesuatu yang bisa mereka lihat sendiri. 'Aku tak baik-baik saja'.
“Dia baik. Dia semakin baik,” bukan aku yang menjawab, tapi malaikat cantikku.
“Ya Tuhan, apakah Kau masih mengizinkanku untuk melihat senyum mereka esok pagi?” sama, Tuhan tak menjawab. Apa mungkin Tuhan sedang sakit juga? Atau Dia sedang sibuk mengurusi doa-doa hamba-Nya yang lain? Atau mungkin Dia sudah bosan mendengar keluhanku? Entahlah.
Dokter baru itu tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum dan berdiri tepat di sampingku. Entah apa yang akan dia lakukan? Aku tak peduli, yang terpenting dia bisa membuatku masih bernapas esok pagi.
Tiba-tiba, semua gelap. Aku bisa mendengar tiga suara memanggilku secara bersamaan dan penuh kepanikan. Aku tak bisa merasakan apa-apa, tubuhku seperti terpaku. Suara-suara perlahan mulai hilang. Dingin. Sunyi. Gelap.
“Ya Tuhan, apa yang akan Kau lakukan?” Tuhan tak menjawab lagi, “apapun yang Kau lakukan, aku tak akan lagi memaksa-Mu untuk melakukan yang kuinginkan. Ya Tuhan, semua terserah Kau saja.”

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "FIKSI MINI | Terserah Tuhan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli dalam bentuk E-Book di Google Books dan di Payhip
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.