CERBUNG | Buronan
Friday, October 5, 2018
Add Comment
Buronan
.....
DOOORRR...
DOOORRR... DOOORRR...
Entah
mengapa aku bisa berada di keadaan seperti ini. Hujanan tima panas terus
berlomba-lomba ingin membunuhku. Entah pelipisku atau dadaku yang nanti akan
mengantarkanku pada kematian. Namun, beberapa pelor sudah bersarang di tubuhku.
Ini demi hidupku dan orang-orang yang kucintai.
Briptu
Abdi sudah siap dengan pistolnya dan mengarahkan tepat di dada kiri, di
jantungku yang memompa semangat.
“Mati
lu!” bibirnya tersenyum sinis sebelum
akhirnya pelatuk ditekan.
DOOORRR...
SLEEEPPPP...
Pelor
itu tepat bergesekan dengan jaket hitam lusuhku yang sudah berlumuran darah
sedari tadi. Tepat menghujam dada kiri yang menjadi target si pengendali
selongsong pistol. Apa aku akan mati dengan cara seperti ini? Bahkan aku belum
sempat menjelaskan apa-apa pada mereka yang sudah terlanjur menganggapku seorang
penjahat, buronan polisi. Juga kepada Briptu Abdi, sahabatku.
*****
“Albar?”
seseorang menegurku.
“Abdi?”
aku membalikan seluruh tubuhku serentak.
“Gimana kabar lu? Lama ya nggak ketemu,”
dia menjulurkan tangannya.
“Kalau
gua bisa nemuin lu di sini, ya berarti baik.”
“Lu masih aja kayak dulu. Nggak berubah.”
“Nah lu gimana? Badan makin oke nih kayaknya. Lu fitness?”
Abdi
tertawa kecil sebelum menjawabku, “nggak!
Gua masuk sekolah polisi. Yah, lu tahu
sendirilah gimana pelatihannya.”
“Gila!
Preman sekolah jadi polisi?”
“Belom jadi, Pral! Masih proses.”
“Lu masih ingat aja panggilan itu, Som.”
Tanpa
aba-aba kami lantas saling menyodorkan wajah dan berteriak kecil, “SOMPRAL!”. Panggilan sewaktu kami masih
menjadi preman sekolah dulu. Saat kami masih menganggap hidup hanya sekadar
untuk bersenang-senang. Panggilan yang sedikit brutal memang, bahkan terkesan
nakal. Tapi, itulah cara kami menjadi akrab.
Pertemuan
dengan Abdi hari itu membuat kami bernostalgia dengan masa-masa remaja kami.
Mulai dari seringnya kami dihukum oleh guru, karena ulah kami sendiri hingga
kisah cinta segitiga yang pernah terjadi di antara kita dengan seorang wanita
bernama Ratih. Masa-masa itu, sendainya bisa terulang.
Geng
‘Sompral’ pun menjadi lebih sering bertemu di akhir pekan seperti dulu. Randi
dan Abdul, dua orang kini telah banyak berubah ini pun tak lupa ikut serta. Randi
yang sebentar lagi akan menyelesaikan S1 ekonominya dan Abdul menjadi yang
paling mengalami perubahan pesat. Dari preman menjadi ustadz.
“Kuliah
lu gimana, Pral?” Randi menanyaiku.
“Gua bakal lulus lebih lama dari lu, Drong.
Tahun lalu gua cuti.”
“Lah
kenapa?”
“Biasa!
masalah duit. Seperti yang kalian tahu juga. Gua cuma punya Ardan, adik gua.
Dan dia butuh biaya buat operasi kankernya.”
“Yang
sabar, Pral. Insya Allah kita bantu.”
“Makasih, Drong!”
“Kenapa
lu nggak ngomong sama si Gondrong?
Beliau ini kan anak pengusaha kaya yang bentar lagi bakal ngewarisin bisnis bokapnya.”
“Gila
lu, Ndut. Udah jadi Ustadz masih aja
insting morotin lu dipeliara.”
“Astagfirullah...
Gua khilaf, Ndrong. Habisnya kalau ngeliat muka lu pada, bawaannya kayak berasa
masih jadi preman di SMA.”
“Lu semua nggak berubah ya? Sumpah gua
kangen sama lu semua,” perkataan
Abdi disambut senyum yang mengisyaratkan kerinduan yang sama.
“Oh
iya. Minggu depan gua bakal dilantik.
Gua bakal jadi polisi beneran. Gua pingin lu semua datang.”
“Lah
kok kita? Harusnya kan keluarga lu yang lu undang?” sambutku.
“Keluarga
gua udah pasti bakal datang. Lagian lu pada, kan keluarga gua juga.”
“Dek
Anggun juga datang kan, Bang Abdi?” semua mata mengarah kepada si penanya
dengan tatapan yang tajam. Si penanya menambah pertanyaannya, “kenapa?”
“Adik
gua pasti hadir, Drong. Kan keluarga gua juga.”
“Masih
naksir lu sama si Anggun? Awas lu, kakaknya polisi ntar ditempak, mati lu!”
“Apaan
sih lu, Ndut? Gua kan cuma nanya.”
....
Seminggu
kemudian,
Upacara
pelantikan pun dilaksanakan. Si ‘Sompral’ itu terlihat sangat gagah dengan baju
abu-abu yang ia kenakan. Makin gagah lagi karena dia dinobatkan sebagai yang
terbaik di angkatannya. Moment yang
sangat mengharukan. Aku ikut menjadi saksi perjalanan si preman sekolah yang
telah bertransformasi menjadi polisi gagah.
“Terima
kasih terbesar kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang luar biasa ini.
Kepada kedua orang tua saya dan adik saya yang paling cantik, terima kasih atas
doa kalian. Terima kasih juga saya
haturkan kepada sahabat-sahabat saya yang luar biasa. Terima kasih kalian
adalah saksi perjalanan hidup saya. Gua masih
tetep jadi ‘sompral’, bro!” deru tepuk tangan terus tergema mengiringi langkah
Abdi yang meninggalkan tempat pidatonya.
“Weeehhh...
gila, Som. Udah jadi polisi beneran lu! Selamat!” kami para sahabatya
menyambut dan memeluknya.
“Selamat
ya, Di!” seorang wanita tiba-tiba menghampiri kami dan keluarga Abdi. Semua
menatapnya.
“Ratih?”
“Hei,
Bar. Apa kabar?” dia menjawab tatapan heranku dengan pertanyaan pula.
....
Abdi
dan Ratih terlihat sangat akrab. Dari jauh aku seperti mengenang kembali kisah
kita di masa SMA. Kala itu, Abdi harus menerima bogem mentah dariku tepat di
pipi kirinya. Waktu itu aku terbakar cemburu, merasa Abdi ingin merebut Ratih
dariku. Sejak kejadian itu Ratih memutuskanku. Setelah perayaan kelulusan SMA,
kami tak lagi pernah bertemu, benar-benar lose
contact. Tapi, rupanya Abdi masih sering menghubungi Ratih. Bahkan mungkin
mereka telah menjalin kasih. Abdi tak pernah bercerita tentang ini sebelumnya.
“Lu cemburu, Pral?”
“Apaan
sih lu, Ndut? Abdi tuh polisi. Nah gua? Mahasiswa pengangguran.”
“Kalau
si Rita~”
“Ratih,
Ndut!”
“Iya.
Maksud gua kalau si Ratih cinta sama lu gimana?”
“Nggak mungkin.”
“Nggak ada yang nggak mungkin, Pral! Kalau
Allah udah berkehendak, ‘kun fayakun’[1].
Percaya deh yang lu bilang nggak mungkin
bakal jadi mungkin.”
“Iya
deh pak Ustadz!” aku hanya berusaha
mengelak dari bayang-bayang cemburu yang masih tersisa, “gua ke belakang dulu. Kebelet
nih!”
“Jangan
nangis lu!” Abdul meledekku dan
kubalas dengan sebuah tinjuan kecil di lengan kirinya.
...
Butuh
waktu lama untuk mencari sebuah toilet di tempat ini. Setengah jam kemudian aku
kembali menemui mereka.
“Muka
lu kenapa, Pral? Boyok gitu?”
“Nggak apa-apa, Ndut. Tadi gua kepleset,
kejedot pinggiran jamban.”
“Lu nggak berusaha bunuh diri kan, Pral? Sampai segitunya sih cemburu lu?”
“Apaan
sih lu, Ndut? Ngaco aja!” aku
menginjak kakinya.
...
“Minggu
depan, tugas pertama gua. Kayaknya kita bakal jarang ngumpul-ngumpul lagi kayak gini deh.”
Seminggu
kemudian kami kembali berkumpul di tempat biasa. Kali ini ada yang berbeda,
tentu saja, kini Abdi telah resmi bergabung dengan kepolisian. Selain itu,
kursi di meja kami tak hanya empat. Satu bidadari cantik ikut bergabung dengan
kami, Ratih.
“Sebulan
sekali aja, gimana?” Abdul memberi usul.
“Kayaknya bisa sih. Jadi, sebulan sekali kita tetap ketemuan di sini. Seperti
biasa, yang telat harus banyarin makanan kita setengah harga.”
“Oke!”
semua sepakat.
“Aku
boleh gabung juga kan sama kalian?” pinta Ratih.
“Gimana? Dari semalam pingin banget gabung sama kita,” Abdi
terlihat tahu segalanya tentang Ratih. Dibalaslah perkataannya itu dengan
cubitan kecil dari si cantik.
“Gua sih terserah yang lain. Lu, Drong?”
“Sama,
Ndut. Gua sih terserah.”
“Lu, Pral?”
Aku
tak lantas menjawab pertanyaan Abdi dan...
“Iya,
boleh!”
...
Sebulan
pertama,
“Maaf, Som, Drong,
Ndut. Gua nggak bisa ikut ke kafe. Gua ada urusan!” pesan
ini kusampaikan kepada mereka di grup media sosial kami.
Ndut: “Lah, napa lu, Pral?”
Gondrong: “Tau nih. Nggak asik lu, Pral.”
Pral: “Gua ada urusan!”
Som: “Sepenting itu, yah?”
Ratih: “Yah, kurang satu deh. :’(“
...
Setahun
berlalu. Aku tak pernah hadir di pertemuan mereka. Dengan berbagai alasan, aku
mengelak dari pertanyaan-pertanyaan mereka.
Gondrong: “Nggak asik lu, Pral. Udah setahun lu cuma bilang, ada
urusan. Kalau gini, mending nggak usah ada ketemuan aja.”
Pral: “Udah kalian aja. Gua bener-bener nggak bisa sering
ketemu kalian lagi. Tapi gua janji kalau urusan gua udah kelar, gua pasti
gabung, kok.”
Ndut: “Janji doang lu, Pral! Bulan kemaren juga lu
ngomongnya gitu. Ingat! Orang-orang yang tak menepati janji bakal diazab.”
Som: “Kena ceramah lu, kan?”
Pral: “Iya. Maaf!”
Ratih: “Albar kenapa sih?”
Ndut: “Cemburu kali?”
Pral: “Apa sih lu, Ndut?”
Som: “Kayaknya bener kata si Gondrong, mending kita nggak
ketemuan dulu. Gua juga lagi sibuk ngurusin misi rahasia”.
Ndut: “Misi rahasia apaan, Som?”
Som: “Rahasia, Ndut!!!”
...
“Nih!
Kerja yang bener. Awas lu kalau
sampai gua denger lu ketangtap polisi,” pria besar itu
menyodorkan sebuah bungkusan ke arahku.
“S-Siap,
boss!”
“Tenang,
boss. Si Albar kerjanya selalu rapi. Lihat aja, berapa kali kepergok polisi dia
tetap selamat,” Dinda, gadis brandalan itu membelaku.
Sejak
setahun lalu. Tepatnya sebulan setelah upacara pelantikan Abdi, aku bergabung
dengan komplotan pengetar sabu-sabu. Aku pun sebenarnya tak ingin seperti ini.
Namun, tuntutan hidup yang memaksaku.
Hari
ini aku ditugaskan mengantarkan paket di sebuah peruhan kumuh. Hal ini dianggap
jauh dari jangkauan orang banyak. Dan yang paling penting adalah polisi tak
bisa mendeteksi keberadaan kami.
“Mana
pesanan gua?” pria itu terlihat masih
sangat muda, sayangnya dia seperti tak bisa hidup tanpa barang haram itu.
“Ada
uang, ada barang!” seruku.
“Nih~”
“Jangan
bergerak!” sejurus setelah barang itu berpindah tangan, datang sekomplotan
polisi bersenjata.
Aku
diam tanpa menoleh sedikit pun ke arah mereka. Dengan gerakan memutar yang
cepat, sebilah kayu di dekatku, kulemparkan ke arah mereka. Sedikit mengganggu
konsentrasi dan aku bergegas lari. Ratusan pelor sudah menghujaniku. Entah
pelipisku atau dadaku bisa saja mengantarkanku pada kematian hari ini.
Berliak-liuk
di antara sempitnya gang, berlari, melemparkan segala yang ada di hadapanku
untuk menghalangi jalan mereka. Hingga jarak yang lumayan jauh, aku berhenti di
jalanan yang buntu. Tapi, di sana tak terlihat polisi-polisi itu mengejarku.
Tiba-tiba...
“Jangan
bergerak!” aku mengenal suara itu.
“Abdi
Saputra!” kusebut namanya dan ia terkejut setelah melihat wajahku.
“Albar?”
matanya terbelalak terkejut, “ngapain lu,
Pral?”
“Jadi
ini misi rahasia lu?” aku tersenyum
sinis ke arahnya, “gua nggak nyangka harus ketangkap sama sahabat gua sendiri.”
“Kenapa
lu jadi gini, Pral?”
“Lu enak, Som. Lu jadi polisi. Gua juga
malu sama si Gondrong, sama si Endut. Kalian enak, kalian punya masa depan yang
jelas. Nah gua? Gua yatim-piatu, Som. Kalau gua nggak nyari makan sendiri, gua
dan adik gua nggak bakal hidup.”
“Tapi
kenapa lu milih jalan yang salah?”
“Gua nggak punya pilihan lain,” aku sudah
mulai pasrah, “sekarang terserah lu, Som.
Tugas lu nangkap gua atau bahkan lu mau bunuh gua, gua nggak malasah. Gua seneng
bisa mati di tangan sahabat gua sendiri.
Anggap aja ini balas dendam lu karena
gua pernah ngehajar lu waktu SMA. Gua tetep
bahagia pernah kenal lu, Gondrong dan Ndut. Dan jangan lupa jaga Ratih baik-baik. Dan sampaiin ke Ardan,
kakaknya gagal.”
“DIEM LU!!!” Abdi seperti telah siap
menembakku. Mataku terpejam menantikan pelurunya meledakkan kepalaku.
CLAAAKKK
Aku
belum mati. Aku masih bisa membuka mataku. Abdi terdiam dengan selongsong
pistol yang tergeletak di tanah.
“Nggak seharusnya lu gini, Pral! Masih ada kita sahabat lu yang bisa bantu. Gua mohon kembali. Lu pikir dulu semua baik-baik sebelum terlambat. Kali ini lu selamat, tapi kalau sampai gua dapetin lu masih kerja begini. Gua nggak segan-segan buat nembak jantung lu.”
Aku
pergi meninggalkannya dan bersembunyi di balik sebuah dinding.
“Ke
mana dia?” tanya seorang polisi kepada Abdi.
“Ke
sana!” Abdi menunjuk arah yang berlawanan dari tempatku.
...
PROOK
PROOK PROOK
“Kerja
bagus, Albar! Lu emang selalu bisa gua andalkan,” si Boss Bagong memujiku.
“Gua udah bilang, boss. Dia pasti
berhasil,” Dinda ikut menimpali.
“Lu nggak usah takut, Boss. Gua udah biasa.”
“Gua suka gaya lu! Nih bayaran buat lu.”
Aku
selamat karena berhadapat dengan sahabatku yang mau melepaskanku. Beda halnya
dengan si pembeli, dia berhasil tertangkap. Namun, siapa peduli? Yang penting
aku selamat dan sempat mengambil uangnya.
“Tapi,
Bar. Lu harus lihat ini!” pria badan
besar itu menyalakan sebuah TV.
“Seorang pengedar
narkoba berhasil lolos dari kejaran polisi. Pelaku berhasil diidentifikasi
bernama Rian Albar....” reporter berita dengan
jelas menyebut namaku.
Ternyata,
penyergapan siang tadi bukanlah penyergapan biasa. Entah apa tujuannya, rupanya
media pun ikut dalam operasi tersebut. Alhasil wajahku dikenali dengan jelas
oleh seluruh masyarakat. Dengan kata lain aku adalah buronan paling dicari saat
ini.
“Jadi
mulai sekarang gua harap lu hati-hati!”
“Siap,
Boss!”
...
Ndut: “Astagfirullah, Pral! Lu apa-apaan?”
Gondrong: “Lu pasti tahu kan, Som? Kenapa lu nggak pernah
cerita?”
Som: “Gua juga baru tahu. Ternyata misi gua nangkap dia.”
TRAAAKKK...
Ponselku
menemui ajalnya malam itu. Aku kesal, sedikit penyesalan menghinggapiku. Keputusanku
kali ini akan membuatku kehilangan sahabat-sahabatku. Penyesalan tinggallah
penyesalan. Semua sudah terlambat, aku terlanjur masuk dalam skenario ini.
...
“Lu siap buat tugas selanjutnya?”
“Siap,
Boss!”
Pagi
itu tugas baru menantiku. Bukan masalah bagiku. Semua selesai tepat waktu. Dapat
bayaran dan menunggu untuk baru yang lainnya. Dan misi kali ini pun berhasil
terlacak oleh polisi, untungnya aku telah pergi dari sana sebelum Abdi dan
komplotannya datang.
Aku
harus terus berjuang, ini demi kelangsungan hidup adikku, Ardan. Dua tahun lalu
dia mengalami kecelakaan dan tepat setahun setelahnya dia divonis mengidap
kanker otak. Dokter bilang masih bisa diselamatkan namun biayanya tak sedikit.
Hanya ini satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkan dia dengan cepat.
...
Sebulan
kemudian. Tersebar informasi adanya mata-mata di komplotan kami.
“Dari
mana si Boss bisa tahu soal berita itu?” aku bertanya pada Dinda.
“Boss
punya mata-mata dari pihak kepolisian.”
“Siapa?”
“Jadi
selama ini lu belum tahu? Orang itu
Widan.”
Aku
ingat nama itu. Widan Anggara, lulusan terbaik kedua setelah Abdi dari sekolah kepolisian
tahun lalu. Rupanya sengaja dimasukkan ke sana untuk menjadi sumber informasi
untuk si Boss.
“Terus
siapa mata-mata yang nyusup ke
anggota kita?”
“Kalau,
Boss tahu. Ya udah matilah tuh orang!
Informasi ini dari Widan. Tapi, si anak Boss itu nggak tahu juga nama lengkapnya. Dia cuma bilang nama kodenya,
‘RI’. Polisi emang suka aneh, pake nama
kode segala.”
...
Keesokan
harinya kami dikejutkan dengan penyergapan mendadak pihak kepolisian. Markas
kami dikepung. Namun, kami sudah siap melawan.
“Hari
ini adalah pembuktian bagi kalian. Siapa yang sebenarnya sungguh-sungguh setia
kepada geng Naga Api. Atau justru sebagai penghianat yang diutus sebagai
mata-mata kepolisian.”
****
Hingga
sampailah aku pada posisi seperti ini. Berduel dengan kepolisian dengan baku
tempak yang dahsyat. Dari pihak kami hanya berlindung di balik tembok-tembok
markas yang rapuh. Beberapa tembakan mampu menjebolnya dan menembus badan anggota
yang lain. Diantara para orang berseragam nampaklah seorang Abdi.
Di
saat yang lain sibuk dengan senjatanya masing-masing. Aku dan Abdi sudah dalam posisi
satu lawan satu di tempat terpisah.
”Pral! Gua bakal penuhin janji gua. Kali ini gua nggak bakal segan bunuh lu!”
“Silakan,
Som. Kalau lu bisa. Atau gua harus
panggil lu Briptu Abdi? Sudah naik
pangkat lu rupanya, Som.”
Dengan
sisa-sisa tenaga aku mencoba meladeni Abdi dalam duel sahabat ini. Darah berkucuran
di mana-mana. Jaket hitam yang kukenakan pun sudah tak berbentuk lagi. Dan
akhirnya kami terkapar dan berusaha untuk bangkit. Sungguh terkejutlah aku,
saat kulihat Abdi sudah siap dengan pistolnya yang tepat mengarahkan moncongnya
ke dada kiriku.
“MATI
LU!”
DOOORRR...
Aku
masih bisa melihat Abdi menatapku yang terkapar. Matanya berkaca-kaca dan
bahkan meneteskan air mata.
“Asal
lu tahu, Pral. Gua punya janji sama Ratih untuk bawa orang yang dia cintai
kembali ke jalan yang benar. Dan orang itu lu,
Pral.”
Semua
pandanganku terasa gelap. Apakah aku akan mati di sini? di tangan sahabatku
sendiri. Sungguh perjuangan yang sangat melelahkan. Aku akan mati dan selamanya
dikenal sebagai buronan. Mereka hanya tak tahu bahwa aku adalah intelegen ‘RI’.
Apakah aku sudah
mati?
...
(bersambung...)
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERBUNG | Buronan"
Post a Comment