[CERPEN] SKENARIO - Selamat Pagi, Senja!
Friday, January 31, 2020
Add Comment
SKENARIO - Selamat Pagi, Senja!
Selamat pagi, senja!
Apa
kabar kamu yang selalu menyapaku? Kamu yang tadinya singgah dan menjadi mimpi
besar dalam hidupku. Sudahkah kau sapa mentari pagi hari ini? Sudahkah kau
rapikan tempat tidurmu yang penuh kenangan di dindingnya? Sejak senja terakhir
kita, kau tak lagi pernah memamerkan senyum manismu di hadapanku. Sejak senja
terakhir kita, aku sudah lupa tentang cinta, keindahan dan jinggamu. Serta lima
menit di setiap sore kita yang hanya habis untuk menikmati senja.
Dan
hari ini kamu ada, datang dan memamerkan senyum itu lagi lalu tanpa rasa
bersalah sedikit pun kau ajukan pertanyaan mengenai kabarku. Apa maksudmu?
Bukankah kau sendiri yang telah membunuhku? Harusnya kau lebih tahu kabarku
saat ini.
***
“Selamat
pagi,” sebuah notifikasi dari pesan yang masuk tiba-tiba muncul di layar
ponselku. Sebuah nama dari masa lalu terpampang di sana.
“Pagi,”
aku menjawab.
“Apa
kabar, kamu?”
“Baik,”
“Maaf
ya, kalau menggangu,” sebuah emoji wajah tersenyum turut menghiasi.
“Iya,
tidak apa-apa,” situasi canggung tak menentu tercipta di ruang maya kami.
“Maaf
tentang apa yang pernah terjadi di masa lalu, aku harap kamu bisa melupakannya,”
pesan selanjutnya berhasil membuatku memutar kembali adegan demi adegan yang
tersimpan rapi di kepalaku.
...
Dua
tahun lalu,
“Kamu
suka senja?”
“Hanya
senja yang bisa membuat aku merasa nyaman,” dia berseri-seri sambil menatapku.
Demi
Tuhan, aku tak ingin hari itu berlalu. Setidaknya biarkan waktu terhenti pada
senja yang bahkan kalah indah dengan senyumnya. Aku ingin berada di sini lebih
lama lagi.
“Kamu
suka senja?” dia balik menanyaiku. Mungkin dia mulai curiga aku tak pernah
benar-benar menyukai senja.
“Entah
aku harus menyukai senja dari sudut pandang apa?”
“Kau
takut senja meninggalkanmu dalam gelap, saat kau sedang asyik menikmati
indahnya?”
“Aku
hanya takut kehilanganmu. Biar saja senja pergi dan meninggalkanku dalam gelap.
Aku masih punya senja yang lain, kamu, senja yang akan selalu memberi cahaya
indah dalam gelap sekali pun.”
Dia
tersipu. Rona merah di pipinya lebih indah dari jingga di senja mana pun di
muka bumi ini.
...
Indah?
Ya, sangat indah. Hingga akhirnya setahun kemudian aku tahu dia hanya
menjadikanku sebagai pelarian. Pengisi rasa bosan dan kosong karena kekasihnya
memilih wanita lain. Aku tak begitu tahu semua ini berawal dari mana? Dia
tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
“Kamu
cuma dijadikan pelarian. Dia hanya butuh teman dan kebagaian yang ia ciptakan
bersama kamu adalah semu, sebagai kamuflase dari rasa sedih yang dia pendam,”
seseorang bercerita padaku
Aku
tak ingin mempercayai perkataan siapa pun selain dari mulut wanita itu, bahkan
sahabat baiknya sekali pun. Hingga akhirnya aku melihat semuanya secara
langsung. Dia yang kupikir cahayaku, akhirnya meredup.
Hari
itu, di depan mataku. Dia terlihat sangat bahagia dengan seseorang dan aku
yakin dia adalah orang yang pernah membuat senjaku patah hati. Entah dengan
mantra apa ia berhasil membuat senjaku kembali dalam genggamannya dan
membiarkan aku yang penuh luka diam dan mati dalam gelap tanpa cahaya sedikit
pun.
“Ini
pilihanku.”
Dan
tanpa berdosa ia memamerkan pilihannya. Ini lebih dari sekadar jatuh dan
tertimpa tangga. Ini lebih mengerikan. Aku hanya sebatas penghibur hatinya yang
sedang sepi. Lalu, setelah semua itu berakhir aku benar-benar sendiri tanpa
senja dan tanpa cahaya apa pun. Bahkan tanpa kata ‘maaf’, setidaknya hingga
setahun kemudian sebuah kata ‘maaf’ terlontar darinya.
...
Entah
kata ‘maaf’ itu benar tulus atau tidak. Aku tak bisa melihat ekspresi apa pun
jika hanya melalui pesan singkat seperti ini. Aku ragu dengan kata ‘maaf’ itu.
Tapi, apa peduliku. Sekarang, aku tak pernah lagi memikirkan masalah itu. Ada
sesuatu yang lebih penting bagiku.
“Aku
ingin bertemu denganmu. Kumohon untuk tak menolak!” pesannya sekali lagi.
Aku
tak menjawab pesannya.
“Aku
tunggu besok di tempat biasa. Aku yakin kamu masih ingat. Lima menit saja.”
“Kenapa
aku harus datang?”
“Karena
aku menunggumu. Dan aku janji setelah ini aku tak akan mengganggumu lagi.”
...
“Terima
kasih sudah datang. Sekali lagi aku minta maaf,” matanya mulai berkaca-kaca
namun coba ia tahan dan mengusap dengan punggung tangannya, lalu berusaha
tersenyum.
Dan
sudah lama aku tak melihat senyum itu. Namun, kali ini beda, rasanya kali ini
ia lebih tulus.
“Aku
juga ingin memberikan ini,” sesuatu ia raih dari tasnya, sebuah undangan
pernikahan, “datang ya! Ajak istrimu!”
Aku
hanya membalas senyum dan mengangguk. Ada rasa lega di sana.
"Satu
lagi, aku ingin kau menulis cerita tentang aku, tentang kita!"
Apa
maksudnya? Apakah dia tak pernah merasa, sudah banyak cerita kutuliskan tentang
dia. Tentang kemunafikan senja yang selalu saja menawarkan keindahan lalu
meninggalkan sepi dalam gelap. Di mana dia selama ini?
***
Saat
aku sedang terpuruk di dasar jurang luka yang sangat gelap setahun lalu.
Seberkas cahaya hadir dan membawaku menuju pagi yang lebih cerah. Tak kalah
dengan senja, fajar pun memiliki cahaya yang jauh lebih indah. Dan sejak saat
itu, aku lebih suka dengan fajar.
Selamat pagi, Senja!
...
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[CERPEN] SKENARIO - Selamat Pagi, Senja!"
Post a Comment