[CERPEN HORROR] Sarra': Burung Hantu Pembawa Pesan Kematian


Sarra’: Burung Hantu Pembawa Pesan Kematian
Dia menatapku dengan penuh amarah. Matanya memerah, tergurat dendam yang sangat mendalam. Aku tak berani menatapnya terlalu lama. Kupejamkan mata, namun tetap saja wajah mengerikannya terus terbanyang dalam pejaman mataku. Aku tak bisa lari, walau dalam gelap sekali pun.
Mereka yang telah mati, sering menghampiriku dan memintaku melakukan hal-hal yang tak bisa mereka lakukan semasa hidup. Ada yang datang untuk memintaku menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga yang ditinggalkan, orang terkasih, atau bahkan musuh mereka. Ada pula yang datang untuk memintaku membelikan mereka sesuatu, bisa berupa benda, atau bahkan makanan. Namun ada pula yang datang hanya sekadar ingin menyapa menunjukkan bahwa mereka ada. Bahkan dari mereka ada yang jahat, yang datang untuk mencelakaiku, atau berbuat jahil.
Melihat mereka yang tak dapat dilihat kebanyakan orang, atau bahkan menganggap tak ada, membuat hidupku berbeda dari kebanyakan orang. Sering kali dianggap aneh, gila, bahkan dikucilkan. Aku sangat ingin hidup sacara normal, seperti yang lainnya. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan kondisiku sendiri.
...
Setelah kepergian ibu, ayahku memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Ayah dan aku pindah ke salah satu desa di kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Daerah yang tak terlalu terpencil, dilalui jalan trans Sulawesi membuat desa ini bisa dikatakan desa yang maju. Tak terlalu buruk. Aku bisa dengan cepat beradaptasi dengan masyarakat sekitar dan tentu saja mereka yang tak terlihat.
Aku hanya perlu menyesuaikan cara bicaraku dengan masyarakat di sini. Seperti beberapa sebutan yang dianggap lebih sopan, atau beberapa sebutan lain yang dianggap tidak sopan. Contohnya kata “iya”, di sini kata itu diganti dengan dialek yang lebih sopan, “iye”. Atau untuk menunjukkan kesopanan aku perlu menganti kata “kamu” atau “anda” dengan dialek kedaerahan seperti “kita’, ta’, atau ki’” –dengan sedikit penekanan di akhir kata.
Di mana pun aku berada, selalu saja mereka yang tak kasat mata ada di sana. Di rumah, sekolah, bahkan tempat-tempat umum. Tak peduli siang hari, malam, pagi, atau bahkan sore hari. Mereka dengan beragam rupa, dan aroma yang bisa kurasakan. Mereka selalu ada. Belum ada yang memintaku melakukan apa-apa, namun aku yakin beberapa hari lagi mereka akan mengajakku berdialog dengan berbagai macam keluh yang belum sempat mereka selesaikan.
...
Dari bangku kelasku. Kutatap pintu ruang kelas yang terbuat dari kayu dengan motiv khas pintu dan dibalut cat berwarna hijau. Di sana berdiri seorang wanita berbaju seragam lusuh dengan wajah putih pucat dengan beberapa luka di wajahnya dan sebuah tali yang melilit lehernya.
Wanita menyeramkan itu terus menatapku. Setelah menyadari bahwa aku bisa melihatnya, langkahnya perlahan menuju ke arahku. Ekspresi di wajahnya tetap sama, tetap menyeramkan, namun juga terlihat menyedihkan. Langkahnya terus mengayun ke arahku. Aku berusaha untuk tak takut, walau jantungku sudah berpacu lebih cepat sedari tadi.
“To-olong...” ia terdengar mulai merintih terbata-bata. Napasnya terdengar sangat tersiksa.
“To-olong...”
Keringatku mulai berkucuran. Aku mengepal tanganku sendiri, berusaha menahan diri agar tak berteriak dan membuat yang lain curiga. Walau ini adalah jam istirahat, namun ada beberapa siswa di dalam kelas ini. Aku tak ingin menganggapku aneh lagi, seperti teman sekolahku sebelumnya. Aku menutup mata berusaha menghilangkan wanita menyeramkan itu dari pandanganku.
“Hai...” seseorang menepuk pundakku, “sudah aman!”
Aku membuka mata dan menatap gadis yang baru saja mengejutkanku dengan menepuk pundakku dan tak mengerti apa maksudnya dengan kata, “aman?”
“Pasti bisa ki’ juga lihat wanita seram tadi, toh?”[1]
“Dari mana ki’ tahu i?[2], aku masih keheranan dan dia hanya tersenyum sebelum akhirnya berbisik.
“Bisa ka’ juga lihat i makhluk begitu!”[3] jelasnya sebelum memperkenalkan namanya, “namaku Verawati, panggil saja Vera!”
“Namaku Annisa, panggil saja Ica!”
“Aneh!” seseorang meledek pembincaraanku dengan Vera siang itu.
“Jangan diambil hati, sering ka’ dibilang aneh sama teman-teman. Tapi, hari ini saya merasa punya teman.”
Benar. Setelah bertemu dengan Vera aku menjadi merasa memiliki teman. Walau hanya dia seorang yag tak menganggapku aneh, namun itu cukup bagiku. Cukup untuk membuatku merasakan memiliki teman seorang manusia, bukan makhluk-makhluk mengerikan itu.
...
Bel pulang sekolah telah dideringkan. Semua siswa berhamburan menuju rumah masing-masing. Aku berjalan kaki menuju rumah yang tak terlalu jauh dengan rumah baru kami. Dalam perjalanan itu aku memilih untuk mengambil jalan pintas melalui sebuah rumah besar yang terlihat agak tak terawat. Setelah melewati rumah itu, makan akan langsung berhadapan dengan rumahku. Walau pun jarak ini terbilang dekat, nyatanya entah mengapa banyak siswa yang lebih memilih melalui jalan berputar dari pada harus melintas di samping rumah tua itu.
Kuukuukuuk... kuukuukuukk...
Tiba-tiba saja sebuah suara mengejutkanku saat melintasi rumah tua itu. Seekor burung hantu bertengger di antara dahan di sebuah pohon besar yang menambah kesuraman rumah. Bulu kudukku sontak berdiri. Seorang laki-laki tua dengan pakaian lusuh terlihat mengintip melalui sela-sela jendela rumah itu. Aku tak sempat berpikir ia manusia atau bukan, aku langsung berlari menuju rumah dengan jantung yang masih terus berdegup kencang.
“Huuu... haaahh.. huuu...” napasku tersengap-sengap. Segelas air langsung kutenggak.
“Ada apa, Ca?” suara ayah dari dalam kamar mengejutkanku. Kupikir siang itu ayah sedang tak ada di rumah.
“Tidak apa-apa, yah.”
Ayah tak merespon, mungkin ia telah tertidur pulas kembali. Mengingat ayah adalah orang yang memang mudah tertidur.
Kriiinnggg... krriiiinnggg...
Ringtone ponselku berbunyi. Entah siapa yang meneleponku. Dalam kondisi masih sedikit shock, kujawab panggilan itu tanpa sempat membaca namanya.
“Hallo, Ca! Hari ini ayah pulangnya agak malam, ya? Soalnya banyak kerjaan!”
Sontak aku kembali terkejut. Jika yang berbicara denganku di telepon ini adalah ayah, maka siapa yang tadi berteriak dari dalam kamar ayah? Aku melangkah perlahan menuju kamar. Menjulurkan tanganku mendak membuka tirai kamar ayah. Tirai tersingkap, namun tak ada seorang pun di sana. Aku kembali tersentak.
“Ca, Ica!” ayah di ujung telepon yang masih menempel di telingaku terus memanggilku.
“Iya, yah.”
“Ica, berani kan sendiri di rumah?”
“Berani, yah,” kututup panggilan itu tanpa mengucap salah terlebih dahulu.
...
Petang menjelang senja. Suasana sunyi di rumah mulai terasa. Sayup-sayup suara kepak jangkring mulai menderik. Tak ingin kalah, kepakan nyamuk dari balik belukar di sekitar rumah yang tak sempat ayah babat habis pun mulai mengiang. Suasana mencekam mulai merayapi dari balik gelap. Aku telah terbiasa, bahkan beberapa sosok yang kerap menampakkan diri sejak aku dan ayah berada di sini pun telah kuanggap sebagai bagian dari rumah ini.
Magrib menjelang. Kutuntaskan tiga rakaat. Sesuai janjinya, ayah hari ini akan pulang sedikit larut. Kuperkirakan ia baru akan sampai di rumah pukul 21:00 atau lebih sedikit. Setelah urusan peribatan kutuntaskan, termasuk salat Isya, kuputuskan untuk menyalakan televisi agar tak terlalu sepi. Remote kuraih, telunjukku telah siap di atas tombol berwarna merahnya. Dan kutekan. Bersamaan dengan itu seluruh lampu di rumahku padam. Suasana gelap pun tak terhindar.
Dengan bantuan sinar ponselku, kutelusuri rumah menuju pintu utama, di sanalah aku bisa menemukan meteran sebagai pengukur arus listrik sekaligus pengatur arus yang mengalir di dalam rumahku. Kubuka pintu itu, terkejutlah aku. Seorang wanita dengan wajah menyeramkan mengenakan baju –atau apalah itu, kain yang menempel ditubuhnya, dengan wajah yang tak terlalu menyeramkan, namun menyirarkan senyum yang sangat tak bersahabat. Yang membuatku yakin ia bukanlah manusia adalah kakinya yang rapat menempel di lantai teras rumahku. Ia terlihat melayang.
Aku yang telah terbiasa tak ambil pusing. Terkejut mungkin ia, tapi saking seringnya melihat mereka aku menjadi tak setakut dulu. Kuraih saklar meteran yang melempel di tembok dinding tepat di samping pintu utama. Dan tada, rumahku kembali bercahaya terang.
Kuukuukuuk... kuukuukuukk...
Kuukuukuuk... kuukuukuukk...
Suara burung hantu itu terdengar lagi. Dari arah rumah besar di hadapan rumahku, tepatnya dari pohon besar itu. Rumah itu sangat kontras dengan rumahku atau bahkan beberapa rumah lain di sekitarnya yang terang. Suasananya sangat gelap. Seperti tak berpenghuni, lalu siapa pria tua yang kulihat siang tadi?
Kuukuukuuk... kuukuukuukk...
Kuukuukuuk... kuukuukuukk...
Suara burung itu makin menambah hawa menyeramkan dari rumah besar itu. Suaranya tak kunjung henti. Membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya akan berdiri. Rumah tua itu sudah terlihat seram di siang hari, malam seperti ini justru menambah kesaraman itu. Apalagi malam ini adalah malam Jumat Kliwon, malam yang dipercaya memiliki aura magis tersendiri.
Kuukuukuuk... kuukuukuukk...
“Ada yang akan mati!”
Aku menenggak liurku sendiri. Seorang wanita berbisik lirih di telinga kiriku. Bulu kudukku berdiri lagi. Matilah aku, siapa yang baru saja berbisik itu? Aku menoleh ke arah bisikan. Seorang wanita berambut panjang yang tadi kulihat kini berdiri tepat di samping kiriku. Aku bergegas masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu itu.
...
Jumat pagi di sekolah. Vera menghampiriku. Dan padanya kuceritakan semua kejadian yang kualami semalam. Suara burung hantu, dan wanita menyeramkan di rumahku.
Sarra’!” Vera menyebut satu nama.
Sarra’? Apa itu?”
“Artinya burung hantu. Masyarakat di sini percaya, jika terdengar suara Sarra’ atau burung hantu, maka dari arah itu akan ada yang meninggal. Persis seperti yang arwah wanita itu katakan.”
“Meninggal?” aku mengerutkan kening.
“Dari arah mana ki’ dengar suaranya?”[4] Vera menanyaiku.
“Rumah itu!” kutunjung rumah tua yang juga terlihat dari sela-sela jendela kelas kami.
Vera menatapku melotot, “sering ki’ ke situ?”[5]
“Lewat situ ji ka’ kalau ke sekolah atau pulang. Karena dekat!”[6]
“Tidak ada yang berani lewat situ. Anak sekolah lebih memilih jalan berputar dari pada harus lewat situ. Di situ ada seorang pria yang tidak waras. Banyak yang takut dengannya,” jelas Vera, “jangan lewat situ lagi, nanti pulang sekolah, lebih baik lewat jalan memutar!”
Kutatap lagi rumah itu. Pria tua itu terlihat mengintip melalui jendela rumahnya, menatap lurus ke arah kelas kami.
Bel masuk berdering. Seorang guru memasuki ruangan. Seperti biasa, sebelum pelajaran dimulai. Nama kami disebut satu per satu. Namaku berada di urutan terakhir karena aku adalah siswi baru. Sepanjang nama kami disebut, aku terus memerhatikan jendela rumah itu, pria tua tadi telah menghilang entah ke mana.
...
“Umar!”
“Hadir, bu!”
“Annisa!”
“Ca, nama ta’!” Vera memberi kode dengan sentuhan sikunya.
Aku terkejut, “ha-hadir, bu!”
...
Mengikuti petunjuk Vera, sepulang sekolah aku berjalan mengikuti jalan memutar. Ini agak memakan waktu, sebab aku harus menuju jalan raya sejauh seratus meter sebelum akhirnya masuk lorong rumahku sejauh seratus meter dari jalan raya. Padahal dengan rute rumah tua, hanya berjarak sekitar seratus meter saja dari rumahku ke sekolah, bahkan kurang dari itu.
Beberapa meter sebelum kutemui rumahku. Pria tua terlihat berjalan dan berpapasan denganku, pria penghuni rumah tua itu. Ia hanya berjalan dan tanpa tersenyum padaku, berlalu begitu saja. Beberapa langkah kemudian aku mulai melihat rumahku, dan beberapa kerumunan orang berada di rumah tua di hadapan rumahku. Semakin dekat langkahku, semakin jelas. Ada yang meninggal.
...
Tabe’[7], pak. Siapa yang meninggal?” tanyaku pada salah seorang di sana.
“Orang tua yang tinggal di rumah itu,” jawaban orang ini membuatku terkejut, “kasihan, sepuluh tahun lalu dia ditinggal istrinya pergi entah ke mana, ditambah anaknya yang memutuskan gantung diri di sekolah.”
Keterkejutanku bertambah. Berarti arwah wanita berseragam yang di lehernya tedapat tali itu adalah anak si pria tua. Belum selesai, penjelasan selanjutnya membuatku lebih terkejut lagi.
“Padahal anak itu sangat cantik, pintar, dan punya kelebihan bisa melihat makhluk dunia lain. Sekarang, Vera dan ayahnya pasti sudah bertemu!”
“Vera?” mendengar nama itu, aku langsung terkejut, kuputuskan berlari ke rumahku. Sebelum menutup pintu rumah, aku melihat Vera dan ayahnya melambaikan tangan ke arahku. Kututup pintu dengan perasaan yang campur aduk. Hentakan pintu itu sangat kuat dan berdengar hingga ke dalam rumah.
“Ca, kenapa?” suara ayah dari arah kamar menanyaiku.
Mengingat kejadian kemarin, aku langsung berlari ke arah kamar dan memastikan siapa yang sedang berbicara denganku. Kudapati ayah menatap heran ke arahku dari hadapan komputernya di meja.
“Kenapa, Ca?” tanyanya sekali lagi. Aku lega kali ini bukan suara makhluk dunia lain lagi.
“Tidak apa-apa, yah!” aku lega, “yah, di depan rumah ada yang meninggal, ayah tidak melayat?”
“Ayah sedang banyak kerjaan, nanti saja!”
Aku berbalik dan menuju kamarku.
Swuuuuppp...
Ponselku berdering lagi. Kali ini sebuah pesan singkat. Kutatap layar gawaiku. Nama yang tertera, “Ayah.”
“Ayah sedang melayat di depan, Ca. Ica siapkan makanan sendiri, ya!”
Kulangkahkan kaki kembali ke kamar ayah. Dengan sedikit gugup, kusingkap tirainya. Dan... ...kosong. Tak ada siapa pun di sana, komputer pun dalam keadaan mati.
...
Kuukuukuuk... kuukuukuukk...
Suara burung hantu terdengar sangat dekat. Tepat di atas rumah kami.
...



[1] Kamu juga pasti bisa melihat wanita menyeramkan tadi, kan?
[2] Kamu tahu dari mana?
[3] Saya juga bisa melihat makhluk itu (ka’= kata ganti orang pertama, aku, saya)
[4] Kamu dengar suaranya (burung hantu) dari arah mana?
[5] Kamu sering ke situ?
[6] Kalau ke sekolah atau pulang saya lewat situ. Karena lebih dekat.
[7] Tabe’=permisi


_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "[CERPEN HORROR] Sarra': Burung Hantu Pembawa Pesan Kematian"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo