Cerpen Urban Legend - Menit Ketujuh

Menit Ketujuh
Oleh : Ahmad M Mabrur Umar (AMMU)

JDEEERRR... JDEEERRR...
Suara petir berhenti sejenak. Dan tiba-tiba...
JDDDEEEEEEERRRRRRRR...
Suara susulan sekali yang sangat dahsyat diselangi dengan cahaya kilat yang memecah kegelapan malam. Guratan-guratan mengerikan itu masih merayap-rayap di langit malam. Malam hari terasa bagai siang benderang seketika, namun seketika pula kembali menjadi malam. Siang lagi. Malam lagi. Begitu seterusnya sang kilat berkawan guntur silih berganti memaikan suasana. Sangat dahsyat amukan langit. Mungkin Dewa langit sedang murka.
Guyuran hujan makin deras menerpa. Hening seketika menjadi riuh. Pohon-pohon harus pasrah diombang-ambingkan kedahsyatan itu. Daun-daun kering nan menua mulai beterbangan di angkasa, melalang buana dituntun amukan angin. Belum lagi makhluk-makhluk lain yang bertengger di dahan-dahan. Mereka harus menguatkan cengkeraman agar tak goyah diterpa badai.
WHUUUFFF... DEEESSSHHH... JDEEERR...
Seorang lelaki parubaya terlihat nekat membelah teluk di tengah malam. Entah apa yang di pikirannya. Tunggangannya pun hanya sebuah lembang[1] tua yang mulai keropos. Tunggangan sekuno itu tak akan mampu melawan hadangan badai dan gelombang laut yang luar biasa dahsyatnya. Namun itulah sebuah tekat.
Lembang bak ayunan diombang-ambingkan ombak tak karuan arah. Sang lelaki dengan kuat terus mencengkeram tiang tempatnya menaruh pelita kecil. Pelitanya pun telah padam sedari tadi.
DAAAARRRRR...
Dari depan terdengar suara benturan. Seperti menabrak sesuatu. Sang lelaki menitih dalam gelap di atas lembang. Samar-samar dilihatnya. Tiba-tiba...
JDEEERRR...
Kembali kilat beserta guntur menggelegar. Astaga. Lelaki itu kaget bukan kepalang. Bukan karena kilat, bukan juga petir. Sesuatu yang lebih berbahaya di depan matanya. Lembangnya menabrak batu dan menyisakan lubang. Dengan deras air mulai masuk melalui lubang. Gawat. Lembang antik itu akan menemuai ajalnya bersama sang pemilik.
Ia kini nyaris tenggelam di tengah laut. Tengah malam. Di tengah badai pula. Ia tak bisa berbuat banyak. Berenang ke kiri disapu ombak ke kanan. Berenang ke kanan disapu ombak ke kiri. Berenang maju diterjang dari depan. Mundur pun diserang pula. Ia terkepung. Habis sudah riwayatnya. Inilah ajalnya. Tak ada seoramg penolong pun di sana.
Ia mulai pasrah dengan keadaan. Ia menyerah. Tubuhnya sudah terasa lemas. Napasnya pun mulai tersenggap-senggap. Kali ini ia mulai hilang kesadaran. Tunggu dulu. Dalam samar-samar penglihatannya ia melihat sesuatu. Manusia? Bukan. Kayu? Bukan. Ikan? Entahlah, tapi ia merasa ada yang menolongnya. Nanti ia akan berterima kasih padanya.
Matanya perlahan mulai terbuka. Berawal dari samar-samar di ujung penglihatannya perlahan mulai jelas yang ia lihat. Badai sudah tiada. Ia bangkit dari pembaringannya di sebuah batu besar. Matanya memandang sekeliling. Tempatnya berdiri sekarang adalah tepat di pantai Batulotong –sebuah desa di pesisir Sulawesi Selatan–. Terhentilah pandangannya pada satu titik di hadapan. Lelaki itu tertegun, sadar ia telah diselamatkan seekor ikan. Ikan kerapu.
“Wahai Kerapu! Aku bersumpah. Aku dan semua keturunanku tidak akan pernah memakan ikan kerapu. Kau pun tak boleh memangsa mereka. Bila ada yang melanggar sumpah ini, maka  tubuhnya akan bersisik dan hancur.”
