[Cerpen Inspiratif] Rumah
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
Tibalah
aku pada sebuah persimpangan jalan. Kulanjutkan langkahku menyusuri tempat ini.
Tanah kelahiranku. Tak banyak berubah, hanya beberapa bocah yang terlihat makin
beranjak menuju dewasa. Menuju jiwa yang berapi-api. Menuju pikir yang tak ingin
ditentang, tak ingin kalah. Senyum ramah para jiran menyambutku. Tak hanya
senyum, sorot matanya seolah menyeruku untuk tabah. Bibirku menyimpul senyum
setengah jadi, senyum yang ala kadarnya.
Terhentilah
langkah kakiku pada halaman sebuah rumah tua. Rentetan kenangan seakan bermain
di kepalaku. Adegan demi adegan di masa yang telah lama terlampaui. Makin tegas
kenangan itu terhirup dari aroma jalanan yang khas. Lambaian dedaunan
menyambutku. Menyapa dengan bahasanya sendiri.
Kubuka
perlahan pintu rumah itu. Gemetar kedua tanganku. Di balik pintu, tiga kursi
kayu tua menyambutku lengkap dengan meja antik di hadapannya. Kaki yang sedari
tadi ikut gemetar pun melangkah masuk. Hatiku tak keruan. Ragam sertifikat dan
piagam penghargaan masih setia terpajang di dinding-dinding rumah itu.
Pencapaianku di masa lalu.
Aku
terduduk di kursi tengah. Ruangan ini terasa dingin. Hening menggema. Jarum jam
pun seakan beku. Waktu berhenti seketika. Kutatap pintu yang tepat beberapa
meter di hadapanku. Aku diam, karena tak ada yang mengajakku bicara kali ini.
“Farid!”
Terdengar
suara seorang pria memanggil namaku. Aku terkejut. Aku menoleh ke arah suara
itu. Seorang pria tua telah terduduk di kursi sisi kananku. Kedua matanya
menatapku teramat lekat. Wajah itu kian sendu. Ada derai yang seakan ia tahan.
“Bapak?”
Aku
masih tercengang. Kutatap kedua mata pria renta itu. Tubuhnya yang kian
mengguratkan kerut, gambaran getirnya hidup yang ia jalani. Perjuangan tanpa
henti.
“Kau
yakin ingin pergi?”
Aku
membelalak. Mataku kian berkaca-kaca. Bulir di kelopaknya menumpuk, siap
tertumpah kapan saja. Gemetar seluruh tubuhku. Gemetar hatiku. Jantungku
berdegup kencang. Sesak rasanya dada ini.
“Iya,
saya
tetap akan pergi!”
Aku
terkesiap. Tubuhku tersentak mendengar suara itu. Kutatap yang sedang berbicara
di kursi sisi kiriku. Seorang muda yang jiwanya masih dipenuhi ego kala itu.
Pikirnya masih sekeras batu. Tekadnya masih menggebu-gebu. Itulah aku. Aku yang
dulu.
***
“Coba
dipikirkan lagi, nak!” bapak masih berusaha menahanku.
“Keputusan
saya sudah
bulat. Saya
tetap ingin pergi. Saya
ingin mencari pengalaman lebih banyak lagi.”
“Mencari
pengalaman, di sini juga bisa, nak.”
“Saya
merasa tidak bisa berkembang kalau di sini terus.”
Sama-sama
tak ingin kalah. Aku membantah setiap apa yang bapak lontarkan untuk mencegahku
melangkah keluar. Bapak bersikeras aku harus tetap di sini. Sementara, aku pun
kukuh pada pendirian ingin merantau, mencari pengalaman di antah-berantah negeri
orang. Dua kepala yang keras akan pendapat satu sama lain, mungkin sifat itu bapak
turunkan kepadaku. Bak buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Lagipula,
menurutku berada di sini tak begitu menyenangkan. Ocehan tetangga, cibiran
keluarga, hingga sinime-sinisme yang lain. Aku ingin bebas, jauh dari tempat
yang serasa menghakimiku. Tempat yang tak pernah terasa menyenangkan, walau di
sini adalah tempat kelahiranku bahkan tanah leluhur sendiri. Itulah alasanku
kukuh ingin pergi.
“Sejak
ibumu pergi. kau tahu yang bapak perjuangkan adalah masa depanmu. Hanya kau
saja, satu-satunya yang bapak punya. Kalau kau pergi, siapa yang menemani bapak
di sini? Bapak sudah mulai sakit-sakitan.”
Aku
tertunduk sejenak. Membayangkan beberapa kemungkinan di kepalaku. Bagaimana
jika bapak sakit? Bagaimana jika tidak ada orang di sini? Bagaimana? Bagaimana?
Namun, di sisi lain hatiku masih keras ingin mengarungi dunia luar.
“Saya
pasti pulang.”
“Kau
tidak tahu bagaimana di luar sana. Belum tentu kau akan berhasil.”
“Setidaknya
kasih saya kesempatan untuk mencoba. Mana tahu berhasil atau tidak kalau belum
dicoba.”
Bapak
terdiam. Dan aku melanjutkan.
“Biar
kegagalan menjadi pelajaran. Agar saya bisa menentukan mana yang baik dan yang
buruk. Izinkan saya menentukan jalan hidup saya sendiri, sudah cukup bapak atur
semua sesuai keinginan bapak. Sekarang giliran saya.”
Bapak
masih diam. Mungkin, di hatinya tak menyangka anak yang selama ini diam-diam
saja, memiliki pemikiran seperti itu. Kuluapkan semua keluhku, kesahku yang
selama ini kupendam.
“Biarkan
saya menyiapkan diri. Karena tidak selamanya bapak akan terus ada di samping
saya. Biarkan saya siap menghadapi dunia yang kejam ini. Saya hanya minta bapak
doakan saya.”
Kali
ini bapak tertunduk. Entah apa yang dipikirkannya.
“Apa
yang kamu cari, nak?” suara bapak terdengar gemetar, seperti ada yang ia tahan.
“Saya
ingin bebas. Bebas menentukan pilihan saya sendiri. Saya tidak ingin menjadi
beban.”
Bapak
masih terdiam dengan tatapannya yang masih mengarah ke lantai. Aku meraih
ranselku. Bangkit dari tempatku duduk dan mulai melangkah menuju pintu rumah di
hadapan kami duduk. Beberapa langkah sebelum keluar, kakiku terhenti oleh
ucapan bapak.
“Kapan
pun kau ingin pulang, pintu itu akan tetap terbuka untukmu. Kapan pun kau ingin
Kembali, rumah ini akan selalu menyambutmu.”
“Saya
janji akan pulang. Saya janji, setidaknya sekali dalam setahun akan kemari.
Atau akan mengirimi bapak uang,” ucapku sambil menahan air mata.
Sejenak
aku menengok ke belakang. Bapak tersenyum seadanya. Kembali kupalingkan wajahku
yang kini tak sanggup menahan derai air mata. Kemudian, melanjutkan langkah kakiku
hingga keluar pintu. Semakin jauh, terus menuju jalanan dan mulai mengarungi
mimpi yang idam-idamkan.
***
Aku
masih terduduk melihat semua pemandangan adegan kenangan di depan mataku itu. Sempat
kugelengkan kepalaku saat diriku yang di masa lalu itu menengok ke arah bapak
di belakangnya. Namun, tekadnya
pada saat itu tak mampu dibendung. Jiwa yang begelora itu tetap mantap mengejar
mimpi.
Kulihat
bapak yang masih tertunduk di sampingku. Sesaat kemudian ia mengangkat
kepalanya dan menoleh ke arahku. Bapak tersenyum ke arahku. Senyum yang sangat
indah, senyum yang tak akan pernah kudapatkan lagi setelah hari ini.
“Kau
pulang, nak?”
Aku
tersentak mendengar ucapan bapak. Kemudian, wajah bapak dan senyumnya mulai
pudar. Berganti dengan senyumnya di sebuah bingkai foto wisuda yang berada di
hadapaku. Di sana, bapak terlihat sangat bangga, berhasil menjadikan anaknya
seorang sarjana.
Seketika
itu, tak mampu kubendung air mataku. Aku bersimpuh. Kurebahkan badanku,
berlutut di lantai. Kutumpahkan semuanya. Ada rasa sesal di dalam diriku. Aku
mungkin berhasil menggapai mimpiku, tapi sebagai seorang anak aku merasa
sedikit kecewa. Janji untuk pulang setahun sekali jarang bisa kupenuhi. Sibuknya
di tanah rantau membuatku hanya bisa mengirikannya uang saja.
Mungkin
bukan itu yang dia harapkan. Rindu bapak di ujung telepon terakhirnya tak bisa
kupenuhi. Selalu ada saja yang membuatku tak bisa pulang. Hingga akhirnya
sebuah kabar duka kudengar. Dan kini, aku hanya bisa pulang pada pusara bapak.
Menemuinya dalam keadaan yang berbeda.
Keppe, 10 November 2021
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[Cerpen Inspiratif] Rumah"
Post a Comment