CERBUNG | RI (Buronan 2)
Saturday, October 20, 2018
Add Comment
RI
(Buronan 2)
(Sebelumnya...)
“MATI
LU!”
DOOORRR...
Aku
masih bisa melihat Abdi menatapku yang terkapar. Matanya berkaca-kaca dan
bahkan meneteskan air mata.
“Asal
lu tahu, Pral. Gua punya janji sama Ratih, untuk bawa orang yang dia cintai
kembali ke jalan yang benar. Dan orang itu lu,
Pral,” seiring dengan mataku yang perlahan terpejam, samar-samar kulihat
Abdi pun tumbang. Lalu, semua pandanganku terasa gelap.
Apakah
aku akan mati di sini? di tangan sahabatku sendiri. Sungguh perjuangan yang
sangat melelahkan. Aku akan mati dan selamanya dikenal sebagai buronan. Mereka
hanya tak tahu bahwa aku adalah intelegen ‘RI’.
****
Setahun
lalu di upacara pelantikan Abdi, aku izin untuk ke toilet. Namun, pada saat itu
yang kutemukan adalah sebuah ruangan yang harusnya terjaga rahasianya.
“Kita
harus cepat membentuk badan intelegen rahasia,” salah seorang memimpin rapat
rahasia itu.
“Kita
ambil saja salah seorang di antara mereka yang baru dilantik hari ini.”
“Abdi
Saputra? Bagaimana dengan dia? Dia adalah lulusan terbaik tahun ini.”
“Abdi?
Keponakanku?” kata sang pemimpin rapat.
DAAAARRRRRR...
Celaka.
Aku tak sengaja menyentuh sebuah vas bunga dan membuatnya pecah berserakan.
“Maaf,
om. Saya tidak sengaja. Saya cuma kebetulan lewat menuju toilet.”
“Di
sini tidak ada toilet!” wajah mereka terlihat menyeramkan. Aku pun berbalik
badan dan meninggalkan mereka. Namun mereka justru mengejarku, sejurus kemudian
aku pun berlari tak tentu arah.
“Jangan
sampai dia lepas. Bahaya kalau informasi ini sampai bocor.”
Dengan
sedikit keahlian silat, aku merusaha melawan mereka. Namun akhirnya aku
tertangkap. Aku didudukkan pada sebuah kursi dengan posisi terikat di ruangan
rahasia tadi.
“Jago
silat juga kau rupanya?”
“Tolong
lepaskan saya, om! Saya berjanji tidak akan membocorkannya.”
“Saya
punya penawaran yang lebih menarik. Bagaimana kalau kau yang kami ambil sebagai
intelegen rahasia itu?”
“Saya
tidak akan bisa, om!”
“Kamu
pasti bisa! Karena kudengar dari Abdi, kau punya seorang adik yang butuh biaya
untuk operasi. Dan kami bisa menanggungnya.”
Aku
tak berpikir lama. Kalau sudah berbicara tentang adikku, Ardan. Apa pun akan
kulakukan. Dan sejak saat itu aku terus dilatih untuk siap menghadapi
misi-misiku ke depan nanti. Itulah alasan mengapa aku tak pernah lagi hadir
dalam pertemuan sahabat-sahabatku. Dan aku diberi sebuah kode rahasia yaitu
‘RI’. Diambil dari dua huruf awal nama lengkapku, Rian Albar.
...
Sekitar
sepuluh menit kemudian aku kembali menemui Abdi dan kawan-kawan.
“Muka
lu kenapa, Pral? Boyok gitu?”
“Nggak apa-apa, Ndut. Tadi gua kepleset,
kejedot pinggiran jamban.”
“Lu nggak berusaha bunuh diri kan, Pral? Sampai segitunya sih cemburu lu?”
“Apaan
sih lu, Ndut? Ngaco aja!” aku
menginjak kakinya.
...
“Maaf, Som, Drong,
Ndut. Gua nggak bisa ikut ke kafe. Gua ada urusan!” pesan
ini kusampaikan kepada kawan-kawanku di grup media sosial kami sebulan kemudian.
Ndut: “Lah, napa lu, Pral?”
Gondrong: “Tau nih. Nggak asik lu, Pral.”
Pral: “Gua ada urusan!”
Som: “Sepenting itu, yah?”
Ratih: “Yah, kurang satu deh. :’(“
...
“Ini
tugas pertamamu, Bar! Kau harus berhasil menyamar dan masuk dalam komplotan
Naga Api. Dan mencari tahu di mana saja mereka akan bertransaksi. Kirim
informasinya ke kami dan kami akan segera menugaskan pasukan untuk melakukan
penyergapan.”
“Kenapa
tidak langsung menyergap markas mereka?”
“Tidak
bisa, Bar. Dari keterangan seorang tahanan bahwa ada seseorang yang mereka utus
sebagai mata-mata ke dalam kepolisian. Itu tugas utamamu, mencari tahu siapa
orangnya! Jadi, sebelum kau tahu nama orang itu, misimu dinyatakan belum
tuntas.”
“Ingat!
Ini misi rahasia hanya sedikit pihak kepolisian yang tahu soal ini. Jangan beri
tahu siapa pun termasuk Abdi dan sahabatmu,” tambah sang Komandan.
“Maksudnya
Abdi tidak tahu soal ini?”
“Iya!
Bahkan hampir semua orang tidak mengetahuinya. Hanya orang-orang yang ada di
ruangan inilah yang tahu tentang misi ini. Seperti yang kau tahu, misi utama
kita adalah mencari tahu apakah ada sangkut pautnya oknum lain dengan kasus
ini.”
“Bagaimana
dengan pasukan yang nanti akan melakukan penyergapan di lokasi yang kukirim?
Apa mereka tahu soal ini?”
“Tidak.
Mereka hanya akan kami beri tahu bahwa ada seseorang dengan inisial ‘RI’ yang
mengirim informasi kepada kepolisian.”
“Bagaiman
kalau para buronan itu curiga denganku?”
“Itu
urusanmu! Kaulah yang harus cerdas mensiasati hal tersebut.”
“Baiklah,”
jawabku ringan kepada sang Komandan layaknya seorang pejuang yang telah siap
tempur.
“Semua
keperluanmu telah disiapkan. Berhati-hatilah!”
...
“Jadi
apa tujuan lu kemari?” pria berbadan
besar itu menatapku dengan tatapan yang sangar.
“G-gua mau gabung sama geng lu, bang. Geng Naga Api.”
Setelah
menggali informasi dari beberapa orang. Akhirnya aku menemukan markas mereka.
Selain waktu yang panjang, orang-orang yang kuhadapi pun bukan orang biasa.
Mulai dari warga biasa, para pecandu yang menjadi pembeli barang haram Naga
Api, hingga para preman. Tak jarang aku pun harus beradu jotos terlebih dahulu
dengan mereka, barulah mereka memberiku informasi.
“Gua denger kemarin lu ngehajar anak buah gua. Jago
juga lu.”
“Gua bisa
silat dikit, bang.”
“Silat?
Menarik! Anggota geng gua belum ada
yang bisa silat,” dia menarik senyum antagonis yang khas, “apa alasan lu mau gabung?”
“Gua punya adik yang kena kanker, bang. Gua butuh duit.”
“Tapi
lu tahu kan resikonya?”
“Gua tahu, bang. Gua bakal jadi buronan polisi.”
“Oke!
Besok lu datang lagi ke mari. Gua punya tugas buat lu. Kalau lu berhasil, lu gua terima.
Kalau sampai lu gagal, kelar hidup lu.”
“Siap,
bang!”
“Satu
lagi, panggil gua Boss Bagong!”
“Siap,
Boss!”
...
Sesuai
janji, keesokan paginya aku kembali ke masrkas mereka. Dan memulai melakukan
perintahnya tanpa mereka curigai.
“Lapor,
Komandan! Hari ini saya ditugaskan untuk mengantarkan paket sabu ke sebuah
pemukiman. Apa perlu saya kirimkan alamat lokasinya?” laporku kepada Komandan
melalui sambungan telepon.
“Jalankan
tugasmu dengan aman. Jangan buat mereka curiga. Di misimu yang pertama ini kami
tidak akan mengirim pasukan penyergap untuk menghindarkanmu dari kecurigaan. Minggu
depan barulah kita lakukan penyergapan sesuai rencana. Untuk satu minggu ke
depan kau cukup mempelajari saja cara mereka beroperasi dan bertransaksi,” jawab
sang Komandan.
“Siap,
Dan!”
TUT...
TUT... TUT...
“Nelponan
sama siapa lu?” seorang wanita
menepukku dari belakang dan tentu itu mengejutkanku.
“Bukan
siapa-siapa. Cuma temen!” aku membalik badan dan dengan suara yang gugup aku
berusaha mengelak, “siapa lu?”
“Oh...
gua Dinda! gua yang bakal nemenin
sekaligus bakal jadi partner lu.”
“Partner gua. Maksudnya?”
“Ya,
temen lu. Lu kan masih baru, jadi masih harus belajar. Boss Bagong yang nyuruh gua.”
“O-oh.”
Hampir
saja aku kelepasan. Aku mengira komandanlah yang mengutusnya. Wajahnya tak
sedikit pun menunjukkan bahwa dia adalah seorang penjahat. Walau sedikit tomboy namun dia gedis yang lumayan
cantik. Tak dinyana dalam geng brutal ini masih ada wanita seperti dia.
...
“Jadi,
nanti lu jangan langsung ngasih tuh barang kalau duit belum di tangan!” setibanya di
lokasi Dinda langsung mengajariku, “di dunia kita nggak ada yang bisa dipercaya.”
“Mana
barang gua?” seseorang tiba-tiba
berteriak dari arah belakang.
“Santai,
boss!” Dinda terlihat sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini, “seperti
biasa, ada uang ada barang.”
“Nih
duitnya!” pria itu menyodorkan sejumlah uang.
“Periksa,
Bar!” Dinda menomandoiku, “gimana, aman?”
“Aman!”
Setelah
memastikan jumlah uang sesuai dengan yang perintahkan Boss Bagong, teransaksi
haram itu pun berlanjut. Proses berjalan sesuai rencana. Semua aman. Pembeli,
penjual dan juga rahasia mengenai identitasku. Aku diterima dan secara resmi
bergabung dengan geng mereka.
...
“Sudah
seminggu, Dan. Saya rasa kepolisisan sudah harus melakukan penyergapan dan
menangkap basah mereka,” aku masih berkomunikasi melalui telepon bersama sang
Komanandan, “hari ini saya akan ditugaskan mengantar paket ke kompleks Anggrek,
blok E3. Itu sebuah rumah kosong yang sudah lama dijadikan tempat transaksi sabu.”
“Oke!
Terima kasih atas informasi yang kau sampaikan. Saya akan segera siapkan pasukan.
Kirim pesan kepada saya mengenai alamat lengkapnya, dan jangan lupa memberi
kode ‘RI’ akhir pesanmu.”
“Sebuah transaksi
paket sabu akan dilakukan di sebuah rumah tak berpenghuni. Alamat: jl. Anggrek
blok E3 no. 9. Pengirim: RI.”
Pesan
langsung disampaikan kepada pasukan. Semua pasukan tak pernah tahu siapa
pengirimnya. Yang mereka tahu hanya ada pengirim pesan misterius berinisial
‘RI’yang dengan baik hati memberi informasi. Mungkin sebuah kebetulan, itu pikir
mereka.
Penyergapan
pun dilakukan. Pasukan tiba semenit setelah aku berhasil kabur dari lokasi. Perhitukan
Komandan memang sangat tepat. Semua skenario sudah diatur. Sudah harus
meninggalkan lokasi tepat pada menit yang ditentukan. Butuh ketepatan perhitungan
yang luar biasa, namun semua berjalan lancar. Yang tertangkap hanya sang
pembeli paket.
...
“Hebat
juga lu bisa kabur sebelum polisi
datang,” Boss memujiku.
“Polisi-polisi
itu selalu ceroboh. Mereka membunyikan sirine saat melakukan penyergapan,” aku
berusaha membuat mereka tak curiga dengan meremehkan kinerja pasukan penyergap.
...
Gondrong: “Nggak asik lu, Pral. Udah setahun lu cuma bilang, ada
urusan. Kalau gini, mending nggak usah ada ketemuan aja.”
Pral: “Udah kalian aja. Gua bener-bener nggak bisa sering
ketemu kalian lagi. Tapi gua janji kalau urusan gua udah kelar, gua pasti
gabung, kok.”
Ndut: “Janji doang lu, Pral! Bulan kemaren juga lu
ngomongnya gitu. Ingat! Orang-orang yang tak menepati janji bakal diazab.”
Som: “Kena ceramah lu, kan?”
Pral: “Iya. Maaf!”
Ratih: “Albar kenapa sih?”
Ndut: “Cemburu kali?”
Pral: “Apa sih lu, Ndut?”
Som: “Kayaknya bener kata si Gondrong, mending kita nggak
ketemuan dulu. Gua juga lagi sibuk ngurusin misi rahasia”.
Ndut: “Misi rahasia apaan, Som?”
Som: “Rahasia, Ndut!!!”
...
Setahun
berlalu,
“Kinerja
lu sama Dinda, setahun ini paling
bagus. Padahal lu berdua masih bisa
dibilang baru. Tapi, gua suka kerja
kalian.”
Ya,
Dinda hanya sebulan lebih lama dariku. Tapi, kecerdasannya, membuat dia sudah
bisa menguasai medan. Disayangkan memang, wanita secantik dia harus bergabung
di jalan sesat ini. Dia hanya pernah bilang, semua ini dia lakukan hanya untuk
kesenangannya sendiri. Latar belakang keluarga yang tak pernah peduli padanya
membuat gadis itu memutuskan menggeluti bisnis haram ini.
“Hari
ini gua putusin buat ngasih lu berdua tugas sendiri-sendiri,”
“Tugas
sendiri-sendiri, boss?”
“Gua mau buktiin siapa di antara lu berdua yang paling jago.”
“Maksud,
boss?” aku penasaran.
“Udah,
nggak usah banyak nanya!” dia membentakku dengan suara
beratnya, “Din, lu, gua tugasin ke
alamat ini, bawa paket ini.”
“Beres,
boss!”
“Dan
lu!” dia kembali menatap ke arahku.
“Nih!
Kerja yang bener. Awas lu kalau
sampai gua denger lu ketangtap polisi,” pria besar itu
menyodorkan sebuah bungkusan ke arahku.
“S-Siap,
boss!”
“Tenang,
boss. Si Albar kerjanya selalu rapi. Lihat aja, berapa kali kepergok polisi dia
tetap selamat,” Dinda, gadis brandalan itu membelaku.
...
“Sebuah transaksi
baru akan dilakukan di sebuah pemukiman kumuh. Jl. Rambutan No. 35. Dari RI.”
Hari
ini aku ditugaskan mengantarkan paket di sebuah peruhan kumuh. Hal ini dianggap
jauh dari jangkauan orang banyak. Dan yang paling penting adalah polisi tak
bisa mendeteksi keberadaan kami.
“Mana
pesanan gua?” pria itu terlihat masih
sangat muda, sayangnya dia seperti tak bisa hidup tanpa barang haram itu.
“Ada
uang, ada barang!” seruku.
“Nih~”
“Jangan
bergerak!” sejurus setelah barang itu berpindah tangan, datang sekomplotan
polisi bersenjata.
Apa
yang terjadi? Mungkinkah kali ini komandan salah perhitungan? Aku tak
membalikkan badan. Sejurus kemudian dengan gerakan memutar yang cepat, sebilah
kayu di dekatku, kulemparkan ke arah mereka. Sedikit mengganggu konsentrasi dan
aku bergegas lari. Ratusan pelor sudah menghujaniku. Entah pelipisku atau
dadaku bisa saja mengantarkanku pada kematian hari ini. Sebelumnya aku telah
melihat beberapa dari mereka sibuk membekuk si pria pembeli sabu.
Setelah
berliak-liuk di gang yang sempit. Langkah lariku yang telah meninggalkan jauh
para polisi terhenti. Itu jalan buntu dan tiba-tiba...
“Jangan
bergerak!” aku mengenal suara itu.
“Abdi
Saputra!” kusebut namanya dan ia terkejut setelah melihat wajahku.
“Albar?”
matanya terbelalak terkejut, “ngapain lu,
Pral?”
“Jadi
ini misi rahasia lu?” aku tersenyum
sinis ke arahnya, tak apa dia membenciku. Aku masih dalm misi yang besar, “gua nggak nyangka harus ketangkap sama sahabat gua sendiri.”
“Kenapa
lu jadi gini, Pral?”
“Lu nggak ngerti,
Som!” gerutuku dalam hati.
“Lu enak, Som. Lu jadi polisi. Gua juga
malu sama si Gondrong, sama si Endut. Kalian enak, kalian punya masa depan yang
jelas. Nah gua? Gua yatim-piatu, Som. Kalau gua nggak nyari makan sendiri, gua
dan adik gua nggak bakal hidup,” aku
mencoba mengelak.
“Tapi
kenapa lu milih jalan yang salah?”
“Lu nggak ngerti,
Som! Lu salah paham.” gerutuku lagi.
“Gua nggak punya pilihan lain,” aku mulai
memasang muka pasrah, “sekarang terserah lu,
Som. Tugas lu nangkap gua atau
bahkan lu mau bunuh gua, gua nggak malasah. Gua seneng bisa mati di tangan sahabat gua sendiri. Anggap aja ini balas dendam
lu karena gua pernah ngehajar lu waktu
SMA. Gua tetep bahagia pernah kenal lu, Gondrong dan Ndut.
Dan jangan lupa jaga Ratih baik-baik. Dan sampaiin ke Ardan, kakaknya gagal.”
“DIEM LU!!!” Abdi terlihat sangat emosi
seperti telah siap menembakku. Mataku terpejam menantikan pelurunya meledakkan
kepalaku.
CLAAAKKK
Aku
belum mati. Aku masih bisa membuka mataku. Abdi terdiam dengan selongsong
pistol yang tergeletak di tanah.
“Nggak seharusnya lu gini, Pral! Masih ada kita sahabat lu yang bisa bantu. Gua mohon kembali. Lu pikir dulu semua baik-baik sebelum terlambat. Kali ini lu selamat, tapi kalau sampai gua dapetin lu masih kerja begini. Gua nggak segan-segan buat nembak jantung lu.”
Aku
pergi meninggalkannya dan bersembunyi di balik sebuah dinding.
“Ke
mana dia?” tanya seorang polisi kepada Abdi.
“Ke
sana!” Abdi menunjuk arah yang berlawanan dari tempatku.
...
PROOK
PROOK PROOK
“Kerja
bagus, Albar! Lu emang selalu bisa gua andalkan,” si Boss Bagong memujiku.
“Gua udah bilang, boss. Dia pasti
berhasil,” Dinda ikut menimpali.
“Lu nggak usah takut, Boss. Gua udah biasa.”
“Gua suka gaya lu! Nih bayaran buat lu. Tapi,
Bar. Lu harus lihat ini!” pria badan
besar itu menyalakan sebuah TV.
“Seorang pengedar
narkoba berhasil lolos dari kejaran polisi. Pelaku berhasil diidentifikasi
bernama Rian Albar....” reporter berita dengan
jelas menyebut namaku.
“Jadi
mulai sekarang gua harap lu hati-hati!”
“Siap,
Boss!”
...
Ndut: “Astagfirullah, Pral! Lu apa-apaan?”
Gondrong: “Lu pasti tahu kan, Som? Kenapa lu nggak pernah
cerita?”
Som: “Gua juga baru tahu. Ternyata misi gua nangkap dia.”
TRAAAKKK...
Ponselku
menemui ajalnya malam itu. Aku kesal, sedikit penyesalan menghinggapiku.
Keputusanku kali ini akan membuatku kehilangan sahabat-sahabatku. Penyesalan
tinggallah penyesalan. Semua sudah terlambat, aku terlanjur masuk dalam
skenario ini.
...
Sebualan
kemudian sebuah misi nyaris membongkar kedokku.
“Lu tahu kenapa sebualan ini gua nugasin lu sama Dinda sendiri-sendiri?”
dia memarahiku dalam sebuah ruangan berisi aku dan dia saja, “gua curiga di antara lu berdua adalah mata-mata. Dan tugas lu yang kemarin buat gua yakin orang itu adalah lu.”
“Gua nggak tahu soal mata-mata, boss.”
“Awalnya
gua yakin bukan lu. Tapi terakhir gua sengaja
nggak ngasih tahu lokasi Dinda di
depan lu. Begitu juga sebaliknya. Dan kenyataannya emang cuma lokasi lu yang
disatronin polisi.”
Celaka.
Aku tak memperhitungkan semua ini. Selama ini aku memang selalu
menginformasikan kedua lokasi. Namun, hari itu lokasi Dinda tak disebutkan di
hadapanku. Dan pastinya tak ada penyergapan di lokasi Dinda, karena aku tak
melaporkannya.
“Gua juga kena sergap polisi, boss!”
Dinda datang dengan lengan berkucuran darah, “nih buktinya. Dan gua bisa
jamin kita berdua bukan mata-mata. Albar bener-bener ngelakuin ini demi adiknya, gua
pernah kok ke tempat mereka.”
Ya,
Dinda memang pernah kuajak bertemu Ardan. Dan kesaksiannya malam itu membuatku
bisa sedikit bernapas lega.
“Terus
siapa?” Boss Bagong masih curiga.
“Yang
jelas dia sangat tahu tentang lokasi kita berdua, boss,” Dinda berusaha
berteori. Sayang, teorinya kali ini gagal. Sebab akulah mata-mata itu.
...
“Dari
mana si Boss bisa tahu soal berita itu?” aku bertanya pada Dinda.
“Boss
punya mata-mata dari pihak kepolisian.”
“Siapa?”
“Jadi
selama ini lu belum tahu? Orang itu
Widan.”
Aku
ingat nama itu. Widan Anggara, lulusan terbaik kedua setelah Abdi dari sekolah
kepolisian tahun lalu. Rupanya sengaja dimasukkan ke sana untuk menjadi sumber
informasi untuk si Boss. Malam itu aku langsung mengirimkan bukti percakapanku
dengan Dinda. Ya, diam-diam aku merekamnya.
****
Hingga
keesokan harinya terjadilah penyergapan kepolisian. Lalu membawaku pada duel
satu lawan satu dengan sahabatku sendiri, Abdi Saputra.
”Pral! Gua bakal penuhin janji gua. Kali ini gua nggak bakal segan bunuh lu!”
“Silakan,
Som. Kalau lu bisa. Atau gua harus
panggil lu Briptu Abdi? Sudah naik
pangkat lu rupanya, Som.”
Hingga
akhirnya kami terkapar dan berusaha untuk bangkit. Sungguh terkejutlah aku,
saat kulihat Abdi sudah siap dengan pistolnya yang tepat mengarahkan moncongnya
ke dada kiriku.
“MATI
LU!”
DOOORRR...
****
“Selamat,
Bar! Misimu berhasil. Mereka semua sudah ditangkap dan Briptu Widan Anggara telah
dicopot dari jabatannya di kepolisian serta akan segera dihukum setimpal.”
“Terima
kasih, Komandan!” akhirnya aku bisa bernapas lega, “untung saja rompi itu bisa
menahan pelurunya. Kalau tidak, mungkin ‘RI’ hanya tinggal nama.”
“Hahaha...
Itu di luar dugaan, duelmu dengan Abdi tak pernah diperhitungkan,” si tua itu
tertawa kecil, “bagaimana kabar Ardan?”
“Alhamdulillah,
operasinya berjalan lancar, Komandan. Saya sangat berterima kasih.”
“Itu
sudah sewajarnya kau dapatkan. Sesuai kesepakatan kan?”
“Iya,
Dan!”
“Sekarang
saya punya misi baru untukmu,” dia menghela napas sejenak, “namun kali ini kau
tak akan sendiri. Aku punya rekan untukmu!”
“Siapa,
Dan?”
“Sebentar
lagi dia datang,” seseorang membuka pintu ruangan si komandan “nah itu dia!”
“Abdi?”
“Albar?”
nampaknya ia pun terkejut melihatku, “bagaimana bisa?”
“Jadi
dia inilah orang yang om ceritakan ke kamu, Di. Dia adalah RI,” terang si
komandan.
“Maaf,
Som. Gua dilarang buat cerita ke lu
sama yang lain.”
“Dan
bagaimana lu bisa masih hidup?”
“Jadi
gini, Som~~”
“Ceritanya
nanti saja. Kujelaskan dulu misi kalian,” pria paruh baya itu mencela
penjelasanku.
...
“Jadi
misi kalian selanjutnya adalah, menyamar menjadi anggota dewan untuk munguak
kasus-kasus korupsi!”
Misi
baru menanti kami. Kali ini aku dipasangkan dengan sahabatku sendiri. Entah
seperti apa skenario baru yang akan kami mainkan. Namun, yang pasti semua akan
menjadi tidak mudah.
“Untuk
mematok peluang besar kalian akan terpilih oleh rakyat. Saya akan menyiapkan
satu orang lagi untuk menjadi partner kalian,”
komandan menunjuk ke arah pintu, “dan inilah orangnya.”
Aku
terkejut setelah melihat siapa orangnya. Seorang wanita cantik yang tak asing
bagiku. Mataku membelalak dan nyaris terjatuh karena tak percaya bahwa dia
adalah seorang intelegen rahasia sama sepertiku.
“DINDA?”
....
(bersambung...)
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERBUNG | RI (Buronan 2)"
Post a Comment