“Itu sebabnya mengapa kita masyarakat kecamatan Larompong tidak diperbolehkan makan ikan kerapu. Dan hingga sekarang lelaki itu dikenal dengan sebutan Pung Kurapu atau Nenek Kerapu[2],” ia diam sejenak, “ingat ki baik-baik le, nak![3] Yang kakek ceritakan ini bukan sekadar dongeng. Ini kisah nyata.” Lugas kakek tua itu menutup cerita. Kakek Jalil memang sering berkunjung ke rumah Ardan.
21:00. Remaja kelas dua Madrasah Aliyah itu sudah bergegas untuk tidur.
*****
Suasana pagi Dusun Keppe masih sama. Begitu pun suasana di keluarga Ardan yang sangat sederhana. Seperti biasa, ayah, Ardan dan Aisyah menunggu sajian sarapan dari bunda.
“Nah... bunda masak ikan.”
“Ikan apa, bun?” si kecil Aisyah bertanya.
“Kerapu.”
Sontak saja hati Ardan tak karuan. Ia masih ingat tentang sumpah Pung Kurapu dalam cerita Kakek Jalil semalam. Jantungnya menggebu-gebu. Keringat dinginnya mulai menetes.
“Ardan, kau dengar juga cerita Kakek Jalil tadi malam. Itu cuma dongeng. Ayah sudah sering dengar tentang dongeng itu. Jangan dipercaya. Takhayul!”
 “Ayo Ardan! Dimakan. Enak.” Ayah terus mendesak.
Dengan gemetaran sendok Ardan pun meluncur ke mulutnya. Remaja itu merasa agak aneh, tubuhnya seperti menolak makanan itu. Padahal baru suapan pertama. Biasanya Ardan menghabiskan sarapannya, namun kali ini menu sarapan itu membuatnya merasa ketakutan.
*****
Karena tak bisa berkonsenterasi pada pelajarannya. Ardan memutuskan keluar dari ruangan kelas menuju toilet. Ia membasuh mukanya dengan harap tak lagi terpikir masalah sarapan dan sumpah Sang Pung Kurapu. Ia menarik napas panjang dan menghamburkan udara itu dari mulutnya.
“KAU TELAH MELANGGAR PANTANGAN.” Suara bisikan aneh terdengar tepat di samping telinga Ardan.
Remaja itu terkesiap. “Siapa itu?” ia membuka pintu dan melangkah keluar. Tidak ada siapa pun di sana. Dan tiba-tiba...
TRAAAKKK...
Pintu itu tertutup sendiri tanda ada angin yang menerpanya. Ardan bergegas lari menuju kelas. Ia bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Ardan duduk di tempatnya. Dan terkejutlah ia ketika menyaksikan sekelilingnya. Teman-teman kelasnya dan guru yang mengajar, semua kepala mereka berubah menjadi kepala ikan. Ardan terkesiap. Astaga. Anak itu tertidur saat jam pelajaran. Tak dinyana cerita Kakek Jalil sampai membawa efek seperti ini.
Bel pulang akhirnya berdering. Ardan berjalan bersama seorang cewek menuju rumah yang tak jauh dari sekolah. Di tengah asyiknya mereka berbincang, tiba-tiba seorang lelaki parubaya dengan pakaian terlihat kuno melintas di samping Ardan. Tiba-tiba...
“KAU TELAH MELANGGAR PANTANGAN.” Lelaki itu berbisik pada Ardan.
“Ardan, kenapa ki[4]?” cewek yang bersama Ardan menegur.
“Fit, ta lihatkah orang yang baru lewat di sini?”
“Orang? Dari tadi cuma ada kita, Dan.” Fitri mengerutkan kening, sedikit keheranan.
Hari ini mereka berencana belajar ‘bareng’ di rumah Ardan. Rumah itu terasa beda. Tak seperti biasa, kali ini Aisyah tak menyambut kedatangan kakaknya. Bunda pun tak terdengar suaranya. Ada yang aneh.
“BUNDAAA...” Terkejutlah Ardan melihat bunda dan adiknya tergeletak di lantai dengan tubuh yang menghitam dan kasar seperti sisik.
WSSSSHHHH...
Angin tiba-tiba bertiup kencang. Pintu terbuka dan ayah muncul dari baliknya. Tubuhnya sangat aneh, memar-memar warna hitam merambat mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“AAAAAA...” Ayah berteriak sejadi-jadinya.
PLAAAKKK... PLAAAKKK... PLAAAKKK...
Tubuhnya hancur perlahan. Diawali kepala. Dada. Perut. Hingga kakinya remuk.
“AYAAAHHH...” Segala perasaan berkecamuk dalam benak Ardan. Tangannya mulai menampakkan gejala yang sama.
“Fit,” Ia menoleh ke arah Fitri. Alangkah terkejutnya ia, Fitri seperti orang gagu. Dan mata gadis itu tak menunjukkan pupilnya. Astaga. Fitri juga kena.
“KAU TELAH MELANGGAR PANTANGAN.” Suara Fitri tiba-tiba memberat dan seperti bukan Fitri.
Dengan rasa ketakutan Ardan pun lari ke luar rumah. Angin masih kencang. Kali ini kilatan petir ikut menyambar-nyambar. Hujan deras mengguyur seketika. Suasana menjadi sangat seram. Siang kini berubah menjadi malam. Seisi dusun harus mendulang karma sebab kesalahan sebuah keluarga.
Corak hitam di tubuh Ardan mulai menyebar. Sisik-sisik mulai tumbuh. Makin paniklah ia. Lututnya terasa lemas. Ardan berlutut di tengah jalan. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia tertegun. Ardan mulai menyesali perbuatannya dan ia bersujud.
Ia mengenang semuanya. Keceriaan adik kecilnya yang tak bisa lagi ia lihat. Lelucon ayah yang tak lagi akan membuatnya tertawa. Masakan lezat bunda yang tak bisa lagi ia nikmati. Dan Fitri, gadis cantik itu harus terkena imbas dari dosa yang tak pernah ia lakukan.
“Ampuni aku, Ya Allah. Ampuni keluargaku.”
GUUUURRRRKKKK... WHUUUUFFFKKKK...
Air menerjang setiap sudut tempat itu. Menggenang jalanan. Tempat sujud Ardan pun tak luput dari sambaran air yang dahsyat itu. Ardan tenggelam dalam banjir bandang yang tiba-tiba saja datang.
Mata Ardan terbuka. Nyaris saja ia berteriak, namun suaranya itu tertahan oleh rasa herannya melihat apa yang ada di depannya. Bantal, kasur, selimut, dan itu adalah kamar Ardan.
21:07. Apa yang terjadi?
“Dan batu tempat Pung Kurapu diselamatkan pernah coba dihancurkan. Tapi dalam usaha itu empat ‘ekskafator’ tiba-tiba rusak.” Kakek Jalil masih bercerita tentang kisah Pung Kurapu.
Fitri yang langsung Ardan hubungi pun baik-baik saja. Ardan benar-benar lega.
*****
Pagi seperti biasa. Ardan menunggu di meja makan bersama ayah dan Aisyah. Kali ini Ardan mengawasi bundanya. Di benaknya bertanya-tanya ‘apa yang beliau masak?’
“Nah... Hari ini bunda masak ikan.”
Hah... Ikan?
Apakah Kerapu?
....



[1] Sampan (dalam bahasa Bugis-Luwu)
[2] Walau pun sebutannya ‘Nenek’ tapi bukan berarti dia perempuan. Masyarakat ada yang mengenalnya dengan sebutan ‘Pung Kurapu’ tapi ada juga sebagian yang menyebutkan ‘Nenek Kurapu’. Di mana ‘kurapu’ sendiri adalah bahasa daerah untuk ‘kerapu’
[3] Kamu ingat baik-baik ya, nak!
[4] Kata “ki” dan “ta” dalam dialeg masyarakat Sulawesi Selatan adalah kata ganti “kamu” untuk menunjukkan kesopanan terhadap lawan bicara.


Keterangan:
Naskah Cerpen ini pernah diikut sertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Nasional bertema "Urban Legend" bersama Jejak Publisher pada September 2017. Dan Alhamdulillah berhasil lolos sebagai salah satu cerpen terpilih untuk dibukukan.




_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "Cerpen Urban Legend - Menit Ketujuh"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo