NOVEL | 1 Titik (Part 7) - Si Pemberani Dari Timur


Si Pemberani Dari Timur
Samuel, seorang penderita penyakit paling mematikan di dunia, yaitu AIDS. Pemilik nama lengkap Albertus Samuel ini adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. Si jenaka ini punya rambut keriting dan kulit hitam manis khas anak Papua.
Kondisi keluarganya yang pas-pasan dan saudara yang banyak, membuat Samuel sering kali terabaikan di keluarga. Sama sepertiku, pria kelahiran kota Sorong, Papua Barat yang saat itu berusia sembilan belas tahun pernah pula menggeluti dunia berandalan.
Keluar dan masuk rumah sakit sering ia alami. Namun tak pernah ia hiraukan. Kembali ke jalan yang salah, hanya itulah satu-satunya cara yang bisa membuatnya merasa tenang. Mengonsumsi narkoba dengan semprit (suntik) bersama sahabat-sabatnya merupakan kegiatan rutinnya.
Mungkin pergaulan bebas seperti ini yang menjadi salah satu penyebab penyakit AIDS yang dideritanya. Kondisinya barulah diketahui setelah ia sempat kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Singkatnya, ia pun mulai berubah menjadi pemuda yang taat agama.
Samuel bisa sampai ke yayasan ini berkat usaha dan kerja kerasnya sendiri. Ia berusaha mengumpulkan uang dari cara yang baik. Semua yang ia lakukan karena ia benar-benar ingin sembuh. Walau ia tahu kesempatannya untuk sembuh itu sangat kecil, namun ia tetap berjuang. Atas usulan temannya, Samuel yang berhasil mengumpulkan uang lantas berpamitan dengan orang tuanya. Semoga ini yang terbaik bagi Samuel.
Samuel yang berangkat dari Sorong akhirnya tiba di yayasan BTI. Ia pun bertemu dengan Fajar Nugroho, seorang penderita kanker otak yang membuatnya tetap semangat melawan semua rintangan yang menghalang.
“Fajar itu seperti malaikat tanpa sayap yang hadir memberi  sa semangat. Tapi sayang dia pergi begitu cepat eee,” jelasnya sambil berkaca-kaca.
***
Suatu hari yayasan BTI mendapat sumbangan dana begitu besar dari pak Harry. Sumbangan ini diserahkan karena beliau merasa BTI telah banyak membantu usahanya. Ternyata karya-karya kami sangat banyak peminatnya.
“Alhamdilillah karyamu terjual sangat banyak,” beliau menuturkan.
“Berarti selera masyarakat sangat tinggi terhadap sastra sangat tinggi ya, pak?” aku menyambut.
“Saya rasa tidak. Itu semua berkat karya kamu yang memang bagus. Karenanya saya menyumbangkan sebagian hasil penjualan ke Yayasan BTI,” ujarnya.
Sumbangan berupa obat-obat yang diperlukan makanan dan uang tunai itu pun diterima langsung oleh pak Agus, pemilik resmi yayasan ini yang memang jarang berada di tempat. Namun, hari itu beliau terlihat hadir.
Malam itu di yayasan terasa sangat sepi. Aku sekamar dengan Samuel dan Nyoman, kebetulan di samping kamar kami adalah kamar Tami dan Noni. Sepertinya mereka sudah tidur. Aku pun segera menarik selimut.
Tiba-tiba terdengar suara dari vas bunga yang terjatuh. Aku, Nyoman dan Samuel pun terbangun. Samuel pun keluar dan melihat apa yang terjadi. Tak lama ia kembali dengan mengendap-endap.
“Hei Hitam, apa yang kau lihat?” tanya Nyoman.
“Ssssttt... Ko jang baribut, tadi sa ada dapat liat pancuri!”[1]
“Pencuri?”
“Kalau begitu kita tangkap dia!” kataku seraya meraih balok kayu.
“Jangan, Ahmad!” cegah Samuel.
“Kenapa?”
“Katong kasih dia pelajaran. Tong tunggu dia di ruang kepala yayasan.”[2]
“Kenapa harus di sana?”
“Incarannya pasti uang sumbangan tadi,” Nyoman menebak.
“Betul.”
Kami pun menjalankan rencana. Kami masuk ke ruangan kepala yayasan melalui jendela di bagian belakang. Sedangkan si pencuru bodoh itu malah berusaha masuk melalui pintu depan. Dengan cerdik kami mulai memasang beberapa perangkap di ruangan itu.
Pencuri yang berjumlah dua orang itu berhasil membuka pintu sebelum kami selesai memasang perangkap. Gawat. Rencana kami gagal total. Samuel tak terlihat oleh mereka. Sedangkan aku dan Nyoman dipaksa tunduk pada ancaman senjata tajam mereka. Samuel yang berada di belakang dengan tangan menggenggam balok malah lari keluar luangan.
“Bajingan Samuel itu. Dia bukannya membantu malah pergi,” Nyoman terlihat sangat kesal.
Kami tak bisa berbuat banyak. Matilah kita. Kaki dan tangan kami pun diikat.
“Kalian itu hanya manusia-manusia lemah. Mau sok jadi pahlawan?” gertak salah satu pencuri.
Tak lama Samuel pun kembali.
“Hei, pancuri keparat. Kalau kau berani, kau lawan sa sekarang. Jang dorang dua!”[3] gertaknya.
“Hei, hangus. Kamu berani lawan kita berdua?”
“Ko pikir sa takut? Sa su ada lawan saribu pareman kampung macam kam orang ini, polisi juga sa pernah lawan, dan sa berani lawan AIDS. Kam dua ni tara ada apa-apanya.”[4]
“BAJINGAN!!!” gertak kedua pencuri itu dan sejurus kemudian maju menyerang Samuel.
Saat keduanya maju, Samuel pun mundur ke arah luar ruangan. Ternyata di luar telah banyak penghuni yayasan yang siap menangkap kedua pencuri tersebut. Akhirnya pencuri pun bisa tertangkap dengan mudah.
“Hei, hitam. Ternyata kau munya nyali juga buat lawan pencuri itu. Bagaimana kau bisa membangunkan orang sebanyak ini dengan waktu yang cepat tanpa disadari oleh pencuri dan juga aku sama Ahmad?” Nyoman keheranan.
“Hei, Bali. Tong orang timur ini, selain terkenal garang, katong juga cerdik. Tadi itu sa tara lari. Sa hanya pi kamar Tami deng Noni, kasi bangun mereka. Kebetulan sa juga dapat liat dr. Aisyah. Langsung sa minta bantuan mereka untuk bangunkan yang lain deng diam-diam. Sementara sa coba alihkan perhatian pancuri ini deng ajak mereka bicara. Supaya kalian juga bisa melepaskan ikatan tali. Tapi, kam dua ni memang bodoh, su dikasi kode tapi diam saja macam patung kah.”[5]
“Kode yang mana? Saya tak liat,” Nyoman mengelak.
“Ko tu memang buta sudah mo. Tadi sa ada kasi kedip sa pu mati ni.”[6]
“Oh.. Itu kode? Saya kira kau kelilipan.”
“Ahhh... Kau tu.”
“Hahaha. Ya maaf. Tapi kau hebat rupanya, hitam,” ejek Nyoman.
Samuel mengajarkan satu hal lagi padaku dan kawan-kawan. Menghadapi masalah itu tak mesti dengan otot namun gunakanlah otak.
***


[1] Ssssttt... kamu janga ribut, tadi saya melihat pencuri
[2] Kita beri dia pelajaran. Kita tunggu dia di ruangan kepala yayasan
[3] Hei, pencuri keparat. Kalau kau berani lawan saya sekarang. Jangan mereka berdua.
[4] Kamu pikir saya takut? Saya sudah pernah lawan seribu pereman kampung seperti kalian, polisi juga saya pernah lawan, dan saya berani lawan AIDS. Kalian berdui ini tidak ada apa-apanya.
[5] Maksudnya, Samuel mengalihkan perhatian pencuri dengan menantangnya agar Tami dan Noni bisa leluasa membangunkan yang lain dan agar aku dan Nyoman berusaha melepaskan ikatan tali.
[6] Kau itu memang buta. Tadi saya beri kode dengan mengedipkan mata

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "NOVEL | 1 Titik (Part 7) - Si Pemberani Dari Timur"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo