[CERPEN HORROR] Sarra': Burung Hantu Pembawa Pesan Kematian
Friday, March 20, 2020
Add Comment
Sarra’: Burung Hantu Pembawa Pesan
Kematian
Dia
menatapku dengan penuh amarah. Matanya memerah, tergurat dendam yang sangat
mendalam. Aku tak berani menatapnya terlalu lama. Kupejamkan mata, namun tetap
saja wajah mengerikannya terus terbanyang dalam pejaman mataku. Aku tak bisa
lari, walau dalam gelap sekali pun.
Mereka
yang telah mati, sering menghampiriku dan memintaku melakukan hal-hal yang tak
bisa mereka lakukan semasa hidup. Ada yang datang untuk memintaku menyampaikan
permohonan maafnya pada keluarga yang ditinggalkan, orang terkasih, atau bahkan
musuh mereka. Ada pula yang datang untuk memintaku membelikan mereka sesuatu,
bisa berupa benda, atau bahkan makanan. Namun ada pula yang datang hanya
sekadar ingin menyapa menunjukkan bahwa mereka ada. Bahkan dari mereka ada yang
jahat, yang datang untuk mencelakaiku, atau berbuat jahil.
Melihat
mereka yang tak dapat dilihat kebanyakan orang, atau bahkan menganggap tak ada,
membuat hidupku berbeda dari kebanyakan orang. Sering kali dianggap aneh, gila,
bahkan dikucilkan. Aku sangat ingin hidup sacara normal, seperti yang lainnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan kondisiku sendiri.
...
Setelah
kepergian ibu, ayahku memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Ayah dan
aku pindah ke salah satu desa di kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Daerah yang
tak terlalu terpencil, dilalui jalan trans Sulawesi membuat desa ini bisa
dikatakan desa yang maju. Tak terlalu buruk. Aku bisa dengan cepat beradaptasi
dengan masyarakat sekitar dan tentu saja mereka yang tak terlihat.
Aku
hanya perlu menyesuaikan cara bicaraku dengan masyarakat di sini. Seperti
beberapa sebutan yang dianggap lebih sopan, atau beberapa sebutan lain yang
dianggap tidak sopan. Contohnya kata “iya”, di sini kata itu diganti dengan
dialek yang lebih sopan, “iye”. Atau
untuk menunjukkan kesopanan aku perlu menganti kata “kamu” atau “anda” dengan
dialek kedaerahan seperti “kita’, ta’,
atau ki’” –dengan sedikit penekanan di akhir kata.
Di
mana pun aku berada, selalu saja mereka yang tak kasat mata ada di sana. Di
rumah, sekolah, bahkan tempat-tempat umum. Tak peduli siang hari, malam, pagi,
atau bahkan sore hari. Mereka dengan beragam rupa, dan aroma yang bisa
kurasakan. Mereka selalu ada. Belum ada yang memintaku melakukan apa-apa, namun
aku yakin beberapa hari lagi mereka akan mengajakku berdialog dengan berbagai
macam keluh yang belum sempat mereka selesaikan.
...
Dari
bangku kelasku. Kutatap pintu ruang kelas yang terbuat dari kayu dengan motiv
khas pintu dan dibalut cat berwarna hijau. Di sana berdiri seorang wanita
berbaju seragam lusuh dengan wajah putih pucat dengan beberapa luka di wajahnya
dan sebuah tali yang melilit lehernya.
Wanita
menyeramkan itu terus menatapku. Setelah menyadari bahwa aku bisa melihatnya,
langkahnya perlahan menuju ke arahku. Ekspresi di wajahnya tetap sama, tetap
menyeramkan, namun juga terlihat menyedihkan. Langkahnya terus mengayun ke
arahku. Aku berusaha untuk tak takut, walau jantungku sudah berpacu lebih cepat
sedari tadi.
“To-olong...” ia
terdengar mulai merintih terbata-bata. Napasnya terdengar sangat tersiksa.
“To-olong...”
Keringatku
mulai berkucuran. Aku mengepal tanganku sendiri, berusaha menahan diri agar tak
berteriak dan membuat yang lain curiga. Walau ini adalah jam istirahat, namun
ada beberapa siswa di dalam kelas ini. Aku tak ingin menganggapku aneh lagi,
seperti teman sekolahku sebelumnya. Aku menutup mata berusaha menghilangkan
wanita menyeramkan itu dari pandanganku.
“Hai...”
seseorang menepuk pundakku, “sudah aman!”
Aku
membuka mata dan menatap gadis yang baru saja mengejutkanku dengan menepuk
pundakku dan tak mengerti apa maksudnya dengan kata, “aman?”
“Pasti
bisa ki’ juga lihat wanita seram
tadi, toh?”[1]
“Dari
mana ki’ tahu i?”[2],
aku masih keheranan dan dia hanya tersenyum sebelum akhirnya berbisik.
“Bisa
ka’ juga lihat i makhluk begitu!”[3] jelasnya sebelum
memperkenalkan namanya, “namaku Verawati, panggil saja Vera!”
“Namaku
Annisa, panggil saja Ica!”
“Aneh!”
seseorang meledek pembincaraanku dengan Vera siang itu.
“Jangan
diambil hati, sering ka’ dibilang
aneh sama teman-teman. Tapi, hari ini saya merasa punya teman.”
Benar.
Setelah bertemu dengan Vera aku menjadi merasa memiliki teman. Walau hanya dia
seorang yag tak menganggapku aneh, namun itu cukup bagiku. Cukup untuk
membuatku merasakan memiliki teman seorang manusia, bukan makhluk-makhluk
mengerikan itu.
...
Bel
pulang sekolah telah dideringkan. Semua siswa berhamburan menuju rumah
masing-masing. Aku berjalan kaki menuju rumah yang tak terlalu jauh dengan
rumah baru kami. Dalam perjalanan itu aku memilih untuk mengambil jalan pintas
melalui sebuah rumah besar yang terlihat agak tak terawat. Setelah melewati
rumah itu, makan akan langsung berhadapan dengan rumahku. Walau pun jarak ini
terbilang dekat, nyatanya entah mengapa banyak siswa yang lebih memilih melalui
jalan berputar dari pada harus melintas di samping rumah tua itu.
Kuukuukuuk... kuukuukuukk...
Tiba-tiba
saja sebuah suara mengejutkanku saat melintasi rumah tua itu. Seekor burung
hantu bertengger di antara dahan di sebuah pohon besar yang menambah kesuraman
rumah. Bulu kudukku sontak berdiri. Seorang laki-laki tua dengan pakaian lusuh
terlihat mengintip melalui sela-sela jendela rumah itu. Aku tak sempat berpikir
ia manusia atau bukan, aku langsung berlari menuju rumah dengan jantung yang
masih terus berdegup kencang.
“Huuu...
haaahh.. huuu...” napasku tersengap-sengap. Segelas air langsung kutenggak.
“Ada
apa, Ca?” suara ayah dari dalam kamar mengejutkanku. Kupikir siang itu ayah
sedang tak ada di rumah.
“Tidak
apa-apa, yah.”
Ayah
tak merespon, mungkin ia telah tertidur pulas kembali. Mengingat ayah adalah
orang yang memang mudah tertidur.
Kriiinnggg...
krriiiinnggg...
Ringtone ponselku
berbunyi. Entah siapa yang meneleponku. Dalam kondisi masih sedikit shock, kujawab panggilan itu tanpa
sempat membaca namanya.
“Hallo,
Ca! Hari ini ayah pulangnya agak malam, ya? Soalnya banyak kerjaan!”
Sontak
aku kembali terkejut. Jika yang berbicara denganku di telepon ini adalah ayah,
maka siapa yang tadi berteriak dari dalam kamar ayah? Aku melangkah perlahan
menuju kamar. Menjulurkan tanganku mendak membuka tirai kamar ayah. Tirai
tersingkap, namun tak ada seorang pun di sana. Aku kembali tersentak.
“Ca,
Ica!” ayah di ujung telepon yang masih menempel di telingaku terus memanggilku.
“Iya,
yah.”
“Ica,
berani kan sendiri di rumah?”
“Berani,
yah,” kututup panggilan itu tanpa mengucap salah terlebih dahulu.
...
Petang
menjelang senja. Suasana sunyi di rumah mulai terasa. Sayup-sayup suara kepak
jangkring mulai menderik. Tak ingin kalah, kepakan nyamuk dari balik belukar di
sekitar rumah yang tak sempat ayah babat habis pun mulai mengiang. Suasana
mencekam mulai merayapi dari balik gelap. Aku telah terbiasa, bahkan beberapa
sosok yang kerap menampakkan diri sejak aku dan ayah berada di sini pun telah
kuanggap sebagai bagian dari rumah ini.
Magrib
menjelang. Kutuntaskan tiga rakaat. Sesuai janjinya, ayah hari ini akan pulang
sedikit larut. Kuperkirakan ia baru akan sampai di rumah pukul 21:00 atau lebih
sedikit. Setelah urusan peribatan kutuntaskan, termasuk salat Isya, kuputuskan
untuk menyalakan televisi agar tak terlalu sepi. Remote kuraih, telunjukku telah siap di atas tombol berwarna
merahnya. Dan kutekan. Bersamaan dengan itu seluruh lampu di rumahku padam.
Suasana gelap pun tak terhindar.
Dengan
bantuan sinar ponselku, kutelusuri rumah menuju pintu utama, di sanalah aku
bisa menemukan meteran sebagai
pengukur arus listrik sekaligus pengatur arus yang mengalir di dalam rumahku.
Kubuka pintu itu, terkejutlah aku. Seorang wanita dengan wajah menyeramkan
mengenakan baju –atau apalah itu, kain yang menempel ditubuhnya, dengan wajah
yang tak terlalu menyeramkan, namun menyirarkan senyum yang sangat tak
bersahabat. Yang membuatku yakin ia bukanlah manusia adalah kakinya yang rapat
menempel di lantai teras rumahku. Ia terlihat melayang.
Aku
yang telah terbiasa tak ambil pusing. Terkejut mungkin ia, tapi saking
seringnya melihat mereka aku menjadi tak setakut dulu. Kuraih saklar meteran yang melempel di tembok dinding
tepat di samping pintu utama. Dan tada, rumahku
kembali bercahaya terang.
Kuukuukuuk...
kuukuukuukk...
Kuukuukuuk...
kuukuukuukk...
Suara
burung hantu itu terdengar lagi. Dari arah rumah besar di hadapan rumahku,
tepatnya dari pohon besar itu. Rumah itu sangat kontras dengan rumahku atau
bahkan beberapa rumah lain di sekitarnya yang terang. Suasananya sangat gelap.
Seperti tak berpenghuni, lalu siapa pria tua yang kulihat siang tadi?
Kuukuukuuk...
kuukuukuukk...
Kuukuukuuk...
kuukuukuukk...
Suara
burung itu makin menambah hawa menyeramkan dari rumah besar itu. Suaranya tak
kunjung henti. Membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya akan berdiri. Rumah
tua itu sudah terlihat seram di siang hari, malam seperti ini justru menambah
kesaraman itu. Apalagi malam ini adalah malam Jumat Kliwon, malam yang
dipercaya memiliki aura magis tersendiri.
Kuukuukuuk...
kuukuukuukk...
“Ada yang akan mati!”
Aku
menenggak liurku sendiri. Seorang wanita berbisik lirih di telinga kiriku. Bulu
kudukku berdiri lagi. Matilah aku, siapa yang baru saja berbisik itu? Aku
menoleh ke arah bisikan. Seorang wanita berambut panjang yang tadi kulihat kini
berdiri tepat di samping kiriku. Aku bergegas masuk ke dalam rumah dan mengunci
pintu itu.
...
Jumat
pagi di sekolah. Vera menghampiriku. Dan padanya kuceritakan semua kejadian
yang kualami semalam. Suara burung hantu, dan wanita menyeramkan di rumahku.
“Sarra’!” Vera menyebut satu nama.
“Sarra’? Apa itu?”
“Artinya
burung hantu. Masyarakat di sini percaya, jika terdengar suara Sarra’ atau burung hantu, maka dari arah
itu akan ada yang meninggal. Persis seperti yang arwah wanita itu katakan.”
“Meninggal?”
aku mengerutkan kening.
“Dari
arah mana ki’ dengar suaranya?”[4] Vera menanyaiku.
“Rumah
itu!” kutunjung rumah tua yang juga terlihat dari sela-sela jendela kelas kami.
Vera
menatapku melotot, “sering ki’ ke
situ?”[5]
“Lewat
situ ji ka’ kalau ke sekolah atau
pulang. Karena dekat!”[6]
“Tidak
ada yang berani lewat situ. Anak sekolah lebih memilih jalan berputar dari pada
harus lewat situ. Di situ ada seorang pria yang tidak waras. Banyak yang takut
dengannya,” jelas Vera, “jangan lewat situ lagi, nanti pulang sekolah, lebih
baik lewat jalan memutar!”
Kutatap
lagi rumah itu. Pria tua itu terlihat mengintip melalui jendela rumahnya,
menatap lurus ke arah kelas kami.
Bel
masuk berdering. Seorang guru memasuki ruangan. Seperti biasa, sebelum
pelajaran dimulai. Nama kami disebut satu per satu. Namaku berada di urutan
terakhir karena aku adalah siswi baru. Sepanjang nama kami disebut, aku terus
memerhatikan jendela rumah itu, pria tua tadi telah menghilang entah ke mana.
...
“Umar!”
“Hadir,
bu!”
“Annisa!”
“Ca,
nama ta’!” Vera memberi kode dengan
sentuhan sikunya.
Aku
terkejut, “ha-hadir, bu!”
...
Mengikuti
petunjuk Vera, sepulang sekolah aku berjalan mengikuti jalan memutar. Ini agak
memakan waktu, sebab aku harus menuju jalan raya sejauh seratus meter sebelum
akhirnya masuk lorong rumahku sejauh seratus meter dari jalan raya. Padahal
dengan rute rumah tua, hanya berjarak sekitar seratus meter saja dari rumahku
ke sekolah, bahkan kurang dari itu.
Beberapa
meter sebelum kutemui rumahku. Pria tua terlihat berjalan dan berpapasan
denganku, pria penghuni rumah tua itu. Ia hanya berjalan dan tanpa tersenyum
padaku, berlalu begitu saja. Beberapa langkah kemudian aku mulai melihat
rumahku, dan beberapa kerumunan orang berada di rumah tua di hadapan rumahku.
Semakin dekat langkahku, semakin jelas. Ada yang meninggal.
...
“Tabe’[7],
pak. Siapa yang meninggal?” tanyaku pada salah seorang di sana.
“Orang
tua yang tinggal di rumah itu,” jawaban orang ini membuatku terkejut, “kasihan,
sepuluh tahun lalu dia ditinggal istrinya pergi entah ke mana, ditambah anaknya
yang memutuskan gantung diri di sekolah.”
Keterkejutanku
bertambah. Berarti arwah wanita berseragam yang di lehernya tedapat tali itu
adalah anak si pria tua. Belum selesai, penjelasan selanjutnya membuatku lebih
terkejut lagi.
“Padahal
anak itu sangat cantik, pintar, dan punya kelebihan bisa melihat makhluk dunia
lain. Sekarang, Vera dan ayahnya pasti sudah bertemu!”
“Vera?”
mendengar nama itu, aku langsung terkejut, kuputuskan berlari ke rumahku.
Sebelum menutup pintu rumah, aku melihat Vera dan ayahnya melambaikan tangan ke
arahku. Kututup pintu dengan perasaan yang campur aduk. Hentakan pintu itu
sangat kuat dan berdengar hingga ke dalam rumah.
“Ca,
kenapa?” suara ayah dari arah kamar menanyaiku.
Mengingat
kejadian kemarin, aku langsung berlari ke arah kamar dan memastikan siapa yang
sedang berbicara denganku. Kudapati ayah menatap heran ke arahku dari hadapan
komputernya di meja.
“Kenapa,
Ca?” tanyanya sekali lagi. Aku lega kali ini bukan suara makhluk dunia lain
lagi.
“Tidak
apa-apa, yah!” aku lega, “yah, di depan rumah ada yang meninggal, ayah tidak
melayat?”
“Ayah
sedang banyak kerjaan, nanti saja!”
Aku
berbalik dan menuju kamarku.
Swuuuuppp...
Ponselku
berdering lagi. Kali ini sebuah pesan singkat. Kutatap layar gawaiku. Nama yang
tertera, “Ayah.”
“Ayah
sedang melayat di depan, Ca. Ica siapkan makanan sendiri, ya!”
Kulangkahkan
kaki kembali ke kamar ayah. Dengan sedikit gugup, kusingkap tirainya. Dan...
...kosong. Tak ada siapa pun di sana, komputer pun dalam keadaan mati.
...
Kuukuukuuk...
kuukuukuukk...
Suara
burung hantu terdengar sangat dekat. Tepat di atas rumah kami.
...
[1] Kamu
juga pasti bisa melihat wanita menyeramkan tadi, kan?
[2] Kamu
tahu dari mana?
[3] Saya
juga bisa melihat makhluk itu (ka’= kata ganti orang pertama, aku, saya)
[4] Kamu
dengar suaranya (burung hantu) dari arah mana?
[5] Kamu
sering ke situ?
[6] Kalau ke
sekolah atau pulang saya lewat situ. Karena lebih dekat.
[7]
Tabe’=permisi
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[CERPEN HORROR] Sarra': Burung Hantu Pembawa Pesan Kematian"
Post a Comment