[CERPEN] Kawan Sehari
Friday, February 21, 2020
Add Comment
Kawan Sehari
...
25 Februari 2019
Tiga puluh lima hari terlewati dalam masa tugas
menyelesaikan salah satu proses perkuliahan kami. Magang, begitu istilah
mudahnya yang umum dipakai oleh kebanyakan mahasiswa dan kampus. Tak hanya satu
lokasi PDK[1] –begitulah fakultas kami
menyebut proses ini–, kami pun tinggal dalam satu atap yang sama. Sebenarnya
tak semua, dari delapan orang yang selokasi magang hanya tujuh orang termasuk
aku yang tinggal serumah, satu teman kami lebih memilih tinggal di rumah keluarganya
yang tak jauh dari lokasi.
Para mahasiswa semester enam, Fakultas Teknik Komputer
diwajibkan memprogramkan dan melaksanakan mata kuliah PDK yang berjumlah empat
SKS dengan syarat telah melulusi mata kuliah Perangkat Lunak Aplikasi pada
semester dua. Syarat ini baru saja diberlakukan pada tahun ini dan
angkatankulah ‘kelinci percobaan’-nya.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang mewajibkan
para calon mahasiswa PDK untuk melulusi ujian Office, ujian yang menguji keterampilan mahasiswa dalam menggunakan
aplikasi-aplikasi Microsoft Office.
Alhasil beberapa kawan yang tak melulusi mata kuliah yang telah disyaratkan tak
bisa mengikuti PDK. Masalah lain, beberapa mahasiswa yang hanya mendapatkan
‘nilai kasihan’ pada mata kuliah Perangkat Lunak Aplikasi pun dengan tidak
adanya ujian Office, tak begitu
memahami cara menggunakan aplikasi tersebut.
Untung saja lokasi PDK ditentukan sendiri oleh mahasiswa,
asal tak keluar dari kawasan Luwu Raya. Memilih tim sendiri yang berisi
maksimal lima orang atau boleh lebih bila dibutuhkan oleh instansi. Kami
memilih loksai yaitu kantor KPU kab. Luwu yang terletak di Belopa, sekitar satu
jam perjalanan dari Palopo.
...
Pagi yang penuh emosional kala itu. Sebelum melangkahkan
kaki ke lokasi PDK, aku dan salah satu teman kami sedikit berdiskusi mengenai
kinerja selama lebih dari sebulan ini.
“Kalian harusnya konfirmasi dulu dengan kami!” kata
dengan wajah yang mulai tak bersahabat.
“Jadi apa sebenarnya masalahmu?” lelaki itu masih santai
menanggapiku dengan sepuntung rokok terselip di antara telunjuk dan jari tengah
tangan kanannya.
“Kalian dikusi apa kemarin dengan segmen warganet?”
nadaku semakin memuncak.
“Mengenai lomba video singkat.”
“Apa kesepakatannya?”
“Kami mengiyakan dan siap membantu. Karena na bilang Fikar, ‘ada ji kau’ dan~~”
Belum selesai penjelasannya aku lantas memotong.
“Tunggu! Saya? Kenapa saya? Yang mengiyakan kalian?” aku
memang tak ikut dalam diskusi kemarin karena ada kesibukan di ruangan lain yang
tak bisa ditinggalkan, “kenapa libatkan kami yang tak ikut dengan diskusi
kalian?”
“Kenapa memang tidak ikut ko kemarin dalam diskusi, kan bisa kau sampaikan di sana kalau
memang tidak bisa?” dia mulai menatapku dengan pandangan yang sedikit kecewa
dan mungkin telah terpancing emosi.
“Ada urusan lain di ruang teknis kemarin yang tidak bisa
ditinggal dan kalian tahu itu.”
Adi –nama panggilannya– mengalihkan pandangannya dan
tanpa berkata apapun.
“Janganlah ingin terlihat sok hebat di depan orang lain!” akhirnya kalimat itu kulontarkan
dengan nada yang semakin memuncak, “dari awal kalian hanya mengambil keputusan
sepihak tanpa sedikit pun bertanya kesanggupan yang lain. Tapi ujung-ujungnya
yang kalian limpahkan kepada orang lain tanpa lihat kondisi. Seperti pembuatan
video wawancara RELASI dua minggu lalu. Memang bisa ji ka’[2],
tapi laptopku sedikit dipaksakan!”
Dia kembali menatapku, kali ini tak akan kuberi ia
kesempatan berbicara. Sepertinya Adi ingin mengunggkit masalah jasanya dalam
pembuatan poster KPU dan beberapa pengeditan spanduk yang ia kerjakan semalaman
sendiri. Mungkin dia tak terima, seolah aku melupakan jasanya yang satu itu.
Aku yang suka guyon, hari ini memanas.
“Kau tahu kan kalau hari Sabtu nanti ada kegiatan?
Bagaimana cara kita, delapan orang yang tidak kompak ini bisa menyelesaikan
semuanya? Seminar hari Sabtu! Pelipatan kertas suara dan lomba tidak peting
kalian itu!” nadaku tak terkendali.
“Acara lombanya mulai minggu depan ji mulainya ini lomba!” nadanya pun mulai memuncak.
“Minggu depan? Minggu depan itu kita sudah ~~~” nadaku
yang makin tak terkendali itu membuat seisi rumah tahu bahwa sedang ada
perdebatan sengit di ruang tengah. Tiga kawan wanita yang sedang repot memcuci
piring langsung berlarian ke ruang tengah. Dua kawan lak-laki yang tengah
bersiap-siap di kamar pun tak ingin kehilangan momen.
“Woooooyyy... Apa itu? Tidur anakku!” itu suara kak Ida,
pemilik rumah sekaligus kakak dari Erika –salah satu orang yang mencetus
terbentuknya tim PDK ini– yang dengan baik hati mau menampung dan bahkan
menyiapkan keperluan makan kami selama masa PDK.
Dan bahkan teriakan memilik rumah pun yang mampu melerai
debat kami.
“Minggu depan, tanggal enam kita sudah penarikan dari
lokasi dan dikembalikan ke kampus!” aku mengalihkan pandanganku kepada para
penonton di sana dan sedikit mengalihkan pembicaraan sebelum akhirnya kembali
ke panggung debat, “nah ini mi yang orangnya!”
kutunjuk seseorang yang sebelumnya telah disebutkan namanya oleh Adi.
Yang ditunjuk hanya tersenyum.
“Iya, mentong itu!”[3] sepertinya aku dapat
dukungan dari para penonton kaum hawa yang dari awal memang tak begitu suka
dengan RELASI[4]
segmen warganet yang kebetulan juga diisi oleh tiga orang kaum hawa yang
seumuran.
“Tanggal enam-kah pale
penarikan?” tanya Adi yang bahkan informasi sepenting itu tak ia ketahui.
“Ada yang bilang tanggal enam, ada juga yang bilang
tanggal sembilan!” salah satu penonton laki-laki berambut gondrong sekaligus
ketua tim menimpali.
“Kau juga, ketua, harusnya bisa lebih tegas!” nadaku
melunak, namun kalimat yang keluar penuh sindiran, sengaja kupancing mereka
masuk dalam panggung debat. Sayangnya aku gagal, yang disindir hanya tertawa
pelan sama seperti reaksi teman di sampingnya tadi. Mungkin begitulah rasanya
menjadi orang yang suka guyon, sekali pun berkata tegas dan marah tetap saja
dianggap bercanda.
“Kalau sesuai jadwal harusnya tanggal sembilan!” Adi
menegaskan.
“Tetap saja mepet waktunya, enam dan sembilan itu cuma
beda tiga hari. Dalam lomba yang akan kita ... maksudku kalian adakan, itu
harus ada batas waktu pengumpulan video dan waktu pencurian! Apa cukup waktu
minggu depan yang hanya sampai tanggal sembilan?” kataku mencoba menjelaskan.
Mereka terdiam. Adi mulai mengganti batang rokoknya
dengan puntung untuk lainnya. Penonton saling tatap. Mungkin mereka baru
menyadari itu. Aku menarik napas panjang dan menghamburkannya melalui mulut
dengan sedikit emosi yang berusaha kuredam.
“Lewat mi jam
delapan!” aku mereda dan mengingatkan
mereka. Serentak mereka menantap ke arah jam dinding yang sama. Setidaknya ada
hal yang bisa membuat tim ini sedikit terlihat kompak.
“Berangkat mi ki
pale!”[5]
titah Hasrul, si ketua gondrong.
Kami meninggalkan panggung debat dengan sesuatu yang tak
tuntas tertinggal di sana. Aku tak tahu apa mereka memikirkan sesuatu yang
kupikirkan sepanjang jalan di atas motor atau tidak. Sang ketua yang
memboncengku pun tak berkata apa-apa.
...
Karena secara tidak langsung aku pun telah terlibat dalam
kesepakatan dengan RELASI warganet, mau tak mau aku harus ikut bergabung. Jujur
saja, aku melakukannya tidak sepenuh hati.
Malam harinya kami sepakat mengadapat rapat untuk teknis
pelaksanaan lomba di aula kantor KPU. Menjelang pemilu, kantor ini tetap ramai
hingga menjelang tengah malam. Selain kami yang datang untuk diskusi, beberapa
staf pun hadir di malam itu. Beberapa orang memadati gudang logistik di lantai
dasar, mereka sedang disibukkan dengan proses pelipatan surat suara.
Malam itu, hanya para lelaki dari tim PDK kami yang
hadir. Tiga kawan perempuan dengan berbagai alasan tak ingin hadir; mulai dari
alasan sudah malam, takut pulangnya kemalaman, hingga alasan lelah pun ada.
Padahal, aku tahu mereka hanya tak ingin terlibat dalam kepanitiaan lomba
dadakan itu.
Kesepakatan malam itu. Lomba tetap dilaksanakan, dan tak
perlu menunggu hingga pekan depan. Aku yang merasa telah terlanjur berada di sini,
mengusulkan lomba mulai lusa dan ditutup tanggal 6 Maret. Dan dengan ketentuan
mereka RELASI warganet harus melakukan proses penjurian, penutupan dan
penyerahan hadiah sendiri tanpa bantuan kami jika penarikan mahasiswa
dilaksanakan tanggal 6 Maret juga. Kami hanya membantu dalam proses pembuatan
spanduk, mengumpulan video, dan mengunggahan video ke akun Instagram KPU.
...
Sepekan kemudian. Penarikan tetap dilaksanakan pada
tanggal 6 Maret, namun karena permintaan pembimbing lapangan –salah satu staf
di KPU– kami diizinkan tetap di sini hingga tanggal 8. Hal ini karena
permintaan dari tiga kawan perempuan kami kepada pembimbing lapangan. Jangan
salah sangka dulu, itu bukan karena mereka ingin membantu lomba yang sedang
berlangsung, tapi karena mereka masih ingin di sini untuk ikut kegiatan
pelipatan surat suara. Karena perpanjangan itu kami pun ikut terlibat dalam
acara penutupan lomba.
Pertemuan ditutup dengan bersalaman dengan pemilik rumah
yang dengan sangat baik memperlakukan kami selama di sini. Moment haru tak terhindar, baik dari yang ditinggalkan maupun yang
meninggalkan.
...
Akhirnya semua berakhir dengan baik. Selama lebih dari
sebulan kami bersama, kami mungkin belum terlalu sempurna untuk dikatakan akrab.
Tapi, moment ini cukup membuat kami
setidaknya saling mengenal.
Setelah kegiatan PDK selesai. Kami masih sering
berkomunikasi dan bertemu. Apalagi, kini Adi memutuskan untuk menjadi tetangga
indekosku. Dan kami pun masih sering berkunjung ke rumah kak Ida, sekadar
singgah saat ada tugas tambahan di KPU pasca PDK atau sekadar bermain bersama
anaknya. Kami masih sering mengisi ruang maya untuk sekadar bernostalgia
masa-masa PDK. Sebulan yang terlalu sebentar untuk disebut akrab.
...
Dan itu adalah waktu yang cukup untukku menaruh sebuah Rasa.
...
Keppe, 31 Januari 2020
”
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[CERPEN] Kawan Sehari"
Post a Comment