CERPEN | Aib


Aib
Karya: Ahmad M Mabrur Umar
Biar saja kuceritakan. Agar kau dan mereka tahu tentangku yang sebenarnya. Agar aku bisa lega karena telah berkata jujur. Walau nanti, mungkin akan banyak yang membenciku, termasuk kau barangkali. Kau akan menyebutku dengan semua sebutan yang menjijikan: pembohong, penghianat atau bahkan jalang.
Dan inilah kejujuranku,
***
Dimulai saat aku memutuskan untuk tidak menamatkan jenjang pendidikan sekolah dasarku. Aku sudah terlanjur malu dengan teman-teman kelasku. Mereka yang seangkatan denganku sudah ada yang menamatkan SD-nya. Sedangkan aku masih setia di bangku kelas empat.
“Asmirah, kamu akan dijodohkan,” kata Abah dengan tatapan yang yang aneh padaku setelah baru saja menerima tamu dari keluarga orang yang akan dijodohkan denganku, “bagaimana?”
“Iya, Asmi bersedia.”
Aku tak pernah berpikir panjang kala itu. Bahkan aku tak pernah mempersoalkan mengenai usiaku yang masih belia saat itu. Bayangkan saja saat anak-anak seusiaku masih asyik bermain dan merasakan pendidikan di jenjang sekolah menengah, aku justru harus berhadapan dengan pernikahan. Namun aku di saat itu, tidak memekirkan hingga sejauh itu. Ah, sudahlah, lagipula pria yang tadi datang bersama rombongan terlihat tak jauh berbeda usianya denganku dan lumayan tampan.
Tiga bulan kemudian. Akad dan resepsi sederhana diadakan. Tepat di bumi perantauan ini perjalanan kehidupan baruku dimulai.
Semua tak sesuai harapan. Pria yang dijodohkan denganku bukanlah pria tampan yang kulihat beberapa bulan lalu. Yang bersanding tepat di sampingku kini adalah pria dengan rentan usia yang sangat jauh dariku. Mungkin beda usia kami sekitar dua puluh tahunan. Di acara pernikahan ini adalah pertama kalinya kita bertatap muka.
...
Pria ini bernama Amar. Bekerja di sebuah perusahan kayu sebagai orang yang cukup penting, karena dia bertugas sebagai pencatat jenis-jenis kayu yang masuk dan yang akan keluar dari perusahaan. Namun, upahnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan rokonya.
Sebulan pernikahan kami berjalan dengan lebih banyak diam. Percakapan yang terjadi pun hanya sekadar menanyakan “sudah makan, belum?”. Tiga bulan kemudian aku mengandung. Moment yang bagi sebagian orang adalah sebuah kebahagian, justru bagiku biasa saja.
Anak pertamaku berjenis kelamin perempuan pun lahir. Saat itu aku melahirkan di rumah Abah. Sedang suamiku tak ada di saat aku sedang berjuang melahirkan anaknya. Dia sibuk mencari nafkah di dalam hutan, tinggal di sebuah camp perusahaan demi kelangsungan hidup anak dan istrinya.
Sehari setelah mendengar kelahiran anaknya, dia langsung bergegas pulang.
“Alhamdulillah!”
Terlihat raut bahagia sekaligus haru di sana. Meski pernikahan kami adalah sebuah keterpaksaan namun anak tetaplah menjadi tanggung jawab bersama.
Namun, kebahagian itu tiba-tiba saja menjadi duka dalam beberapa hari. Anak pertama kami meninggal dunia. Bahkan belum sempat diberi nama, sebab dalam budaya leluhur Abah –Banten–, anak yang baru lahir baru boleh diberi nama di hari ketujuhnya. Dan bayi kami meninggal di usia ke empat hari.
...
Setahun kemudian, aku kembali mengandung dan melahirkan. Kali ini seorang anak laki-laki, diberi nama Ahmad oleh Abah Tua[1]-nya dan diberi tambahan nama Ali oleh bapaknya. Jadilah namanya Ahmad Ali. Dan di sinilah kehidupan rumah tangga kami benar-benar telah dimulai.
Ali tumbuh di dalam keluarga yang tak benar-benar bisa disebut keluarga. Terlalu sering dia melihat aku dan bapaknya hanya bertengkar dengan alasan-alasan yang tak jelas. Mungkin itulah yang membuat Ali menjadi anak yang pendiam.
...
Semua sudah terjadi, aku terlanjur terjebak dalam situasi ini. Anak itu sudah semakin beranjak dewasa. Anak yang entah terlahir atas dasar cinta atau hanya sekadar nafsu belaka. Aku teteap menyayanginya sebab bagaimana pun juga dia adalah darah-dagingku sendiri. Kalau saja bukan karena rasa kasihanku kepada anakku mungkin sudah lama aku dan suamiku berpisah.
Bertahun-tahun memendam penyesalan yang luar biasa. Aku selalu mencoba menerimanya namun hingga saat ini tetap saja aku tak bisa. Aku tetap tak bisa untuk belajar mencintai suamiku yang makin hari makin menampakkan kerentaannya. Meski pun dia tak pernah mengeluh dan selalu berusaha keras untuk menghidupi aku dan anaknya. Tetap saja aku tak pernah bisa mencintainya.
Kemelut semakin memucak setelah kehadiran seorang lelaki. Kami bertemu saat dia baru saja kembali ke desa dari perantauannya yang entah di mana. Awalnya kami hanya berkenalan lalu menjadi semakin akrab.
“Asmi, aku mencintaimu!” dan akhirnya dia menyatakan perasaannya padaku.
“Tapi, kau tahu, Ata, aku ini sudah bersuami.”
“Aku tahu, aku tak seharunya memiliki perasaan ini padamu. Tapi, aku juga tahu kau tak bahagia dengan suamimu.”
“Biar bagaimana pun dia tetaplah suamiku.”
“Ceraikan dia!”
“Aku tak bisa melakukan itu. Ada anakku yang harus kupikirkan juga nasibnya.”
“Aku bisa membiayaimu dan anakmu!”
Pilihan yang memang sangat membingungkan. Di satu sisi aku memang sudah muak dengan suamiku dan aku juga mencintai lelaki yang baru saja hadir dalam hidupku, lelaki yang seumur denganku. Namun di sisi lain aku pun tak ingin anakku menjadi korban keegoisanku sendiri.
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
...
Malam sekiktar pukul 22:00 WIT. Seseorang mengetuk jendela kamarku. Untuk beberapa saat aku tak menghiraukannya, tapi suara itu pun tak meu pergi. Lalu aku memberanikan diri untuk membukanya dan terkejutlah aku ketika tahu siapa yang ada di baliknya.
“Atari?”
Ata alias Atari, seorang pria yang siang tadi baru saja menyatakan cintanya padaku.
Kondisi rumah malam itu hanya ada aku bersama anakku di kamar yang sama lalu Abah dan Emak di kamar yang berbeda.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku mencintaimu, Asmirah!”
“Aku tahu, tapi situasinya sama seperti apa yang kuceritakan siang tadi.”
“Aku tahu, karenanya aku ke sini malam ini untuk mengajakmu pergi bersamaku.”
Mendengar pernyataannya, aku sedikit terkejut dan memalingkan wajah ke arah anakku yang sedang tertidur pulas.
“Ali sudah cukup besar. Dia sudah kelas lima SD.”
“Walau begitu aku tetap saja tidak akan bisa meninggalkan anakku.”
Tiba-tiba rintik hujan mulai berdatangan. Dengan cepat Ata menerobas masuk melalui jendela kamarku. Seketika aku terkejut dan memejamkan mata. Saat kubuka mataku, wajah Ata tepat berada hi hadapanku, kami saling tatap beberapa saat. Selanjutnya hubungan cinta kita malam itu semakin jauh. Hubungan yang tak seharusnya ada dan terjalin di antara aku dan Ata.
Malam-malam selanjutnya Ata kembali datang menemuiku dengan cara yang sama. Hanya saja kali ini Ata tak lagi bersikeras untuk mengajakku pergi. Kami hanya mengobrol biasa sambil memelankan suara agar tak terdengar oleh seisi rumah.
“Ata, sebaiknya kamu tidak perlu terlalu sering ke mari!” aku memperingatkan pria itu.
“Kita lihat saja nanti, apakah aku bisa melakukannya?”
“Terlalu berbahaya, Ata!”
“Aku tahu,” Ata tersenyum tersamarkan remang-remang, “tenanglah, semua akan baik-baik saja!”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya.
...
Sebulan kemudian. Aku merasa ada yang aneh, siklus menstruasiku tak berjalan seperti biasa. Setelah kulakukan pengecekkan menggunakan test pack, hasilnya positif aku mengandung. Ata harus tahu soal ini.
“Keluargaku berniat menikahkanku dengan seorang wanita,” nada Ata menurun dan dengan menundukan kepalanya.
“Kau terima?”
“Aku sudah berusaha menolaknya, tapi tidak bisa mereka tetap ngotot.”
Dua bulan setelah itu, Ata benar-benar menikah dengan wanita itu. Wanita yang jauh lebih muda dariku dan juga Ata. Aku hadir dan ikut memberikan selamat. Sakit rasanya harus menyaksikan itu semua.
Dan tujuh bulan kemudian, anak itu lahir dan diberi nama Yana. Anak yang mungkin tak akan pernah tahu siapa ayahnya yang sebenarnya. Ali terlihat sangat bahagia setelah sebelas tahun akhirnya dia memiliki adik. Ali dan Yana, dua anak yang tahu apa-apa ini pun harus turut menjadi korban kebohonganku.
...
Setelah Ali lulus dari bangku Sekolah Dasar, bapaknya memutuskan untuk meninggalkan tanah rantaunya dan kembali ke tanah kelahirannya nan jauh. Aku dan Yana yang baru berusia setahun pun sempat ikut. Namun beberapa bulan kemudian aku dan Yana kembali ke tanah penuh kenangan ini dengan alasan akan menjemput Abah dan Emak, tapi hingga saat ini aku tak pernah kembali ke tanah kelahiran suamiku. Aku pun mengirimkan surat cerai kepada suamiku sekaligus surat permohonan maaf. Sebuah keadaan yang membuatku harus berpisah pula dengan anak pertamaku, Ali.
Waktu berlalu begitu saja. Membiarkan yang pergi berlalu, yang datang menetap. Abah dan Emak kini sudah berada di sisi-Nya. Aku pun sudah menikah lagi dengan seorang juragan pemilik peternakan sapi.
***
Sebuah kisah hidup yang memilukan sekaligus memalukan. Aku mengenangnya hanya karena aku ingin mengenangnya. Dan sekaligus sebagai sebuah pengakuan terbesarku.
...
Maaf...!


[1] Kakek

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERPEN | Aib"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo