[FIKSI MINI] DUSTA SEMESTA - Karya Ahmad M. Mabrur Umar

 


Dusta Semesta

Pada ruang senja yang kian nanar. Jingga yang semakin kemari bertambah pula pudarnya. Pendar pun berangsur lenyap. Burung-burung hilir mudik hinggapi dahan, mencari di mana singgah sana rehat untuk malam yang panjang nanti. Kicau alam bercampur sahut dengan kicau yang dikasetkan. Gemerutu deru mesin peradaban –buah tangan dari kepayahan manusia, lalu-lalang. Habis sudah lesuh sehari, besok datang lagi.

Secangkir kopi pun tinggal setengah. Tak hangat lagi, diterpa deru embusan angin sedari tadi. Aromanya pun kian lenyap, kian pergi. Dari kacamataku yang tak ada kacanya, negeri ini adalah negeri yang subur. Itu terbukti dari kopi yang kunikmati sore ini. Seingatku, ini adalah gelas kedua dengan pramusaji yang berbeda. Aku hendak menambahnya segelas lagi.

Tak hanya tanah, aku yakin insan di sini pun adalah insan paling genius yang pernah ada. Baru saja kusaksikan, kepiawaian sebidak pion membuat ketar-ketir si Jendral. Lantas, si Jendral mengerahkan sekutu bejibun demi menghabisi sebidak pion saja. Lalu muncul bidak pion lain yang meluluhlantakkan seisi istana hanya dengan menari di atas papan aksara dan layar kaca. Inilah bulannya, bulan penuh darah, di masa lalu, masa kini, mungkin juga masa yang kelak datang.

Aku tak tahu apa yang sedang terjadi di atas sana. Entah para dewa berdebat pasal apa. Mungkin berebut tahta yang paling Esa atau mungkin berebut umat yang kian fanatik. Tak bisakah para Tuhan itu menjadi satu, bekerja sama mengatur semesta yang kian usang ini? Beda cerita dengan sang dewi yang cantik jelita, barulah saja usianya bertambah seabad. Memberi hadiah kepada umat dengan anugerah penderitaan yang pedih.

“Sulit lagi, kacau lagi,” lafaz yang kian terabaikan, sang dewi membungkam doa, sang dewi menutup telinga.

Bentala tak kalah runyam dengan kayangan. Makhluk-makhluk mulia kian punah, berganti seonggok daging telanjang tanpa kepala. Berebut kuasa, haus darah. Kodrat ditentangkan, mengesakan khayal berbalut logika. Mati rasanya seluruh semesta. Lenyap sudah puing-puing bijaksana.

Semua kemelut itu berimbas pada sesosok insan. Pujangga kelas bawah yang mencoba memahat kata meski pisau pahatnya kian tumpul. Dia sama sepertiku, penganut Yang Maha Kafein.

Bayangan senja yang ikut surut dengan fantasi liar di kepala pujangga. Secangkir kopi habis, berganti secangkir inspirasi baru. Tak lenyap suara melantun yang dikasetkan pun membelah hening. Apakah dia beranjak? Dia hendak menambah sepatah kata lagi pada dinding imajinya yang terbatas.

Dia tersudut di tepi jalan yang lengang. Tak hendak menyeberang walau derap roda telah tiada. Masih merenung di seberang sana. Bercakap-cakaplah dia dalam gusarnya.

“Hendak mencari apa?” napasnya kian panjang terhela, tersenggap, kadang hela, kadang embus, “runtuh sudah keping-keping istana aksara.”

Kepalanya tertunduk, tersungkur penampak aspal.

“Kepalang celaka, matilah semua,” masih tak ada yang mengajaknya bercakap, bahkan hening sekalipun.

Dia tahu yang akan datang.

“Mengapa kau datang, wahai gusar?”

“Aku hanya ingin menyapamu. Menemanimu.”

“Aku tak butuh teman. Bahkan seburuk engkau,” si Pujangga mengusir gusar.

“Bukankah kau yang mengundangku?” yang datang tak mudah pergi.

“Mengapa bukan si maha bijak menyapaku?”

“Kau mencari yang tak kau ketahui.”

“Apakah yang Maha Tinggi tak mendengar doaku?”

“Aku ragu, apakah itu doa atau serakah.”

“Aku meminta kepada Yang Maha Memberi.”

“Tapi, tanganmu terlalu kotor untuk menerima dari-Nya.”

Berdustakah semesta di hadapanku? Atau alam ini memang kian membabi buta? Mengapa tercipta seonggok daging tanpa otak? Meramu mantra dikata doa. Bernegosiasi beharap diijabah. Menyingkat kata, menganggap diri sang maha perangkai kata.

Kian kemari, kian merana. Tak habis akal yang tampak di mata. Berkali lagi aku menatap pilu. Si tangan mungil mengais tumpukan sampah. Apakah tak ada yang menatapnya selain aku? Tidakkah juga Yang Maha Kasih? Atau ajudan-ajudan penyampai wahyu? Ke mana si dewa-dewa asih? Atau raja bermahkota duri? Tak adakah kaum berdasi yang asyik di tahtanya? Di mana wanita-wanita berkolong panjang?

Sebelum kepalaku terpenggal oleh imajinasi yang kian jalang itu, baiknya kuseruput teguk terakhir dari gelasku. Walau segelas lagi mungkin nikmat, namun aku tak akan mampu menjalani malam dengan kafein yang memanipulasi syaraf-syarafku. Aku ingin lelap lebih cepat agar dosaku hari ini dapat kutuang lagi esok hari atau di kehidupan selanjutnya di semesta yang jauh lebih masuk akal.

Aku ingin terbangun di semesta tanpa kemunafikan. Aku tak ingin lagi memiliki wajah berupa-rupa. Sewajah saja, seiman saja, se-Tuhan saja.


_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "[FIKSI MINI] DUSTA SEMESTA - Karya Ahmad M. Mabrur Umar"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo