[CERPEN] Sang Penulis
Friday, February 7, 2020
Add Comment
Sang Penulis
Entah sudah berapa lama aku berada di tempat ini? Kamar
berukuran kurang lebih dua setengah kali tiga meter, yang dinding-dindingnya
terbuat dari tripleks. Masih terlihat baru, setahun lalu bapak baru saja
menggantinya. Yang sedang kuhadapi saat ini adalah sebuah laptop dengan layar
berukuran 14,1 inci –setidaknya itulah yang dikatakan oleh sebuah situs setelah
aku mencarinya di mesin pencarian Google–
yang menjadi saksi bisu perjalananku selama kurang lebih empat semester.
Terletak di atas meja yang sangat tidak rapi; buku-buku yang berserakan di
mana-mana dan sepasang speaker tua
nan usang berukuran kecil dalam kedaan on
dengan suara menggerutunya yang
khas.
Di sisi lain, sebuah kipas bertenaga listrik sedang
berusaha menetralisir suhu udara yang mulai membakar ruangan ini. Bukan milik
bapak, kipas itu dipinjamnya dari kerabat sebulan lalu. Entah mengapa hingga
hari ini belum dipulangkan? Mungkin si kipas masih betah di rumah kami. Aku
ingin banyak bercerita tentang kamar ini, tapi sayangnya kisah ini tidak akan
membahas ‘kamar’.
***
Entah sudah berapa lama aku berada di tempat ini? Di
kamar ini. Semenit? Sejam? Sehari? Sebulan? Atau bahkan nyaris mencapai
sembilan tahun, sejak pertama kali bapak memutuskan untuk pulang ke kampung
halamannya. Sembilan tahun yang lalu, bersamaan dengan keputusan bapak, mama
pun memutuskan untuk pergi membawa satu-satunya adikku dan menikah dengan orang
lain.
“Mama balik, kan?” rengekku sebelum dia pergi.
Dia diam. Dan di sana, aku tahu itu berarti tidak.
“Mama pasti kembali,” kata bapak delapan tahun lalu di
bandara setelah mengantar mama.
Namun, hingga hari ini perkataan bapak itu tidak
terbukti. Mungkin saja pada saat itu bapak sudah tahu atau telah memersiapkan
diri untuk semua kemungkinan yang terjadi, seperti kenyataan yang terjadi
sekarang ini.
Aku berusaha menyembunyikan kesedihan itu. Aku berusaha
bersikap biasa saja di depan bapak; bercanda, tertawa, dan mungkin bermain
catur di sela waktu. Yang tidak dia tahu, batinku sedang kacau; marah, kesal,
menangis –apa salahnya seorang lelaki menangis?–, hingga menyalahkan bahkan hal;
menyalahkan bapak, mama, atau bahkan keadaan yang sama sekali tidak bersahabat
ini. Hingga di kalangan keluarga aku terkenal dengan sikap diamku. Lagipula
bagiku, tidak ada yang dapat diajak bercerita.
Dalam beberapa keadaan aku berusaha keluar dari zona itu.
Zona diamku. Di kalangan teman, aku berusaha menjadi orang selalu terlihat
ceria, humoris, bahkan tak jarang usil. ‘Agar mudah mendapat teman’ pikirku.
Setidaknya ada tempat untuk aku bercerita, nanti. Atau justru ada tempat untuk
aku berlari dari semua rasa kecewa di hatiku.
“Berceritalah melalui sastra; puisi, cerpen atau bahkan
novel kalau sanggup! Jangan malu untuk memulai! Sesuatu yang dimulai dari hati
maka akan menghasilkan sesuatu yang baik di masa mendatang,” tetuah seorang
guru sastra, menutup mata pelajarannya hari itu.
Dari sana aku mulai menuliskan kisah-kisahku dalam
majas-majas puisi yang terlihat masih amatiran. Yang semuanya kutulis dalam
sebuah buku bersampul chipboard berwarna
kuning dengan motif batik. Sekarang buku itu ada di sisi kiri laptopku dalam
posisi sampul belakang berada di bagian atas, dengan keadaan yang mulau usang;
robekan di mana-mana, dan tulisan yang mulai luntur –aku yakin, jika bukan
karena selotip bening yang merekat di sana sampul itu sudah lama tak berada di
tempatnya–, berisi tulisan-tulisan yang merupakan buah dari logika tak karuan.
Setiap pertemuan adalah awal dari perpisahan. Setiap kali
lulus dari jenjang pendidikan tertentu, aku jauh lagi dari sosok yang dijuluki
sahabat, tak ada lagi tempat untuk bercerita.
“Hei, siapa namamu?” Selalu sama seperti itu, diawali
dengan menyebutkan nama, berkenalan, akrab, dan pada akhirnya tak jelas. Meski
tak semua seperti itu. Ada pula beberapa yang masih berkawan baik. Sekadar
menanyai kabar, basa-basi, dan ujungnya sama saja, ‘tak jelas’.
...
Berada di zona sosial membuatku bertemu banyak orang
dengan banyak karakter pula. Ada yang bersikap dingin, konyol, hingga keras
kepala. Membantuku mengenal banyak warna di dunia ini selain gelap. Membuatku
sejanak bisa menjauh dari sudut ruang yang hampa dan sepi, mengusur mereka
menjauh sejenak.
Sama seperti yang lain, pada zona ini aku mengenal satu
hal yaitu ketertarikan dan jatuh cinta. Dia adalah gadis yang terlihat baik,
lugu, cakap, dan mungkin cerdas. Hingga aku tahu, betapa sakit terjatuh dalam
cinta itu sendiri. Tentang ini, apakah bapak tahu? Kurasa bapak hanya tahu aku
adalah anak laki-lakinya yang pendiam, jangankan untuk jatuh cinta, berbicara
pada orang lain pun gemetaran.
...
“Lomba menulis tingkat nasional.”
Dua tahun lalu, aku beranikan diri mengirim salah satu
tulisanku dalam sebuah lomba yang diadakan oleh penerbit swasta dengan logo
jejak kaki. Percobaan pertama gagal. Karyaku tidak termasuk ke dalam daftar
karya juara atau pun terpilih. Percobaan selanjutnya, aku berhasil menjadi
salah satu yang terpilih dengan karya berjudul “Beo Bual dan Gagak Angkara”,
kisah yang ambil dari kisah kegagalanku di masa lalu dalam hal percintaan.
Selanjutnya beberapa karya yang kuikutsertakan dalam
beberapa lomba pun ikut terpilih. Salah satunya kisah yang kuambil dari kisah
masa kecilku bersama kakek dan nenek, “Langgar Tua” membawaku dikenal beberapa
orang setelah berhasil menduduki peringkat ketiga. Wajahku dipampang dalam website kampus.
Siapa yang akan bangga dengan semua ini? Orang tuaku?
Kurasa tidak terlalu. Untuk waktu yang lama mereka tak tahu tentang ini semua.
Dan bahkan setelah mereka tahu, keadaannya sama saja. Mama hanya sekadar mengucapkan
selamat melalui telepon setelah aku menceritakannya. Respon bapak malah lebih
parah, yang kutangkap dari rautnya dia tak bangga sedikit pun, justru malah
bertanya, “apa tidak mengganggu kuliahmu?” sebuah respon baik yang tidak
kuharapkan.
“Aku Ingin Pulang.”
Setahun lalu, tajuk itu dipublikasikan dalam website penerbit berlogo jejak. Tajuk
yang sangat menjelaskan betapa aku tak bisa lagi membendung perasaanku yang
ini. Tajuk yang bercerita tentang keadaan rumah yang dindingnya tak sehangat
dulu. Curahan hati yang akan membuat banyak orang mengetahui perasaanku.
***
Buku kuning yang kuceritakan tadi kini telah berubah
menjadi buku kumpulan puisi dengan sampul berwarna ungu, bergambar sepasang
tangan yang terlihat menyodorkan seonggok otak dengan tajuk kapital bertuliskan
“Buah Bibir Sang Logika”. Dan beberapa buku yang kuceritakan berserakan tadi
adalah beberapa buku hasil lomba yang di dalamnya terdapat karyaku dan beberapa
kontributor lomba lainnya.
“Jika tak ada telinga yang bisa mendengarkan kisah-kisahku.
Semoga ada sepasang mata yang membacanya dan sudi menatap ke arahku.”
Masa depanku masih panjang. Perjalananku tak berhenti di
sini. Penaku masih akan terus menari dan mengalirkan tinta dari ujung bajanya
yang runcing. Atau jemariku yang akan tetap lincah menari-nari di atas keyboard laptop yang akan perlahan
usang, namun tetap menjadi saksi bisu perjalananku.
Keppe, 14 Oktober 2019
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[CERPEN] Sang Penulis"
Post a Comment