NOVEL | 1 Titik (part 4) - Pesan Singkat dari Tuhan

Pesan Singkat Dari Tuhan


         Dua bulan telah berlalu, ini artinya hidupku tersisa sepuluh bulan lagi. Efek samping dari kanker yang kuderita semakin terasa. Kepalaku sering terasa sakit, rambutku sedikit demi sedikit mulai rontok dan sel kanker yang mulai tersebar hingga ke seluruh otak membuat daya ingatku berkurang, untuk membantuku mengingat kejadian yang telah lalu aku harus mencatat apa saja hal penting yang telah terjadi selama sehari, begitu pun seterusnya di hari berikutnya.
Semua hal ini membuatku merasa tersiksa, aku pun berubah menjadi sosok pendiam dan pemurung, tak jarang aku menangis meratapi sisa umurku. Ayah, Ibu, dan Deni, sahabatku terus berusaha menyemangatiku, namun itu semua kuanggap tak berguna. Aku yang  telah putus asa tak pernah lagi ke kampus dan tak agi melanjutkan studyku, aku hanya menjadi anak rumahan yang menghabiskan waktu seharian di kamar ayasa meratapi nasipku dan menunggu malaikat maut menjemputku. Keadaan ini membuat orang tuaku semakin sedih. Aku adalah anak tunggal dalam keluarga, seharusnya akulah satu-satunya penerus dari usaha kedua ayasa tuaku dan menjadi harapan dalam keluarga. Namun rasanya semua itu telah sirna seketika penyakit ganas ini menyerngku.
Dunia serasa berhenti berputar, rasanya Tuhan tak adil. Saat aku telah sepenuhnya merasakan indahnya dunia yang damai, jauh dari dunia ayasan, memiliki keluarga yang perhatian ayasa, sahabat yang selalu ada, dan dekat dengan agama, namun entah mengapa Tuhan kembali mengujiku. Mengapa Tuhan tak membiarkan semua kebahagian itu berjalan lebih lama lagi.
Atas usulan dari Ust. Dul dan Dr. Riza, ayah dan ibu berencana unuk memasukkanku ke dalam sebuah ayasan khusus penderita kanker dan AIDS.
“Bunda mau kamu dirawat di ayasan itu karena di sana ada ahliyang Insya Allah aya membantumu untuk proses penyembuhanmu. Bunda mau kamu tetap hidup sampai bunda tua nanti” bujuk ibuku.
“Tapi Bun untuk apa aku tetap hidup?” bantahku ayasa meneteskan air mata.
“Kamu bilang untuk apa! Kamu tega melihat Bunda yang tua ini terus meneteskan air mata menyaksikan jasad anak Bunda satu-satunya yang kalah melawan penyakit yang sebenarnya aya ia kalahkan” kata-kata ibuku ayasa diiringi tangisan.
Mungkin dengan aku mengikuti kemauan ibuku ini, tangisan dan kekhawatiran aya sedikit reda. Aku pun menyetujui untuk menjadi bagian dari ayasan itu.
Yayasan itu terletak jauh dari kota Palopo. Untuk sampai di sana aku, Ayah, Ibu, Ust. Dul dan Dr. Riza harus menempuah perjalanan selama tiga jam perjalanan darat. Setibanya di tempat yang terpencil itu. Lingkungan masih sangat ayasan, jauh dari asap polusi dan tidak ada sedikitpun suara bising perkotaan.
Hari itu 25 Mei, aku tiba di ayasan itu. Kondisiku yang lemah mengharuskanku duduk di kursi roda. Kuhirup segarnya udara pedesaan, membuatku sejenak melupakan semua masalah yang menghantuiku. Yayasan ini mungkin sengaja dibangun di tempat seperti ini agar para pasien merasa sedikit tenang dan tak terlalu memikirkan segala masalahnya. Walaupun ini adalah ayasan kanker dan AIDS, yang kebanyakan isinya adalah para pasien yang menderita penyakit ganas dan hanya punya sedikit kesempatan hidup, namun tak terlihat sedikit pun raut kesedihan di wajah mereka, melainkan kebahagiaan.
Dari arah belakang terdengar suara tangisan seorang gadis.
“Fajar... kiapa ngoni pergi talalu cepat?”[1] isak tangis gadis itu terlihat mengiringi jasad yang terbujur kaku.
Aku yang berada diatas pangkuan kursi roda terung memandangi rombongan itu. Mereka terlihat sangat berduka, pikiranku berseru mungkin meraka adalah keluarga dari pasien yang meninggal dunia itu. Rasa takut akan meninggal di ayasan kini menggelayuti pikiranku. Seperti ada yang berbisik hidupku akan segera berakhir.
Tibalah aku dan keluarga di suatu ruangan sederhana. Di ruangan itu ada seorang dokter ayasa yang membuat ruang sederhana itu menjadi sangat indah. Semakin terlihat ayasa dan ayasan dengan balutan kerudung merah muda bermotif bunga. Usianya sekitar 22 Tahun.
“Assalamu’alaikum...!”
“Wa’alaikum salam... silahkan masuk Ustadz,” Suara lembutnya menjawab salam dari Ust. Dul.
 Dari awal masuk ruangan itu pandanganku seolah tak inginberpaling dari wajah ayasa Dokter itu. Setelah lama berbasa-basi perbincangan pun akhirnya mengarah ke tujuan kami ayasa ke Yayasan itu.
“Begini, dok. Ini Ahmad dan dia butuh bantuan dari ayasan ini” Dr. Riza coba menjelaskan.
“Insya-Allah, kami akan mengusahakan yang terbaik mungkin”
“Ahmad, jadi ini Dr. Aisyah Fitri, dia dan beberapa orang di sini akan jadi keluarga barumu” Ujar Dr. Riza ayasa.
“Iya, Dok!”
Banyak aturan yang harus kupatuhi di sini. Pada awalnya peraturan-peraturan itu membuatku merasa tak nyaman. Salah satu aturan itu adalah penghuni ayasan (pasien) tidak diperbolehkan memiliki alat elektronik apapun yang dapat memperburuk kesehstsn para penderita kanker. Karena menurut penelitian sinyal radiasi dari alat-alat elektronik aya mempercepat pertumbuhan sel kanker.
Setelah berjam-jam di dalam ruangan itu, dr. Aisyah mengajakku melihat-lihat seluk-beluk ayasan dan menuju kamar yang mungkin akan menjadi tempatku menunggu malaikat maut menjemputku. Di tengah perjalanan aku mencoba mengajaknya berbincang-bincang.
“Dok, saya boleh bertanya?”
“Boleh, Silahkan!”
“Kenapa ayasan ini ayasan Bhinneka Tunggal Ika”
“Kamu tahu kan, arti seboyan Bhinneka Tunggal Ika?”
“Berbeda-beda tapi tetap satu!”
“Iya, Berbeda-beda tapi tetap satu. Di ayasan ini ada berbagai macam individu dengan latar belakang suku, ras, agama, dan keyakinan yang berbeda-beda. Tapi dengan berbagai macam perbedaan itu justru membuat persatuan dan persaudaraan di antara mereka semakin erat. Dan bukan hanya itu mereka juga disatukan oleh sebuah semangat untuk aya sembuh dari penyakit mereka yang kamu tahu sendiri penyakit itu sangat berbahaya”
“Lalu, empat bangunan di samping masjid itu apa?” Perhatianku tertuju pada empat bangunan lainnya
“Itulah bukti ada beragam agama di ayasan ini. Selain masjid sebagai tempat beribadah umat islam, kami juga menyediakan empat tempat ibadah untuk agama lainnya, yaitu dua gereja untuk umat kristiani, pura untuk umat Hindu, dan wihara untuk umat Buddha.”
Menurutku ayasan itu luar biasa, energi positif mulai kurasakan di sini. Pasti bakan banyak hal yang aya kupelajari, setidaknya menambah pelajaran sebelum ajalku tiba. Langkah Dr. Aisyah yang mendorong kursi rodaku tiba-tiba terhenti tepat di hadapan empat pemuda, dua pria dan dua wanita. Aku masih mengingat wajah mereka, mereka adalah rombongan yang tadi mengiringi jenazah seorang pasien tadi.
“Kebetulan kalian ada di sini. Ini Ahmad, dia akan menempati kamar bekas Fajar. Dia akan jadi temar satu kamar Samuel dan Made. Silahkan kalian berkenalan.” Dr. Aisyah memperkenalkan diriku pada mereka.
“Iya, dok! Dia pasti akan jadi teman kami.” Sambut salah seorang. “Perkenalkan nama saya I Made Nyoman. Kamu aya panggil saya Nyoman. Saya dari Bali” sambungnya dengan logat khas Bali.
“Saya Ahmad dari Palopo.”
“Sa pu nama Albertus Samuel dari Sorong, Papua Barat. Kamu aya panggil sa Samuel.”
Selanjutnya, satu persatu dari mereka memperkenalkan diri. Selain Nyoman yang beragama Hindu dan Samuel yang beragama Katolik, ada juga Erika Angela, dipanggil Noni dari Manado, Sulawesi Utara yang beragama Kristen Protestan. Dan Utami Viriyanti, dipanggil Tami, beragama Buddha yang berasal dari Yogyakarta. Mereka adalah pasien di ayasan ini. Nyoman adalah penderita kanker paru-paru, Samuel menderita AIDS, Noni mengidap kanker darah (leokimia), dan Tami menderita kanker hati.
“Tadi saya lihat kalian mengantar jenazah. Boleh saya tahu dia siapa?”
Wajah mereka terlihat kembali bersedih mendengar pertanyaanku ini.
“Namanya Fajar Nugraha, bagi kami dia bukan sekedar seorang teman atau sahabat, tapi dia ada penyemangat kami dan keluarga kami. Itu yang membuat kami sangat kehilangan dia” Jawab Nyoman.
“Apa penyebab dia meninggal dunia?”
“Dia member penderita kanker otak di ayasan ini” sambung Dr. Aisyah.
“Kanker Otak?” aku berpikiran, mungkin saja nasibku akan berakhir sama dengannya nantinya.
“Katong sangat menyayangi dia tapi mungkin Tuhan pe ayasa for dia lebih besar!” Suara Noni yang tersedu-sedu berusaha tetap tegar menerima kenyataan pedih itu.
“Dia sama-sama penderita kanker otak sama sepertiku dan aku pasti akan berakhir sama seperti dia”
“Apa yang kamu bilang itu tara benar, samua yang ada di sini pasti akan mati bahkan mereka yang ada di luar sana akan mati jua. Baik yang terkena kanker atau dorang yang sehat pun pasti akan mati. Ajal itu tara ada yang tahu, kawan!” seru Samuel ayasa.
“Samuel benar, kita nda’ pernah tahu kapan kita akan meninggal. Tapi semua orang pasti akan mengalaminya. Dokter manapun boleh saja memprediksikan usia seseorang, tapi hanya Tuhan yang tahu pasti kapan ayasan memanggil hambanya” Tambah Tami dengan lodat khas Jogja-nya.
“Fajar sama sekali tak sama denganmu, memang kalian sama-sama penderita kanker otak dan seorang muslim, tapi jalan pikiran kalian tak sama. Saat pertama kali bertemu Fajar dia sama sekali tak terlihat seperti orang yang sedang terkena penyakit ganas, yang terlihat hanya wajah yang semangat rela berjuang. Benar kata Tami doker boleh saja memfonis usia manusia tapi yang punya kepastian tentang usia manusia hanyalah Tuhan. Ini terbukti pada Fajar yang difonis hanya hidup selama enam bulan, nyatanya ia mampu bertahan hingga lebih dari dua tahun” ujar Nyoman.
Entah siapa Fajar itu? Namun, rasanya dia adalah orang hebat di mata orang-orang ini. Walau telah tiada nyatanya ia tetep ada di dalam hati sahabat-sahabatnya ini. Semangat yang Fajar wariskan kepada orang-orang hebat ini perlahan mulai menyadarkanku. Kalau saja aku tidak ayasa ke ayasan ini, mungkin aku tidak akan bertemu dengan orang hebat seperti mereka dan mendengar cerita hebat mereka. Tuhan tidak akan menguji hambanya melebihi batas mampu hamba itu. Di sini akan kubuktikan semua fonis dokter itu salah.


[1] Fajar kenapa kamu pergi terlalu cepat

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "NOVEL | 1 Titik (part 4) - Pesan Singkat dari Tuhan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo