Cerpen Urban Legend - Menit Ketujuh
Wednesday, April 11, 2018
Add Comment
Menit Ketujuh
Oleh : Ahmad M Mabrur Umar (AMMU)
JDEEERRR...
JDEEERRR...
Suara
petir berhenti sejenak. Dan tiba-tiba...
JDDDEEEEEEERRRRRRRR...
Suara
susulan sekali yang sangat dahsyat diselangi dengan cahaya kilat yang memecah
kegelapan malam. Guratan-guratan mengerikan itu masih merayap-rayap di langit
malam. Malam hari terasa bagai siang benderang seketika, namun seketika pula
kembali menjadi malam. Siang lagi. Malam lagi. Begitu seterusnya sang kilat
berkawan guntur silih berganti memaikan suasana. Sangat dahsyat amukan langit. Mungkin
Dewa langit sedang murka.
Guyuran
hujan makin deras menerpa. Hening seketika menjadi riuh. Pohon-pohon harus
pasrah diombang-ambingkan kedahsyatan itu. Daun-daun kering nan menua mulai
beterbangan di angkasa, melalang buana dituntun amukan angin. Belum lagi
makhluk-makhluk lain yang bertengger di dahan-dahan. Mereka harus menguatkan
cengkeraman agar tak goyah diterpa badai.
WHUUUFFF...
DEEESSSHHH... JDEEERR...
Seorang
lelaki parubaya terlihat nekat membelah teluk di tengah malam. Entah apa yang
di pikirannya. Tunggangannya pun hanya sebuah lembang[1]
tua yang mulai keropos. Tunggangan sekuno itu tak akan mampu melawan hadangan
badai dan gelombang laut yang luar biasa dahsyatnya. Namun itulah sebuah tekat.
Lembang
bak
ayunan diombang-ambingkan ombak tak karuan arah. Sang lelaki dengan kuat terus
mencengkeram tiang tempatnya menaruh pelita kecil. Pelitanya pun telah padam
sedari tadi.
DAAAARRRRR...
Dari
depan terdengar suara benturan. Seperti menabrak sesuatu. Sang lelaki menitih
dalam gelap di atas lembang. Samar-samar dilihatnya. Tiba-tiba...
JDEEERRR...
Kembali
kilat beserta guntur menggelegar. Astaga. Lelaki itu kaget bukan kepalang.
Bukan karena kilat, bukan juga petir. Sesuatu yang lebih berbahaya di depan
matanya. Lembangnya menabrak batu dan menyisakan lubang. Dengan deras
air mulai masuk melalui lubang. Gawat. Lembang antik itu akan menemuai
ajalnya bersama sang pemilik.
Ia
kini nyaris tenggelam di tengah laut. Tengah malam. Di tengah badai pula. Ia
tak bisa berbuat banyak. Berenang ke kiri disapu ombak ke kanan. Berenang ke
kanan disapu ombak ke kiri. Berenang maju diterjang dari depan. Mundur pun
diserang pula. Ia terkepung. Habis sudah riwayatnya. Inilah ajalnya. Tak ada
seoramg penolong pun di sana.
Ia
mulai pasrah dengan keadaan. Ia menyerah. Tubuhnya sudah terasa lemas. Napasnya
pun mulai tersenggap-senggap. Kali ini ia mulai hilang kesadaran. Tunggu dulu.
Dalam samar-samar penglihatannya ia melihat sesuatu. Manusia? Bukan. Kayu?
Bukan. Ikan? Entahlah, tapi ia merasa ada yang menolongnya. Nanti ia akan
berterima kasih padanya.
Matanya
perlahan mulai terbuka. Berawal dari samar-samar di ujung penglihatannya
perlahan mulai jelas yang ia lihat. Badai sudah tiada. Ia bangkit dari
pembaringannya di sebuah batu besar. Matanya memandang sekeliling. Tempatnya
berdiri sekarang adalah tepat di pantai Batulotong –sebuah desa di pesisir
Sulawesi Selatan–. Terhentilah pandangannya pada satu titik di hadapan. Lelaki
itu tertegun, sadar ia telah diselamatkan seekor ikan. Ikan kerapu.
“Wahai
Kerapu! Aku bersumpah. Aku dan semua keturunanku tidak akan pernah memakan ikan
kerapu. Kau pun tak boleh memangsa mereka. Bila ada yang melanggar sumpah ini,
maka tubuhnya akan bersisik dan hancur.”
“Itu
sebabnya mengapa kita masyarakat kecamatan Larompong tidak diperbolehkan makan
ikan kerapu. Dan hingga sekarang lelaki itu dikenal dengan sebutan Pung Kurapu
atau Nenek Kerapu[2],”
ia diam sejenak, “ingat ki baik-baik le, nak![3] Yang kakek ceritakan ini
bukan sekadar dongeng. Ini kisah nyata.” Lugas kakek tua itu menutup cerita. Kakek
Jalil memang sering berkunjung ke rumah Ardan.
21:00.
Remaja kelas dua Madrasah Aliyah itu sudah bergegas untuk tidur.
*****
Suasana
pagi Dusun Keppe masih sama. Begitu pun suasana di keluarga Ardan yang sangat
sederhana. Seperti biasa, ayah, Ardan dan Aisyah menunggu sajian sarapan dari
bunda.
“Nah...
bunda masak ikan.”
“Ikan
apa, bun?” si kecil Aisyah bertanya.
“Kerapu.”
Sontak
saja hati Ardan tak karuan. Ia masih ingat tentang sumpah Pung Kurapu dalam
cerita Kakek Jalil semalam. Jantungnya menggebu-gebu. Keringat dinginnya mulai
menetes.
“Ardan,
kau dengar juga cerita Kakek Jalil tadi malam. Itu cuma dongeng. Ayah sudah
sering dengar tentang dongeng itu. Jangan dipercaya. Takhayul!”
“Ayo Ardan! Dimakan. Enak.” Ayah terus
mendesak.
Dengan
gemetaran sendok Ardan pun meluncur ke mulutnya. Remaja itu merasa agak aneh,
tubuhnya seperti menolak makanan itu. Padahal baru suapan pertama. Biasanya
Ardan menghabiskan sarapannya, namun kali ini menu sarapan itu membuatnya
merasa ketakutan.
*****
Karena
tak bisa berkonsenterasi pada pelajarannya. Ardan memutuskan keluar dari
ruangan kelas menuju toilet. Ia membasuh mukanya dengan harap tak lagi terpikir
masalah sarapan dan sumpah Sang Pung Kurapu. Ia menarik napas panjang dan
menghamburkan udara itu dari mulutnya.
“KAU
TELAH MELANGGAR PANTANGAN.” Suara bisikan aneh terdengar tepat di samping
telinga Ardan.
Remaja
itu terkesiap. “Siapa itu?” ia membuka pintu dan melangkah keluar. Tidak ada
siapa pun di sana. Dan tiba-tiba...
TRAAAKKK...
Pintu
itu tertutup sendiri tanda ada angin yang menerpanya. Ardan bergegas lari
menuju kelas. Ia bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Ardan duduk di
tempatnya. Dan terkejutlah ia ketika menyaksikan sekelilingnya. Teman-teman
kelasnya dan guru yang mengajar, semua kepala mereka berubah menjadi kepala
ikan. Ardan terkesiap. Astaga. Anak itu tertidur saat jam pelajaran. Tak dinyana
cerita Kakek Jalil sampai membawa efek seperti ini.
Bel
pulang akhirnya berdering. Ardan berjalan bersama seorang cewek menuju rumah
yang tak jauh dari sekolah. Di tengah asyiknya mereka berbincang, tiba-tiba
seorang lelaki parubaya dengan pakaian terlihat kuno melintas di samping Ardan.
Tiba-tiba...
“KAU
TELAH MELANGGAR PANTANGAN.” Lelaki itu berbisik pada Ardan.
“Ardan,
kenapa ki[4]?” cewek yang bersama Ardan
menegur.
“Fit,
ta lihatkah orang yang baru lewat di sini?”
“Orang?
Dari tadi cuma ada kita, Dan.” Fitri mengerutkan kening, sedikit keheranan.
Hari
ini mereka berencana belajar ‘bareng’ di rumah Ardan. Rumah itu terasa beda.
Tak seperti biasa, kali ini Aisyah tak menyambut kedatangan kakaknya. Bunda pun
tak terdengar suaranya. Ada yang aneh.
“BUNDAAA...”
Terkejutlah Ardan melihat bunda dan adiknya tergeletak di lantai dengan tubuh
yang menghitam dan kasar seperti sisik.
WSSSSHHHH...
Angin
tiba-tiba bertiup kencang. Pintu terbuka dan ayah muncul dari baliknya. Tubuhnya
sangat aneh, memar-memar warna hitam merambat mulai dari ujung kepala hingga
ujung kaki.
“AAAAAA...”
Ayah berteriak sejadi-jadinya.
PLAAAKKK...
PLAAAKKK... PLAAAKKK...
Tubuhnya
hancur perlahan. Diawali kepala. Dada. Perut. Hingga kakinya remuk.
“AYAAAHHH...”
Segala perasaan berkecamuk dalam benak Ardan. Tangannya mulai menampakkan
gejala yang sama.
“Fit,”
Ia menoleh ke arah Fitri. Alangkah terkejutnya ia, Fitri seperti orang gagu.
Dan mata gadis itu tak menunjukkan pupilnya. Astaga. Fitri juga kena.
“KAU
TELAH MELANGGAR PANTANGAN.” Suara Fitri tiba-tiba memberat dan seperti bukan
Fitri.
Dengan
rasa ketakutan Ardan pun lari ke luar rumah. Angin masih kencang. Kali ini
kilatan petir ikut menyambar-nyambar. Hujan deras mengguyur seketika. Suasana
menjadi sangat seram. Siang kini berubah menjadi malam. Seisi dusun harus
mendulang karma sebab kesalahan sebuah keluarga.
Corak
hitam di tubuh Ardan mulai menyebar. Sisik-sisik mulai tumbuh. Makin paniklah
ia. Lututnya terasa lemas. Ardan berlutut di tengah jalan. Ia menangis sejadi-jadinya.
Ia tertegun. Ardan mulai menyesali perbuatannya dan ia bersujud.
Ia
mengenang semuanya. Keceriaan adik kecilnya yang tak bisa lagi ia lihat.
Lelucon ayah yang tak lagi akan membuatnya tertawa. Masakan lezat bunda yang
tak bisa lagi ia nikmati. Dan Fitri, gadis cantik itu harus terkena imbas dari
dosa yang tak pernah ia lakukan.
“Ampuni
aku, Ya Allah. Ampuni keluargaku.”
GUUUURRRRKKKK...
WHUUUUFFFKKKK...
Air
menerjang setiap sudut tempat itu. Menggenang jalanan. Tempat sujud Ardan pun
tak luput dari sambaran air yang dahsyat itu. Ardan tenggelam dalam banjir
bandang yang tiba-tiba saja datang.
Mata
Ardan terbuka. Nyaris saja ia berteriak, namun suaranya itu tertahan oleh rasa
herannya melihat apa yang ada di depannya. Bantal, kasur, selimut, dan itu
adalah kamar Ardan.
21:07.
Apa yang terjadi?
“Dan
batu tempat Pung Kurapu diselamatkan pernah coba dihancurkan. Tapi dalam usaha
itu empat ‘ekskafator’ tiba-tiba rusak.” Kakek Jalil masih bercerita
tentang kisah Pung Kurapu.
Fitri
yang langsung Ardan hubungi pun baik-baik saja. Ardan benar-benar lega.
*****
Pagi
seperti biasa. Ardan menunggu di meja makan bersama ayah dan Aisyah. Kali ini
Ardan mengawasi bundanya. Di benaknya bertanya-tanya ‘apa yang beliau masak?’
“Nah...
Hari ini bunda masak ikan.”
Hah...
Ikan?
Apakah
Kerapu?
....
[1] Sampan (dalam bahasa
Bugis-Luwu)
[2] Walau
pun sebutannya ‘Nenek’ tapi bukan berarti dia perempuan. Masyarakat ada yang
mengenalnya dengan sebutan ‘Pung Kurapu’ tapi ada juga sebagian yang
menyebutkan ‘Nenek Kurapu’. Di mana ‘kurapu’ sendiri adalah bahasa daerah untuk
‘kerapu’
[3] Kamu ingat baik-baik ya, nak!
[4] Kata “ki” dan “ta” dalam dialeg
masyarakat Sulawesi Selatan adalah kata ganti “kamu” untuk menunjukkan
kesopanan terhadap lawan bicara.
Keterangan:
Naskah Cerpen ini pernah diikut sertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Nasional bertema "Urban Legend" bersama Jejak Publisher pada September 2017. Dan Alhamdulillah berhasil lolos sebagai salah satu cerpen terpilih untuk dibukukan.
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "Cerpen Urban Legend - Menit Ketujuh"
Post a Comment