CERBUNG | Buronan


Buronan
.....
DOOORRR... DOOORRR... DOOORRR...
Entah mengapa aku bisa berada di keadaan seperti ini. Hujanan tima panas terus berlomba-lomba ingin membunuhku. Entah pelipisku atau dadaku yang nanti akan mengantarkanku pada kematian. Namun, beberapa pelor sudah bersarang di tubuhku. Ini demi hidupku dan orang-orang yang kucintai.
Briptu Abdi sudah siap dengan pistolnya dan mengarahkan tepat di dada kiri, di jantungku yang memompa semangat.
“Mati lu!” bibirnya tersenyum sinis sebelum akhirnya pelatuk ditekan.
DOOORRR...
SLEEEPPPP...
Pelor itu tepat bergesekan dengan jaket hitam lusuhku yang sudah berlumuran darah sedari tadi. Tepat menghujam dada kiri yang menjadi target si pengendali selongsong pistol. Apa aku akan mati dengan cara seperti ini? Bahkan aku belum sempat menjelaskan apa-apa pada mereka yang sudah terlanjur menganggapku seorang penjahat, buronan polisi. Juga kepada Briptu Abdi, sahabatku.
*****
“Albar?” seseorang menegurku.
“Abdi?” aku membalikan seluruh tubuhku serentak.
Gimana kabar lu? Lama ya nggak ketemu,” dia menjulurkan tangannya.
“Kalau gua bisa nemuin lu di sini, ya berarti baik.”
Lu masih aja kayak dulu. Nggak berubah.”
Nah lu gimana? Badan makin oke nih kayaknya. Lu fitness?”
Abdi tertawa kecil sebelum menjawabku, “nggak! Gua masuk sekolah polisi. Yah, lu tahu sendirilah gimana pelatihannya.”
“Gila! Preman sekolah jadi polisi?”
Belom jadi, Pral! Masih proses.”
Lu masih ingat aja panggilan itu, Som.
Tanpa aba-aba kami lantas saling menyodorkan wajah dan berteriak kecil, “SOMPRAL!”. Panggilan sewaktu kami masih menjadi preman sekolah dulu. Saat kami masih menganggap hidup hanya sekadar untuk bersenang-senang. Panggilan yang sedikit brutal memang, bahkan terkesan nakal. Tapi, itulah cara kami menjadi akrab.
Pertemuan dengan Abdi hari itu membuat kami bernostalgia dengan masa-masa remaja kami. Mulai dari seringnya kami dihukum oleh guru, karena ulah kami sendiri hingga kisah cinta segitiga yang pernah terjadi di antara kita dengan seorang wanita bernama Ratih. Masa-masa itu, sendainya bisa terulang.
Geng ‘Sompral’ pun menjadi lebih sering bertemu di akhir pekan seperti dulu. Randi dan Abdul, dua orang kini telah banyak berubah ini pun tak lupa ikut serta. Randi yang sebentar lagi akan menyelesaikan S1 ekonominya dan Abdul menjadi yang paling mengalami perubahan pesat. Dari preman menjadi ustadz.
“Kuliah lu gimana, Pral?” Randi menanyaiku.
Gua bakal lulus lebih lama dari lu, Drong. Tahun lalu gua cuti.”
“Lah kenapa?”
“Biasa! masalah duit. Seperti yang kalian tahu juga. Gua cuma punya Ardan, adik gua. Dan dia butuh biaya buat operasi kankernya.”
“Yang sabar, Pral. Insya Allah kita bantu.”
Makasih, Drong!
“Kenapa lu nggak ngomong sama si Gondrong? Beliau ini kan anak pengusaha kaya yang bentar lagi bakal ngewarisin bisnis bokapnya.”
“Gila lu, Ndut. Udah jadi Ustadz masih aja insting morotin lu dipeliara.”
“Astagfirullah... Gua khilaf, Ndrong. Habisnya kalau ngeliat muka lu pada, bawaannya kayak berasa masih jadi preman di SMA.”
Lu semua nggak berubah ya? Sumpah gua kangen sama lu semua,” perkataan Abdi disambut senyum yang mengisyaratkan kerinduan yang sama.
“Oh iya. Minggu depan gua bakal dilantik. Gua bakal jadi polisi beneran. Gua pingin lu semua datang.”
“Lah kok kita? Harusnya kan keluarga lu yang lu undang?” sambutku.
“Keluarga gua udah pasti bakal datang. Lagian lu pada, kan keluarga gua juga.”
“Dek Anggun juga datang kan, Bang Abdi?” semua mata mengarah kepada si penanya dengan tatapan yang tajam. Si penanya menambah pertanyaannya, “kenapa?”
“Adik gua pasti hadir, Drong. Kan keluarga gua juga.”
“Masih naksir lu sama si Anggun? Awas lu, kakaknya polisi ntar ditempak, mati lu!”
“Apaan sih lu, Ndut? Gua kan cuma nanya.
....
Seminggu kemudian,
Upacara pelantikan pun dilaksanakan. Si ‘Sompral’ itu terlihat sangat gagah dengan baju abu-abu yang ia kenakan. Makin gagah lagi karena dia dinobatkan sebagai yang terbaik di angkatannya. Moment yang sangat mengharukan. Aku ikut menjadi saksi perjalanan si preman sekolah yang telah bertransformasi menjadi polisi gagah.
“Terima kasih terbesar kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang luar biasa ini. Kepada kedua orang tua saya dan adik saya yang paling cantik, terima kasih atas doa kalian. Terima kasih  juga saya haturkan kepada sahabat-sahabat saya yang luar biasa. Terima kasih kalian adalah saksi perjalanan hidup saya. Gua masih tetep jadi ‘sompral’, bro!” deru tepuk tangan terus tergema mengiringi langkah Abdi yang meninggalkan tempat pidatonya.
“Weeehhh... gila, Som. Udah jadi polisi beneran lu! Selamat!” kami para sahabatya menyambut dan memeluknya.
“Selamat ya, Di!” seorang wanita tiba-tiba menghampiri kami dan keluarga Abdi. Semua menatapnya.
“Ratih?”
“Hei, Bar. Apa kabar?” dia menjawab tatapan heranku dengan pertanyaan pula.
....
Abdi dan Ratih terlihat sangat akrab. Dari jauh aku seperti mengenang kembali kisah kita di masa SMA. Kala itu, Abdi harus menerima bogem mentah dariku tepat di pipi kirinya. Waktu itu aku terbakar cemburu, merasa Abdi ingin merebut Ratih dariku. Sejak kejadian itu Ratih memutuskanku. Setelah perayaan kelulusan SMA, kami tak lagi pernah bertemu, benar-benar lose contact. Tapi, rupanya Abdi masih sering menghubungi Ratih. Bahkan mungkin mereka telah menjalin kasih. Abdi tak pernah bercerita tentang ini sebelumnya.
Lu cemburu, Pral?
“Apaan sih lu, Ndut? Abdi tuh polisi. Nah gua? Mahasiswa pengangguran.”
“Kalau si Rita~”
“Ratih, Ndut!
“Iya. Maksud gua kalau si Ratih cinta sama lu gimana?
Nggak mungkin.”
Nggak ada yang nggak mungkin, Pral! Kalau Allah udah berkehendak, ‘kun fayakun’[1]. Percaya deh yang lu bilang nggak mungkin bakal jadi mungkin.”
“Iya deh pak Ustadz!” aku hanya berusaha mengelak dari bayang-bayang cemburu yang masih tersisa, “gua ke belakang dulu. Kebelet nih!
“Jangan nangis lu!” Abdul meledekku dan kubalas dengan sebuah tinjuan kecil di lengan kirinya.
...
Butuh waktu lama untuk mencari sebuah toilet di tempat ini. Setengah jam kemudian aku kembali menemui mereka.
“Muka lu kenapa, Pral? Boyok gitu?”
Nggak apa-apa, Ndut. Tadi gua kepleset, kejedot pinggiran jamban.”
Lu nggak berusaha bunuh diri kan, Pral? Sampai segitunya sih cemburu lu?
“Apaan sih lu, Ndut? Ngaco aja!” aku menginjak kakinya.
...
“Minggu depan, tugas pertama gua. Kayaknya kita bakal jarang ngumpul-ngumpul lagi kayak gini deh.
Seminggu kemudian kami kembali berkumpul di tempat biasa. Kali ini ada yang berbeda, tentu saja, kini Abdi telah resmi bergabung dengan kepolisian. Selain itu, kursi di meja kami tak hanya empat. Satu bidadari cantik ikut bergabung dengan kami, Ratih.
“Sebulan sekali aja, gimana?” Abdul memberi usul.
Kayaknya bisa sih. Jadi, sebulan sekali kita tetap ketemuan di sini. Seperti biasa, yang telat harus banyarin makanan kita setengah harga.”
“Oke!” semua sepakat.
“Aku boleh gabung juga kan sama kalian?” pinta Ratih.
Gimana? Dari semalam pingin banget gabung sama kita,” Abdi terlihat tahu segalanya tentang Ratih. Dibalaslah perkataannya itu dengan cubitan kecil dari si cantik.
Gua sih terserah  yang lain. Lu, Drong?
“Sama, Ndut. Gua sih terserah.”
Lu, Pral?”
Aku tak lantas menjawab pertanyaan Abdi dan...
“Iya, boleh!”
...
Sebulan pertama,
“Maaf, Som, Drong, Ndut. Gua nggak bisa ikut ke kafe. Gua ada urusan!” pesan ini kusampaikan kepada mereka di grup media sosial kami.
Ndut: “Lah, napa lu, Pral?”
Gondrong: “Tau nih. Nggak asik lu, Pral.”
Pral: “Gua ada urusan!”
Som: “Sepenting itu, yah?”
Ratih: “Yah, kurang satu deh. :’(“
...
Setahun berlalu. Aku tak pernah hadir di pertemuan mereka. Dengan berbagai alasan, aku mengelak dari pertanyaan-pertanyaan mereka.
Gondrong: “Nggak asik lu, Pral. Udah setahun lu cuma bilang, ada urusan. Kalau gini, mending nggak usah ada ketemuan aja.”
Pral: “Udah kalian aja. Gua bener-bener nggak bisa sering ketemu kalian lagi. Tapi gua janji kalau urusan gua udah kelar, gua pasti gabung, kok.”
Ndut: “Janji doang lu, Pral! Bulan kemaren juga lu ngomongnya gitu. Ingat! Orang-orang yang tak menepati janji bakal diazab.”
Som: “Kena ceramah lu, kan?”
Pral: “Iya. Maaf!”
Ratih: “Albar kenapa sih?”
Ndut: “Cemburu kali?”
Pral: “Apa sih lu, Ndut?”
Som: “Kayaknya bener kata si Gondrong, mending kita nggak ketemuan dulu. Gua juga lagi sibuk ngurusin misi rahasia”.
Ndut: “Misi rahasia apaan, Som?”
Som: “Rahasia, Ndut!!!”
...
“Nih! Kerja yang bener. Awas lu kalau sampai gua denger lu ketangtap polisi,” pria besar itu menyodorkan sebuah bungkusan ke arahku.
“S-Siap, boss!”
“Tenang, boss. Si Albar kerjanya selalu rapi. Lihat aja, berapa kali kepergok polisi dia tetap selamat,” Dinda, gadis brandalan itu membelaku.
Sejak setahun lalu. Tepatnya sebulan setelah upacara pelantikan Abdi, aku bergabung dengan komplotan pengetar sabu-sabu. Aku pun sebenarnya tak ingin seperti ini. Namun, tuntutan hidup yang memaksaku.
Hari ini aku ditugaskan mengantarkan paket di sebuah peruhan kumuh. Hal ini dianggap jauh dari jangkauan orang banyak. Dan yang paling penting adalah polisi tak bisa mendeteksi keberadaan kami.
“Mana pesanan gua?” pria itu terlihat masih sangat muda, sayangnya dia seperti tak bisa hidup tanpa barang haram itu.
“Ada uang, ada barang!” seruku.
Nih~”
“Jangan bergerak!” sejurus setelah barang itu berpindah tangan, datang sekomplotan polisi bersenjata.
Aku diam tanpa menoleh sedikit pun ke arah mereka. Dengan gerakan memutar yang cepat, sebilah kayu di dekatku, kulemparkan ke arah mereka. Sedikit mengganggu konsentrasi dan aku bergegas lari. Ratusan pelor sudah menghujaniku. Entah pelipisku atau dadaku bisa saja mengantarkanku pada kematian hari ini.
Berliak-liuk di antara sempitnya gang, berlari, melemparkan segala yang ada di hadapanku untuk menghalangi jalan mereka. Hingga jarak yang lumayan jauh, aku berhenti di jalanan yang buntu. Tapi, di sana tak terlihat polisi-polisi itu mengejarku.
Tiba-tiba...
“Jangan bergerak!” aku mengenal suara itu.
“Abdi Saputra!” kusebut namanya dan ia terkejut setelah melihat wajahku.
“Albar?” matanya terbelalak terkejut, “ngapain lu, Pral?
“Jadi ini misi rahasia lu?” aku tersenyum sinis ke arahnya, “gua nggak nyangka  harus ketangkap sama sahabat gua sendiri.”
“Kenapa lu jadi gini, Pral?
Lu enak, Som. Lu jadi polisi. Gua juga malu sama si Gondrong, sama si Endut. Kalian enak, kalian punya masa depan yang jelas. Nah gua? Gua yatim-piatu, Som. Kalau gua nggak nyari makan sendiri, gua dan adik gua nggak bakal hidup.”
“Tapi kenapa lu milih jalan yang salah?”
Gua nggak punya pilihan lain,” aku sudah mulai pasrah, “sekarang terserah lu, Som. Tugas lu nangkap gua atau bahkan lu mau bunuh gua, gua nggak malasah. Gua seneng bisa mati di tangan sahabat gua sendiri. Anggap aja ini balas dendam lu karena gua pernah ngehajar lu waktu SMA. Gua tetep bahagia pernah kenal lu, Gondrong dan Ndut. Dan jangan lupa jaga Ratih baik-baik. Dan sampaiin ke Ardan, kakaknya gagal.”
DIEM LU!!!” Abdi seperti telah siap menembakku. Mataku terpejam menantikan pelurunya meledakkan kepalaku.
CLAAAKKK
Aku belum mati. Aku masih bisa membuka mataku. Abdi terdiam dengan selongsong pistol yang tergeletak di tanah.
Nggak seharusnya lu gini, Pral! Masih ada kita sahabat lu  yang bisa bantu. Gua mohon kembali. Lu pikir dulu semua baik-baik sebelum terlambat. Kali ini lu selamat, tapi kalau sampai gua dapetin lu masih kerja begini. Gua nggak segan-segan buat nembak jantung lu.
Aku pergi meninggalkannya dan bersembunyi di balik sebuah dinding.
“Ke mana dia?” tanya seorang polisi kepada Abdi.
“Ke sana!” Abdi menunjuk arah yang berlawanan dari tempatku.
...
PROOK PROOK PROOK
“Kerja bagus, Albar! Lu emang selalu bisa gua andalkan,” si Boss Bagong memujiku.
Gua udah bilang, boss. Dia pasti berhasil,” Dinda ikut menimpali.
Lu nggak usah takut, Boss. Gua udah biasa.”
Gua suka gaya lu! Nih bayaran buat lu.
Aku selamat karena berhadapat dengan sahabatku yang mau melepaskanku. Beda halnya dengan si pembeli, dia berhasil tertangkap. Namun, siapa peduli? Yang penting aku selamat dan sempat mengambil uangnya.
“Tapi, Bar. Lu harus lihat ini!” pria badan besar itu menyalakan sebuah TV.
“Seorang pengedar narkoba berhasil lolos dari kejaran polisi. Pelaku berhasil diidentifikasi bernama Rian Albar....” reporter berita dengan jelas menyebut namaku.
Ternyata, penyergapan siang tadi bukanlah penyergapan biasa. Entah apa tujuannya, rupanya media pun ikut dalam operasi tersebut. Alhasil wajahku dikenali dengan jelas oleh seluruh masyarakat. Dengan kata lain aku adalah buronan paling dicari saat ini.
“Jadi mulai sekarang gua harap lu hati-hati!”
“Siap, Boss!”
...
Ndut: “Astagfirullah, Pral! Lu apa-apaan?”
Gondrong: “Lu pasti tahu kan, Som? Kenapa lu nggak pernah cerita?”
Som: “Gua juga baru tahu. Ternyata misi gua nangkap dia.”
TRAAAKKK...
Ponselku menemui ajalnya malam itu. Aku kesal, sedikit penyesalan menghinggapiku. Keputusanku kali ini akan membuatku kehilangan sahabat-sahabatku. Penyesalan tinggallah penyesalan. Semua sudah terlambat, aku terlanjur masuk dalam skenario ini.
...
Lu siap buat tugas selanjutnya?”
“Siap, Boss!”
Pagi itu tugas baru menantiku. Bukan masalah bagiku. Semua selesai tepat waktu. Dapat bayaran dan menunggu untuk baru yang lainnya. Dan misi kali ini pun berhasil terlacak oleh polisi, untungnya aku telah pergi dari sana sebelum Abdi dan komplotannya datang.
Aku harus terus berjuang, ini demi kelangsungan hidup adikku, Ardan. Dua tahun lalu dia mengalami kecelakaan dan tepat setahun setelahnya dia divonis mengidap kanker otak. Dokter bilang masih bisa diselamatkan namun biayanya tak sedikit. Hanya ini satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkan dia dengan cepat.
...
Sebulan kemudian. Tersebar informasi adanya mata-mata di komplotan kami.
“Dari mana si Boss bisa tahu soal berita itu?” aku bertanya pada Dinda.
“Boss punya mata-mata dari pihak kepolisian.”
 “Siapa?”
“Jadi selama ini lu belum tahu? Orang itu Widan.”
Aku ingat nama itu. Widan Anggara, lulusan terbaik kedua setelah Abdi dari sekolah kepolisian tahun lalu. Rupanya sengaja dimasukkan ke sana untuk menjadi sumber informasi untuk si Boss.
“Terus siapa mata-mata yang nyusup ke anggota kita?”
“Kalau, Boss tahu. Ya udah matilah tuh orang! Informasi ini dari Widan. Tapi, si anak Boss itu nggak tahu juga nama lengkapnya. Dia cuma bilang nama kodenya, ‘RI’. Polisi emang suka aneh, pake nama kode segala.”
...
Keesokan harinya kami dikejutkan dengan penyergapan mendadak pihak kepolisian. Markas kami dikepung. Namun, kami sudah siap melawan.
“Hari ini adalah pembuktian bagi kalian. Siapa yang sebenarnya sungguh-sungguh setia kepada geng Naga Api. Atau justru sebagai penghianat yang diutus sebagai mata-mata kepolisian.”
****
Hingga sampailah aku pada posisi seperti ini. Berduel dengan kepolisian dengan baku tempak yang dahsyat. Dari pihak kami hanya berlindung di balik tembok-tembok markas yang rapuh. Beberapa tembakan mampu menjebolnya dan menembus badan anggota yang lain. Diantara para orang berseragam nampaklah seorang Abdi.
Di saat yang lain sibuk dengan senjatanya masing-masing. Aku dan Abdi sudah dalam posisi satu lawan satu di tempat terpisah.
Pral! Gua bakal penuhin janji gua. Kali ini gua nggak bakal segan bunuh lu!”
“Silakan, Som. Kalau lu bisa. Atau gua harus panggil lu Briptu Abdi? Sudah naik pangkat lu rupanya, Som.
Dengan sisa-sisa tenaga aku mencoba meladeni Abdi dalam duel sahabat ini. Darah berkucuran di mana-mana. Jaket hitam yang kukenakan pun sudah tak berbentuk lagi. Dan akhirnya kami terkapar dan berusaha untuk bangkit. Sungguh terkejutlah aku, saat kulihat Abdi sudah siap dengan pistolnya yang tepat mengarahkan moncongnya ke dada kiriku.
“MATI LU!
DOOORRR...
Aku masih bisa melihat Abdi menatapku yang terkapar. Matanya berkaca-kaca dan bahkan meneteskan air mata.
“Asal lu tahu, Pral. Gua punya janji sama Ratih untuk bawa orang yang dia cintai kembali ke jalan yang benar. Dan orang itu lu, Pral.
Semua pandanganku terasa gelap. Apakah aku akan mati di sini? di tangan sahabatku sendiri. Sungguh perjuangan yang sangat melelahkan. Aku akan mati dan selamanya dikenal sebagai buronan. Mereka hanya tak tahu bahwa aku adalah intelegen ‘RI’.
Apakah aku sudah mati?
...
(bersambung...)


[1] Jadi maka jadilah

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERBUNG | Buronan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo