CERPEN | Patung


Patung
Namaku adalah Ibrahim dan ayahku seorang pemahat patung. Tapi aku bukan nabi. Ayahku pun tak memahat patung untuk sesembahan para raja, justru patung-patung itulah yang menyembah pada raja.
Aku mungkin adalah patung pertama pahatan ayah. Sejak pertama kali wajahku diukir dan dengan sedikit sihir dari ibu peri cantik nan baik hati yang rela menukarkan nyawanya demi kehidupanku, aku nyaris tak pernah mengenal dunia luar. Ayah hanya mengizinkanku menginjak tanah ketika akan bersekolah dan membantunya mencari kayu di hutan untuk membuat saudara-saudaraku, patung-patung itu.
Hari sudah semakin gelap di tengah gubuk sederhana kami. Senja makin membakar langit, namun suhu di sini cukup sejuk. Sejak terakhir kali matahari menggelincirkan diri ke ufuk Timur, aku sudah siap dengan segala kemisteriusan malam. Dari sudut-sudut yang sunyi seakan ada yang berbisik lirih. Belum lagi beberapa potong adegan dan dialog bisu dari para patung. Mereka punya dunia sendiri.
“Dunia luar mungkin menyenangkan,” batinku dan mungkin juga beberapa patung yang bosan memainkan peran bisunya.
...
Sekolah, terkadang menjadi tempat yang menyenangankan bagiku. Di sana aku bisa bercerita dengan teman-temanku –tentu saja mereka hidup, tak seperti teman-temanku di rumah–. Namun, sekolah juga menjadi tempat yang menyeramkan. Beberapa dari mereka adalah penguasa, semua harus tunduk pada mereka, para ‘Fir’aun’ yang zalim.
“Serahkan uang kalian,” seperti biasa, kami adalah budak yang harus patuh titah raja.
“Him, kamu punya uang?” kawan karibku berbisik.
“Tidak,” kataku, balas berbisik.
Mungkin telinga para ‘Fir’aun’ ini telah dianugrahi dengan kekuatan yang dahsyat. Mereka mendengar bisikan kami yang nyaris lebih sayup dari semilir angin.
“Jadi, kalian tidak memiliki sesuatu yang bisa kalian serahkan kepada kami?”
Seperti biasa, siapa pun yang tidak patuh kepada titah para ‘Fir’aun’ maka hidupnya akan sengsara. Seperti yang aku dan Sulaiman alami, kami disiksa dan dipermalukan habis-habisan. Tak ada yang akan berani melapor kepada guru atau mereka akan mengalami nasib yang sama.
...
Sepenggal adegan tentang dunia luar, malam itu membuatku takut dan terkadang berpikir tak ingin mengenal dunia luar lebih jauh. Tapi, tumpukan buku-buku itu kembali membangkitkan gairah berpetualang dalam diriku. Melihat negeri yang seelok dongeng-dongeng para pujangga dan penyair. Khayalanku makin dipacu untuk bisa bebas dari sanggar. Mungkin suatu hari nanti ayah akan mengizinkan ‘pangeran patung’-nya ini untuk berkelana.
“Yah, aku punya janji dengan Sulaiman, kawanku untuk menggerjakan tugas sekolah bersama besok,” sebelum berbicara seperti ini, tentu aku sudah mengumpulkan nyali yang banyak.
“Tidak bisa. Kerjakan tugasmu sendiri di rumah dan lekas beristirahat,” jawaban yang sudah kuduga.
“Aku ini anak laki-laki, ayah. Kenapa ayah mengekangku?”
“Belum waktunya kau mengenal dunia lebih jauh. Kau belum siap!”
“Aku sudah cukup siap, ayah. Aku bukan patung-patung pahatan ayah yang harus tunduk dan patuh pada skenario dan peran mereka sesuai kehendak ayah. Aku sudah siap!”
“Itu menurutmu!”
“Lalu bagaimana menurut ayah?”
Ayah terdiam. Beberapa detik sudah berlalu tapi tak juga ada sepatah katapun yang ia lontarkan untuk menjawab pertanyaanku. Dari wajahnya jelas terukir sebuah kesedihan, entah karena apa? Ayah beranjak dari tempatnya dan berlalu masih tanpa kata. Bahkan jika tak bergerak ayah pasti sama dengan patung-patung bisu itu.
Emosiku memuncak. Dan berusaha kuredam sebisaku. Nyaris tertumpah di ujung kelopak mata. Aku pun beranjak menuju ke arah kamarku yang sunyi. Dalam langkah bisu itu aku coba memikirkan cara untuk keluar dari peranku yang membosankan ini. Ayah sebagai sutradara tak perlu tahu tentang rencana pemberontakan ‘parengan patung’-nya ini.
“Besok aku harus bisa kabur dari tempat ini. Walaupun besok adalah hari libur.” batinku.
Aku juga beranjak dan menuju kamar tidur yang sudah akrab dengan keluh-kesahku. Kamar itu sudah terbiasa ditemani malam yang gelap dengan sorot rembulan yang mengintip dari sela-sela jendela kayu, cahayanya redup dan sering kali ada, namun tak jarang juga mengilang tanpa kabar.
Gubuk tengah alas[1] kami cukup luas untuk didiami oleh kami berdua dan patung-patung itu. Bahkan dari ruang tempatku dengan ayah berdebat tadi aku harus melewati sebuah ruangan tempat ayah menyimpan patung-patung buatannya. Langkahku terhenti tepat di depan pintu ruangan.
Ruangan yang dua kali luas kamarku itu cukup gelap. Bahkan cahaya rembulanpun enggan menyusup masuk. Patung-patung itu diam, membisu tanpa kata. Di sana ada patung yang paling besar dan mungkin itu yang menjadi alasan kebungkapan yang lain. Mereka segan dengan sang pemimpin.
“AAAAA...” dalam keadaan yang masih terbawa emosi, aku melampiaskan amarahku pada patung-patung yang diam namun seolah meneriakkan kebebasan, sepertiku. Satu per satu patung itu hantur dan berserakan.
“Bebaslah! Pergilah!” kataku dengan masih membabi buta.
“Ibrahim? Apa yang kau lakukan?” ayah mendapatiku yang sudah meratakan patung-patung itu, kecuali yang paling besar.
“Bukan aku yang melakukannya. Mereka yang memintaku melalukan ini. Mereka sama sepertiku, yah. Mereka ingin bebas!”
PLAAAAKKK...
Untuk pertama kalinya ayah menamparku.
“Jangan bodoh! Kau tahu, patung-patung inilah yang menjadi sumber nafkah kita!”
“Ayah masih saja bersikap egois.”
“Ini semua demi kebaikanmu, nak! Lihatlah, kau masih belum bisa mengendalikan emosimu. Itu cukup menegaskan bahwa kau belum siap untuk menjelajah dunia luar.”
...
Bisu; diam; kaku. Benarkah hanya itu yang bisa dilakukan patung-patung ini? Bagaimana jika dalam sebuah diorama, patung-patung itu saling bercengkrama satu sama lain? Atau bahkan, mungkin mereka bosan dengan peran yang mereka mainkan dan berpikir untuk bebas. Berharap cerita mereka seindah kisah Pinokio dalam dongeng penghantar tidur mereka. Ibu peri datang dan memberi mereka nyawa. Sayang, Pinokio hanyalah tokoh penghibur hati para patung.
Aku sudah berada di kamar. Ternyata, malam ini cahaya rembualan tak sudi menemaniku. Lagi-lagi, tak ada tempat bagiku untuk bercerita. Namun, dari balik kegelapan suara seseorang terdengar sangat tersedu-sedu memecah konsentrasi pada ratapanku.
Aku telusuri. Kudapati ayahlah sebagai sumber suara tersebut. Dia berlutut di hadapan seorang peri cantik yang sedang tersenyum dalam balutan bingkai kayu dan kaca transparan yang melindungi senyumnya.
“Aku sudah gagal menjadi seorang ayah yang baik. Kau pasti sangat kesal dan juga akan memarahiku di surga nanti,” sosok itu tak menjawab.
“Ibrahim makin tumbuh dewasa. Dia sudah mulai mengenal dunia. Tapi, sesuai kesepakan kita, tak akan membiarkannya jalan sendiri sebelum dia benar-benar siap,” ayah terdiam sejenak dan mengusap air matanya, “kaupun pasti setuju dan pasti melihatnya, anak kita belum siap untuk itu semua.”
Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan.
Palopo, 09 September 2018.


[1] Hutan

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERPEN | Patung"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo