Cerpen | Laskar Tanpa Nama (Dedikasi)
Friday, July 6, 2018
Add Comment
Laskar Tanpa Nama (Dedikasi)
Ada yang beda hari ini. Di atmosfer Desa Mamau, langit terasa hambar.
Butir-butir rintik pun mulai berjatuhan, seakan menyapa kesuraman ruang kelas
yang sebentar lagi menghadapi UN. Pak Adi Anggara masih menatap kami dengan wajah
seramnya, seekor predator yang siap menerkam mangsanya. Aku bisa melihat jelas
wajah garang itu, aku yang biasa duduk di bangku paling belakang, kini
diamanahkan bersinggahsana terdepan.
“Ahmad Ali!”
“Iya, Pak!” Dengan suara gemetaran aku memberanikan untuk menjawab
seruannya.
“Coba sebutkan letak astronomis dari negara Indonesia!”
“Mmmmm....”
“Berdiri!”
Masih gugup, aku berdiri di samping kursiku dan...
PAAAAKKK...
Mistar kayu ukuran seratus centimeter
itu menghantam betisku. Berusaha menahan sakit aku sedikit meringis. Wajah
empat kawanku yang lain pun tak kalah paniknya. Tak lama lagi satu per satu
dari mereka pasti merasakan apa yang kurasakan.
“Ani, coba kamu jawab!” Pria asal Palu itu menyuruh kawan di belakangku.
“Tidak tahu, Pak.”
PAAAAKKK...
Anak perempuan itu pun mendapatkan apa yang aku dapatkan tadi.
“Diana?”
Perempuan berbadan besar itu hanya diam di atas bangkunya yang tepat di
paling belakang sebelah kiri. Dan kesendiriannya di barisan belakang dia
terlihat makin ketakutan. Dan...
PAAAKKK...
Tak menunggu lama betis gendut-nya
menjadi sasaran empuk bagi mistar sang guru. Satu kursi di depan Diana,
Rosaline pun mendapatkan gilirannya.
“Tidak tahu, Pak.”
PAAAKKK...
Seisi ruang kelas meringis menatap kegarangan Pak Adi. Kembali ke barisan
paling depan, sang pemimpin kelas mendapat giliran. Dengan gugup Randi mulai
mengusahakan jawaban benarnya.
“Sembilan puluh lima derajat bujur timur sampai seratus lima pul...”
PAAAKKK...
Belum selesai jawaban juara kelas ini, mistar kayu itu terlanjur patah dan
berhamburan di betisnya. Tak terbayang bagaimana keras dan sakitnya. Kami saja
sudah merasa sakit, apa lagi dia yang membuat mistar itu patah.
“Kalian sudah kelas enam. Sebentar lagi kalian akan ikut ujian nasional.
Kalau pertanyaan seperti ini saja tidak bisa kalian jawab bagaimana dengan lima
puluh soal di ujian nanti?” Sejenak Pak Adi menarik napas dan melanjutkan
kalimatnya, “Kalian sudah saya beri waktu satu minggu untuk mencari jawabannya.
Ini pelajaran kelas empat dan saya pula yang memberikannya pada kalian dulu.
Tidak malu kalian dengan adik-adik kelas kalian yang melihat?”
Ya, setiap ruangan kelas di SD Inpres 132 Mamau, memang dihuni dua kelas
sekaligus. Kali ini kelas enam diserangkaikan dengan kelas tiga dan wali kelas
yang sama, Pak Adi. Maklum di sekolah ini hanya ada tiga ruangan kelas dan satu
ruang guru merangkap ruang kepala sekolah sekaligus perpustakaan.
“Sampaikan kepada Bagus dan Ardan, hari Senin nanti kalian silahkan ke kota
Sorong untuk foto. Dan terkhusus Bagus, sampaikan juga tidak usah takut untuk
kembali lagi ke sekolah ini.”
Hari ini Ardan dan Bagus memang tak hadir. Ketidakhadiran Ardan dikarenakan
sakit. Sedangkan Bagus, anak ini takut kembali ke kelas karena ketagasan Pak
Adi dan juga sampai saat menjelang sebulan sebelum UN, akta kelahirannya tak
kunjung ditemukan tempatnya. Padahal itu adalah salah satu syarat untuk
melengkapi biodata UN.
*****
“Sebenarnya aktaku sudah ketemu, tapi aku masih takut sama Pak Adi.” Anak
itu mengungkapkan kepada kami, saat kami berkunjung ke rumahnya sepulang
sekolah.
“Yo udah ta’ bilangi, nggak apa-apa, Gus. Ke sekolah aja, tapi anaknya yang
emoh.” Bude Lasmi menimpali percakapan kami.
“Kan udah aku bilang ma’, aku takut sama Pak Adi.”
“Gus, Gus, justru kalau kamu terus takut dan tidak mau kembali ke sekolah,
kamu akan terus-terusan tidak lulus. Dan pasti kamu akan ketemu sama Pak Adi
lagi.” Ardan yang rupanya telah sembuh dari sakitnya ikut hadir di rumah Bagus
untuk membujuknya.
“Betul kata Ardan, jadi nanti kalau udah pulang dari Sorong buat foto. Kamu
harus kembali ke kelas, ya Gus? Kelas sepi tahu kalau nggak ada kamu, kurang
orang buat jadi bahan ejekan.” Aku ikut angkat suara.
“Iya deh, nanti aku sekolah lagi.” Akhirnya anak itu kembali bersemangat.
“Kita main ke jalur dua yuk! Kita berenang di pendalinya.[1]” Ajak Edo,
teman sepermainan kami yang harus rela tinggal kelas tahun lalu.
“Berenang?” Aku terkesiap.
“Udah, buat Ali yang nggak bisa berenang, cukup di pinggiran aja.” Bagus
meledekku.
BUUURRRR... BUUURRRR... BUUURRRR...
Satu per satu kawan-kawan mulai menjeburkan diri ke dalam air. Kecuali aku
yang hanya menatap dari pinggiran pendali.
Desa Mamau adalah sebuah desa terpencil di ujung barat pulau tertimur
Indonesia. Desa ini adalah hasil penyebaran penduduk yang dilakukan pada zaman
pemerintahan Soeharto dulu. Dengan kata lain ini adalah desa transmigrasi.
Rimbunnya hutan di sekitar desa membuat udara di sini nyaris tak tersentuh
polusi sedikit pun. Kecuali asap dapur para penduduk dan sepedamotor beberapa
penduduk yang terbilang mampu. Akses ke kota pun ditempuh dengan jalan laut
dengan perahu kayu bermesin yang memakan waktu hingga dua jam lebih.
*****
Seminggu menjelang UN, Bagus sudah kembali bergabung bersama kami. Ardan
pun sudah terlihat sangat siap. Formasi tujuh orang di kelas kami sudah
lengkap. Ya, tahun ini kelas enam hanya diisi tujuh orang. Jumlah ini masih
terbilang banyak dibandingkan tahun lalu yang hanya lima orang. Kondisi serupa
pun sama dengan desa atau kampung yang lain, maka semua sekolah sekecamatan
sepakat ujian dilaksanakan di satu tempat.
Akhirnya tibalah saat UN hari pertama. Sedikit masalah karena hujan sudah
langsung deras mengguyur tempat penginapan kami di tengah-tengah pemukiman
kampung orang.
“Jaraknya memang nggak terlalu jauh. Tapi kalau kita maksain sampai sana
basah kuyup.” Aku coba berteori.
“Salah sih, kenapa kemarin nggak ada yang bawa payung.” Bagus menimpali.
“Kan dikira tidak akan jadi begini.” Ardan tak mau kalah berargumen.
“Ya udah mending kita berdoa dulu sebelum berangkat.” Randi menginstruksikan
kepada kami, “Berdoa dimulai!”
Dengan hikmat semua menundukan kepala.
...
“Selesai!”
Semua keheranan. Ardan yang tadi ada di hadapanku kini leyap.
Ke mana anak itu?
“Teman-teman kita pakai ini!” Yang menghilang telah tiba dengan beberapa
helai daun pisang.
Ide cemerlang Ardan berhasil menyelamatkan kami dari keterlambatan di hari
pertama. Di hari kedua beda lagi kasusnya. Saat kami berpikir untuk jalan-jalan
di sekitar kampung. Kami diganggu oleh anak-anak di sini. Karena ada seorang
guru mereka pun lari.
Hari ketiga dan empat sudah berlalu. Di hari kelima mata perlajaran yang
diujiankan sempat tak sesuai dengan jadwal. Ini dikarenakan soal untuk mata
pelajaran tersebut ternyata tidak ada dan digantikan dengan mata pelajaran
lain. Teman-teman sedikit kecewa karena bukan pelajaran itu yang ia pelajari
semalam. Tapi syukur semua berjalan lancar. Hingga tibalah dipenghujung ujian.
Kami harus kembali ke sekolah masing-masing.
*****
“Kalian semua. LULUS!” penyampaian Pak Adi disambut meriah oleh kami yang hanya
tujuh orang. Setelah penantian panjang selama beberapa bulan setelah UN,
akhirnya yang kami inginkan pun sesuai harapan.
Setelah pengumunan hari itu. Aku tak lagi mendengar kabar dari kawan-kawan.
Terakhir yang kudengar Randi dan Diana melanjutkan sekolah di salah satu MTs
ternama di kota Sorong. Ani masuk pesantren. Rosalin konon melanjutkan di
sebuah SMP. Sedangkan Bagus memilih menetap di Mamau dan tidak melanjutkan
sekolahnya. Sedangkan Ardan. Yang kutahu kini dia bersama neneknya kembali ke
tanah leluhurnya di Bugis. Sedikit pikir, itu artinya aku sudah berada satu
propinsi bersama kawan sejuta mimpiku ini. Entahlah?
Menjelang semester keduaku di SMPN 2 Kota Sorong. Bapakku memutuskan untuk
kembali ke tanah Luwu, Sulawesi Selatan. Dan sekolahku pun dilanjutkan di sini,
di MTs Rantu. Bertemu dengan kawan baru aku berusaha beradaptasi. Mulai dari
lingkungan dan bahasa serta dialeg mereka. Bertemu dengan Syahrir dan
kawan-kawan lain yang sangat unik, membuatku mengenal lebih banyak warna di
dunia. Bersama para mereka yang tak pernah lelah menghadirkan kenangan dalam
ingatku. Terima kasih kawan-kawan. Apa pun julukanmu, apa pun namamu. Yang
pasti Laskar Tanpa Nama inilah yang
kujuluki SAHABAT.
...
Sebagai Cerpen Terpilih dalam Lomba Cipta Cerpen Nasional bertema “Kisah
di Sekolah” bersama Jejak Publisher.
|
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "Cerpen | Laskar Tanpa Nama (Dedikasi)"
Post a Comment