NOVEL | 1 Titik (Part 7) - Si Pemberani Dari Timur
Monday, February 11, 2019
Add Comment
Si Pemberani Dari Timur
Samuel,
seorang penderita penyakit paling mematikan di dunia, yaitu AIDS. Pemilik nama
lengkap Albertus Samuel ini adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. Si jenaka
ini punya rambut keriting dan kulit hitam manis khas anak Papua.
Kondisi
keluarganya yang pas-pasan dan saudara yang banyak, membuat Samuel sering kali
terabaikan di keluarga. Sama sepertiku, pria kelahiran kota Sorong, Papua Barat
yang saat itu berusia sembilan belas tahun pernah pula menggeluti dunia
berandalan.
Keluar dan
masuk rumah sakit sering ia alami. Namun tak pernah ia hiraukan. Kembali ke
jalan yang salah, hanya itulah satu-satunya cara yang bisa membuatnya merasa
tenang. Mengonsumsi narkoba dengan semprit
(suntik) bersama sahabat-sabatnya merupakan kegiatan rutinnya.
Mungkin
pergaulan bebas seperti ini yang menjadi salah satu penyebab penyakit AIDS yang
dideritanya. Kondisinya barulah diketahui setelah ia sempat kecelakaan dan
dirawat di rumah sakit. Singkatnya, ia pun mulai berubah menjadi pemuda yang
taat agama.
Samuel bisa
sampai ke yayasan ini berkat usaha dan kerja kerasnya sendiri. Ia berusaha
mengumpulkan uang dari cara yang baik. Semua yang ia lakukan karena ia
benar-benar ingin sembuh. Walau ia tahu kesempatannya untuk sembuh itu sangat
kecil, namun ia tetap berjuang. Atas usulan temannya, Samuel yang berhasil
mengumpulkan uang lantas berpamitan dengan orang tuanya. Semoga ini yang
terbaik bagi Samuel.
Samuel yang
berangkat dari Sorong akhirnya tiba di yayasan BTI. Ia pun bertemu dengan Fajar
Nugroho, seorang penderita kanker otak yang membuatnya tetap semangat melawan
semua rintangan yang menghalang.
“Fajar itu
seperti malaikat tanpa sayap yang hadir memberi
sa semangat. Tapi sayang dia pergi begitu cepat eee,” jelasnya sambil
berkaca-kaca.
***
Suatu hari
yayasan BTI mendapat sumbangan dana begitu besar dari pak Harry. Sumbangan ini
diserahkan karena beliau merasa BTI telah banyak membantu usahanya. Ternyata
karya-karya kami sangat banyak peminatnya.
“Alhamdilillah
karyamu terjual sangat banyak,” beliau menuturkan.
“Berarti
selera masyarakat sangat tinggi terhadap sastra sangat tinggi ya, pak?” aku menyambut.
“Saya rasa
tidak. Itu semua berkat karya kamu yang memang bagus. Karenanya saya
menyumbangkan sebagian hasil penjualan ke Yayasan BTI,” ujarnya.
Sumbangan
berupa obat-obat yang diperlukan makanan dan uang tunai itu pun diterima
langsung oleh pak Agus, pemilik resmi yayasan ini yang memang jarang berada di
tempat. Namun, hari itu beliau terlihat hadir.
Malam itu di
yayasan terasa sangat sepi. Aku sekamar dengan Samuel dan Nyoman, kebetulan di
samping kamar kami adalah kamar Tami dan Noni. Sepertinya mereka sudah tidur.
Aku pun segera menarik selimut.
Tiba-tiba
terdengar suara dari vas bunga yang terjatuh. Aku, Nyoman dan Samuel pun
terbangun. Samuel pun keluar dan melihat apa yang terjadi. Tak lama ia kembali
dengan mengendap-endap.
“Hei Hitam,
apa yang kau lihat?” tanya Nyoman.
“Ssssttt...
Ko jang baribut, tadi sa ada dapat liat pancuri!”[1]
“Pencuri?”
“Kalau
begitu kita tangkap dia!” kataku seraya meraih balok kayu.
“Jangan,
Ahmad!” cegah Samuel.
“Kenapa?”
“Katong
kasih dia pelajaran. Tong tunggu dia di ruang kepala yayasan.”[2]
“Kenapa
harus di sana?”
“Incarannya
pasti uang sumbangan tadi,” Nyoman menebak.
“Betul.”
Kami pun
menjalankan rencana. Kami masuk ke ruangan kepala yayasan melalui jendela di
bagian belakang. Sedangkan si pencuru bodoh itu malah berusaha masuk melalui
pintu depan. Dengan cerdik kami mulai memasang beberapa perangkap di ruangan
itu.
Pencuri yang
berjumlah dua orang itu berhasil membuka pintu sebelum kami selesai memasang
perangkap. Gawat. Rencana kami gagal total. Samuel tak terlihat oleh mereka.
Sedangkan aku dan Nyoman dipaksa tunduk pada ancaman senjata tajam mereka.
Samuel yang berada di belakang dengan tangan menggenggam balok malah lari
keluar luangan.
“Bajingan
Samuel itu. Dia bukannya membantu malah pergi,” Nyoman terlihat sangat kesal.
Kami tak
bisa berbuat banyak. Matilah kita. Kaki dan tangan kami pun diikat.
“Kalian itu
hanya manusia-manusia lemah. Mau sok jadi pahlawan?” gertak salah satu pencuri.
Tak lama
Samuel pun kembali.
“Hei,
pancuri keparat. Kalau kau berani, kau lawan sa sekarang. Jang dorang dua!”[3]
gertaknya.
“Hei,
hangus. Kamu berani lawan kita berdua?”
“Ko pikir sa
takut? Sa su ada lawan saribu pareman kampung macam kam orang ini, polisi juga
sa pernah lawan, dan sa berani lawan AIDS. Kam dua ni tara ada apa-apanya.”[4]
“BAJINGAN!!!”
gertak kedua pencuri itu dan sejurus kemudian maju menyerang Samuel.
Saat
keduanya maju, Samuel pun mundur ke arah luar ruangan. Ternyata di luar telah
banyak penghuni yayasan yang siap menangkap kedua pencuri tersebut. Akhirnya
pencuri pun bisa tertangkap dengan mudah.
“Hei, hitam.
Ternyata kau munya nyali juga buat lawan pencuri itu. Bagaimana kau bisa
membangunkan orang sebanyak ini dengan waktu yang cepat tanpa disadari oleh
pencuri dan juga aku sama Ahmad?” Nyoman keheranan.
“Hei, Bali.
Tong orang timur ini, selain terkenal garang, katong juga cerdik. Tadi itu sa
tara lari. Sa hanya pi kamar Tami deng Noni, kasi bangun mereka. Kebetulan sa
juga dapat liat dr. Aisyah. Langsung sa minta bantuan mereka untuk bangunkan
yang lain deng diam-diam. Sementara sa coba alihkan perhatian pancuri ini deng
ajak mereka bicara. Supaya kalian juga bisa melepaskan ikatan tali. Tapi, kam
dua ni memang bodoh, su dikasi kode tapi diam saja macam patung kah.”[5]
“Kode yang
mana? Saya tak liat,” Nyoman mengelak.
“Ko tu
memang buta sudah mo. Tadi sa ada kasi kedip sa pu mati ni.”[6]
“Oh.. Itu
kode? Saya kira kau kelilipan.”
“Ahhh... Kau
tu.”
“Hahaha. Ya maaf.
Tapi kau hebat rupanya, hitam,” ejek Nyoman.
Samuel
mengajarkan satu hal lagi padaku dan kawan-kawan. Menghadapi masalah itu tak
mesti dengan otot namun gunakanlah otak.
***
[4] Kamu pikir saya takut?
Saya sudah pernah lawan seribu pereman kampung seperti kalian, polisi juga saya
pernah lawan, dan saya berani lawan AIDS. Kalian berdui ini tidak ada
apa-apanya.
[5] Maksudnya, Samuel
mengalihkan perhatian pencuri dengan menantangnya agar Tami dan Noni bisa
leluasa membangunkan yang lain dan agar aku dan Nyoman berusaha melepaskan
ikatan tali.
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "NOVEL | 1 Titik (Part 7) - Si Pemberani Dari Timur"
Post a Comment