[CERPEN] Halte
Friday, October 25, 2019
Add Comment
Halte
Bangku
halte yang panjang masih terasa sempit untuk beberapa orang di sana. Lebih lagi
atap besi yang terpanggang sengatan matahari pukul dua sebelas mulai
menjerit-jerit. Anak-anak berlalu lalang menjajakan minuman dingin yang barang
kali bisa menghilangkan dahaga para pengunjun halte yang bermandi peluh sedari
tadi.
Suasana
makin riuh dengan suara-suara rengekan balita-balita yang barangkali mulai
lelah menunggu. Seperti biasa, semua orang hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Entah
itu ibu yang sibuk menenangkan rengekan si anak, seorang remaja yang sibuk
dengan eartphone di kepalanya atau
seorang bapak yang dengan setiap menatap lembar demi lembar koran hari ini,
dengan berita utama, “aksi mahasiswa di depan kantor DPRD menuai korban”.
“Sadis
betul, orang-orang yang hanya ingin menyuarakan keadilan malah disambut gas air
mata,” gerutunya sambil menggelang-gelangkan kepala.
“Mahasiswanya
juga anarkis,” sambungnya seperti berbicara dengan dirinya sendiri.
Entah
doa siapa yang sedang dikabulkan Tuhan. Atap besi yang terpanggang tadi mulai
bertepuk tangan, merasa lega menyambut hujan yang tiba-tiba mengguyur. Ah, siapa
pun yang mengirim doa ini, terima kasih kepadanya. Setidaknya itulah yang ada
di benak mereka yang sedari tadi mengeluh kepanasan.
Rintik-rintik
air yang jatuh itu seakan ingin ikut berteduh. Menerobos dan membasahi bangku
halte. Tentu seperti biasa, ada saja yang masih juga mengeluh. Ya, diberi panas
mengeluh, diberi hujan pun mengeluh. Mungkin Tuhan mulai bingung harus apa.
Aku
sebagai manusia biasa pun mulai tak suka dengan hujan kali ini. Bagaimana
tidak, di tengah bangku halte yang mulai pengap aku pun harus berusaha menjaga
jarak dengan jangkauan air yang datang. Sambil tetap menjaga pandangan ke arah sisi
lain bangku, tepat pada seorang gadis manis yang tampak sibuk dengan ponsel
pintarnya. Dengan sesekali tersenyum dan membuatku makin mengaguminya.
Tuhan, ini lebih baik
daripada hujan di tengah panas.
...
Aku
mulai liar. Celaka, dia menangkap basah aku yang tak bisa memalingkan pandangan
darinya. Seperti seorang pencuri yang kepalang basah, aku mengalihkan
pandangan, berpura-pura tak terjadi apa-apa. Kukembalikan pandanganku,
sayangnya yang kucari tak terlihat lagi di sana.
“Boleh
duduk di sini?”
Bagaimana bisa dia tiba-tiba
ada di dekatku?
“Tadi
saya berdiri sebentar untuk beli minum, pas balik sudah ada yang duduk di sana.
Dan cuma di sini yang kosong, jadi boleh saya duduk di sini?” jelasnya.
“Boleh,
tapi basah.”
“Aku
punya tisu, kok.”
Aku
mengangguk tanda mengizinkan. Dibalaslah dengan senyum manisnya. Lalu mulailah
dia membersihkan tempat yang akan menjadi singgasananya, kemudian melapisinya
dengan beberapa lembar tisu dan dengan manis mulai merapatkan duduknya.
Tuhan, mimpi apa aku
semalam.
“Auuu,”
dia mulai merintih sambil memegangi punggung tangannya.
“Kenapa?”
aku menoleh ke arahnya.
“Kemarin,
kena gas air mata.”
“Ikut
aksi juga?”
“Iya.
Cuma ikut-ikut sih. Soalnya diajak
sama teman.”
Aku
hanya tersenyum.
“Kamu
ikut juga?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kemarin
ada urusan,” aku mengelak, padahal seharian kemarin aku hanya tidur di kost.
Beberapa
obrolan, ada saja yang kami bicarakan. Kuliah, kampus, aksi dan beberapa hal
basa-basi lainnya. Bangku halte serasa milik berdua, hujan yang mengguyur,
udara yang mulai dingin tak terasa. Persetan dengan semua itu, aku sudah hangat
kali ini.
“Oh
iya, kamu mau mana?” dia bertanya.
“Pulkam.”[1]
“Selatan
atau Utara?”
“Selatan.”
“Berarti
kita searah. Nanti, di bus duduknya dekatan
yah. Soalnya saya sendiri, biar ada teman ngobrol!”
Aku
mengangguk. Siapa yang akan menolak, batinku.
“Dari
tadi, kita belum kenalan, ya? Namamu siapa?”
Itu yang daritadi ingin
kutanyakan padamu, kenapa baru sekarang?
“Namaku~~”
...
TIIIIIIIIITTTTTTTT
Klakson
bus yang super menggelegar membuyarkan imajiku. Gadis di ujung bangku itu masih
sibuk dengan ponsel pintarnya. Semua orang berhamburan menuju pintu bus. Aku
yang searah pun segera menggendong ranselku. Berlomba dengan yang lain,
berdesakkan.
Kupilih
kursi tengah dekat jendela kaca sebelah kiri. Kubiarkan pandanganku menerobos
kaca bening yang super tebal itu. Gadis tadi masih diam di tempat duduknya,
sama dengan tadi, pun masih sibuk dengan ponsel pintarnya. Seorang wanita
datang menghampirinya. Sedikit rasa lega di wajahnya. Ah, sial. Seorang pria
paruh baya dengan perawakan tinggi besar mengalangi pandanganku.
Musibah apa yang kau
turunkan padaku kali ini, Tuhan?
Ponsel
di saku celanaku berdering. Aku merogohnya, dan menatap layar untuk tahu siapa
yang meneleponku.
Bapak?
“Halo,
pak?”
“Kamu
sudah di mana, nak?”
“Masih
di halte, pak. Busnya baru mau berangkat. Mungkin tiga jam-an baru sampai di
situ.”
“Oh
ya. Hati-hati ya, nak!”
“Iya,
pak.”
Ponsel
kumatikan menaruhnya lagi di temapatnya. Pandanganku masih menembus ke arah
luar kaca bus. Pria tadi sudah tak ada lagi di tempatnya menghalangiku tadi. Si
gadis dan wanita yang menghampirinya pun telah berlalu entah ke mana?
“Auuu...”
seorang wanita merintih dari arah kananku sambil memegangi punggung tangannya.
Dan dia si gadis yang tadi duduk di ujung bangku halte.
“Maaf,
saya langsung duduk di sini, soalnya tadi kamu sedang menelepon. Boleh, kan?”
Aku
mengangguk dengan wajah yang masih tak percaya.
***
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[CERPEN] Halte"
Post a Comment