[Cerpen Inspiratif] WANITA YANG MENDEKAP SENJA
Friday, June 5, 2020
1 Comment
Wanita yang Mendekap Senja
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
...
Wanita
itu masih duduk di sana. Teras rumahnya terasa dingin, hingga waktu dalam sudut
pandangnya terasa membeku. Wajah tuanya tak lagi sanggup memajang ekspresi
sedekian rupa. Matanya menatap kosong kendaraan yang berlalu lalang di anatara kami. Banyak peristiwa yang mungkin sedang bergulir kembali pada bayang-bayang
dirinya.
***
Aku
mencoba mengerti dan masuk ke dalam ruang nostalgia, melalui dua bola matanya
yang sendu. Di sudut matanya, dua anak belia sedang berlari-lari riang di teras
rumah itu. Sepasang anak yang manis dan lucu, sangat menggemaskan. Oh tidak,
gadis kecil itu kini terjatuh. Lalu dengan gagah perkasa sang kakak membantu
sang adik untuk berdiri.
“Jangan lari-lari, nanti
jatuh lagi!”
Kini
di wajah wanita tua itu terukir senyum simpul. Bayang-bayang nostalgianya
berhasil membawa dia pada sesuatu yang telah lama ia lupakan. Ingatnya yang
mulai rapuh kembali memutar penggalan-penggalan adegan yang samar-samar.
Kembali di sudut matanya, seorang pria baru saja tiba dengan pakaian
berkebunnya
“Ayah...” sepasang
belia itu menyambut dengan pelukan hangat. Tampak jelas, lelah dan lesuh sang
suami pun menghilang, berganti canda dan tawa dengan dua buah hatinya.
Di
sudut matanya, kedua putra dan putri itu semakin beranjak dewasa. Kali ini
mereka dengan manisnya mencium tangan sang ibu lengkap dengan seragam sekolah
yang mereka kenakan. Suasana senja sore itu, tiba-tiba saja berubah menjadi
pagi.
“Bu, aku ingin punya
sepeda seperti teman-teman di sekolah,” si gading merek.
“Iya. Nanti, ibu belikan,
ya. Sekarang, ibu dan ayah masih mengumpulkan uang. Kamu sekolah yang rajin!” katanya,
sambil bersenyum sengusap kepala sang anak.
“Aku juga ya, bu?” sang
kakak berlari ke hadapan dan mencium tangannya, tak lupa senyum manis ia
pamerkan untuk merayu.
“Iya!”
Di
sudut matanya, teras rumah itu berubah menjadi tanah lapang perkebunan. Ia
ingat bagaimana hari itu di bawah terik yang menyengat, wajahnya penuh peluh. Masih
lekat pula ingatan tentang cara mengumpulkan rempah siang itu di perkebunan
milik seorang saudagar. Ia tetap semangat. Demi sepasang sepeda idaman kedua
buah hatinya, demi senyum manis dari dua jagoannya. Terbersit sebuah tanya di
benaknya, “apa kabar si saudagar baik
hati itu?”. Ah, suadahlah, ia saja sudah setua ini, pasti si saudagar itu
lebih tua atau bahkan telah terlebih dahulu menghadap Sang Pencipta.
Di
sudut matanya, kedua buah hatinya sangat riang, sebab kini mereka memiliki
sepeda baru. Siang itu, sepulang sekolah mereka langsung disambut dengan dua
sepeda baru di halaman rumahnya. Sang suami sengaja menaruhnya di sana, agar
ketika mereka tiba sepeda itu yang pertama dilihatnya.
“Aku suka sepedanya, bu.
Terima kasih, bu,” sang kakak terlihat sangat bahagia dan
memeluknya siang itu.
“Aku juga suka. Terima
kasih, bu,” sang adik tak mau kalah dan langsung
memberi pelukannya juga.
“Cuma ibu? Ayah?” sang
suami merayu sambil tersenyum usil.
Kedua
buah hati itu melepas pelukan dari ibunya dan berbalik melihat ke arah ayahnya,
“terima kasih, ayah!”
“Sama-sama. Belajar yang
rajin ya! Kan sudah punya sepeda,” sang ayah mengusap kepala
kedua buah hatinya.
Di
sudut matanya, sore di hari yang sama. Sang ayah dengan sabar mengajari buah
hatinya bersepeda. Walau baru saja tiba dari kebun, ia tak terlihat lelah. Di sudut
matanya, ketiga orang berharga di hidupnya itu sedang tertawa riang. Suami yang
menuntun sepeda sang kakak dan adik secara bergantian. Adegan selanjutnya, si
adik terjatuh dari sepeda saat ayahnya lengah. Lutut dan sikunya berdarah, ia
menangis sejadi-jadinya. Si ayah langsung mengangkatnya masuk ke dalam rumah.
Kali
ini, di sudut matanya, ia sedang membasuh luka gadis mungilnya itu. Mata anak
itu sedikit sembab dan berkaca-kaca. Bibirnya masih sedikit dimiringkan,
terdengar suara sesenggukan. Oh, Tuhan kasih sekali gadis ini, tapi ia pun
terlihat sangat lucu dan menggemaskan.
“Sudah, adik kan anak
kuat. Nanti juga luka sembuh,” sang ibu merayu, lalu
merentangkan tangannya, “uuuuhhhh, sini
peluk ibu!”
Gadis
mungil yang masih tersesunggukan itu mendekap ibunya dengan manja. Sebuah
ciuman hangat mendarat di kening sang gadis. Di sudut matanya, semua adengan
itu terasa sangat manis. Terbersitlah, andai waktu bisa kuulang.
...
Di
sudut matanya, kedua buah hati itu meranjak dewasa. Kali ini mereka harus
meninggalkan rumah menuju kota. Melanjutkan pendidikan di jenjang perkuliahan. Meninggalkannya
berdua saja dengan sang suami yang mulai terlihat menua, begitu pun ia. Lelaki
itu adalah lelaki yang sangat baik hati dan pekerja keras, itulah yang
membuatnya hingga hari ini jatuh cinta pada lelaki itu.
“Kalau mereka nanti sudah
menikah, rumah ini akan lebih sering sepi seperti ini. Anggap saja sekarang
kita sedang latihan untuk itu,” sang suami memeluknya,
mencoba mengusir sedih di hatinya yang merindukan kedua buah hatinya.
“Kita kerja keras saja di
sini, kumpulkan uang untuk pendidikan mereka. Cukup kita yang hidup susah
seperti ini, mereka jangan sampai seperti kita,” lanjut
sang suami.
Di
sudut matanya, sang kakak terlihat sedang mengenakan toga. Dia berhasil
menyandang gelar sarjana saat itu. Disusul adiknya di tahun berikutnya. Sebuah
kebanggan yang sangat mendalam di benak wanita itu. Ia ingat, hari itu ia dan
sang suami meneteskan air mata.
Kali,
di sudut matanya, kedua buah hatinya telah berhasil menjadi orang yang sukses.
Sang kakak yang tiap hari terlihat rapi. Kemeja bagus dibalut jas, lengkap
dengan dasi. Sang adik, sangat anggun dengan bajunya yang selalu terlihat baru.
Tumpukan kertas di meja kerja, dan gawai berlayar lebar yang selalu ia bawa.
Rumah
penuh kenangan mereka pun berubah menjadi bangunan yang lumayan megah. Hasil
jerih payah mereka terasa terbayar dengan rasa kebanggaan yang tiada tara. Di
sudut matanya, terekam jelas moment
saat kedua buah hatinya memutuskan untuk menikah. Kini, rumah megah itu terasa
sangat sepi, hanya ada dia dan sang suami. Kedua buah hati jarang pulang, sibuk
dengan pekerjaan dan keluarga baru mereka masing-masing.
Di
sudut matanya, teras rumah itu berubah menjadi bangsal rumah sakit. Sang suami
terbaring di sana dengan semua peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Ia
tiba-tiba saja terjatuh dan tak sadarkan diri. Tubuh tuanya langsung dibawa ke
rumah sakit, dengan bantuan tetangga sekitar rumah.
“Halo, kak. Ayahmu
sekarang di rumah sakit, kalau bisa datang ya, nak.” Sang
ibu menelepon anak pertamanya.
“Maaf, bu. Aku sekarang
di sibuk, banyak kerjaan yang harus diselesaikan,” sang
kakak menolak.
“Halo, dik. Ayahmu sedang
di rumah sakit, kamu bisa datang?” kali ini ia menelepon
anak keduanya.
“Maaf, bu. Aku juga
sedang sibuk,” sang adik menolak.
Di
sudut matanya. Malam itu, suami tercintanya menghembuskan napas terakhir. Hatinya
hancur, lelaki yang sangat dicintai kini pergi meninggalkannya. Lelaki baik
hati yang hampir tak pernah memarahinya itu telah menghadap Sang Pencipta
mendahuluinya. Sosok pekerja keras itu kini terbujur kaku di pembaringan
teakhirnya. Mirisnya, tanpa kedua buah hati yang sangat ia cintai.
...
Di
sudut matanya, ia merindukan sesuatu. Sesuatu yang dulu sangat indah di
matanya. Sesuatu yang selalu membuatnya berhasil mengukir senyum. Sesuatu yang
memudar. Hari ini, ia hanya bisa merindu di teras rumahnya yang ia sulap
menjadi ruang nostalgia. Bahkan di hari raya seperti ini, tetap saja ia merasa
sendiri dan sepi. Tak ada satu pun orang yang mengunjunginya. Hanyalah ia
sendiri, memeluk senja yang perlahan tenggelam di ruang nostalgianya.
***
Di
sudut mataku, aku pun merasakan rindu. Aku pun takut menua, sepi dan mati. Meskipun,
aku diciptakan dalam diorama yang berbeda, aku pun berhak menjadi sesuatu yang
seharunya. Di sudut mataku, aku lebih dari sekadar sepeda mungil tua, yang
telah lama ditinggalkan pemiliknya.
...
Keppe, 10 April 2020
😢 Dan aku takut menuaku tanpa amal
ReplyDelete