FIKSI MINI | Surat
Friday, March 15, 2019
Add Comment
Surat
Aku
tak tahu harus memulai dari mana kisah ini. Kisah tentang kebodohanku dan
penyesalan yang selamanya hanya akan menjadi sebuah penyesalasan. Layaknya
penyesalan yang lain. Aku pun serasa ingin memutar kembali waktu dan mengubah
semua alur ceritaku yang konyol ini.
Ruangan
serba kuno nan antik ini, entah sejak kapan tak pernah terawat. Aku pun lupa
kapan terakhir kali mengunjunginya. Semua yang ada di ruangan ini terlihat kuno
dan menyedihkan.
Akhirnya
sebuah benda di atas meja itu menarik perhatianku: kotak kayu tua yang tentu
saja antik. Di antara semua benda di ruangan ini, kotak kayu itulah
satu-satunya yang terlihat lumayan terawat. Saat kotak itu dibuka pun,
benda-benda di dalamnya terlihat sama antiknya. Beberapa lembar monokrom melukiskan
senyum-senyum manis yang berhasil membawa kenangan indah di kepala.
Satu
benda di dalam kotak itu terlihat tak membaur dengan yang lain. Satu-satunya
benda yang terlihat baru dan modern di antara kawan-kawan bisunya yang antik
juga kuno. Sepucuk amplop putih yang membalut rapi sebuah pesan cinta di
dalamnya. Pesan yang indah untuk seorang yang tak tahu bertemakasih.
Surat
itu berisi;
***
Kepadamu
permata hidupku,
Sejak
pertama kali kau menyesup ke dalam hidupku. Kau sudah nampak siap melebur
kantukku dengan suaramu, manjamu dan tuturmu. Setiap pagi kau bercerita tentang
angin, hujan dan pelangi. Semua adalah keindahan semu yang kau buat sendiri
dalam imajimu.
Kau
hadir bak malaikat di tengah-tengah kegundahan dan kegurasanku terhadap hidup.
Kau berhasil membangunkanku dari mati yang tak benar-benar mati. Setiap lakumu,
gerakmu dan lugumu adalah kekonyolan yang selalu membuatku ceria.
Ketahuilah
setiap hela napasku, setiap detik hidupku aku akan selalu mencintaimu. Bahkan
hingga matiku.
Tak
berapa lama. Kau beranjak dewasa, dan aku tentu makin menua. Kisah cinta kita
belum berakhir. Namun, sejak pertama kali kau melangkah ke luar pintu, aku tahu
itu pertama kalinya kau mengenal cinta selain dari aku. Kau mungkin saja
terlena dan akhirnya menjatuhkan hatimu padanya, seseorang yang kau anggap
sangat baik untukmu.
Aku
bahagia sekaligus khawatir. Aku bahagia; sebab kau mengenal cinta yang lain.
Aku khawatir; jikalau nanti kau lupa dengan kisah cinta kita. Ah, sudahlah,
mungkin hanya firasatku.
Kau
pulang dengan waktu yang tak sama seperti biasa. Aku takut ketakutanku menjadi
nyata. Tapi kau selalu bersikeras bahwa kau baik-baik saja dan aku yang terlalu
berlebihan. Ya, mungkin saja.
Hari
selanjutnya, aku masih melihatmu bergandeng tangan dengan dia. Pulang dengan
sejuta kegelamoran yang tak pernah bisa kuberikan padamu. Kau tumbuh makin
dewasa.
Saat
itu aku mulai berpikir untuk menjadi yang kau mau pula. Apa pun caranya. Aku
rela bermandi keringat dengan sengatan mentari yang ganas; aku rela melawan
ombak yang kapan saja bisa membunuhku; dan aku rela berhadapan muka dengan
macan demi mengambil kulitnya. Tapi, semua itu tetap tak pernah benar di
matamu.
Aku
ingat, malam itu kau pergi tak memberi kabar. Aku menunggumu di depan pintu.
Menahan kantuk dan juga lelahku. Kau tiba dan aku justru mendapat makianmu saat
seharusnya aku yang memarahimu.
Aku
ingat kau pernah bilang, aku hanya penghalang dan hanya menjadi pengusik
kebahagianmu. Bahkan kau bilang aku ini kuno, udik dan aneh. Tidak, aku tidak
marah atas semua tingkahmu. Bahkan untuk disebut kecewa pun tidak. Aku hanya
menyesali diriku sendiri, si bodoh yang tak pernah bisa memenuhi keinginanmu
karena tak sekaya yang kau mau.
Di
mana pun aku saat kau menemukan surat ini. Surat yang kutulis khusus untukmu.
Surat yang kutulis dalam kesakitan dan kesendirianku di atas ranjang rumah
jompo ini. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.
Aku tak pernah marah atau kesal sedikit pun padamu.
Terima
kasih, anakku. Telah hadir dalam kehidupan ayah. Telah menjadi semangat ayah
setelah ibumu tiada.
Untukmu permata hidupku, putri cantik ayah.
Dari ayah yang selalu mencintaimu.
Untukmu permata hidupku, putri cantik ayah.
Dari ayah yang selalu mencintaimu.
***
Dan
ayah baru saja menghembuskan napas terakhirnya sebulan lalu. Aku adalah putri
yang tahu berterimakasih pada ayahnya. Aku adalah putri yang durhaka.
“Ayah,
jika ayah mendengarku. Aku hanya ingin meminta maaf kepadamu dan terima kasih
telah menjadi ayah yang hebat untukku.”
...
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "FIKSI MINI | Surat"
Post a Comment