[FIKSI MINI] Menunggu Minggu
Friday, February 28, 2020
Add Comment
Menunggu Minggu
Minggu pagi di ambang fajar. Lekukkan cahaya
masih indah menghias timur. Dengan saksama awan menata diri, membagi pesona
dengan hijau merayap di atas bukit. Samar di balik rimbun dahan berkicau
merayu-rayu sang dengar berhati riang. Alam memang selalu menyajikan indah
pesonanya untuk siapa saja.
Aku tergoda lagi. Semerbak aroma biji sangrai
yang telah dihaluskan itu menusuk hingga pangkal hidungku. Kantuk sesaat
hilang, lenyap seiringan dengan makin pekatnya aroma seduhan bubuk hitam.
Sedikit gula, nikmat mungkin. Riuh-ricuh menunggu giliran menyeruput cairannya.
Makin tak sabar saja.
Setelah gelap malam menuju Minggu dibuat ramai
dan terang benderang melawan takdir sang malam. Kini sahabat-sahabat sudah siap
melanjutkan langkah tualangnya menyusuri alam Tuhan di lain sisi yang indah.
Ingin rasanya terus menyandarkan kening pada tanah yang subur ini, bersyukur
kepada-Nya yang tak henti memberi anugerah kepada kami.
...
Hari ini akhirnya semua berkumpul. Setelah sekian
lama merencanakan untuk camping bersama
seperti yang pernah kita lakukan semasa di bangku perkuliahan. Terakhir kami
berkumpul adalah di penghujung semester enam, itu pun hanya saat buka bersama,
dan tidak dengan formasi yang lengkap. Wacana ini sebenarnya telah dicanangkan
sejak jauh-jauh hari, bahkan sejak akhir-akhir perkuliahan.
Setelah lebih dari setahun kelulusan kami
barulah terlaksana. Alasannya sederhana, hanya sibuk dengan urusan
masing-masing. Ya, kawan-kawanku telah menjadi manusia-manusia hebat. Pasca sarjana,
ada yang memilih melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2, ada yang memilih
melanjutkan usaha milik keluarga, ada yang telah bekerja di instansi sebagai
tenaga honorer bahkan PNS, atau yang
lain, yang memilih berumah tangga setelah resmi menyandang S1.
Sebenarnya, hari ini pun masih kurang lengkap,
beberapa mengemukakan alasan klasik seperti yang telah kusebutkan tadi. Beberapa
ada yang tiba-tiba membatalkan, katanya, mendadak ada urusan kerjaan, janji
keluarga, dan lainnya. Alhasil dari kurang lebih empat puluh orang yang pernah
ada di kelas kami, hanya sekitar dua puluh orang yang bisa ikut. Jika yang lain
memilih reuni di gedung mewah, hotel bintang lima, atau fasilitas mewah
lainnya, kami justru memilih hutan sebagai tempat berbagi nostalgia. Ini untuk
menghemat biaya sewa gedung, sekaligus mewujudkan mimpi camping bersama yang selama ini tertunda.
...
Aku masih meringkuk di bibir tenda dengan
secangkir kopi hangat yang sedari tadi hanya kugenggam. Debit airnya pun tak
sedikit pun surut. Aku hanya memanfaatkan gelas besi yang panas itu untuk
menghilangkan hawa dingin menggigit di tubuhku. Mataku memandang ke arah
seseorang di depan sana, yang sedang asyik menyambut rona mentari pagi ini.
“Masih suka?” seseorang menepuk pundakku dengan
senyum meledek yang khas.
“Suka apa?” aku pura-pura tak paham.
“Itu,” ia gunakan dagunya menunjuk ke arah yang
di maksud, wanita yang masih asyik memandangi pagi, “masih suka, kan?”
Aku menggeleng dengan sedikit tawa setelah
melihat wajahnya terus menghakimiku penuh canda.
Sahabatku ini tahu betul apa yang pernah
terjadi di antara aku dan dia di masa lalu. Dia tahu bagaiman dulu aku sangat
mendambakannya. Hingga kisah aku yang tak pernah memilikinya sebelum akhirnya
ia memilih lelaki lain saat itu.
“Sudah tidak ada rasa!” tegasku, membuatnya
makin membujukku dengan canda.
“Kalau dia yang mau bagaimana?”
Aku memalingkan wajahku ke arah orang di
sampingku ini. Masih sama, dia masih memasang wajah penuh ledeknya padaku.
“Coba saja, maju. Dengar-dengar beliau sedang
jomlo, sama seperti Anda, tuan!” nada bicara yang jenaka membuatku melempar
tawa padanya. Rindu juga suasana seperti ini.
...
“Hey!” aku beranikan diri menyapanya, dia yang
masih tersimpan rapi di puing-puing masa laluku.
“Heeeyyy! Apa kabar?” dia membalas dengan
senyum yang sangat ramah, senyum yang dulu pernah kukagumi.
“Baik,” aku membalas senyum itu.
Sudah sejak semalam berada di areal camping yang sama, saling melempar
senyum sekilas. Tapi baru pagi ini kami dipertemukan dalam sebuah percakapan di
ruang nostalgia kami sendiri. Dia banyak bercerita, setelah lulus rupanya dia
ikut tes CPNS dan beruntungnya lolos. Aku pun berbagi cerita tentang tualangku
ke banyak tempat dan berbagi kisah di mana-mana. Seperti yang kuimpikan selama
ini.
“Cita-citamu terwujud, ya? Senangnya!” senyumnya
datar menyambut ceritaku.
Waktu tak mengizinkan kami bernostalgia lebih
lama. Sesuai janji, menjelang Minggu siang kami sudah harus berkemas dan
kembali pada kesibukan masing-masing menyambut Senin esok.
Sejak hari itu, kami kembali saling bertegur
sapa walau hanya dari media daring. Bercerita tentang kesibukan masing-masing,
rencana-rencana besar yang akan dilakukan. Dan hal lain yang hanya sekadar
basa-basi semata.
...
Terima kasih untuk Minggu yang akhirnya
terwujud setelah sekian lama. Kuharap ada Minggu lain yang bisa mempertemukan
kita lagi suatu hari di masa depan nanti. Minggu yang akan menjadikan ruang
nostalgia kita tetap abadi. Bercerita dan berbagi canda tawa.
Aku sangat
menunggu Minggu itu tiba!
...
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[FIKSI MINI] Menunggu Minggu"
Post a Comment