[NOVEL AKU INGIN PULANG] 02 Mantra Memancing - Karya Ahmad M. Mabrur Umar
Related

Aku Ingin Pulang - 02 Mantra Memancing
Karya: Ahmad M. Mabrur Umar
“Arep ngendi ira?”[1] suara
Nenek menghentikkan langkahku yang hendak membuka pintu samping.
“Main,” jawabku singkat.
“Main? Isuk-isuk main?”[2]
sergah wanita tua yang berada di rumah bagian dapur itu.
Aku menoleh ke arah jam dinding di belakangku. Jam
delapan, pikirku. Padahal jarum jam masih menunjukkan pukul 07:51. Setelah
mencuci pakaian sekolah dan beberapa pakaian lain, di hari libur seperti ini
aku sering menghabiskan waktu bersama teman-teman.
“Aja mengan dipit gah, bantoni mindahin sapi dipit!”[3] seru
Nenek.
Aku diam. Langkah kakiku segera melangkah ke arah dapur.
Wajahku sedikit cemberut. Aku berhenti dan duduk di kursi kayu panjang berongga
yang menghadap ke selatan. Kulihat ke arah kanan, tak jauh dari tempatku duduk,
nenek masih sibuk dengan piring kotor yang tadi kami gunakan untuk menyantap
nasi goreng.
“Rit, nih, taro[4] di rak sana!”
perintah Nenek, sambil menyodorkan tumpukan piring dan menujuk rak kayu yang
lumayan panjang dan luas dengan kayu yang sengaja dibuat memiliki sela untuk
meletakkan piring atau perabotan dapur yang lain.
Aku mengerti maksudnya dan bergegas melaksanakan perintah yang
ia serukan.
Nenek dan Abah tua memang sering berbicara denganku
menggunakan bahasa daerahnya –Sunda-Banten. Meski paham, aku lebih sering
meresponnya dengan bahasa Indonesia. Jika ada kata yang tak kumengerti, maka
akan langsung kutanyakan artinya. Beberapa kali mereka pun penggunakan bahasa
Indonesia, mencampurnya dengan bahasa daerah agar mudah dipahami.
***
Teng...
Teng...
Teng...
Seperti hari Minggu yang lainnya. Dari arah gereja terdengar
suara lonceng. Menandakan umat nasrani tengah bersiap melakukan ibadah mereka.
Locengnya sendiri terbuat dari besi berbentuk tabung –mungkin terbuat dari
tabung oksigen bekas atau sejenisnya, dengan pemukul terbuat dari sebatang besi
panjang. Letak gereja yang berada tepat di tengah desa membuat suaranya
berdengar hingga penjuru desa Mamau, dari ujung daratan di Timur hingga ujung
pantai di Barat.
Bersamaan dengan itu, Abah tua pun keluar dari musala
setelah setengah jam membaca ayat suci Al-Quran. Kembali dengan suara batuk
yang membuatnya terlihat tak nyaman. Bergegaslah ia mempersiapkan diri.
Berganti pakaian, baju dengan gambar sepasang calon bupati dan celana tranning
berwarna merah muda. Tak lupa topi koboi bermotif loreng tentara yang mulai
pudar. Sebilah parang dan sangkarnya pun terkait di sisi kiri pinggangnya.
Sepasang bot pun ia kenakan.
Begitu pula Nenek, siap dengan baju kaos hijau tua bermotif
bunga yang usang dan pudar. Celana hitam. Serta sebuah capil putih yang tidak
kalah usang dan mulai dihiasi bercak-bercak kehitaman. Sama dengan Abah tua,
sepasang bot pun telah ia kenakan. Sementara aku terbiasa tidak mengenakan alas
kaki apa pun.
Sapi-sapi di sini tidak diberi kandang. Hanya diikat pada
sebantang kayu atau pohon di alam terbuka. Mereka selalu dipindahkan setiap
pagi. Kata Nenek agar mereka mendapatkan rumput segar di tempat berbeda dengan
tempatnya semalam yang mungkin saja sudah tidak segar lagi karena terinjak-injak
olehnya atau terkena kotoran sapi-sapi itu sendiri. Menjelang sore nanti,
biasanya para sapi akan dipindah lagi atau dibawa di sekitar pekarangan rumah
untuk diberi minum air bercampur garam kasar.
“Lepasin ikatannya Amoy, terus pindahin ke
sana!” titah Abah tua sambil menunjuk ke arah sebuah pohon.
“Iya,” kataku sembari bergegas membuka ikatan tali.
“Abah tua mindahin Septu. Ngko nenek sing
ngegiringaken.”[5]
Abah tua kembali menjelaskan pembagian tugas.
Para sapi itu pun memiliki nama layaknya manusia. Amoy
sendiri adalah sapi betina tertua milik kakekku itu. Bahkan usianya lebih tua
dariku. Beberapa sapi ada yang dinamai sesuai hari kelahirannya, seperti Kemis
untuk sapi yang lahir di hari Kamis, Senen untuk yang lahir di hari Senin, atau
Rebo yang lahir di hari Rabu. Ada juga yang menamainya sesuai hari dalam
kalender Jawa, seperti Kliwon, Wage, atau Pahing. Atau nama Bagong untuk sapi
yang berukuran besar.
Kata Abah tua, sapi-sapi di sini ada yang berasal dari
bantuan pemerintah saat desa ini pertama kali dibangun sebagai desa
transmigrasi. Yang unik adalah warga akan melakukan lotre dan nomor yang mereka
dapat akan disesuaikan dengan nomor sapi yang ada. Jika beruntung akan mendapat
sapi betina yang lebih berpotensi untuk dikembangbiakkan. Jika tidak, hanya
mendapat sapi jantan pun tidak masalah. Amoy adalah salah satu sapi hasil
lotre. Begitu juga dengan Septu, sapi betina milik mama yang diberi nama
berdasarkan hari di saat lotre itu berlangsung dua tahun lalu.
“Pohon yang mana, Abah tua?” aku bertanya untuk memastikan.
“Itu pohon randu yang gede,” jawab Abah tua sambil
menunjuk pohon berbatang besar dengan kulit berwarna hijau.
Pohon dengan buah berserat kapuk ini memang banyak tumbuh di
sini. Jika telah menua dan kering, serat kapas itu dapat dimanfaatkan sebagai
isian bantal atau kasur. Di beberapa bagian batang atau akarnya yang menonjol
ke permukaan tanah biasanya terdapat duri yang memiliki warna hampir serupa
dengan batang atau akarnya. Walau cukup besar, duri-duri itu terkadang tersamar
dan yang tak jeli bisa saja mengintak atau tak sengaja memegangnya. Aku pernah
beberapa kali tak sengaja menginjaknya.
Tugas memindahkah sapi pagi ini pun telah kulaksanakan. Kini
dentang waktu tepat di pukul 9:00. Aku melanjutkan niatku yang tadi tertunda,
pergi bermain. Kaki telah menapak beberapa langkah di depan rumah. Nenek masih
di tempat penampungan air samping rumah untuk membasuh kedua kakinya.
“Ngko awan balik sira!”[6] seru nenek agak
ketus.
Aku tetap berlalu tanpa jawaban dan tentu tanpa alas kaki
pula. Tak lupa sebatang joran telah siap. Sesuai kesepakatan kemarin, hari ini
kami akan memancing.
Aku berjalan menanjak pada jalanan yang lebih tinggi. Dari
arah depan terdengar suara bising dari knalpot sebuah sepeda motor. Seorang
pria berbadan gempal pun terlihat menunggangi sepeda motor sport model
lawas. Di jalanan yang agak landai, biasanya ia akan mematikan mesin dan
membiarkan tunggangannya melaju mengikuti kemiringan lintasannya. Setelah agak
jauh mesinnya akan hidup kembali. Pria itu adalah pak Mantri, salah satu nakes
yang ada di desa Mamau. Sebenarnya ada seorang bidan lagi, namun yang lebih
sering terlihat adalah pak Mantri ini. Beberapa warga yang sakit tentu akan
mendatangi rumahnya yang searah dengan rumah Abah tua dan Nenek.
