FIKSI MINI | Kapurung dan Papeda (Beda Nama, Satu Rasa)
Friday, December 21, 2018
Add Comment
Kapurung dan Papeda (Beda
Nama, Satu Rasa)
Samuel adalah anak keturunan asli
Papua. Dia dan kedua orang tuanya baru saja pindah ke kota Palopo, Sulawesi
Selatan. Karena alasan pekerjaan, maka ayah Samuel memutuskan untuk pindah.
Samuel pun harus mulai terbiasa dengan suasana lingkungan yang baru. Dia pun
berkenalan dengan anak dari rekan kerja ayahnya.
“Hei, sa pu nama Albertus Samuel. Kam bisa panggil sa Samuel,”[1] si kulit hitam pemberani ini mulai memperkenalkan
dirinya.
“Hei, yang sopan, nak. Na bilang namanya Samuel. Sekarang perkenalkan
namamu!” ayahnya berbisik lagi pada anak itu.
“Hmm... Hmm...” anak itu berdehem
sedikit sebelum akhirnya melanjutkan mengenalkan dirinya, “sa pu nama Basso. Ndak ada ji nama panjangku.
Jadi, panggil mi ka saja Basso.”[3]
Semua yang mendengarnya tertawa.
Dengan penuh percaya diri Basso mencoba memperkenalkan dirinya dengan meniru
dialek atau cara bicara Samuel. Namun, semua itu terdengar aneh, karena yang ia
gunakan justru dua dialek yang berbeda, yaitu: dialek Papua dan Bugis-Luwu.
...
Karena sering bermain bersama dan
bersekolah di tempat yang sama pula, mereka pun menjadi akrab. Dibanding
anak-anak lain yang gemar bermain game online, mereka dan
beberapa teman lain lebih suka bermain permainan tradisional seperti ma’goli[4], petak umpet, dan beberapa permainan tradisional
lain, baik yang berasal dari Sulawesi, mau pun daerah lain. Samuel pun jadi
mengenal dan terbisa dengan budaya orang Sulawesi, begitu pun Basso yang
sedikit demi sedikit mulai memahami dialek temannya itu.
Walaupun Samuel dan Basso adalah
sahabat yang sangat akrab. Tetap saja, mereka pun sering bertengkar karena
hal-hal yang sepele. Mulai dari berebut mainan sampai bermain curang -yang satu
ini jangan ditiru-.
Suatu hari, Samuel menunjukkan
mainan barunya kepada Basso. Sebuah robot mainan yang baru saja ayahnya belikan
untuk Samuel.
“Ngeeeeeeeeennnnnngggg...” Basso
tidak menghiraukan permintaan Samuel.
“Basso, sa lagi-kah!” Samuel memohon
lagi.
“Ngeeeeeennnngggg!”
Karena sedari tadi Basso hanya
asyik bermain sendiri. Samuel pun terlihat mulai marah, dan dia pun merebut
mainan itu secara paksa. Basso pun tak ingin memberinya kepada Samuel.
Terjadilah aksi tarik-menarik di antara mereka.
Tiba-tiba terdengar suara
“TRAAAAKKK” dari mainan tersebut. Mereka pun terjatuh di arah yang berlawanan. Samuel
pun memerhatikan benda yang ada di tangannya, begitu juga dengan Basso. Secara
bersamaan mereka pun terkejut dengan yang mereka lihat. Mainan itu sudah rusak.
Terpotong menjadi dua bagian. Bagian kepala, tangan dan setengah badan atas
berada di tangan Basso. Sementara, Samuel mendapat bagian badan bawah dan
kakinya.
“Gara-gara kau mi ini. Cobanya ndak mu-rebut i tadi. Ndak bakal rusak itu mainanmu,”[10] tanpa rasa bersalah, Basso justru berbalik
menyalahkan Samuel.
...
Hingga beberapa hari mereka pun
tak saling bicara dan tak pernah lagi bermain bersama.
“Samuel, kau ini kenapa tara pi bermain deng dorang Basso-kah?”[11] tanya ayah Samuel yang melihat anaknya terus
merenung.
“Tapi, bapa. Basso yang ada mulai duluan. De tara mau kasih sa pu mainan,”[14] Samuel mulai bercerita.
“Samuel, kau deng Basso tu su baku kawan pung lamae. Baru sekarang kam dua ada bakalai hanya karena mainan?” ayah Samuel mulai menasihati
anaknya ini, “harusnya kam ini mengalah
saja. Kam bisa toh main kam pu robot tu di rumah?”[15]
Samuel terdiam.
“Harusnya mu-kasi mi saja Samuel itu mainannya. Kan itu dia punya? Sedangkan
kamu bisa minta mi saja di Abi,”[16] di tempat lain Basso pun dinasehati oleh ayahnya.
...
Samuel sekeluarga mendatangi
rumah Basso. Siang itu keluarga mereka berencana membuat acara kecil-kecilan
untuk mempererat tali persaudaraan antara kedua keluarga yang berbeda suku ini.
Dengan hidangan khas dari Palopo dan tanah Luwu yaitu kapurung. Sebuah makanan terbuat dari sagu yang mengental
karena disiram dengan air panas.
“Bapa, kenapa papeda ini beda dengan yang di Papua?” tanya Samuel
penasaran.
“Itu bukan papeda tapi kapurung!” sanggah Basso,
kesal.
“Hei, kalian tahu tidak? Kita
semua sama seperti makanan itu. Walau namanya berbeda-beda di setiap daerah, ada
yang menyebutnya papeda, kapurung, atau bugalu? Tapi proses
pembuatannya semua sama, bahannya sama dan juga rasanya sama enaknya,” ayah
Basso menjelaskan.
Mereka pun paham dan saling memaafkan
satu sama lain.
[1] “Hei, nama saya Albertus Samuel. Kamu bisa panggil saya Samuel.”
[2] “Ayah, anak ini bilang apa?”
[3] “Nama saya Basso. Saya tidak punya nama panjang. Jadi, panggil saja
Basso.”
[4] Kelereng
[5] “Basso, izinkan saya bermain juga.”
[6] “Kamu nanti saja. Sekalang saya dulu. Kalau saya sudah puas bermain, setelah
itu kamu!”
[7] “Tapi kamu sudah bermain dari tadi.”
[8] “Ini robotku. Jadi, saya dulu yang bermain.”
[9] “Saya duluan. Kamu nanti saja.”
[10] “Semua ini gara-gara kamu. Seandainya tadi kamu tidak merebutnya. Pasti
mainanmu tidak akan rusak.”
[11] “Samuel, kamu ini kenapa tidak bermain dengan Basso dan kawan-kawan
[12] “Tidak, ayah. Saya hanya tidak sedang ingin termain.”
[13] “Samuel, kamu tidak perlu bohong. Ayah tahu kamu sedang bertengkar kan
dengan Basso?”
[14] “Tapi, yah. Basso duluan yang mulai. Dia tidak mau memberikan mainan
saya.”
[15] “Samuel, kamu dengan Basso itu sudah berteman lama. Sekarang kalian
bertengkar hanya karena mainan?” “harusnya kamu biarkan dulu dia bermain. Kan
kamu bisa bermain robotnya di rumah?”
[16] “Harusnya kamu berikan saja mainan itu ke Samuel. Kan kamu bisa minta
ke Abi?”
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "FIKSI MINI | Kapurung dan Papeda (Beda Nama, Satu Rasa)"
Post a Comment