Yang Terakhir
Wednesday, May 16, 2018
Add Comment
Sebelum
aku bercerita kuberi kau yang sederhana dariku yang sangat sederhana, maaf bila
konyol.
Cahaya
Kutegur sang bintang malam
Kutolak sinarnya yang redup
Kutunjukkan binarmu yang cemerlang
Lantas ia matikan sinarnya seketika
Kusudutkan rembulan yang
tersenyum
Kuabaikan senyum
menawannya
Kubilang senyum adindaku
lebih indah
Rembulan pun mengakui
ujar-ujarku
Kupersekutukan awan pagi ini
Kuperintahkan halangi mentari yang terbit
Kala itu awan bertanya-tanya mengapa
Kuperlihatkan pesona elokmu di setiap hariku
Awan terpesona lantas penuhi pintaku
Kuhalangi rintik hujan
menghujammu
Aku tak ingin redup
sinarmu, cahaya
Pelita kecil dalam pekat
sang gelap
Aku ingin jadi cahayamu
bantu kau bersinar
Kau cahayaku bantulah
daku tuk bersinar
Sinari jalan terangmu
Agar sampai kau padaku
Sinarilah jalan redupku
Agar tak tersesat aku yang mencarimu
Sempurnamu Lemahku
Sempurna yang tak bisa kugapai
Betapa hebat Sang Sempurna mencipta sempurna lain
Meski tak sesempurna Maha Cipta
Tetap saja sempurnanya lemahku
Adakah baik sang logika
menerjang baik sang hati
Ketika rasa mengalahkan
pikir
Ketika pikir menerobos
kokoh sang hati
Kuujarkan sempurnamu
lemahku
Terlihat nyaman sang hati sebab tutur di hari lampau
Konon indah ‘kan tercapai hingga masa mendatang
Logika lagi aku berkawan dirinya, masihkah ada sang
nyaman?
Pikir makin mengusik, sempunanya lemahku
Jadi saksi sang waktu
menemani
Menampak pandai
tutur-tutur indah
Yang makin kudamba, tak
yakin kugapai
Tutur sempurnamu lemahku
Aku diam saat aku marah
Terkadang bertanya mengapa marah
Egoku berkawan cemburu dalam pikir
Makin jelas pikir sempurnamu lemahku
Sempurna itu yang kudamba
Ingin kujaga sepenuh hati
walu kulemah
Sempurna yang buat amarah
mereda
Yang buktikan sempurnanya
lemahku
Sabtu, 17 Juni 2017,
Terpandang bodohkah aku
menurutmu? Yang tak serupa dambaanmu sang pangeran. Tak bertahtakan mahkota di
kepala, istanaku pun tak semegah istana yang kau damba, hanya beratapkan
daun-daun mengering. Inikah yang jadi alasan tertolakku? Tak ada lagikah sempat
untukku di hari mendatang bagi sisimu? Bahkan telah kau pastikan aku memang tak
layak untukmu. Dan tak yakin kau bisa kujamin bahagiamu, sebab akulah sang tak
punya.
Wahai kau cahaya, ingin
lagi kusampaikan harapku. Tak kubumbui kias agar kau paham maknaku. Bukanlah
pacaran tujuanku denganmu, sudah jelas bila berpacaran hanya membuat sakit
hati, tak ingin kubuat kau sakit hati padaku. Lebih dari itu, lebih dari
sakadar pacaran, aku ingin menggenggammu sebagai pelindungmu. Maaf bila selama
ini maknaku tak tersampaikan dengan baik. Inilah harapku yang tulus benarnya,
harap yang kau sarankan tak terlalu tinggi. Sekali lagi maaf aku tak bisa
berubah dari itu, aku terlanjur ingini semua.
Aku ingat pernah kau
berkata, akulah yang terbaik yang kau temui. Kupikir inilah harapanku, kupikir
inilah meluangku. Apakah sekali-kali tidak? Apakah hanya aku yang terlalu
berharap? Tak adakah sama rasamu dan rasaku, cukup rasa yang kumaksud adalah
rasa hari ini? Ataukah hanya sekedar pelipur lara rayumu tentangku? Sekali lagi
aku tak bisa berhenti dan menghapus rasa ini. Mungkin telah jenuh kau mendengar
tuturku tentang tulus, atau mungkin ‘lah tiada percaya untukku sedikit saja.
Tak pernah ada niat
menjauh darimu. Mungkin pernah berkeliru paham tentangku, mungkin kau merasa aku
tak suka kau mintai bantu, mungkin kau pikir aku merasa kau manfaatkan. Sekali
pun tidak, tidak pernah terbersit itu di relungku. Aku bahagia saat kau meminta
bantuku, sebab bisa jarakku lebih dekat dengan. Kalau pun dengan kau
memanfaatkanku aku bisa dekat denganmu, sungguh aku rela kau manfaatkan, aku
rela bermanfaat bagimu. Sebab, merasa bermanfaat jauh lebih baik daripada
merasa dimanfaatkan. Dan jangan pernah berpikir bahwa aku membantumu, baik
padamu hanya karena ingin mendapat perhatianmu atau mengais ibamu atau bahkan
kau berpikir itu untuk “Iya”-mu. Sungguh, aku tak begitu.
Ada pun sisi lain burukku
kutampakkan padamu, bukan karena apa. Aku hanya berpikir, mungkin dengan sisi
baik kau akan merasa sungkan menjawab tanyaku dengan kata “Tidak”. Sebab itu
kubuat sisi burukku menantangmu, agar segala bencimu untukku bisa kau luapkan
dengan nyaman padaku. Mungkin aku berhasil, namun aku menyesal. Jangan buat
pahammu aku permainkanmu, sungguh bukan kerena itu maksudku. Maaf pernah buat
air matamu menetes karenaku, akan kuminta Tuhan menghukumku atas itu dan
kuminta Dia hukum aku bila nanti tetesan sedihmu kembali mengalir karenaku.
Mengapa menghindar bila
kubahas tentang rasa? Adakah yang lain, yang sempurna? Yang lebih kau percaya
janji-janjinya. Yang lebih megah istananya, yang lebih rupawan parasnya, yang
bisa membuatmu mencinta lebih tulus. Bila tolakmu padaku karena takut
kehilanganku, maka apakah tak takut kau kehilangan dia pujaanmu? Sudah yakinkah
kau dengan pilihanmu? Aku bertanya, aku ingin tahu benarnya. Mulai bencikah kau
oleh sikapku? Mungkin terasa terkekang kau olehku. Aku yang selalu menunjukkan
sisi kecemburuanku padamu, padahal tak ada apa yang kau suka dariku. Caraku
tunjukkan padamu bahwa ada yang ingin kulindungi darimu mungkin berlebihan. Kau
sosok sempurna apa pun cacatmu. Sudah pula kucoba lupa, kucoba buang semua
rasaku, kucoba tuk tak menatapmu, kucoba tuk berpaling, dan bahkan kucoba tuk
tak lagi rindu suaramu. Namun, tak bisa, aku tetap kembali, aku tetap ingin
dengar suaramu.
Sudahkah terlindungi
ingatmu tentangku? Bukan hanya hari ini, tapi ‘tuk jutaan hari di masa
mendatangmu. Ingatlah satu yang kutulis di sini, tak bisa kuhapus semua yang
kurasa, bahkan mungkin hingga masa mendatangku. Lagi-lagi maaf bila konyol bagi
logikamu. Ingat juga paparku sebelum ini, bila nanti bukan kau yang denganku,
aku yakin rasa padamu adalah rasa terbesarku jua rasa terindahku. Juga maaf bila
masih konyol logikamu menerima. Masih kuingat pula tuturmu tentang indah yang
kau ucap akan ada pada waktunya di masa mendatang. Kupikir lagi ini sebagai
harap, maaf mungkin salah logikaku menerima makna sajakmu.
Aku benci kau yang
sekarang. Kau yang mulai berjalan jauh dariku, aku benci karena tak ada lagi
kau yang dulu bagiku. Mungkin hanya firasatku saja, namun mengapa bedamu
menyata yang kurasa. Ataukah siapa kau? Aku tak mengenalmu. Kuingin kau
kembalikan kau yang kukenal dulu. Maaf lagi menuntutmu yang tidak-tidak, maaf
jika masih salah tuturku di logikamu. Aku hanya takut kehilanganmu, takut tak
bisa lagi di sisimu kini dan nanti. Namun ternyata salah, rasa takut kehilangan
itu, justru yang kini buatku nyaris kehilanganmu, nyaris kau jauhi. Lagi, maaf
bila logikamu masih merasa konyol akan inginku.
Bila tak lagi kau
inginkan tulus tulisku. Inilah tulisku yang terakhir, inilah kegilaanku yang
terakhir untukmu. Kuingin kau tahu, aku selalu coba menerima. Bila tertutup
hati dan harapmu untukku. Bila ada dia yang menjadi sempurnamu. Jangan paparkan
salahmu di masa lampau, sebab aku tak mengenalmu di masa dahulu, yang kudamba
adalah kau yang sekarang dan yang nanti. Salahmu di masa silam tak ‘kan mampu
goyahkan rasaku saat ini, rasaku sampai nanti. Cukup sampaikan saja ada dia,
aku ‘kan mengerti, tapi aku tak berpaling. Lagi-lagi maaf bila logikamu merasa
konyol akan ini. Sebab, bila bisa Tuhan beriku percaya, kaulah yang terakhirku.
Apa pun yang terjadi nanti, apa pun yang kau lihat nanti, aku akan tetap tulus
padamu. Suka tidakmu aku begini adanya.
(Jangan
ragu tuk bercerita...
Menangislah
bila perlu...
Bersandarlah
di pundakku bila ingin...
Aku
selau menunggumu di ujung teleponku...)
TERKAIT:
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "Yang Terakhir"
Post a Comment