Walau terpencil, beberapa warga yang cukup berada seperti
pak Matri memang memiliki kendaraan sepeda motor. Karena akses ke kota hanya
dapat melalui jalur laut, maka kendaraan itu pun harus diangkut menggunakan
perahu bermotor –yang sering disebut jonson atau longbot. Jumlah warga yang
memiliki kendaraan pun terus bertambah tiap tahunnya. Pak mantri sendiri,
memiliki dua sepeda motor.
***
Aku masih berjalan menyusuri jalanan yang kini mulai
menurun. Di depan sana, terlihat dua pasang gapura saling berhadapan dengan cat
merah putih membentangkan sayap garuda yang terbuat dari papan kayu. Itu adalah
persimpangan jalan empat arah.
Jalan utama adalah jalanan yang membentang dari Barat ke
Timur, dari pantai ke ujung desa. Sedangkan, jalanan yang masing-masing berada
di sisi Utara dan Selatan, biasa disebut ‘jalur’. Tiap jalur akan dipasangi dua
pasang gapura gapura yang saling berhadapan. Di mulai dengan jalur 1, jalur
rumah Abah tua. Jika terus ke arah timur maka akan ada jalur 2, 3, 4, dan
5. Namun, sekarang sudah semakin sepi.
Bahkan jalur 4 dan 5 nyaris tanpa penghuni.
Setelah jalanan menurun. Tepat di bagian terendahnya, dari
arah sebuah rumah yang di depannya terdapat sebuah kios, terdengar seseorang
memanggil namaku. Nadanya sedikit berbisik.
“Rid! Rid!” bisiknya.
Aku menoleh. Memalingkan wajah ke arah seorang anak lelaki
seumuranku yang melongo dari dalam jala kios yang terbuat dari kawat besi. Dia
melanjutkan percakapan. Namun kali ini tidak dengan suara atau bisikan dari
mulutnya. Melainkan dari jemarinya yang memberi kode.
Pertama, jari telunjuknya dibiarkan menekuk dan di antara
tekukan itu terselip ujung ibu jarinya. Kedua, ibu jari dan telunjuknya
meregang membentuk setengah lingkaran. Selanjutnya, jari tengah dan telunjuknya
di tentangkan dan diarahkan ke bawah. Kemudian ia melanjutkan dengan membuat
bentuk seperti setengah lingkaran dengan kelima jarinya dan ibu jari sedikit
ditekuk ke dalam –seperti membentuk setengah cengkeraman. Ia mengulangi bentuk
cengkeraman itu sekali lagi. Dan terakhir, telunjuk dan ibu jarinya kembali membentuk
setengah lingkaran.
“Tunggu,” aku mengejanya dan perlahan mengangguk,
setelah itu menepi ke teras kiosnya.
“Ma, sa[7] main yah!” sejurus
kemudian suara anak berdarah Ternate-Lampung itu melantang masuk ke dalam
rumah. Meminta izin dengan rengekannya.
“Kamu itu main terus, Randi, Randi!” ketus seorang wanita
dari dalam rumah, lalu lanjut berkata, “udah kelas enam bukannya
belajar, malah main terus. Ingat, bentar lagi ujian loh.”
Anak yang selalu peringkat pertama di kelas itu pun keluar
dari pintu dengan wajah yang kusut. Mengangguk pelan ke arahku dan melangkah ke
arah perempatan jalan. Aku ikut berjalan di sampingnya.
“Nanti siang pulang makan!” dari arah rumah, wanita tadi
kembali berteriak. Kini tak hanya suara, wanita itu pun terlihat dari pintu
samping.
“Iya!” Randi menjawab dengan nada sedikit berteriak.
“Diana mana?” tanyaku setelah beberapa langkah.
“Nyuci di belakang.”
“Jam segini baru nyuci?”
“Bangunnya kesiangan, ngompol lagi!”
***
Tibalah kita di rumah Bagus. Rumah yang rutin dijadikan
titik kumpul untuk bermain. Di sinilah rencana-rencana akan dirancang. Di
sebuah rumah kayu yang bagian depannya baru saja direnovasi dengan cat putih di
dinding-dindning kayunya dan hijau di pinggiran jendala serta pintunya.
Beberapa teman telah berkumpul. Bagus, Haryo, Edo, Agil dan Danang. Tentu
dengan bilah jorannya masing-masing yang hanya terbuat dari batang salak.
“Mancing di mana? Pendali?[8]” Randi membuka
tanya.
“Makanya jangan telat. Kita tadi sepakat mau mancing di
belakang kebun jeruknya pak guru,” jawab Edo, teman yang harusnya sekelas
dengan aku, Randi dan Bagus, namun tahun ini dia tak naik kelas dan menetap di
kelas lima bersama Danang.
Kami kompak mengarahkan pandangan ke sebuah rumah di
seberang jalan yang berada di sisi Barat rumah Bagus. Rumah guru kami di
sekolah. Rumah itu menyatu dengan kebun jeruk yang luas. Dan di luar pagar sisi
Barat kebun itu terdapat sebuah parit berukuran agak lebar. Di sanalah kami
akan memancangkan joran-joran pancing kami.
“Umpannya mana?” tanyaku.
“Di belakang rumahku banyak cacing.” Bagus mengacungkan ibu
jarinya ke arah belakang.
***
Mentari semakin terik. Entah sial apa yang tengah menimpaku.
Pancingan yang kupancangkan sedari tadi hanya mendapatkan seekor ikan gabus
seukuran ibu jari. Sementara yang lain telah mendapat beberapa ekor ikan dengan
ukuran dan jenis yang bermacam-macam.
“Mancing itu harus nyari tempat yang bagus,”
Agil duduk di sampingku yang mulai lelah dan menopang dagu. Ia terlihat meludahi
mata kail yang telah diberi cacing, lalu cengengesan ke arahku, “dijampi-jampi
dulu, biar dapat. Hehehe”
Benar saja. Tiba-tiba senar pancingnya tertarik oleh
sesuatu. Jorannya pun mulai membentuk setengah lingkaran. Dia beradu kuat
dengan tarikan ikan itu. Ikan pun mengalah dan segera terlempar ke udara.
Seekor gabus seukuran lengan berhasil didapatkan.
Belum selesai. Dari ujung parit yang sedikit bersemak, Danang
terlihat terjun ke dalam air karena pancingannya tersangkut pada eceng gondok
dan semak yang berada di air. Walau setengah badannya harus basah dan
berlumpur, namun seekor gabus berukulan sedang ia dapatkan.
Bagus, Haryo dan Randi berturut-turut menarik pancingan
mereka. Masing-masing mereka pun mendapat seekor ikan gabus pula, ikan yang
konon merupakan salah satu ikan purba.
Sementara aku masih sama dengan tadi. Tak seekor ikan pun
tertarik dengan suguhan cacing di ujung pancinganku. Apa mungkin aku pun harus
membaca mantra memancing?
***
Setelah melaksanakan salat dan makan siang, aku bergegas
lagi menuju tempat memancing. Pancingan-pancingan itu dibiarkan saja di sana.
Tertancap pada tanah di tepi parit.
“Arep ngendi maning?”[9] nenek
kembali menegur. Kali ini ia tengah duduk pada sebuah ayunan yang terbuat dari
jala dan diikat pada batang pohon jambu air di depan rumah.
“Lihat pancing,” jawabku.
“Alah, mancing nggak dapat apa-apa aja masih diparanin,”[10]
Aku hendak melangkah pergi.
“Sini dulu!” nenek memanggil.
“Kenapa, nek?” aku mendekat.
“Nih ya, kalau mau mancing ada doanya,” nenek senyum
dan melanjutkan, “plok kaciplok, gede-cilik pada nyamplok!”
Aku ikut tersenyum. Abah tua yang berada di ayunan lain pun
tertawa pelan.
“Ih, ketawa, serius ini,” kata nenek meyakinkan, “coba geh
nanti, mung ora percaya mah!”[11]
“Mung arep nandur, iki kih baca ne,”[12] Abah
tua tak mau kalah, “Alif, be, te, rembel buahe!”
“Hahaha,” kali ini aku tak sanggup menahan tertawa. Abah tua
dan Nenek pun ikut terbahak hingga terbatuk-batuk.
***
Kini aku telah tiba di tempat memancing. Tempat yang
sebenarnya agak mencekam, karena di seberang sana ada area pemakaman. Jarak
dari tempat memancing hanya dipisahkan oleh jalanan yang membentang ke arah
pantai. Hanya Bagus dan Haryo, yang telah terlihat tiba di tempat ini.
“Yang lain mana?” tanyaku.
Hanya dijawab dengan mengedikkan badu oleh kakak dan adik itu, tanda tidak tahu.
“Edo mana?” aku kembali bertanya.
“Paling disuruh tidur sama Ndo’-nya[13],”
jawab Bagus.
Dan mungkin yang lainnya pun begitu.
“Kirain kamu nggak bakal datang juga, Rid,”
Haryo menyela, “kan biasanya kamu mainnya ke jalur 3.”
“Nggak-lah, kan pacingku ada di sini.”
“Ya, nggak-lah, Yo. Kan di jalur 3 udah nggak ada
Asih, jaranglah dia mau ke sana,” Bagus ikut meledek.
Mereka tersenyum-senyum melihatku tersipu.
...
Sementara pancinganku masih saja tak dilirik. Tak bergeser
sedikit pun. Padahal saat aku datang, Bagus dan Haryo sedang melepaskan kail
dari mulut ikan perolehannya. Pancingan Edo terlihat berpindah dari tempatnya.
Sementara yang lain rupanya bernasib sama dengan pancinganku. Memancing memang
membutuhkan kesabaran.
Sejam kemudian mereka pun kembali. Edo langsung menceburkan
diri ke dalam air. Badannya yang gempal membuat air pun bergelombang. Semua
menoleh karena terkejut.
“Gajah nyemplung,” ledek Danang.
“Hahaha,” semua serentak tertawa.
“Nggak usah ketawa, Rid. Kita sama-sama gajah,”
sahut Edo.
***
Senja di ufuk Barat mulai terukir. Langit pun kian merona. Jingga
itu membentang di atmosfer Mamau. Masih tak ada kabar dari pancinganku. Masih
tak ada seekor pun makhluk air yang tertarik. Tak bergeming sedikit pun.
Akhirnya mantra itu ada di kepalaku.
“Plok kaciplok, gede-cilik pada nyamplok!” lirih
bibirku berbisik tak ingin terdengar oleh siapa pun.
Diam. Hening. Tak ada yang terjadi. Pancinganku masih diam.
Semilir angin tertiup pelan. Berbisik pada telinga. Daun-daun pohon jeruk yang
berada di dalam pagar pun melambai-lambai. Dan...
“Udah yok, pulang!” ajak Randi.
“Iya, udah sore,” kata Bagus.
“Iya,” yang lain mengiyakan.
Dengan perasaan yang kesal aku meraih joran pancingan yang
masih saja diam. Terasa ringan. Sepertinya memang bukan hari keberuntunganku.
Bahkan mantra Nenek pun tak sanggup mengubah takdir keberuntunganku.
Saat pancing berhasil kuangkat ke permukaan air. Sontak aku
terkejut dengan apa yang kulihat. Begitu pun dengan wajah kawan-kawanku yang
lain. Kami tak percaya dengan apa yang kami lihat di ujung kailku.
“UDANG?”[]
[1] Mau ke mana kamu?
[2] Main? Pagi-pagi main?
[3] Jangan main dulu, bantu pindahkan sapi.
[4] Taruh; letakkan; meletakkan;
[5] Abah tua (kakek) yang memindahkan Septu. Nanti nenek yang menggiring
dari belakang.
[6] Nanti siang pulang kamu! (kamu: sira/ira)
[7] Saya; aku
[8] Kolam persegi berukuran besar yang sering dijadikan sumber air bagi
penduduk desa dan terdapat pula beberapa ikan yang hidup di pendali seperti
gabus, mujair, lele, atau bulan-bulan.
[9] Mau ke mana lagi?
[10] Dilihat; didatangi
[11] Coba saja nanti, kalau tidak percaya
[12] Kalau mau menanam ini doanya
[13] Neneknya
_________
Cerita ini adalah bagian dari novel "Aku Ingin Pulang" yang saat ini sedang dalam proses penyusunan. Sebuah kisah berdasarkan pengalaman penulis.
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil
Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.
Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "[NOVEL AKU INGIN PULANG] 02 Mantra Memancing - Karya Ahmad M. Mabrur Umar"
Post a Comment