[CERPEN] Warna yang Tak Terlihat (Pelangi Abu-Abu 2)


Warna yang Tak Terlihat
“Ali?” wanita itu tiba-tiba muncul di hadapanku dengan senyum manisnya.
“Ratih?”
“Yuk!” masih dengan senyuman yang sama. Dia menjulurkan tangannya.
Aku membalas dengan senyuman pula. Menunduk sejenak. Kemudian kembali menatap senja. Menunduk lagi. Menghela napas dan memantapkan langkah menuju masa depan baru yang setia menantiku. Lalu menggandeng tangannya dan berjuang hingga akhir.
***
Eka Ratih, warna yang tak pernah kulihat. Aku terlalu sibuk dengan keindahan merah, kuning, dan hijau dari pelangi yang jauh kutatap. Tanpa sadar, masih ada warna pelangi lain yang indah. Bodohnya kornea mataku tak pernah mengenali itu.
Dan ini adalah cerita dari sudut pandang Ratih. Sudut pandang seorang pengagum sang pengagum. Maka, biarlah dia bercerita.
***
 Aku adalah Ratih yang bercerita,
Dari dulu Ali tak pernah tahu bagaimana aku mengaguminya dari sudut pandangku. Aku yang terus menatapnya dari jauh, yang setiap hari hanya mengaguminya dan mengenalnya tidak lebih dari punggungnya saja. Aku selalu berdiri di belakangnya.
...
“Ratih, ingat! Hari ini belajar kelompoknya di rumah Jasti,” Asih, sahabat karibku mengingatkan.
“Iya, nanti kita bareng, ya?”
“Oke!”
...
Sesuai janji, semua datang ke rumah Jasti yang berada tepat di pesisir pantai. Jaraknya lumayan jauh dari pemukiman desa. Tak terbayang teman sekolah yang lain harus berjalan kaki menuju sekolah setiap pagi.
Tak berapa lama kami memulai membahas pelajaran kami. Terdengarlah suara gaduh dari luar dan semakin jelas memasuki rumah. Rupanya para adik kelas pun akan melakukan belajar kelompok di sini, rumah Jasti, sekaligus Rosalin, adiknya. Ada Ali.
“Eh, ada Ratih juga,” aku berharap yang mengatakan itu adalah Ali, nyatanya bukan, dia adalah Randi ketua kelas mereka yang kata teman-teman punya rasa padaku. Aku diam saja.
Setelah beberapa lama, semua soal dan materi habis kami garap. Kami memutuskan untuk sejanak merasakan semilir angin di tepi pantai.
Pantai dalam balutan semilir angin menjadi saksi keakraban kami. Indahnya masa kecil, bercanda tawa, masa seperti inilah yang di masa depan nati pasti akan kita rindukan.
“Kawan-kawan. Saya ingin kita berjanji. Suatu hari di masa depan nanti, kita bisa kembali ke tempat ini dan menceritakan tentang semua yang telah kita lalui,” Ardan –seorang kawan dari kelas Randi dan Ali– tiba-tiba menjadi sangat serius.
“Persahabatan jangan habis sampai di sini,” Ali degan gagah ikut menimpali.
“Sahabat sampai mati!”
Tiba-tiba hujan mengguyur dengan lebat. Seolah ingin mengikat janji bersama. Membuat satu lagi kisah terukir. Di saat yang lain termasuk aku sibuk mencari tempat untuk berteduh. Asih justru tak bergeming. Dan terlihat Ali yang mencoba membujuk Asih.
Tak begitu jelas apa yang mereka perbincangkan. Ali terlihat berlalu sejenak dan kembali dengan daun pisang di tangannya. Dihalanginya ribuan rintik yang tumpah di kepala Asih.
“Mereka romantis, ya?” Randi berbisik ke arahku. Aku diam.
“Mereka serasi,” Rasmi ikut menimpali.
Rasanya aku ingin berkata, “hanya aku yang boleh mencintai Ali.” Namun apa daya, biar saja kupendam rasa ini dalam-dalam.
...
Sehari kemudian. Asih bercerita tentang semua yang terjadi. Dia bilang dia dan Ali punya janji yang untuk saling setia hingga kapan pun. Rasanya, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Aku diam.
Sebulan kemudian, ujian kelulusan dilaksanakan. Dan tiga bulan kemudian pengumuman hasil ujian resmi dikeluarkan. Kami lulus seratus persen. Tahun selanjutnya giliran Ali dan teman kelasnya. Kabar yang kudengar Ali melanjutkan pendidikannya di kampung halaman sang ayah yang jauh di sana. Sejak saat itu tak pernah lagi kudengar kabar tentang Ali.
Bertahun-tahun berlalu. Banyak hal yang terjadi. Berbagai macam cinta pernah singgah dan coba menggoda hatiku. Termasuk Randi, yang akhirnya berani mengunggapkan isi hatinya. Ada yang kubiarkan dia di hatiku, diam dan menetap untuk beberapa waktu. Tapi tidak dengan sisi hatiku yang masih kusediakan untuk Ali. Entah mengapa aku tak bisa mudah melupakan dia.
...
“Auuuhhh...” seorang pria menabrakku.
“Maaf, maaf. Kamu nggak apa-apa?” dia mencoba membantuku bangkit.
Setelah kami saling tatap. Tidak salah lagi itu wajah yang kukenal hanya saja sedikit bertambah dewasa.
“Ali?”
“Ratih?”
Awalnya hanya basa-basi. Akhirnya kami terlibat perbincangan dalam balutan nostalgia masa kecil. Masa di mana bermain adalah prioritas kami, masa di mana kami mengenal yang nama cinta pertama, seperti aku.
“Jadi, Ardan apa kabar?” Ali mengubah ekspresinya, “dia juga kembali ke kampung orang tuanya kan. Dan itu di daerah yang satu propinsi denganmu kam?”
“Ardan meninggal setahun yang lalu,” aku terkejut dan Ali melanjutkan ceritanya, “maaf nggak sempat ngabarin kalain. Soalnya nggak punya kontak kalian.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.”
“Dan kamu, kenapa kembali ke mari?” aku mencari pembahasan lain.
“Aku datang, buat menepati janjiku pada Ardan untuk bertemu kalian di dermaga itu. Dan menepati janji pada seseorang.” Seseorang yang ia maksud pasti Asih.
“Kamu belum tahu, Li?”
“Apa?”
“Asih sudah menikah, setahun yang lalu juga.”
Ali terlihat berkaca-kaca menahan sesuatu di matanya. Air mata yang nyaris tertumpah.
“Aku berusaha mencari kontakmu, untuk memberi tahu ini. Agar bisa menyampaikan undangan Asih untuk kamu. Tapi, tidak ada satu pun yang tahu tentang kontakmu.”
Sejak pertemuan itu, kami jadi lebih sering bertemu. Demi memenuhi permintan Ardan, untuk bisa berkumpul bersama di dermaga. Permintaan terakhir untuk kami para sahabatnya.
Sebagian mereka sulit dihubungi, karena telah berumahtangga dan bahkan ada yang telah tinggal di luar daerah. Butuh perjuangan untuk bisa mengumpulkan mereka. Perjuangan tak sia-sia. Dua bulan kemudian semua berhasil dihubungi dan disepakatilah satu hari untuk berkumpul di dermaga.
...
Hari yang dinanti telah tiba. Aku dan Ali tiba lebih dulu dari yang lain. Kami saling mengungkap syukur sebab akhirnya bisa mengumpulkan teman-teman lagi.
“Ratih!” Ali menatapku.
“Ya?”
“Terima kasih, ya. Sudah mau ikut sibuk demi Ardan.”
“Ardan juga kan temanku?”
“Aku harap setelah hari ini kita tetap masih bisa ngobrol”
“Iya, sudah simpan nomorku kan?”
Ali mengangguk.
“Ya berarti~~”
“Aku mencintaimu, Ratih.”
Benarkah Ali mengatakan itu padaku? Apa aku hanya bermimpi? Aku diam, tapi kali ini ada rasa gembira di hatiku. Tak kusangka orang yang kagumi selama ini akan menyatakan hal seperti itu padaku.
“Ratih?” Ali menatapku lagi, ya Tuhan aku tak sanggup.
“Bisa beri aku jawaban?”
Iya aku juga mencintaimu. Kata itu tertahan di hatiku, tak bisa keluar. Jantungku berdebar rasanya. Aliran darahku mulai tak wajar.
“Ratih!” seseorang memanggilku dan melambaikan tangannya.
“Itu Rasmi, dia sudah datang,” akhirnya ada kata yang bisa keluar dari mulutku, “aku ke sana dulu!”
“Aku harap setelah kamu kembali, ada jawaban.”
“Aku tersipu dan beranjak pergi.”
...
“Ali!” seorang menyapa Ali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh. Aku melihat seseorang telah menggantikanku berdiri di sisi Ali dan memandang ke arah yang sama. Dia Asih. Mereka sepertinya sedang melepas rindu dan berbagi cerita. Wajah yang saling kecewa tak bisa dibohongi.
Aku mendekat. Rasmi menahan langkahku agar tak melangkah lebih jauh lagi.
“Biarkan mereka berdua dulu.” Kata Rasmi.
“Maaf!” lirih dari bibir Asih terdengar permohonan maaf dan penyesalan, “kau berhasil menepati janjimu. Tapi aku, aku tak bisa menepati janjiku. Maaf, Li.”
“Sudahlah!” Ali mulai mengikhlaskan.
...
“Asih!” dari arah lain seseorang memanggil nama Asaih.
“Itu suami dan anakku,” Asih menoleh dan memandang ke arah yang memanggil.
Asih melangkah meninggalkan kenangan masa laluny bernama Ali dan menuju masa depannya. Asih melirik ke arahmu dan sedikit tersenyum.
“Ali, jaga Ratih ya! Ingat, dia itu sahabatku!”
Setelah situasinya kurasa sudah membaik aku mencoba menghampiri Ali mungkin untuk memberi jawaban.
“Ali?”
“Ratih?”
“Yuk!” aku mengulurkan tanganku dan berharap ia paham maksudku.
Ali tersenyum. Menunduk sejenak. Kemudian kembali menatap senja. Menunduk lagi. Dan mantap menyambut tanganku.
Lirih dia berbisik, “semoga ini artinya ‘Iya’!”
Aku hanya terdiam dan memberi senyum sedikit tersipu.
***
Senja membalut kami. Cerita para sahabat kadang mengundang gelak tawa yang menggelegar. Teruntuk Ardan, kami telah memenuhi permintaanmu, tenanglah di alam sana, sahabat.
***

1 Response to "[CERPEN] Warna yang Tak Terlihat (Pelangi Abu-Abu 2)"

  1. Mantul banget tulisannya kak. Kereeen!

    Kalo sempat bisa krisan punya saya ya kak. (Cerpen) Biduan by Alister N

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo