CERBUNG | RI (Buronan 2)


RI (Buronan 2)
(Sebelumnya...)
“MATI LU!
DOOORRR...
Aku masih bisa melihat Abdi menatapku yang terkapar. Matanya berkaca-kaca dan bahkan meneteskan air mata.
“Asal lu tahu, Pral. Gua punya janji sama Ratih, untuk bawa orang yang dia cintai kembali ke jalan yang benar. Dan orang itu lu, Pral,” seiring dengan mataku yang perlahan terpejam, samar-samar kulihat Abdi pun tumbang. Lalu, semua pandanganku terasa gelap.
Apakah aku akan mati di sini? di tangan sahabatku sendiri. Sungguh perjuangan yang sangat melelahkan. Aku akan mati dan selamanya dikenal sebagai buronan. Mereka hanya tak tahu bahwa aku adalah intelegen ‘RI’.
****
Setahun lalu di upacara pelantikan Abdi, aku izin untuk ke toilet. Namun, pada saat itu yang kutemukan adalah sebuah ruangan yang harusnya terjaga rahasianya.
“Kita harus cepat membentuk badan intelegen rahasia,” salah seorang memimpin rapat rahasia itu.
“Kita ambil saja salah seorang di antara mereka yang baru dilantik hari ini.”
“Abdi Saputra? Bagaimana dengan dia? Dia adalah lulusan terbaik tahun ini.”
“Abdi? Keponakanku?” kata sang pemimpin rapat.
DAAAARRRRRR...
Celaka. Aku tak sengaja menyentuh sebuah vas bunga dan membuatnya pecah berserakan.
“Maaf, om. Saya tidak sengaja. Saya cuma kebetulan lewat menuju toilet.”
“Di sini tidak ada toilet!” wajah mereka terlihat menyeramkan. Aku pun berbalik badan dan meninggalkan mereka. Namun mereka justru mengejarku, sejurus kemudian aku pun berlari tak tentu arah.
“Jangan sampai dia lepas. Bahaya kalau informasi ini sampai bocor.”
Dengan sedikit keahlian silat, aku merusaha melawan mereka. Namun akhirnya aku tertangkap. Aku didudukkan pada sebuah kursi dengan posisi terikat di ruangan rahasia tadi.
“Jago silat juga kau rupanya?”
“Tolong lepaskan saya, om! Saya berjanji tidak akan membocorkannya.”
“Saya punya penawaran yang lebih menarik. Bagaimana kalau kau yang kami ambil sebagai intelegen rahasia itu?”
“Saya tidak akan bisa, om!”
“Kamu pasti bisa! Karena kudengar dari Abdi, kau punya seorang adik yang butuh biaya untuk operasi. Dan kami bisa menanggungnya.”
Aku tak berpikir lama. Kalau sudah berbicara tentang adikku, Ardan. Apa pun akan kulakukan. Dan sejak saat itu aku terus dilatih untuk siap menghadapi misi-misiku ke depan nanti. Itulah alasan mengapa aku tak pernah lagi hadir dalam pertemuan sahabat-sahabatku. Dan aku diberi sebuah kode rahasia yaitu ‘RI’. Diambil dari dua huruf awal nama lengkapku, Rian Albar.
...
Sekitar sepuluh menit kemudian aku kembali menemui Abdi dan kawan-kawan.
“Muka lu kenapa, Pral? Boyok gitu?”
Nggak apa-apa, Ndut. Tadi gua kepleset, kejedot pinggiran jamban.”
Lu nggak berusaha bunuh diri kan, Pral? Sampai segitunya sih cemburu lu?
“Apaan sih lu, Ndut? Ngaco aja!” aku menginjak kakinya.
...
“Maaf, Som, Drong, Ndut. Gua nggak bisa ikut ke kafe. Gua ada urusan!” pesan ini kusampaikan kepada kawan-kawanku di grup media sosial kami sebulan kemudian.
Ndut: “Lah, napa lu, Pral?”
Gondrong: “Tau nih. Nggak asik lu, Pral.”
Pral: “Gua ada urusan!”
Som: “Sepenting itu, yah?”
Ratih: “Yah, kurang satu deh. :’(“
...
“Ini tugas pertamamu, Bar! Kau harus berhasil menyamar dan masuk dalam komplotan Naga Api. Dan mencari tahu di mana saja mereka akan bertransaksi. Kirim informasinya ke kami dan kami akan segera menugaskan pasukan untuk melakukan penyergapan.”
“Kenapa tidak langsung menyergap markas mereka?”
“Tidak bisa, Bar. Dari keterangan seorang tahanan bahwa ada seseorang yang mereka utus sebagai mata-mata ke dalam kepolisian. Itu tugas utamamu, mencari tahu siapa orangnya! Jadi, sebelum kau tahu nama orang itu, misimu dinyatakan belum tuntas.”
“Ingat! Ini misi rahasia hanya sedikit pihak kepolisian yang tahu soal ini. Jangan beri tahu siapa pun termasuk Abdi dan sahabatmu,” tambah sang Komandan.
“Maksudnya Abdi tidak tahu soal ini?”
“Iya! Bahkan hampir semua orang tidak mengetahuinya. Hanya orang-orang yang ada di ruangan inilah yang tahu tentang misi ini. Seperti yang kau tahu, misi utama kita adalah mencari tahu apakah ada sangkut pautnya oknum lain dengan kasus ini.”
“Bagaimana dengan pasukan yang nanti akan melakukan penyergapan di lokasi yang kukirim? Apa mereka tahu soal ini?”
“Tidak. Mereka hanya akan kami beri tahu bahwa ada seseorang dengan inisial ‘RI’ yang mengirim informasi kepada kepolisian.”
“Bagaiman kalau para buronan itu curiga denganku?”
“Itu urusanmu! Kaulah yang harus cerdas mensiasati hal tersebut.”
“Baiklah,” jawabku ringan kepada sang Komandan layaknya seorang pejuang yang telah siap tempur.
“Semua keperluanmu telah disiapkan. Berhati-hatilah!”
...
“Jadi apa tujuan lu kemari?” pria berbadan besar itu menatapku dengan tatapan yang sangar.
G-gua mau gabung sama geng lu, bang. Geng Naga Api.”
Setelah menggali informasi dari beberapa orang. Akhirnya aku menemukan markas mereka. Selain waktu yang panjang, orang-orang yang kuhadapi pun bukan orang biasa. Mulai dari warga biasa, para pecandu yang menjadi pembeli barang haram Naga Api, hingga para preman. Tak jarang aku pun harus beradu jotos terlebih dahulu dengan mereka, barulah mereka memberiku informasi.
Gua denger kemarin lu ngehajar anak buah gua. Jago juga lu.”
“Gua bisa silat dikit, bang.”
“Silat? Menarik! Anggota geng gua belum ada yang bisa silat,” dia menarik senyum antagonis yang khas, “apa alasan lu mau gabung?”
Gua punya adik yang kena kanker, bang. Gua butuh duit.”
“Tapi lu tahu kan resikonya?”
Gua tahu, bang. Gua bakal jadi buronan polisi.”
“Oke! Besok lu datang lagi ke mari. Gua punya tugas buat lu. Kalau lu berhasil, lu gua terima. Kalau sampai lu gagal, kelar hidup lu.”
“Siap, bang!”
“Satu lagi, panggil gua Boss Bagong!”
“Siap, Boss!”
...
Sesuai janji, keesokan paginya aku kembali ke masrkas mereka. Dan memulai melakukan perintahnya tanpa mereka curigai.
“Lapor, Komandan! Hari ini saya ditugaskan untuk mengantarkan paket sabu ke sebuah pemukiman. Apa perlu saya kirimkan alamat lokasinya?” laporku kepada Komandan melalui sambungan telepon.
“Jalankan tugasmu dengan aman. Jangan buat mereka curiga. Di misimu yang pertama ini kami tidak akan mengirim pasukan penyergap untuk menghindarkanmu dari kecurigaan. Minggu depan barulah kita lakukan penyergapan sesuai rencana. Untuk satu minggu ke depan kau cukup mempelajari saja cara mereka beroperasi dan bertransaksi,” jawab sang Komandan.
“Siap, Dan!”
TUT... TUT... TUT...
“Nelponan sama siapa lu?” seorang wanita menepukku dari belakang dan tentu itu mengejutkanku.
“Bukan siapa-siapa. Cuma temen!” aku membalik badan dan dengan suara yang gugup aku berusaha mengelak, “siapa lu?
“Oh... gua Dinda! gua yang bakal nemenin sekaligus bakal jadi partner lu.
Partner gua. Maksudnya?”
“Ya, temen lu. Lu kan masih baru, jadi masih harus belajar. Boss Bagong yang nyuruh gua.
“O-oh.”
Hampir saja aku kelepasan. Aku mengira komandanlah yang mengutusnya. Wajahnya tak sedikit pun menunjukkan bahwa dia adalah seorang penjahat. Walau sedikit tomboy namun dia gedis yang lumayan cantik. Tak dinyana dalam geng brutal ini masih ada wanita seperti dia.
...
“Jadi, nanti lu jangan langsung ngasih tuh barang kalau duit belum di tangan!” setibanya di lokasi Dinda langsung mengajariku, “di dunia kita nggak ada yang bisa dipercaya.”
“Mana barang gua?” seseorang tiba-tiba berteriak dari arah belakang.
“Santai, boss!” Dinda terlihat sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini, “seperti biasa, ada uang ada barang.”
“Nih duitnya!” pria itu menyodorkan sejumlah uang.
“Periksa, Bar!” Dinda menomandoiku, “gimana, aman?”
“Aman!”
Setelah memastikan jumlah uang sesuai dengan yang perintahkan Boss Bagong, teransaksi haram itu pun berlanjut. Proses berjalan sesuai rencana. Semua aman. Pembeli, penjual dan juga rahasia mengenai identitasku. Aku diterima dan secara resmi bergabung dengan geng mereka.
...
“Sudah seminggu, Dan. Saya rasa kepolisisan sudah harus melakukan penyergapan dan menangkap basah mereka,” aku masih berkomunikasi melalui telepon bersama sang Komanandan, “hari ini saya akan ditugaskan mengantar paket ke kompleks Anggrek, blok E3. Itu sebuah rumah kosong yang sudah lama dijadikan tempat transaksi sabu.”
“Oke! Terima kasih atas informasi yang kau sampaikan. Saya akan segera siapkan pasukan. Kirim pesan kepada saya mengenai alamat lengkapnya, dan jangan lupa memberi kode ‘RI’ akhir pesanmu.”
“Sebuah transaksi paket sabu akan dilakukan di sebuah rumah tak berpenghuni. Alamat: jl. Anggrek blok E3 no. 9. Pengirim: RI.”
Pesan langsung disampaikan kepada pasukan. Semua pasukan tak pernah tahu siapa pengirimnya. Yang mereka tahu hanya ada pengirim pesan misterius berinisial ‘RI’yang dengan baik hati memberi informasi. Mungkin sebuah kebetulan, itu pikir mereka.
Penyergapan pun dilakukan. Pasukan tiba semenit setelah aku berhasil kabur dari lokasi. Perhitukan Komandan memang sangat tepat. Semua skenario sudah diatur. Sudah harus meninggalkan lokasi tepat pada menit yang ditentukan. Butuh ketepatan perhitungan yang luar biasa, namun semua berjalan lancar. Yang tertangkap hanya sang pembeli paket.
...
“Hebat juga lu bisa kabur sebelum polisi datang,” Boss memujiku.
“Polisi-polisi itu selalu ceroboh. Mereka membunyikan sirine saat melakukan penyergapan,” aku berusaha membuat mereka tak curiga dengan meremehkan kinerja pasukan penyergap.
...
Gondrong: “Nggak asik lu, Pral. Udah setahun lu cuma bilang, ada urusan. Kalau gini, mending nggak usah ada ketemuan aja.”
Pral: “Udah kalian aja. Gua bener-bener nggak bisa sering ketemu kalian lagi. Tapi gua janji kalau urusan gua udah kelar, gua pasti gabung, kok.”
Ndut: “Janji doang lu, Pral! Bulan kemaren juga lu ngomongnya gitu. Ingat! Orang-orang yang tak menepati janji bakal diazab.”
Som: “Kena ceramah lu, kan?”
Pral: “Iya. Maaf!”
Ratih: “Albar kenapa sih?”
Ndut: “Cemburu kali?”
Pral: “Apa sih lu, Ndut?”
Som: “Kayaknya bener kata si Gondrong, mending kita nggak ketemuan dulu. Gua juga lagi sibuk ngurusin misi rahasia”.
Ndut: “Misi rahasia apaan, Som?”
Som: “Rahasia, Ndut!!!”
...
Setahun berlalu,
“Kinerja lu sama Dinda, setahun ini paling bagus. Padahal lu berdua masih bisa dibilang baru. Tapi, gua suka kerja kalian.”
Ya, Dinda hanya sebulan lebih lama dariku. Tapi, kecerdasannya, membuat dia sudah bisa menguasai medan. Disayangkan memang, wanita secantik dia harus bergabung di jalan sesat ini. Dia hanya pernah bilang, semua ini dia lakukan hanya untuk kesenangannya sendiri. Latar belakang keluarga yang tak pernah peduli padanya membuat gadis itu memutuskan menggeluti bisnis haram ini.
“Hari ini gua putusin buat ngasih lu berdua tugas sendiri-sendiri,”
“Tugas sendiri-sendiri, boss?”
Gua mau buktiin siapa di antara lu berdua yang paling jago.”
“Maksud, boss?” aku penasaran.
“Udah, nggak usah banyak nanya!” dia membentakku dengan suara beratnya, “Din, lu, gua tugasin ke alamat ini, bawa paket ini.”
“Beres, boss!”
“Dan lu!” dia kembali menatap ke arahku.
“Nih! Kerja yang bener. Awas lu kalau sampai gua denger lu ketangtap polisi,” pria besar itu menyodorkan sebuah bungkusan ke arahku.
“S-Siap, boss!”
“Tenang, boss. Si Albar kerjanya selalu rapi. Lihat aja, berapa kali kepergok polisi dia tetap selamat,” Dinda, gadis brandalan itu membelaku.
...
“Sebuah transaksi baru akan dilakukan di sebuah pemukiman kumuh. Jl. Rambutan No. 35. Dari RI.”
Hari ini aku ditugaskan mengantarkan paket di sebuah peruhan kumuh. Hal ini dianggap jauh dari jangkauan orang banyak. Dan yang paling penting adalah polisi tak bisa mendeteksi keberadaan kami.
“Mana pesanan gua?” pria itu terlihat masih sangat muda, sayangnya dia seperti tak bisa hidup tanpa barang haram itu.
“Ada uang, ada barang!” seruku.
Nih~”
“Jangan bergerak!” sejurus setelah barang itu berpindah tangan, datang sekomplotan polisi bersenjata.
Apa yang terjadi? Mungkinkah kali ini komandan salah perhitungan? Aku tak membalikkan badan. Sejurus kemudian dengan gerakan memutar yang cepat, sebilah kayu di dekatku, kulemparkan ke arah mereka. Sedikit mengganggu konsentrasi dan aku bergegas lari. Ratusan pelor sudah menghujaniku. Entah pelipisku atau dadaku bisa saja mengantarkanku pada kematian hari ini. Sebelumnya aku telah melihat beberapa dari mereka sibuk membekuk si pria pembeli sabu.
Setelah berliak-liuk di gang yang sempit. Langkah lariku yang telah meninggalkan jauh para polisi terhenti. Itu jalan buntu dan tiba-tiba...
“Jangan bergerak!” aku mengenal suara itu.
“Abdi Saputra!” kusebut namanya dan ia terkejut setelah melihat wajahku.
“Albar?” matanya terbelalak terkejut, “ngapain lu, Pral?
“Jadi ini misi rahasia lu?” aku tersenyum sinis ke arahnya, tak apa dia membenciku. Aku masih dalm misi yang besar, “gua nggak nyangka  harus ketangkap sama sahabat gua sendiri.”
“Kenapa lu jadi gini, Pral?
“Lu nggak ngerti, Som!” gerutuku dalam hati.
Lu enak, Som. Lu jadi polisi. Gua juga malu sama si Gondrong, sama si Endut. Kalian enak, kalian punya masa depan yang jelas. Nah gua? Gua yatim-piatu, Som. Kalau gua nggak nyari makan sendiri, gua dan adik gua nggak bakal hidup,” aku mencoba mengelak.
“Tapi kenapa lu milih jalan yang salah?”
“Lu nggak ngerti, Som! Lu salah paham.” gerutuku lagi.
Gua nggak punya pilihan lain,” aku mulai memasang muka pasrah, “sekarang terserah lu, Som. Tugas lu nangkap gua atau bahkan lu mau bunuh gua, gua nggak malasah. Gua seneng bisa mati di tangan sahabat gua sendiri. Anggap aja ini balas dendam lu karena gua pernah ngehajar lu waktu SMA. Gua tetep bahagia pernah kenal lu, Gondrong dan Ndut. Dan jangan lupa jaga Ratih baik-baik. Dan sampaiin ke Ardan, kakaknya gagal.”
DIEM LU!!!” Abdi terlihat sangat emosi seperti telah siap menembakku. Mataku terpejam menantikan pelurunya meledakkan kepalaku.
CLAAAKKK
Aku belum mati. Aku masih bisa membuka mataku. Abdi terdiam dengan selongsong pistol yang tergeletak di tanah.
Nggak seharusnya lu gini, Pral! Masih ada kita sahabat lu  yang bisa bantu. Gua mohon kembali. Lu pikir dulu semua baik-baik sebelum terlambat. Kali ini lu selamat, tapi kalau sampai gua dapetin lu masih kerja begini. Gua nggak segan-segan buat nembak jantung lu.
Aku pergi meninggalkannya dan bersembunyi di balik sebuah dinding.
“Ke mana dia?” tanya seorang polisi kepada Abdi.
“Ke sana!” Abdi menunjuk arah yang berlawanan dari tempatku.
...
PROOK PROOK PROOK
“Kerja bagus, Albar! Lu emang selalu bisa gua andalkan,” si Boss Bagong memujiku.
Gua udah bilang, boss. Dia pasti berhasil,” Dinda ikut menimpali.
Lu nggak usah takut, Boss. Gua udah biasa.”
Gua suka gaya lu! Nih bayaran buat lu. Tapi, Bar. Lu harus lihat ini!” pria badan besar itu menyalakan sebuah TV.
“Seorang pengedar narkoba berhasil lolos dari kejaran polisi. Pelaku berhasil diidentifikasi bernama Rian Albar....” reporter berita dengan jelas menyebut namaku.
“Jadi mulai sekarang gua harap lu hati-hati!”
“Siap, Boss!”
...
Ndut: “Astagfirullah, Pral! Lu apa-apaan?”
Gondrong: “Lu pasti tahu kan, Som? Kenapa lu nggak pernah cerita?”
Som: “Gua juga baru tahu. Ternyata misi gua nangkap dia.”
TRAAAKKK...
Ponselku menemui ajalnya malam itu. Aku kesal, sedikit penyesalan menghinggapiku. Keputusanku kali ini akan membuatku kehilangan sahabat-sahabatku. Penyesalan tinggallah penyesalan. Semua sudah terlambat, aku terlanjur masuk dalam skenario ini.
...
Sebualan kemudian sebuah misi nyaris membongkar kedokku.
Lu tahu kenapa sebualan ini gua nugasin lu sama Dinda sendiri-sendiri?” dia memarahiku dalam sebuah ruangan berisi aku dan dia saja, “gua curiga di antara lu berdua adalah mata-mata. Dan tugas lu yang kemarin buat gua yakin orang itu adalah lu.
Gua nggak tahu soal mata-mata, boss.”
“Awalnya gua yakin bukan lu. Tapi terakhir gua sengaja nggak ngasih tahu lokasi Dinda di depan lu. Begitu juga sebaliknya. Dan kenyataannya emang cuma lokasi lu yang disatronin polisi.”
Celaka. Aku tak memperhitungkan semua ini. Selama ini aku memang selalu menginformasikan kedua lokasi. Namun, hari itu lokasi Dinda tak disebutkan di hadapanku. Dan pastinya tak ada penyergapan di lokasi Dinda, karena aku tak melaporkannya.
Gua juga kena sergap polisi, boss!” Dinda datang dengan lengan berkucuran darah, “nih buktinya. Dan gua bisa jamin kita berdua bukan mata-mata. Albar bener-bener ngelakuin ini demi adiknya, gua pernah kok ke tempat mereka.”
Ya, Dinda memang pernah kuajak bertemu Ardan. Dan kesaksiannya malam itu membuatku bisa sedikit bernapas lega.
“Terus siapa?” Boss Bagong masih curiga.
“Yang jelas dia sangat tahu tentang lokasi kita berdua, boss,” Dinda berusaha berteori. Sayang, teorinya kali ini gagal. Sebab akulah mata-mata itu.
...
“Dari mana si Boss bisa tahu soal berita itu?” aku bertanya pada Dinda.
“Boss punya mata-mata dari pihak kepolisian.”
 “Siapa?”
“Jadi selama ini lu belum tahu? Orang itu Widan.”
Aku ingat nama itu. Widan Anggara, lulusan terbaik kedua setelah Abdi dari sekolah kepolisian tahun lalu. Rupanya sengaja dimasukkan ke sana untuk menjadi sumber informasi untuk si Boss. Malam itu aku langsung mengirimkan bukti percakapanku dengan Dinda. Ya, diam-diam aku merekamnya.
****
Hingga keesokan harinya terjadilah penyergapan kepolisian. Lalu membawaku pada duel satu lawan satu dengan sahabatku sendiri, Abdi Saputra.
Pral! Gua bakal penuhin janji gua. Kali ini gua nggak bakal segan bunuh lu!”
“Silakan, Som. Kalau lu bisa. Atau gua harus panggil lu Briptu Abdi? Sudah naik pangkat lu rupanya, Som.
Hingga akhirnya kami terkapar dan berusaha untuk bangkit. Sungguh terkejutlah aku, saat kulihat Abdi sudah siap dengan pistolnya yang tepat mengarahkan moncongnya ke dada kiriku.
“MATI LU!
DOOORRR...
****
“Selamat, Bar! Misimu berhasil. Mereka semua sudah ditangkap dan Briptu Widan Anggara telah dicopot dari jabatannya di kepolisian serta akan segera dihukum setimpal.”
“Terima kasih, Komandan!” akhirnya aku bisa bernapas lega, “untung saja rompi itu bisa menahan pelurunya. Kalau tidak, mungkin ‘RI’ hanya tinggal nama.”
“Hahaha... Itu di luar dugaan, duelmu dengan Abdi tak pernah diperhitungkan,” si tua itu tertawa kecil, “bagaimana kabar Ardan?”
“Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar, Komandan. Saya sangat berterima kasih.”
“Itu sudah sewajarnya kau dapatkan. Sesuai kesepakatan kan?”
“Iya, Dan!”
“Sekarang saya punya misi baru untukmu,” dia menghela napas sejenak, “namun kali ini kau tak akan sendiri. Aku punya rekan untukmu!”
“Siapa, Dan?”
“Sebentar lagi dia datang,” seseorang membuka pintu ruangan si komandan “nah itu dia!”
“Abdi?”
“Albar?” nampaknya ia pun terkejut melihatku, “bagaimana bisa?”
“Jadi dia inilah orang yang om ceritakan ke kamu, Di. Dia adalah RI,” terang si komandan.
“Maaf, Som. Gua dilarang buat cerita ke lu sama yang lain.”
“Dan bagaimana lu bisa masih hidup?”
“Jadi gini, Som~~
“Ceritanya nanti saja. Kujelaskan dulu misi kalian,” pria paruh baya itu mencela penjelasanku.
...
“Jadi misi kalian selanjutnya adalah, menyamar menjadi anggota dewan untuk munguak kasus-kasus korupsi!”
Misi baru menanti kami. Kali ini aku dipasangkan dengan sahabatku sendiri. Entah seperti apa skenario baru yang akan kami mainkan. Namun, yang pasti semua akan menjadi tidak mudah.
“Untuk mematok peluang besar kalian akan terpilih oleh rakyat. Saya akan menyiapkan satu orang lagi untuk menjadi partner kalian,” komandan menunjuk ke arah pintu, “dan inilah orangnya.”
Aku terkejut setelah melihat siapa orangnya. Seorang wanita cantik yang tak asing bagiku. Mataku membelalak dan nyaris terjatuh karena tak percaya bahwa dia adalah seorang intelegen rahasia sama sepertiku.
“DINDA?”
....
(bersambung...)

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERBUNG | RI (Buronan 2)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo