Cerpen | Laskar Tanpa Nama (Dedikasi)


Laskar Tanpa Nama (Dedikasi)

Ada yang beda hari ini. Di atmosfer Desa Mamau, langit terasa hambar. Butir-butir rintik pun mulai berjatuhan, seakan menyapa kesuraman ruang kelas yang sebentar lagi menghadapi UN. Pak Adi Anggara masih menatap kami dengan wajah seramnya, seekor predator yang siap menerkam mangsanya. Aku bisa melihat jelas wajah garang itu, aku yang biasa duduk di bangku paling belakang, kini diamanahkan bersinggahsana terdepan.
“Ahmad Ali!”
“Iya, Pak!” Dengan suara gemetaran aku memberanikan untuk menjawab seruannya.
“Coba sebutkan letak astronomis dari negara Indonesia!”
“Mmmmm....”
“Berdiri!”
Masih gugup, aku berdiri di samping kursiku dan...
PAAAAKKK...
Mistar kayu ukuran seratus centimeter itu menghantam betisku. Berusaha menahan sakit aku sedikit meringis. Wajah empat kawanku yang lain pun tak kalah paniknya. Tak lama lagi satu per satu dari mereka pasti merasakan apa yang kurasakan.
“Ani, coba kamu jawab!” Pria asal Palu itu menyuruh kawan di belakangku.
“Tidak tahu, Pak.”
PAAAAKKK...
Anak perempuan itu pun mendapatkan apa yang aku dapatkan tadi.
“Diana?”
Perempuan berbadan besar itu hanya diam di atas bangkunya yang tepat di paling belakang sebelah kiri. Dan kesendiriannya di barisan belakang dia terlihat makin ketakutan. Dan...
PAAAKKK...
Tak menunggu lama betis gendut-nya menjadi sasaran empuk bagi mistar sang guru. Satu kursi di depan Diana, Rosaline pun mendapatkan gilirannya.
“Tidak tahu, Pak.”
PAAAKKK...
Seisi ruang kelas meringis menatap kegarangan Pak Adi. Kembali ke barisan paling depan, sang pemimpin kelas mendapat giliran. Dengan gugup Randi mulai mengusahakan jawaban benarnya.
“Sembilan puluh lima derajat bujur timur sampai seratus lima pul...”
PAAAKKK...
Belum selesai jawaban juara kelas ini, mistar kayu itu terlanjur patah dan berhamburan di betisnya. Tak terbayang bagaimana keras dan sakitnya. Kami saja sudah merasa sakit, apa lagi dia yang membuat mistar itu patah.
“Kalian sudah kelas enam. Sebentar lagi kalian akan ikut ujian nasional. Kalau pertanyaan seperti ini saja tidak bisa kalian jawab bagaimana dengan lima puluh soal di ujian nanti?” Sejenak Pak Adi menarik napas dan melanjutkan kalimatnya, “Kalian sudah saya beri waktu satu minggu untuk mencari jawabannya. Ini pelajaran kelas empat dan saya pula yang memberikannya pada kalian dulu. Tidak malu kalian dengan adik-adik kelas kalian yang melihat?”
Ya, setiap ruangan kelas di SD Inpres 132 Mamau, memang dihuni dua kelas sekaligus. Kali ini kelas enam diserangkaikan dengan kelas tiga dan wali kelas yang sama, Pak Adi. Maklum di sekolah ini hanya ada tiga ruangan kelas dan satu ruang guru merangkap ruang kepala sekolah sekaligus perpustakaan.
“Sampaikan kepada Bagus dan Ardan, hari Senin nanti kalian silahkan ke kota Sorong untuk foto. Dan terkhusus Bagus, sampaikan juga tidak usah takut untuk kembali lagi ke sekolah ini.”
Hari ini Ardan dan Bagus memang tak hadir. Ketidakhadiran Ardan dikarenakan sakit. Sedangkan Bagus, anak ini takut kembali ke kelas karena ketagasan Pak Adi dan juga sampai saat menjelang sebulan sebelum UN, akta kelahirannya tak kunjung ditemukan tempatnya. Padahal itu adalah salah satu syarat untuk melengkapi biodata UN.
*****
“Sebenarnya aktaku sudah ketemu, tapi aku masih takut sama Pak Adi.” Anak itu mengungkapkan kepada kami, saat kami berkunjung ke rumahnya sepulang sekolah.
“Yo udah ta’ bilangi, nggak apa-apa, Gus. Ke sekolah aja, tapi anaknya yang emoh.” Bude Lasmi menimpali percakapan kami.
“Kan udah aku bilang ma’, aku takut sama Pak Adi.”
“Gus, Gus, justru kalau kamu terus takut dan tidak mau kembali ke sekolah, kamu akan terus-terusan tidak lulus. Dan pasti kamu akan ketemu sama Pak Adi lagi.” Ardan yang rupanya telah sembuh dari sakitnya ikut hadir di rumah Bagus untuk membujuknya.
“Betul kata Ardan, jadi nanti kalau udah pulang dari Sorong buat foto. Kamu harus kembali ke kelas, ya Gus? Kelas sepi tahu kalau nggak ada kamu, kurang orang buat jadi bahan ejekan.” Aku ikut angkat suara.
“Iya deh, nanti aku sekolah lagi.” Akhirnya anak itu kembali bersemangat.
“Kita main ke jalur dua yuk! Kita berenang di pendalinya.[1]” Ajak Edo, teman sepermainan kami yang harus rela tinggal kelas tahun lalu.
“Berenang?” Aku terkesiap.
“Udah, buat Ali yang nggak bisa berenang, cukup di pinggiran aja.” Bagus meledekku.
BUUURRRR... BUUURRRR... BUUURRRR...
Satu per satu kawan-kawan mulai menjeburkan diri ke dalam air. Kecuali aku yang hanya menatap dari pinggiran pendali.
Desa Mamau adalah sebuah desa terpencil di ujung barat pulau tertimur Indonesia. Desa ini adalah hasil penyebaran penduduk yang dilakukan pada zaman pemerintahan Soeharto dulu. Dengan kata lain ini adalah desa transmigrasi. Rimbunnya hutan di sekitar desa membuat udara di sini nyaris tak tersentuh polusi sedikit pun. Kecuali asap dapur para penduduk dan sepedamotor beberapa penduduk yang terbilang mampu. Akses ke kota pun ditempuh dengan jalan laut dengan perahu kayu bermesin yang memakan waktu hingga dua jam lebih.
*****
Seminggu menjelang UN, Bagus sudah kembali bergabung bersama kami. Ardan pun sudah terlihat sangat siap. Formasi tujuh orang di kelas kami sudah lengkap. Ya, tahun ini kelas enam hanya diisi tujuh orang. Jumlah ini masih terbilang banyak dibandingkan tahun lalu yang hanya lima orang. Kondisi serupa pun sama dengan desa atau kampung yang lain, maka semua sekolah sekecamatan sepakat ujian dilaksanakan di satu tempat.
Akhirnya tibalah saat UN hari pertama. Sedikit masalah karena hujan sudah langsung deras mengguyur tempat penginapan kami di tengah-tengah pemukiman kampung orang.
“Jaraknya memang nggak terlalu jauh. Tapi kalau kita maksain sampai sana basah kuyup.” Aku coba berteori.
“Salah sih, kenapa kemarin nggak ada yang bawa payung.” Bagus menimpali.
“Kan dikira tidak akan jadi begini.” Ardan tak mau kalah berargumen.
“Ya udah mending kita berdoa dulu sebelum berangkat.” Randi menginstruksikan kepada kami, “Berdoa dimulai!”
Dengan hikmat semua menundukan kepala.
...
“Selesai!”
Semua keheranan. Ardan yang tadi ada di hadapanku kini leyap.
Ke mana anak itu?
“Teman-teman kita pakai ini!” Yang menghilang telah tiba dengan beberapa helai daun pisang.
Ide cemerlang Ardan berhasil menyelamatkan kami dari keterlambatan di hari pertama. Di hari kedua beda lagi kasusnya. Saat kami berpikir untuk jalan-jalan di sekitar kampung. Kami diganggu oleh anak-anak di sini. Karena ada seorang guru mereka pun lari.
Hari ketiga dan empat sudah berlalu. Di hari kelima mata perlajaran yang diujiankan sempat tak sesuai dengan jadwal. Ini dikarenakan soal untuk mata pelajaran tersebut ternyata tidak ada dan digantikan dengan mata pelajaran lain. Teman-teman sedikit kecewa karena bukan pelajaran itu yang ia pelajari semalam. Tapi syukur semua berjalan lancar. Hingga tibalah dipenghujung ujian. Kami harus kembali ke sekolah masing-masing.
*****
“Kalian semua. LULUS!” penyampaian Pak Adi disambut meriah oleh kami yang hanya tujuh orang. Setelah penantian panjang selama beberapa bulan setelah UN, akhirnya yang kami inginkan pun sesuai harapan.
Setelah pengumunan hari itu. Aku tak lagi mendengar kabar dari kawan-kawan. Terakhir yang kudengar Randi dan Diana melanjutkan sekolah di salah satu MTs ternama di kota Sorong. Ani masuk pesantren. Rosalin konon melanjutkan di sebuah SMP. Sedangkan Bagus memilih menetap di Mamau dan tidak melanjutkan sekolahnya. Sedangkan Ardan. Yang kutahu kini dia bersama neneknya kembali ke tanah leluhurnya di Bugis. Sedikit pikir, itu artinya aku sudah berada satu propinsi bersama kawan sejuta mimpiku ini. Entahlah?
Menjelang semester keduaku di SMPN 2 Kota Sorong. Bapakku memutuskan untuk kembali ke tanah Luwu, Sulawesi Selatan. Dan sekolahku pun dilanjutkan di sini, di MTs Rantu. Bertemu dengan kawan baru aku berusaha beradaptasi. Mulai dari lingkungan dan bahasa serta dialeg mereka. Bertemu dengan Syahrir dan kawan-kawan lain yang sangat unik, membuatku mengenal lebih banyak warna di dunia. Bersama para mereka yang tak pernah lelah menghadirkan kenangan dalam ingatku. Terima kasih kawan-kawan. Apa pun julukanmu, apa pun namamu. Yang pasti Laskar Tanpa Nama inilah yang kujuluki SAHABAT.
...

Sebagai Cerpen Terpilih dalam Lomba Cipta Cerpen Nasional bertema “Kisah di Sekolah” bersama Jejak Publisher.


[1] Pendali = semacam kolam yang dijadikan sumber air bagi penduduk desa

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "Cerpen | Laskar Tanpa Nama (Dedikasi)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli dalam bentuk E-Book di Google Books dan di Payhip
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.