CERPEN | Diorama


DIORAMA
“Hei?”
Seperti biasa dia tak menjawab sapaanku. Tapi aku tak marah dan dia masih tetap anggun. Entah sejak kapan aku mencintainya? Yang jelas dia tak pernah sekalipun menyapa apalagi mengajakku bercengkrama.
“Apa kabarmu?” mungkin aku bodoh. Sudah tahu dia tak akan menjawabku, masih saja menyapanya.
Dia adalah gadis yang selalu murung dan menyendiri. Walau tak punya banyak teman, senyumnya selalu terjaga. Setiap pagi, setiap kali kotak surat dibukanya ada saja sepucuk rindu yang selalu diterimanya. Entah dari siapa? Yang jelas, setiap kali dia membacanya senyum indah itu selalu membuatku jatuh hati.
Tujuh hari dalam sepekan. Tak seharipun kulewatkan untuk sekadar menantinya membuka pintu. Melangkahkan kaki dengan anggun menuju kotak suratnya. Dengan selalu riang dan hati yang berbunga-bunga, lagi-lagi dia mampu membius alam sadarku. Diam dan mati.
“Ya Tuhan, inikah jatuh cinta?” Tuhan tak menjawab atau mungkin aku yang tak mendengar jawaban-Nya.
Kotak surat dibuka. Tangannya meraih sesuatu. Senyumnya sudah merekah. Dia bahagia. Ujung sampul surat disobeknya perlahan. Entah mengapa aku pun merasa pemasaran dengan isinya?
“Mila!”
“Iya, bu?”
“Tolong bantu ibu sebentar!”
“Baik, bu!”
Hari ini aku tahu siapa namanya. Dan mungkin mulai esok, aku bisa menyapanya dengan nama itu. Di balik hatiku, nama itu masih saja tergiang-ngiang dan membuatku tak bisa berhenti tersenyum. Tak bisa membiarkan imajiku menari-nari bersamanya. Malam pesta dansa dan iringan biola, dia pasti akan menyukainya.
Aku bisa menjadi siapa pun yang dia inginkan. Menjaganya, memeluknya dan selalu mencintainya. Bisa lakukan semua itu. Aku ingin dia tahu.
...
Aku sudah siap. Menantinya keluar dari pintu rumah dan menyapanya. Senyum terbaik pun sudah kusiapkan. Dasi kupu-kupu dan jas hitam mengkilap yang kukenakan. Tatanan rambut kelimis, potongan rapi minimalis siap membuatnya terpesona. Aku sudah semakin siap.
Dia datang. Pintu rumah diterobosnya dengan berlari. Seperti tak ingin tertinggal sesuatu. Dia terburu-buru.
“Pagi, Mila!”
Aku menyapa gadis itu yang sudah beberapa langkah membelakangiku yang masih berdiri di samping gerbang -yang berada beberapa meter dari pintu rumah Mila- menghadap luar. Langkahnya terhenti. Eksperesinya sedikit terkejut. Kuharap dia berbalik badan, lalu membalas sapa hangatku.
Mila tersenyum sedikit malu-malu. Pagi itu dia terlihat sangat cantik. Gaun merah jambu dengan motif sakura, rambut panjang yang dibiarkan terurai dan rona manjanya membuatku makin yakin dia adalah wanita teindah yang pernah kutemui.
“Sayang, kau sudah sampai? Dari tadi, ya?”
“Tidak. Aku baru saja ingin menekan bell rumahmu.”
Bukan aku, dia adalah seorang pria dengan penampilan yang lebiah kekinian dariku. Pangeran yang mampu meluluhkan hati Mila-ku.
“Saat suratmu yang terakhir mengabarkan akan datang ke kota ini dan menemuiku, aku tak sudah tak sabar ingin langsung menemuimu.”
Pria itu tersenyum.
“Silakan, tuan putri!” pintu kendaraan si pangeran terbuka.
Mila tersipu.
“Kau cantik sekali hari ini,” si pangeran kembali merayu dan Mila-ku makin tersipu.
“Ya, Tuhan inikah yang disebut patah hati?”
...
Hingga selarut ini, Mila belum juga pulang. Di mana dia? Apa yang dilakukannya? Semoga dia baik-baik saja, lekas pulang dan membuat resah hatiku mereda. Dari sini masih setia kuawasi pintu gerbang dan pintu rumah Mila. Jatuh cinta itu rumit untukku yang baru kali merasakannya. Entah mengapa aku masih bisa mencintainya yang jelas-jelas tak mencintaiku?
Sebuah mobil BMW 325 E30 berhenti tepat di depan rumah Mila. Seorang pria turun dan dengan sigap membukakan pintu untuk kekasihnya. Mila melangkah keluar. Berbalas senyum sebentar, dengan mesra Mila mendaratkan kecupan di pipi sang pangeran. Dan aku hanya bisa terdiam menyaksikan semua itu.
“Terima kasih untuk hari ini, sayang!”
“Sama-sama, Romi-ku sayang!”
...
Pagi datang lagi. Seperti biasa, aku tetap siap dengan senyum khas yang terasa sangat berat hari ini. Senyum yang terpaksa aku lakukan, karena hatiku sudah sangat... ah sudahlah! Aku tak bisa menjelaskannya. Kalau bukan karena peran, aku sudah pasti tak akan tersenyum.
Jika sudah pukul 07:00 seperti ini selanjutnya yang akan terjadi adalah...
KRRREEEEKKKKK......
Pintu terbuka. Mila berlari ke arah kotak surat, membukanya dan mulai memasukkan salah satu tangannya ke sana. Hari ini dia tak menemukan apa-apa, kotak surat itu kosong, lambat laun wajahnya berubah masam. Kembali ke arah rumah dengan langkah yang mulai melemah, aku yakin ia kecewa.
KREEEEEEKKKK......
Hingga pintu kayu itu ia buka dan lenyap di baliknya, aku tak sekalipun menyapanya. Aku hanya memandangnya dengan wajah yang kaku. Dari sudut pandangku gadis itu murung sebab kekasihnya tak meringiminya puisi-puisi seperti biasa.
Hari selanjutnya gadis itu hanya melakukan hal yang sama. Menghampiri kotak surat yang kosong. Kembali dengan wajah yang lebih kecewa dari hari sebelumnya. Berhari-hari seperti itu. Aku sampai hapal dengan apa yang akan dia lakukan. Kekasihnya masih tanpa kabar hingga saat ini.
“Romi, apa yang terjadi padamu?” Mila masih setia setiap pagi. Namun, sama saja kotak surat itu masih saja kosong.
...
Hari berikutnya, hari ketujuh sejak Romi tak memberi kabar pada kekasihnya yang sangat kucintai. Mila memutuskan untuk mengiriminya surat, mungkin sekadar menanyai kabar.
“Aku tahu kau pasti sangat sibuk di luar kota. Tapi setidaknya balaslah suratku ini!”
...
Sehari berikutnya. Mentari belum sepenuhnya menguasai pagi. Awan kelabu menghalangi sinarnya sampai ke bumi. Mila-ku sudah mengintip dari sela-sela jendela. Seorang kurir datang, kotak surat dibuka dan...
HAPPP...
“Hehehe...” dengan senyum yang sumringah Mila menatap si kurir berkumis lebat itu. Surat belum mendarat ke sana. Dengan sigap tangan Mila memotong laju surat.
“Sudah lama menunggu surat ini? Dari pacar, ya?”
“Iya, pak! Terima kasih, ya.”
“Sama-sama, non!”
Kurir itu pergi dan dengan semangat Mila langsung merobek ujung sampul surat. Masih berdiri di hadapan kotak surut, Mila mulai membacanya.
“R-Romi???” suaranya mulai berat dan wajah riangnya berubah menjadi sendu, “padahal semuanya sudah kuberikan, mengapa kau justru ingin mengakhiri hubungan ini?”
Air matanya berlinang. Ingin rasanya aku berlari, memeluknya, menenangkannya dan menghapus air matanya. Tapi, aku tak bisa. Peranku bukan untuk itu, aku bukan seseorang yang Mila kenal apalagi yang  Mila dambakan. Aku hanya bisa mengaguminya dalam diam.
“Tenanglah Mila.”
...
Mila tak pernah lagi melangkahkan kaki keluar. Mungkin karena di luar sini sedang hujan. Padahal, aku sudah siap membuka jasku dan melindunginya dari rintik-rintik hujan menemaninya menjalankan kebiasaannya di setiap pagi. Membuka pintu, melangkah dengan damai dan mengambil surat.
“MILAAAA!!!” suara histeris dari dalam rumah.
Beberapa saat kemudian, warga sekitar berkerumun. Suara tangis ibu Mila tak henti dari tadi. Ambulance datang dan dengan sigap beberapa orang membantu mengangkat Mila menuju kendaraan tersebut. Mila tak sadarkan diri, tepat di pergelangan tangannya darah mengalir.
***
Cinta tak pernah salah. Bahkan untuk gadis seperti Mila. Hanya dengan janji, bual dan masa depan dia pasti terpikat. Cinta juga tak pernah salah untuk sebuah patung sepertiku. Mengagumi dalam bisu. Mencintai dalam diam dan tetap setia walau tak pernah tersapa. Dan itulah yang membuatku benci dengan peran yang kumainkan dalam diorama sepi ini.
Andai aku bisa lebih bebas. Berlari, tersenyum seutuhnya, bercerita dan menyapa tak hanya dalam angan-angan. Jika peranku bisa lebih dari sekadar patung di teras rumah, yang aku pilih adalah menjadi teman Mila. Jika peranku lebih baik, aku tak perlu memaksa senyum di pagi hari. Jika peranku bisa lebih baik, maka gadisku tak perlu sibuk menunggu surat di setiap pagi. Jika peranku lebih baik, tak akan kubiarkan setetes air mata pun membasahi pipinya.
***

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERPEN | Diorama"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo