Essai | Man Jadda Wajada
Friday, August 3, 2018
Add Comment
Man Jadda Wajada
B
|
eragam
hal telah terjadi dalam perjalanan hidupku. Entah itu suka maupun duka.
Derasnya ombak kehidupan pun nyaris menenggelamkan kapal semangatku. Beberapa
orang yang kukasihi harus pergi dan menjauh satu per satu dari hidup ini.
Menambah beragam kisah duka nan haru hatiku. Berkecamuklah amarah dalam hati,
ingin rasanya memaki dunia yang tak adil ini.
****
Sementara kisah ini adalah tentang perjuangan dan
pengorbanan semua orang di sekitarku. Kisah yang nantinya orang tahu saling
terkait satu sama lain. Kisah yang bahkan tak pernah terpikir akan ceritakan.
Berawal dari tamatnya aku dari jenjang pendidikan
Sekolah Dasar. Kedua orang tuaku berniat menyekolahkanku di kota. Maklum saja,
di desa Mamau ini tak lagi sekolah lanjutan setelah SD. Semua siswa-siswi yang
telah lulus dari sini bila ingin melanjutkan pendidikan maka harus ke kota.
Jaraknya hanya dua jam perjalanan. Bukan dengan mengendarai mobil atau motor di
daratan, namun kami harus melalui perjalanan laut.
Niatan baik kedua orang tuaku itu rupanya tak
berjalan mulus. Kakekku yang sering kusapa Abah Tua menentangnya. Aku tak
diizinkan untuk melanjutkan pendidikanku ke kota. Aku harus tetap di rumahnya
menemani ia dan nenekku. Entah mengapa ia seperti berat melepasku? Mungkin ia
takut aku akan menjadi seperti anaknya yang tak lain adalah adik dari mamaku.
Bibiku ini telah menikah dengan orang yang tak seagama dengan kami dan ikut
memeluk agamanya. Abah tua yang sangat memengang teguh pada Islam tak ingin
anak-cucunya meninggalkan Islam. Ia takut perjuangannya selama ini mendidik
kami secara religius gagal dan hilang begitu saja.
Tak menyerah begitu saja. Mamaku terus mencoba
berbicara pada Abah Tua. Wanita tegar ini terus berjuang meruntuhkan kerasnya
hati dan pikiran ayahnya. Itu ia lakukan demi aku, anaknya yang ia harap tak
buta huruf seperti kakeknya dan tak bernasib sama dengan kedua orang tuanya.
Mama, layaknya ibu-ibu yang lain. Ingin anaknya berhasil dan bisa membanggakan.
“Nanti mama coba bicara lagi sama Abah tua.”
Bujuknya padaku yang terlihat murung.
“Yang penting nanti kamu sekolah yang bener, jangan
main-main!” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk. Keinginanku yang besar untuk
melanjutkan pendidikan harus bertentangan dengan keinginan Abah tuaku yang
ingin aku lebih mendalami agama. Mungkin perjuanganku di dunia pendidikan harus
terhenti di sini.
Sedikit titik terang terbuka. Cahaya itu menyeringai
menyinari hatiku dan mamaku. Sontak semua beban rasanya hilang. Akhirnya Abah
tua mengizinkan aku untuk melanjutkan pendidikan di kota. Dengan opsi harus masuk pesantren.
“Pokoknya kalau mau lanjutin sekolah, harus di
pesantren!” tegasnya.
“Kalau itu mungkin harus diomongin dulu sama
bapaknya.” Mamaku menyambut.
“Kalau nggak di pesantren, nggak boleh lanjut!”
orang tua laki-laki mamaku itu kembali menegaskan.
“Emang kamu mau lanjut di pesantren?” mama coba
menanyaiku.
“Yang penting bisa lanjut. Terserah aja.” Aku mulai
pasrah.
Sebulan kemudian akhirnya aku dan mama bergegas ke
kota. Sesampainya di sana kami langsung menuju lokasi yang telah di tentukan
oleh bapakku. Di kampung Salak, perkampungan tengah kota yang mayoritas
penghuninya adalah mereka dari tanah bugis, tanah leluhur bapakku.
“Pokoknya saya tidak setujuh kalau anak saya harus
dititip ke orang lain, walau pun itu pesantren!” tegas bapakku seketika saat
mama mengabarkan keinginan mertuanya.
“Di sini ada sekolah yang bagus. Saya sudah
mengambilkan formulirnya.” Bapak memang sering mengambil keputusan sepihak,
tanpa memberitahukan sebelumnya. “Sekolah yang dulu pernah adikmu sekolah. Tapi
karena kebodohannya akhirnya gagal.” Maksudnya adalah bibiku.
Bapakku bukan baru mendengar kabar ini. Dua pekan
lalu Abah Tua mendatangi camp tempat
bapakku bekerja untuk menyampaikan apa yang menjadi tekadnya. Sebuah perjuangan
untuk cucu tersayangnya. Abah tua bahkan rela menempuh perjalanan yang lumayan
licin hanya sekadar memperjuangkan masa depanku. Namun bapakku pun tak kalah
tegasnya, ia tetap pada pendiriannya ingin aku melanjutkan sekolah di sebuah
Sekolah Menengah Pertama berbasisi negeri. Dua orang yang sama-sama berjuang
demi masa depanku.
Pada akhirnya aku hanya pasrah pada keputusan
orang-orang ini. Tak ada cela sedikit pun untuk aku menentukan pilihan sendiri.
Kali ini adu argumen dimenangkan oleh bapakku, sebagai penentu akhir keputusan
sebab dialah yang saat ini ada bersamaku dan mama. Kabar ini sampai juga di
telinga Abah tua. Apa hendak dikata niatan baik Abah tua tak sejalan dengan
keinginan kuat bapakku, aku tahu Abah tua pasti kecewa. Aku dan mama pun ikut pasrah,
kami memilih tinggal dan mengontrak rumah salah satu keluarga bapak.
Januari 2011. Menjelang semester keduaku di SMP
Negeri itu, bapak lagi-lagi memutuskan sesuatu yang tak terduga. Dengan alasan
jalan-jalan, ia mengajakku, mama dan adikku yang baru berusia satu tahun
setengah untuk mengunjungi keluarganya di tanah kelahirannya. Bapakku yang
telah yatim-piatu memang tak pernah kembali ke tanah Luwu sejak kurang lebih
dua puluh tahun yang lalu. Sebuah waktu yang lama. Maka cara apapun akan ia
lakukan untuk berjuang bertemu dengan sanak keluarganya. Termasuk membohongiku
dan mama.
Hari itu, aku melihat kebahagian yang mendalam
terpancar dari raut wajah lelaki tua itu. Dia memeluk satu per satu saudaranya
yang sangat ia rindukan. Berbalas haru pun terlihat di antara saudara ini.
Selama beberapa hari saja kami di sana banyak keluarga yang mengunjungi kami.
Mungkin rindu. Satu per satu cerita lama bapak aku dengar dari keluarga ini.
Ada yang bilang bapakku adalah orang yang keras kepala, apa pun keinginnya
pasti diperjuangkan dan harus terwujud. Sebuah sifat yang telah terlihat dari
keinginannya menyekolahkanku. Sifat yang mungkin juga terwarisi kepadaku.
Suatu momen lain yang sangat menyentuh adalah ketika
bapak bersiarah ke makam kedua orang tuanya, kakek dan nenekku dari garis
keturunan bapak. Hari itu bapak seperti menahan tangis di ujung kelopak
matanya. Aku tahu dia pasti sangat sedih, tak pernah hadir dan tahu kabar
meninggalnya dua orang paling berjasa di hidupnya ini. Bahkan hingga kami hendak
meninggalkan area mencekam itu, bapak tak juga beranjak dari samping makam
ayahnya. Nisan dengan tulisan “Ishak” itu terus ditatapnya sambil salah satu
tangannya mengelus-elus batu tau itu.
Awalnya hanya berjanji berjalan-jalan selama
sebulan. Namun, menjelang sebulan kami di sini, bapak tak juga menunjukkan niat
untuk kembali ke tanah kelahiranku, tanah Mamau di ujung barat Papua. Entah apa
yang ada di pikiran bapakku? Setelah beberapa lama akhirnya terbongkar
kebohongan bapakku. Ia sengaja berkata jalan-jalan agar mama dan aku mau ikut
dengannya. Kalau tak begitu mamaku sudah pasti tak mau. Selain itu, terungkap
juga bahwa bapakku tidak cuti dari pekerjaannya.tapi ia telah mengundurkan diri
dari pekerjaannya itu.
“Kamu itu dari dulu memang nggak pernah jujur.”
Mamaku mulai melonjak amarahnya.
“Kalau tidak begitu kau pasti tidak mau.” Tegas
bapakku.
Kembalilah, keluarga yang tak pernah akur ini beradu
bacot.
Sebulan setelah tibanya kami di desa Rantu. Aku yang
tak sekolah selama itu akhirnya didaftarkan sebagai siswa di salah satu sekolah
agama, MTs. Rantu yang jaraknya tak jauh dari rumah saudara bapakku. Bersama
sepupu perempuanku, bapak menemui kepala Madrasah tersebut. Bapak meminta agar
aku ditempatkan di kelas yang sama dengan sepupuku itu.
Dua bulan berlalu. Sepertinya memang bapakku tak
berniat kembali ke Mamau atau pun Kota Sorong. Hal ini diperkuat dengan
keputusan bapakku untuk mempersiapkan rumah saudaranya yang konon akan kami
tempati. Selain itu, aku pun mulai akrab dan beradaptasi dengan lingkungan
baru. Dialeg bahasa yang awalnya aku tak paham, akhirnya perlahan aku mulai
fasih melafazkannya. Hanya sekadar dialeg.
Tak terasa sudah tiga bulan kami di sini. Tak juga
ada kejelasan untuk kembali. Aku mulai pasrah dan menerima lingkungan baru.
Meski pun beberapa kali merengek untk kembali, tetap saja bapakku tak
menggubrisnya. Mamaku pun telah merasa jenuh. Mungkin si kecil pun tak betah
berada di sini, terlihat dari kondisinya yang terus sakit-sakitan.
Penghujung bulan ketiga, mama memutuskan kembali
bersama adikku. Dengan alasan ingin menjemput Abah tua dan Nenek ia pun
mendapat izin dari bapakku. sayangnya aku tak diperbolehkan untuk ikut. Aku
terus merengek, tapi tetap saja tak diperbolehkan.
“Kamu jaga diri aja, nak.” Pesan mama padaku.
“Tapi aku mau ikut.” Rengekku.
“Nggak bisa, kamu ikuti saja maunya bapakmu. Nanti,
kalau kamu udah gede baru cari mama.” Dari nadanya menunjukkan ia tak berniat
untuk kembali.
“Tapi mama balik, kan?”
Diamnya mama membuatku makin ragu.
Seminggu kemudian. Aku izin sehari dari sekolah
untuk mengantarkan mama dan adikku menuju bandara Sultan Hasanuddin di
Makassar. Perjalanan selama lebih dari delapan jam perjalanan harus kami
tempuh. Waktu yang sama dengan pada saat kami baru menginjakkan kaki di tanah
bugis ini. Berat rasanya melepas mereka. Apalagi ada tanda mereka tak akan
kembali.
Sebulan tak ada kabar. Dua bulan, tiga bulan, enam
bulan lamanya aku menunggu, menahan rasa rindu. Namun tak juga ada kabar mama
akan kembali. Perjuanganku menahan rindu mungkin akan lebih panjang lagi.
Sebuah kabar kudapat langsung dari mama setahun
kemudian. Kabar yang memastikan kerinduanku akan makin lama lagi terpendam.
Perjuangan yang belum berakhir tentang rindu.
“Nak, mama mau menikah lagi.” Tak karuan rasanya.
“Jadi menurut kamu bagaimana?”
“Kalau aku bilang ‘nggak’ mama juga nggak bakal
dengar, kan?” belum sempat mamaku menjawabnya, sambungan telepon itu kuputus.
Keinginan terbesarku untuk memiliki keluarga yang
lengkap tak akanpernah terwujud. Kini keegoisan kedua orang tuaku telah
mengorbankan kebahagiaan anaknya. Aku yang dijauhkan dari Mamaku dan adikku
yang dijauhkan dari bapaknya. Katanya semua orang tua ingin yang terbaik untuk
anaknya, mungkin itu tak berlaku untuk orang tuaku.
Setelah menikah dengan saudagar sapi itu, mamaku
memilih tinggal bersama suaminya di daerah Teminabuan, Papua Barat. Aku sering
berbicara dengan mama melalui telepon, namun tidak dengan suaminya itu. Entah
mengapa sampai detik ini bila yang menggangkat telepon adalah ayah tiriku, maka
seketika kumatikan. Kalau bukan kabar dari keluarga di Sorong bapak tak pernah
kuberitahu soal kabar menikahnya mamaku.
Menginjak bangku kuliah, aku kembali harus hijrah ke
tempat yang lumayan jauh. Kota Palopo, dengan jarak dua jam perjalanan
mengendari mobil dari desa Rantu. Kuliah membuatku membutuhkan biaya yang
banyak. Bapakku yang berjuang mati-matian membiayai dengan bertani. Sedang tak
jarang juga mamaku sering mengirimkan uang untuk membantu biaya hidupku di
kota. Hal ini pun tak pernah diketahui oleh bapakku.
“Kau harus benar-benar kuliah, nak. Bapak rela
berjuang mati-matian biayai kau, yang penting kau sukses, nak. Kalau kau
sungguh-sungguh pasti akan berhasil.” Inilah kalimat yang pernah bapak ucapkan
padaku.
Aku pun ingin berjuang. Membahagiakan mereka yang
telah berjuang untukku adalah perjuangan yang ingin kutempuh. Apa pun akan
kulakukan untuk mewujudkan rasa terima kasihku pada mereka. Tentu dengan
menempu pendidikan dengan sungguh-sungguh. Mengikutsertakan tulisan-tulisanku
dalam beragam lomba adalah salah satu perjuanganku. Aku ingin dunia tahu
tentang kisahku. Dan kesungguh-sungguhanku itu membuahkan hasil. Beberapa karya
kepenulisanku berhasil dibukukan.
Satu impian yang ingin kuperjuangkan lagi. Bersua
kembali dengan mama dan adikku menjadi tujuanku saat ini. Entah kapan, entah
bagaimana caranya? Akankah mantra Arab, Man
Jadda Wajada yang terkenal dalam novel Negeri 5 Menara berlaku padaku kali
ini? Hanya waktu yang akan mampu menjawabnya.
Man Jadda Wajada
“Siapa yang
bersungguh-sungguh dia akan berhasil.”
*****
Sebagai Essai Terpilih dalam Lomba Cipta Essai Nasional
bertema “Perjuangan” bersama Jejak Publisher.
|
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "Essai | Man Jadda Wajada"
Post a Comment