CERPEN | Diorama
Friday, January 25, 2019
Add Comment
DIORAMA
“Hei?”
Seperti
biasa dia tak menjawab sapaanku. Tapi aku tak marah dan dia masih tetap anggun.
Entah sejak kapan aku mencintainya? Yang jelas dia tak pernah sekalipun menyapa
apalagi mengajakku bercengkrama.
“Apa
kabarmu?” mungkin aku bodoh. Sudah tahu dia tak akan menjawabku, masih saja
menyapanya.
Dia
adalah gadis yang selalu murung dan menyendiri. Walau tak punya banyak teman,
senyumnya selalu terjaga. Setiap pagi, setiap kali kotak surat dibukanya ada
saja sepucuk rindu yang selalu diterimanya. Entah dari siapa? Yang jelas,
setiap kali dia membacanya senyum indah itu selalu membuatku jatuh hati.
Tujuh
hari dalam sepekan. Tak seharipun kulewatkan untuk sekadar menantinya membuka
pintu. Melangkahkan kaki dengan anggun menuju kotak suratnya. Dengan selalu
riang dan hati yang berbunga-bunga, lagi-lagi dia mampu membius alam sadarku.
Diam dan mati.
“Ya Tuhan, inikah jatuh
cinta?” Tuhan tak menjawab atau mungkin aku yang tak mendengar
jawaban-Nya.
Kotak
surat dibuka. Tangannya meraih sesuatu. Senyumnya sudah merekah. Dia bahagia.
Ujung sampul surat disobeknya perlahan. Entah mengapa aku pun merasa pemasaran
dengan isinya?
“Mila!”
“Iya,
bu?”
“Tolong
bantu ibu sebentar!”
“Baik,
bu!”
Hari
ini aku tahu siapa namanya. Dan mungkin mulai esok, aku bisa menyapanya dengan
nama itu. Di balik hatiku, nama itu masih saja tergiang-ngiang dan membuatku
tak bisa berhenti tersenyum. Tak bisa membiarkan imajiku menari-nari
bersamanya. Malam pesta dansa dan iringan biola, dia pasti akan menyukainya.
Aku
bisa menjadi siapa pun yang dia inginkan. Menjaganya, memeluknya dan selalu
mencintainya. Bisa lakukan semua itu. Aku ingin dia tahu.
...
Aku
sudah siap. Menantinya keluar dari pintu rumah dan menyapanya. Senyum terbaik
pun sudah kusiapkan. Dasi kupu-kupu dan jas hitam mengkilap yang kukenakan. Tatanan
rambut kelimis, potongan rapi minimalis siap membuatnya terpesona. Aku sudah semakin
siap.
Dia
datang. Pintu rumah diterobosnya dengan berlari. Seperti tak ingin tertinggal
sesuatu. Dia terburu-buru.
“Pagi,
Mila!”
Aku
menyapa gadis itu yang sudah beberapa langkah membelakangiku yang masih berdiri
di samping gerbang -yang berada beberapa meter dari pintu rumah Mila- menghadap
luar. Langkahnya terhenti. Eksperesinya sedikit terkejut. Kuharap dia berbalik
badan, lalu membalas sapa hangatku.
Mila
tersenyum sedikit malu-malu. Pagi itu dia terlihat sangat cantik. Gaun merah
jambu dengan motif sakura, rambut panjang yang dibiarkan terurai dan rona manjanya
membuatku makin yakin dia adalah wanita teindah yang pernah kutemui.
“Sayang,
kau sudah sampai? Dari tadi, ya?”
“Tidak.
Aku baru saja ingin menekan bell rumahmu.”
Bukan
aku, dia adalah seorang pria dengan penampilan yang lebiah kekinian dariku. Pangeran
yang mampu meluluhkan hati Mila-ku.
“Saat
suratmu yang terakhir mengabarkan akan datang ke kota ini dan menemuiku, aku
tak sudah tak sabar ingin langsung menemuimu.”
Pria
itu tersenyum.
“Silakan,
tuan putri!” pintu kendaraan si pangeran terbuka.
Mila
tersipu.
“Kau
cantik sekali hari ini,” si pangeran kembali merayu dan Mila-ku makin tersipu.
“Ya, Tuhan inikah yang
disebut patah hati?”
...
Hingga
selarut ini, Mila belum juga pulang. Di mana dia? Apa yang dilakukannya? Semoga
dia baik-baik saja, lekas pulang dan membuat resah hatiku mereda. Dari sini
masih setia kuawasi pintu gerbang dan pintu rumah Mila. Jatuh cinta itu rumit
untukku yang baru kali merasakannya. Entah mengapa aku masih bisa mencintainya
yang jelas-jelas tak mencintaiku?
Sebuah
mobil BMW 325 E30 berhenti tepat di
depan rumah Mila. Seorang pria turun dan dengan sigap membukakan pintu untuk
kekasihnya. Mila melangkah keluar. Berbalas senyum sebentar, dengan mesra Mila
mendaratkan kecupan di pipi sang pangeran. Dan aku hanya bisa terdiam
menyaksikan semua itu.
“Terima
kasih untuk hari ini, sayang!”
“Sama-sama,
Romi-ku sayang!”
...
Pagi
datang lagi. Seperti biasa, aku tetap siap dengan senyum khas yang terasa sangat
berat hari ini. Senyum yang terpaksa aku lakukan, karena hatiku sudah sangat...
ah sudahlah! Aku tak bisa menjelaskannya. Kalau bukan karena peran, aku sudah
pasti tak akan tersenyum.
Jika
sudah pukul 07:00 seperti ini selanjutnya yang akan terjadi adalah...
KRRREEEEKKKKK......
Pintu
terbuka. Mila berlari ke arah kotak surat, membukanya dan mulai memasukkan
salah satu tangannya ke sana. Hari ini dia tak menemukan apa-apa, kotak surat
itu kosong, lambat laun wajahnya berubah masam. Kembali ke arah rumah dengan
langkah yang mulai melemah, aku yakin ia kecewa.
KREEEEEEKKKK......
Hingga
pintu kayu itu ia buka dan lenyap di baliknya, aku tak sekalipun menyapanya. Aku
hanya memandangnya dengan wajah yang kaku. Dari sudut pandangku gadis itu murung
sebab kekasihnya tak meringiminya puisi-puisi seperti biasa.
Hari
selanjutnya gadis itu hanya melakukan hal yang sama. Menghampiri kotak surat
yang kosong. Kembali dengan wajah yang lebih kecewa dari hari sebelumnya. Berhari-hari
seperti itu. Aku sampai hapal dengan apa yang akan dia lakukan. Kekasihnya
masih tanpa kabar hingga saat ini.
“Romi,
apa yang terjadi padamu?” Mila masih setia setiap pagi. Namun, sama saja kotak
surat itu masih saja kosong.
...
Hari
berikutnya, hari ketujuh sejak Romi tak memberi kabar pada kekasihnya yang
sangat kucintai. Mila memutuskan untuk mengiriminya surat, mungkin sekadar
menanyai kabar.
“Aku
tahu kau pasti sangat sibuk di luar kota. Tapi setidaknya balaslah suratku
ini!”
...
Sehari
berikutnya. Mentari belum sepenuhnya menguasai pagi. Awan kelabu menghalangi
sinarnya sampai ke bumi. Mila-ku sudah mengintip dari sela-sela jendela. Seorang
kurir datang, kotak surat dibuka dan...
HAPPP...
“Hehehe...”
dengan senyum yang sumringah Mila menatap si kurir berkumis lebat itu. Surat
belum mendarat ke sana. Dengan sigap tangan Mila memotong laju surat.
“Sudah
lama menunggu surat ini? Dari pacar, ya?”
“Iya,
pak! Terima kasih, ya.”
“Sama-sama,
non!”
Kurir
itu pergi dan dengan semangat Mila langsung merobek ujung sampul surat. Masih
berdiri di hadapan kotak surut, Mila mulai membacanya.
“R-Romi???”
suaranya mulai berat dan wajah riangnya berubah menjadi sendu, “padahal
semuanya sudah kuberikan, mengapa kau justru ingin mengakhiri hubungan ini?”
Air
matanya berlinang. Ingin rasanya aku berlari, memeluknya, menenangkannya dan menghapus
air matanya. Tapi, aku tak bisa. Peranku bukan untuk itu, aku bukan seseorang
yang Mila kenal apalagi yang Mila
dambakan. Aku hanya bisa mengaguminya dalam diam.
“Tenanglah
Mila.”
...
Mila
tak pernah lagi melangkahkan kaki keluar. Mungkin karena di luar sini sedang
hujan. Padahal, aku sudah siap membuka jasku dan melindunginya dari
rintik-rintik hujan menemaninya menjalankan kebiasaannya di setiap pagi. Membuka
pintu, melangkah dengan damai dan mengambil surat.
“MILAAAA!!!”
suara histeris dari dalam rumah.
Beberapa
saat kemudian, warga sekitar berkerumun. Suara tangis ibu Mila tak henti dari
tadi. Ambulance datang dan dengan
sigap beberapa orang membantu mengangkat Mila menuju kendaraan tersebut. Mila
tak sadarkan diri, tepat di pergelangan tangannya darah mengalir.
***
Cinta
tak pernah salah. Bahkan untuk gadis seperti Mila. Hanya dengan janji, bual dan
masa depan dia pasti terpikat. Cinta juga tak pernah salah untuk sebuah patung
sepertiku. Mengagumi dalam bisu. Mencintai dalam diam dan tetap setia walau tak
pernah tersapa. Dan itulah yang membuatku benci dengan peran yang kumainkan
dalam diorama sepi ini.
Andai
aku bisa lebih bebas. Berlari, tersenyum seutuhnya, bercerita dan menyapa tak
hanya dalam angan-angan. Jika peranku bisa lebih dari sekadar patung di teras
rumah, yang aku pilih adalah menjadi teman Mila. Jika peranku lebih baik, aku
tak perlu memaksa senyum di pagi hari. Jika peranku bisa lebih baik, maka
gadisku tak perlu sibuk menunggu surat di setiap pagi. Jika peranku lebih baik,
tak akan kubiarkan setetes air mata pun membasahi pipinya.
***
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERPEN | Diorama"
Post a Comment