CERPEN | Delusi


Delusi
Rintik air yang riuh menghujam dari langit menuju bumi yang entah berdosa apa. Menyisakan aroma-aroma tanah yang khas nan menusuk hidung. Di antara keriuhan itu, terdengar suara jeritan kepanasan dari didihan air dalam teko besi yang tersundut api. Mungkin mereka ingin melompat keluar dan menyambut kawan-kawan yang baru saja diutus dari langit. Sayang, mereka terpaksa hanya menjadi kawan mie instanku yang kaku sedari tadi. Lumayan untuk menghangatkan tubuh.
Ruang kaca berukuran seadanya ini memperlihatkan padaku dengan jelas bagaimana air-air itu tertumpahan. Suhu semakin mendingin, jarum jam pun seakan beku dibuatnya. Ah, lima menit lagi tidak terlalu lama. Setelah ini aku bisa pulang dan merebah pada kasurku yang sudah menggoda khayalanku sedari tadi.
...
“Kak, boleh nebeng payungnya?”
Saat payung hitam di tanganku akan kuregangkan untuk menangkal hujan yang turun. Gadis dengan rambut hitam panjang terurai memasang senyum memandangiku.
“Belum ada pelangi tapi sudah ada bidadari,” batinku usil.
“Ammmm....”
Please, kak. Aku buru-buru soalnya!” kali ini posisi tangannya saling menggenggam di depan dadanya, kemudian wajahnya dipasang dengan ekspresi memelas.
“Memangnya mau ke mana?”
“Ke rumah. Dekat kok, di depan situ, boleh yah?”
Aku mengangguk pelan dan dia terlihat sedikit lega lalu tersenyum.
Sepanjang perjalanan menuju rumah si gadis, tak ada sedikit pun perbincangan yang kami lakukan. Hanya sesekali ia tersenyum ke arahku. Dia berjalan di samping kiriku sambil menggandeng tanganku dan sedikit menyandarkan tubuhnya, menghindar dari percikan hujan yang mungkin akan menyakiti kulit cantiknya.
Tibalah di pintu rumahnya yang sederhana. Ruko dengan emperan tak terlalu luas yang basah karena hujan.
“Yang ini rumahku, kak. Terima kasih, ya,” dia tersenyum lagi.
“Kalau begitu, saya permisi dulu.”
“Iya, hati-hati, kak.”
Hingga kakiku berjalan beberapa langkah di depannya, dia masih saja memamerkan senyumnya yang indah. Semua itu terlihat jelas dari bayangannya yang dengan baik dipantulkan oleh kaca mobil yang terparkir tepat di depan rumah itu.
...
Pagi di hari yang lain. Suasana nampak cerah dari balik ruang kaca. Sinar mentari menerobos masuk. Namun entah sore nanti, cuaca belakangan ini memang tak menentu. Ruangan ini sengaja dibuat dengan dinding kaca, mengarah langsung ke jalanan dan di sisi lain menampakkan pepohonan yang rimbun. Kata si bos, agar para penulis berita di ruangan ini –termasuk aku– mudah menyerap inspirasi. Ah, mungkin alasan si bos saja agar tak banyak membeli bahan untuk membuat tembok di sana –inpirasi kan bisa didapatkan saat terjun ke lapangan untuk mencari berita–.
...
Menjelang sore, awan kembali menghitam. Sinar mentari meredup. Aku menatap ke tiga arah secara bergantian. Pertama, cuaca yang tak mendukung di luar sana, untuk memprediksi kapan hujan akan mulai mengguyur. Kedua, jam dinding yang seakan mulai melambatkan geraknya, untuk memprediksikan apakah aku akan pulang sebelum hujan mengguyur atau akan sama dengan kemarin, pulang saat hujan turun. Dan ketiga, jalanan yang mulai sepi karena cuaca. Di sana tak hanya jalanannya saja yang kuperhatikan, barangkali dia ada lagi, gadis yang kemarin sepayung denganku.
***
Sama seperti kemarin, hujan mengguyur sekitar lima menit sebelum jam pulang. Dan seperti kemarin pula, aku memutuskan menembus hujan dengan payung hitam yang sudah kusediakan sedari awal. Seperti kata pepatah, “sedia payung sebelum hujan” dan secara harfiah, saat ini aku melakukannya.
Pintu ruangan kubuka. Mulai menyusuri lorong menuju pintu utama di ujung sana. Sesekali membalas senyum beberapa pegawai yang yang kutemui. Ada yang masih asyik di meja kerjanya, ada yang mulai bergegas mengenakan mantel hujannya, dan ada juga yang mengeluh dengan cuaca di luar sana –tapi, mereka memang sering seperti itu, diberi hujan mengeluh, diberi panas pun mengeluh–. Pintu utama hampir kucapai, samar seseorang berdiri di sana. Aku mengenalnya.
“Mau nebeng payung lagi?” aku sedikit mengejutkannya.
“Hei, kak. Kita ketemu lagi,” masih dengan senyum khasnya.
“Mau ikut?” kali ini aku yang menawarkannya.
“Boleh.”
Kali ini perjalanan kami tak sesepi kemarin. Beberapa hal kami bicarakan.
“Kakak kerja di penerbit juga?”
“Iya.”
“Divisi apa?”
“Divisi penulis.”
“Wah, keren.”
“Kamu kerja di sana juga?”
“Iya, baru seminggu.”
“Oh, pantas baru lihat.”
...
“Sudah sampai, terima kasih ya, kak. Ini kedua kalinya aku dianterin sama kakak.”
“Iya, sama-sama.”
“Oh, ya nama kakak siapa?”
“Namaku~~~”
***
“Woy! Ayo pulang! Udah jam pulang nih, pikirin apa sih?” seorang teman mengejutkanku, buyarlah semua adengan menyenangkan di kepalaku.
Aku kembali mengarahkan pandangan ke luar kaca. Gadis itu tetap tak di sana. Bahkan aku belum tahu siapa namanya.
...
Hujan tak kunjung reda. Kata kebanyakan orang, hujan rintik alias gerimis seperti ini memang akan menyita waktu lama. Sebagian penyair ada yang bersabda, bahwa  hujan seperti ini mengandung satu persen air dan sembilan puluh sembilan persennya adalah kenangan. Entah ini adalah kenangan atau aku adalah pengidap delusi[1]?
***
Kembali menyusuri lorong dengan suara sepatu yang bergesekan pada lantai. Beberapa orang di sini melemparkan senyumnya padaku, yang lain sibuk dengan jas hujannya dan beberapa keluhan tentang cuaca yang tak menentu.
Tibalah aku di pintu utama. Pintu kubuka dan pemandangan di luar sana dalah rintik hujan dan langit abu-abu yang tak bersahabat. Aku berdiri di sana dan menyiapkan payungku agar tangguh menerjang hujan. Dan mulai melangkah.
Belum terlalu jauh melangkah suara seseorang menghentikan langkahku,
“Boleh nebeng...
Suara yang sepertinya tak asing, aku berbalik dan dia melanjutkan kalimatnya,
“...lagi?”
...


[1] Sejenis gangguan mental yang perlu penanganan serius. Penderita delusi selalu yakin mengalami masalah yang sebenarnya tidak pernah terjadi.

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERPEN | Delusi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo