CERPEN | Delusi
Friday, May 17, 2019
Add Comment
Delusi
Rintik air yang riuh menghujam dari langit menuju bumi
yang entah berdosa apa. Menyisakan aroma-aroma tanah yang khas nan menusuk
hidung. Di antara keriuhan itu, terdengar suara jeritan kepanasan dari didihan
air dalam teko besi yang tersundut api. Mungkin mereka ingin melompat keluar
dan menyambut kawan-kawan yang baru saja diutus dari langit. Sayang, mereka
terpaksa hanya menjadi kawan mie instanku yang kaku sedari tadi. Lumayan untuk
menghangatkan tubuh.
Ruang kaca berukuran seadanya ini memperlihatkan padaku dengan
jelas bagaimana air-air itu tertumpahan. Suhu semakin mendingin, jarum jam pun
seakan beku dibuatnya. Ah, lima menit lagi tidak terlalu lama. Setelah ini aku
bisa pulang dan merebah pada kasurku yang sudah menggoda khayalanku sedari
tadi.
...
“Kak, boleh nebeng payungnya?”
Saat payung hitam di tanganku akan kuregangkan untuk
menangkal hujan yang turun. Gadis dengan rambut hitam panjang terurai memasang
senyum memandangiku.
“Belum
ada pelangi tapi sudah ada bidadari,”
batinku usil.
“Ammmm....”
“Please, kak.
Aku buru-buru soalnya!” kali ini posisi tangannya saling menggenggam di depan
dadanya, kemudian wajahnya dipasang dengan ekspresi memelas.
“Memangnya mau ke mana?”
“Ke rumah. Dekat kok, di depan situ, boleh yah?”
Aku mengangguk pelan dan dia terlihat sedikit lega lalu
tersenyum.
Sepanjang perjalanan menuju rumah si gadis, tak ada
sedikit pun perbincangan yang kami lakukan. Hanya sesekali ia tersenyum ke
arahku. Dia berjalan di samping kiriku sambil menggandeng tanganku dan sedikit
menyandarkan tubuhnya, menghindar dari percikan hujan yang mungkin akan
menyakiti kulit cantiknya.
Tibalah di pintu rumahnya yang sederhana. Ruko dengan
emperan tak terlalu luas yang basah karena hujan.
“Yang ini rumahku, kak. Terima kasih, ya,” dia tersenyum
lagi.
“Kalau begitu, saya permisi dulu.”
“Iya, hati-hati, kak.”
Hingga kakiku berjalan beberapa langkah di depannya, dia
masih saja memamerkan senyumnya yang indah. Semua itu terlihat jelas dari
bayangannya yang dengan baik dipantulkan oleh kaca mobil yang terparkir tepat
di depan rumah itu.
...
Pagi di hari yang lain. Suasana nampak cerah dari balik
ruang kaca. Sinar mentari menerobos masuk. Namun entah sore nanti, cuaca
belakangan ini memang tak menentu. Ruangan ini sengaja dibuat dengan dinding
kaca, mengarah langsung ke jalanan dan di sisi lain menampakkan pepohonan yang
rimbun. Kata si bos, agar para penulis berita di ruangan ini –termasuk aku–
mudah menyerap inspirasi. Ah, mungkin alasan si bos saja agar tak banyak
membeli bahan untuk membuat tembok di sana –inpirasi kan bisa didapatkan saat
terjun ke lapangan untuk mencari berita–.
...
Menjelang sore, awan kembali menghitam. Sinar mentari
meredup. Aku menatap ke tiga arah secara bergantian. Pertama, cuaca yang tak
mendukung di luar sana, untuk memprediksi kapan hujan akan mulai mengguyur.
Kedua, jam dinding yang seakan mulai melambatkan geraknya, untuk memprediksikan
apakah aku akan pulang sebelum hujan mengguyur atau akan sama dengan kemarin,
pulang saat hujan turun. Dan ketiga, jalanan yang mulai sepi karena cuaca. Di sana
tak hanya jalanannya saja yang kuperhatikan, barangkali dia ada lagi, gadis
yang kemarin sepayung denganku.
***
Sama seperti kemarin, hujan mengguyur sekitar lima menit
sebelum jam pulang. Dan seperti kemarin pula, aku memutuskan menembus hujan
dengan payung hitam yang sudah kusediakan sedari awal. Seperti kata pepatah,
“sedia payung sebelum hujan” dan secara harfiah, saat ini aku melakukannya.
Pintu ruangan kubuka. Mulai menyusuri lorong menuju pintu
utama di ujung sana. Sesekali membalas senyum beberapa pegawai yang yang
kutemui. Ada yang masih asyik di meja kerjanya, ada yang mulai bergegas
mengenakan mantel hujannya, dan ada juga yang mengeluh dengan cuaca di luar
sana –tapi, mereka memang sering seperti itu, diberi hujan mengeluh, diberi
panas pun mengeluh–. Pintu utama hampir kucapai, samar seseorang berdiri di
sana. Aku mengenalnya.
“Mau nebeng payung
lagi?” aku sedikit mengejutkannya.
“Hei, kak. Kita ketemu lagi,” masih dengan senyum
khasnya.
“Mau ikut?” kali ini aku yang menawarkannya.
“Boleh.”
Kali ini perjalanan kami tak sesepi kemarin. Beberapa hal
kami bicarakan.
“Kakak kerja di penerbit juga?”
“Iya.”
“Divisi apa?”
“Divisi penulis.”
“Wah, keren.”
“Kamu kerja di sana juga?”
“Iya, baru seminggu.”
“Oh, pantas baru lihat.”
...
“Sudah sampai, terima kasih ya, kak. Ini kedua kalinya
aku dianterin sama kakak.”
“Iya, sama-sama.”
“Oh, ya nama kakak siapa?”
“Namaku~~~”
***
“Woy! Ayo pulang! Udah jam pulang nih, pikirin apa sih?” seorang teman mengejutkanku, buyarlah semua
adengan menyenangkan di kepalaku.
Aku kembali mengarahkan pandangan ke luar kaca. Gadis itu
tetap tak di sana. Bahkan aku belum tahu siapa namanya.
...
Hujan tak kunjung reda. Kata kebanyakan orang, hujan
rintik alias gerimis seperti ini memang akan menyita waktu lama. Sebagian
penyair ada yang bersabda, bahwa hujan
seperti ini mengandung satu persen air dan sembilan puluh sembilan persennya
adalah kenangan. Entah ini adalah kenangan atau aku adalah pengidap delusi[1]?
***
Kembali menyusuri lorong dengan suara sepatu yang
bergesekan pada lantai. Beberapa orang di sini melemparkan senyumnya padaku,
yang lain sibuk dengan jas hujannya dan beberapa keluhan tentang cuaca yang tak
menentu.
Tibalah aku di pintu utama. Pintu kubuka dan pemandangan
di luar sana dalah rintik hujan dan langit abu-abu yang tak bersahabat. Aku
berdiri di sana dan menyiapkan payungku agar tangguh menerjang hujan. Dan mulai
melangkah.
Belum terlalu jauh melangkah suara seseorang menghentikan
langkahku,
“Boleh nebeng...”
Suara yang sepertinya tak asing, aku berbalik dan dia
melanjutkan kalimatnya,
“...lagi?”
...
[1] Sejenis gangguan mental
yang perlu penanganan serius. Penderita delusi selalu yakin mengalami masalah
yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERPEN | Delusi"
Post a Comment