CERPEN | Belahan Lain Negeri Ini
Friday, October 12, 2018
Add Comment
Belahan
Lain Negeri Ini
Karya: Ahmad M Mabrur Umar
13
Mei 2018,
“Indonesia kembali
berduka. Telah terjadi ledakan bom di tiga titik di Surabaya,”
seorang reporter TV menyampaikan
laporannya.
“Para pelaku telah
diidentifikasi adalah satu keluarga beragama Islam,” wanita
berhijab itu diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan laporannya, “bom bunuh diri ini melibatkan wanita dan
anak-anak.”
Ringtone hp-ku
berdering. Terlihat pesan dari seorang teman umat kristian di grup kelasku.
Rescy: Mohon
doanya teman-teman. Baru saja terjadi pengeboman di gereja di Surabaya.
Berita
duka ini langsung tersebar. Banyak yang mencekam aksi ini, baik dari penganut
agama lain bahkan dari Islam sendiri. Terang saja, menghilangkan nyawa
seseorang sangat tidak diajarkan di ajaran agama mana pun. Terlebih lagi di
sana pasti terdapat anak-anak yang mengerti apa-apa. Ironis memang. Negeri yang
bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika ini
harus dicoreng dengan kejadian-kejadian yang memalukan ini.
Selama
berminggu-minggu, berita tentang aksi teror ini makin menguasai beberapa media
pemberitaan. Mulai dari bahasan tentang profil para pelaku, hingga berita
penyergapan komplotan teroris di beberapa titik di tanah air. Bahkan beberapa
berita hoax tentang akan dilakukannya
beberapa aksi susulan, ini jelas membuat resah. Seolah tak ada lagi hal lain
yang bisa diberitakan kepada masyarakat.
Berbagai
pandangan pun mencuat. Ada yang memandang ini sebagai bentuk profokasi
antarumat beragama. Ada juga yang berpandangan, ini adalah bentuk dari
permainan oknum, untuk mengalihkan isu tentang banyak hal kejahatan yang
menimpa negeri ini, seperti korupsi, kasus penindakan sewenang-wenang oknum,
dan lain-lain. Bagi sebagian mereka yang sejalan, ada yang setuju dengan
perbuatan keji ini, demi jihad katanya. Entahlah.
Beberapa
minggu kemudian. Semua pemberitaan tentang aksi teror mulai mereda. Seperti
telah terbiasa, semua aktivitas di negeri ini kembali normal. Anehnya teori
pengalihan isu seolah benar. Sekali lagi entahlah.
***
29
Mei 2018,
Innalillahi wa
innailahi rajiun. Telah berpulang ibunda dari sahabat kita.
Sebuah
pesan mencengangkan menyebar di beberapa grup media sosial WhatsApp. Sontak semua sahabat turut mengucapkan bela sungkawa.
Pak Zahir: saya harap besok kita dari SEMMI bisa ikut melayat.
Pak Zahir: @asriadi tolong jemput saya besok
Saya: insya Allah besok
teman-teman dari kelas dari TI E akan pergi juga, kalau mau kita bisa bareng
Irfandi: besok kita berangkat
setelah sholat subuh.
...
Bertepatan
dengan bulan Ramadhan, maka wacana bangun subuh bisa sedikit terlaksana.
Setelah sahur langsung saja menunggu sholat subuh. Setelahnya grup kembali
ramai. Tapi kali ini bukan di grup SEMMI namun di grup kelas TI E.
Anwar: woy... mana mi ko semua? Jadi atau tidak? Kenapa
penyakit ngaret dari semester satu tidak hilang?
Anwar: setengah enam mi woy!!!
Seorang
teman terkesan memarahi. Wajar saja, dia telah tiba di Palopo sejak pukul empat
tadi.
Nirmala: Hujan!
Hujan
menjadi salah satu kendala. Setengah jam kemudian, aku tiba di lokasi pertemuan
kami. Hanya beberapa orang saja. Salah satu di antara mereka, Pak Zahir sudah
terlihat siap dengan sweater biru dan
syal yang melingkar di lehernya dengan warna yang sama. Salah satu dosen nyentrik di kampus.
“Berangkat
mi, ada Rescy sudah menunggu di depan
perumnas,” saran Anwar.
Dari
Palopo hingga Angkona, Luwu Timur. Sepanjang jalan masalah utama kami adalah
hujan. Belum lagi di beberapa daerah pembangunan jalan belum tuntas. Hingga
perjalanan yang memang berjarak lintas kabupaten ini makin terasa lama. Jarak
tempuh normal bisa memakan waktu hingga empat jam perjalanan. Kami tiba pukul
sebelas dari yang seharusnya pukul sepuluh.
Bersalam-salaman
dengan keluarga almarhumah. Kami tiba setelah proses pemakaman selesai hingga
tak bisa ikut mengantarkan ke makam.
“Terima
kasih teman-teman atas kehadirannya,” Irma menyambut kami.
...
Lepas
dari kabar duka. Sebuah pemandangan lain terlihat di desa ini. Beberapa rumah
terlihat memasang sebuah atribut yang terbuat dari janur yang dihias sedemikian
rupa di depan rumah mereka.
“Ini
apa?” tanya seorang teman.
“Hari
ini kan hari raya waisak. Lihat rumahnya juga ada pura, jadi pemghuni rumah
bisa dipastikan beragama Hindu,” aku coba berpendapat.
“Irma,
bagaimana toleransinya di sini?” Pak Zahir coba bertanya.
“Di
sini memang toleransinya tinggi. Bahkan yang tadi melayat bukan hanya dari umat
Islam. Beberapa umat Hindu di sini juga ada yang datang. Juga teman-teman
bapakku yang dari umat nasrani juga hadir,” yang ditanyai menerangkan.
Kami
putuskan untuk melihat-lihat sejenak di sekitar desa. Sepanjang perjalanan kami
yang terlihat adalah harmonisme yang luar biasa. Dari yang hidup hingga yang
telah tiada pun berdampingan dengan damai. Dua buah plang menjadi bukti hal ini. Plang
pertama tertulis “PEMAKAMAN UMAT KRISTIANI” dan tak jauh juga tertera
“PEMAKAMAN UMAT HINDU.”
“Toleransinya
luar biasa,” aku mengagumi.
“Tidak
hanya di sini. Di tempatku, Toraja toleransi dijunjung tinggi. Walau pun di
sana umat kami, nasrani adalah mayoritas tapi jangan salah di Toraja ada masjid
terbesar di sana,” Rescy bercerita. Ya, agamanya memang nasrani.
“Lalu?”
“Kalau
ada prosesi adat seperti pemakaman atau lainnya. Masyarakat Toraja pasti
mengadakan acara besar-besaran. Seperti yang kau juga tahu kalau di sana selalu
ada prosesi penyembelihan kerbau. Di beberapa tempat di Toraja, umat nasrani
selalu menyiapkan satu kerbau hidup untuk diserahkan kepada umat Islam. Karena
kami tahu dalam Islam ada proses sendiri dalam penyembelihan hewan.”
Saat
media genjar memberitakan masalah intoleransi di belahan negeri ini. Justru di
belehan lain negeri ini sudah lama menjunjung toleransi. Jauh dari berita teror
yang belakangan meresahkan terlebih lagi mengatasnamakan salah satu agama. Ini
jelas bukan perbuatan umat yang mengaku beragama yang benar, sebab agama tak
pernah mengajarkan kekerasan. Agama adalah perdamaian.
...
“Kapan
kita balik ke Palopo?” tanya Rescy padaku yang saat itu memboncengku.
“Tergantung
mereka yang di depan,” jawabku.
“Masalah
saya baru ingat dan tadi ditelepon. Ada acara LDK di organisasi keagamaanku dan
saya ketua panitianya.”
“Coba
tanyakan ke mereka.”
“Teman-teman!
Mungkin bisa kita balik sekarang ke Palopo,” dan dia menjelaskan.
“Jam
berapa acaranya?”
“Jam
delapan dan sekarang sudah jam tiga.”
Jika
perjalanan kami bisa ditempu dalam empat jam maka itu masih mungkin. Namun,
tiba-tiba hujan mengguyur dengan deras. Kami memutuskan menunggu hingga reda.
Sholat Ashar sudah selesai namun hujan belum kunjung reda. Hingga kami putuskan
untuk melanjutkan perjalanan setelah berbuka puasa nanti.
Aku
tahu Rescy pasti sangat risau. Karena tak bisa menghadiri acara LDK tepat
waktu. Apa mau dikata, dia memutuskan untuk tetap menghargai kami yang berpuasa
karena bila perjalanan dilanjutkan pasti tak akan sampai juga tepat waktu.
Setelah
berbuka dan melaksanankan sholat Magrib. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan
balik ke Palopo. Di tengah perjalanan kami ditawarkan untuk mampir ke rumah
salah seorang teman. Dan lagi ini tentunya mengulur waktu.
...
“Tadi
malam saya dimarahi di telepon oleh senior. Pasti nanti kalau saya ke sekret
pun akan disemprot habis-habisan,” Rescy bercerita di kampus keesokan harinya.
***
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERPEN | Belahan Lain Negeri Ini"
Post a Comment