CERPEN | Aib
Friday, April 19, 2019
Add Comment
Aib
Karya:
Ahmad M Mabrur Umar
Biar
saja kuceritakan. Agar kau dan mereka tahu tentangku yang sebenarnya. Agar aku
bisa lega karena telah berkata jujur. Walau nanti, mungkin akan banyak yang
membenciku, termasuk kau barangkali. Kau akan menyebutku dengan semua sebutan
yang menjijikan: pembohong, penghianat atau bahkan jalang.
Dan
inilah kejujuranku,
***
Dimulai
saat aku memutuskan untuk tidak menamatkan jenjang pendidikan sekolah dasarku. Aku
sudah terlanjur malu dengan teman-teman kelasku. Mereka yang seangkatan
denganku sudah ada yang menamatkan SD-nya. Sedangkan aku masih setia di bangku
kelas empat.
“Asmirah,
kamu akan dijodohkan,” kata Abah dengan tatapan yang yang aneh padaku setelah
baru saja menerima tamu dari keluarga orang yang akan dijodohkan denganku,
“bagaimana?”
“Iya,
Asmi bersedia.”
Aku
tak pernah berpikir panjang kala itu. Bahkan aku tak pernah mempersoalkan
mengenai usiaku yang masih belia saat itu. Bayangkan saja saat anak-anak
seusiaku masih asyik bermain dan merasakan pendidikan di jenjang sekolah
menengah, aku justru harus berhadapan dengan pernikahan. Namun aku di saat itu,
tidak memekirkan hingga sejauh itu. Ah, sudahlah, lagipula pria yang tadi
datang bersama rombongan terlihat tak jauh berbeda usianya denganku dan lumayan
tampan.
Tiga
bulan kemudian. Akad dan resepsi sederhana diadakan. Tepat di bumi perantauan
ini perjalanan kehidupan baruku dimulai.
Semua
tak sesuai harapan. Pria yang dijodohkan denganku bukanlah pria tampan yang
kulihat beberapa bulan lalu. Yang bersanding tepat di sampingku kini adalah
pria dengan rentan usia yang sangat jauh dariku. Mungkin beda usia kami sekitar
dua puluh tahunan. Di acara pernikahan ini adalah pertama kalinya kita bertatap
muka.
...
Pria
ini bernama Amar. Bekerja di sebuah perusahan kayu sebagai orang yang cukup
penting, karena dia bertugas sebagai pencatat jenis-jenis kayu yang masuk dan
yang akan keluar dari perusahaan. Namun, upahnya hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan rokonya.
Sebulan
pernikahan kami berjalan dengan lebih banyak diam. Percakapan yang terjadi pun
hanya sekadar menanyakan “sudah makan, belum?”. Tiga bulan kemudian aku mengandung.
Moment yang bagi sebagian orang
adalah sebuah kebahagian, justru bagiku biasa saja.
Anak
pertamaku berjenis kelamin perempuan pun lahir. Saat itu aku melahirkan di
rumah Abah. Sedang suamiku tak ada di saat aku sedang berjuang melahirkan
anaknya. Dia sibuk mencari nafkah di dalam hutan, tinggal di sebuah camp perusahaan demi kelangsungan hidup
anak dan istrinya.
Sehari
setelah mendengar kelahiran anaknya, dia langsung bergegas pulang.
“Alhamdulillah!”
Terlihat
raut bahagia sekaligus haru di sana. Meski pernikahan kami adalah sebuah
keterpaksaan namun anak tetaplah menjadi tanggung jawab bersama.
Namun,
kebahagian itu tiba-tiba saja menjadi duka dalam beberapa hari. Anak pertama
kami meninggal dunia. Bahkan belum sempat diberi nama, sebab dalam budaya
leluhur Abah –Banten–, anak yang baru lahir baru boleh diberi nama di hari
ketujuhnya. Dan bayi kami meninggal di usia ke empat hari.
...
Setahun
kemudian, aku kembali mengandung dan melahirkan. Kali ini seorang anak
laki-laki, diberi nama Ahmad oleh Abah Tua[1]-nya dan diberi tambahan
nama Ali oleh bapaknya. Jadilah namanya Ahmad Ali. Dan di sinilah kehidupan
rumah tangga kami benar-benar telah dimulai.
Ali
tumbuh di dalam keluarga yang tak benar-benar bisa disebut keluarga. Terlalu
sering dia melihat aku dan bapaknya hanya bertengkar dengan alasan-alasan yang
tak jelas. Mungkin itulah yang membuat Ali menjadi anak yang pendiam.
...
Semua
sudah terjadi, aku terlanjur terjebak dalam situasi ini. Anak itu sudah semakin
beranjak dewasa. Anak yang entah terlahir atas dasar cinta atau hanya sekadar
nafsu belaka. Aku teteap menyayanginya sebab bagaimana pun juga dia adalah
darah-dagingku sendiri. Kalau saja bukan karena rasa kasihanku kepada anakku
mungkin sudah lama aku dan suamiku berpisah.
Bertahun-tahun
memendam penyesalan yang luar biasa. Aku selalu mencoba menerimanya namun
hingga saat ini tetap saja aku tak bisa. Aku tetap tak bisa untuk belajar
mencintai suamiku yang makin hari makin menampakkan kerentaannya. Meski pun dia
tak pernah mengeluh dan selalu berusaha keras untuk menghidupi aku dan anaknya.
Tetap saja aku tak pernah bisa mencintainya.
Kemelut
semakin memucak setelah kehadiran seorang lelaki. Kami bertemu saat dia baru
saja kembali ke desa dari perantauannya yang entah di mana. Awalnya kami hanya
berkenalan lalu menjadi semakin akrab.
“Asmi,
aku mencintaimu!” dan akhirnya dia menyatakan perasaannya padaku.
“Tapi,
kau tahu, Ata, aku ini sudah bersuami.”
“Aku
tahu, aku tak seharunya memiliki perasaan ini padamu. Tapi, aku juga tahu kau
tak bahagia dengan suamimu.”
“Biar
bagaimana pun dia tetaplah suamiku.”
“Ceraikan
dia!”
“Aku
tak bisa melakukan itu. Ada anakku yang harus kupikirkan juga nasibnya.”
“Aku
bisa membiayaimu dan anakmu!”
Pilihan
yang memang sangat membingungkan. Di satu sisi aku memang sudah muak dengan
suamiku dan aku juga mencintai lelaki yang baru saja hadir dalam hidupku,
lelaki yang seumur denganku. Namun di sisi lain aku pun tak ingin anakku
menjadi korban keegoisanku sendiri.
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
...
Malam
sekiktar pukul 22:00 WIT. Seseorang mengetuk jendela kamarku. Untuk beberapa
saat aku tak menghiraukannya, tapi suara itu pun tak meu pergi. Lalu aku
memberanikan diri untuk membukanya dan terkejutlah aku ketika tahu siapa yang
ada di baliknya.
“Atari?”
Ata
alias Atari, seorang pria yang siang tadi baru saja menyatakan cintanya padaku.
Kondisi
rumah malam itu hanya ada aku bersama anakku di kamar yang sama lalu Abah dan
Emak di kamar yang berbeda.
“Apa
yang kau lakukan di sini?”
“Aku
mencintaimu, Asmirah!”
“Aku
tahu, tapi situasinya sama seperti apa yang kuceritakan siang tadi.”
“Aku
tahu, karenanya aku ke sini malam ini untuk mengajakmu pergi bersamaku.”
Mendengar
pernyataannya, aku sedikit terkejut dan memalingkan wajah ke arah anakku yang
sedang tertidur pulas.
“Ali
sudah cukup besar. Dia sudah kelas lima SD.”
“Walau
begitu aku tetap saja tidak akan bisa meninggalkan anakku.”
Tiba-tiba
rintik hujan mulai berdatangan. Dengan cepat Ata menerobas masuk melalui
jendela kamarku. Seketika aku terkejut dan memejamkan mata. Saat kubuka mataku,
wajah Ata tepat berada hi hadapanku, kami saling tatap beberapa saat.
Selanjutnya hubungan cinta kita malam itu semakin jauh. Hubungan yang tak
seharusnya ada dan terjalin di antara aku dan Ata.
Malam-malam
selanjutnya Ata kembali datang menemuiku dengan cara yang sama. Hanya saja kali
ini Ata tak lagi bersikeras untuk mengajakku pergi. Kami hanya mengobrol biasa sambil
memelankan suara agar tak terdengar oleh seisi rumah.
“Ata,
sebaiknya kamu tidak perlu terlalu sering ke mari!” aku memperingatkan pria
itu.
“Kita
lihat saja nanti, apakah aku bisa melakukannya?”
“Terlalu
berbahaya, Ata!”
“Aku
tahu,” Ata tersenyum tersamarkan remang-remang, “tenanglah, semua akan
baik-baik saja!”
Aku
hanya tersenyum mendengar perkataannya.
...
Sebulan
kemudian. Aku merasa ada yang aneh, siklus menstruasiku tak berjalan seperti
biasa. Setelah kulakukan pengecekkan menggunakan test pack, hasilnya positif aku mengandung. Ata harus tahu soal
ini.
“Keluargaku
berniat menikahkanku dengan seorang wanita,” nada Ata menurun dan dengan
menundukan kepalanya.
“Kau
terima?”
“Aku
sudah berusaha menolaknya, tapi tidak bisa mereka tetap ngotot.”
Dua
bulan setelah itu, Ata benar-benar menikah dengan wanita itu. Wanita yang jauh
lebih muda dariku dan juga Ata. Aku hadir dan ikut memberikan selamat. Sakit
rasanya harus menyaksikan itu semua.
Dan
tujuh bulan kemudian, anak itu lahir dan diberi nama Yana. Anak yang mungkin
tak akan pernah tahu siapa ayahnya yang sebenarnya. Ali terlihat sangat bahagia
setelah sebelas tahun akhirnya dia memiliki adik. Ali dan Yana, dua anak yang
tahu apa-apa ini pun harus turut menjadi korban kebohonganku.
...
Setelah
Ali lulus dari bangku Sekolah Dasar, bapaknya memutuskan untuk meninggalkan
tanah rantaunya dan kembali ke tanah kelahirannya nan jauh. Aku dan Yana yang
baru berusia setahun pun sempat ikut. Namun beberapa bulan kemudian aku dan
Yana kembali ke tanah penuh kenangan ini dengan alasan akan menjemput Abah dan
Emak, tapi hingga saat ini aku tak pernah kembali ke tanah kelahiran suamiku.
Aku pun mengirimkan surat cerai kepada suamiku sekaligus surat permohonan maaf.
Sebuah keadaan yang membuatku harus berpisah pula dengan anak pertamaku, Ali.
Waktu
berlalu begitu saja. Membiarkan yang pergi berlalu, yang datang menetap. Abah
dan Emak kini sudah berada di sisi-Nya. Aku pun sudah menikah lagi dengan
seorang juragan pemilik peternakan sapi.
***
Sebuah
kisah hidup yang memilukan sekaligus memalukan. Aku mengenangnya hanya karena
aku ingin mengenangnya. Dan sekaligus sebagai sebuah pengakuan terbesarku.
...
Maaf...!
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERPEN | Aib"
Post a Comment