NOVEL | 1 Titik (part 4) - Pesan Singkat dari Tuhan
Friday, February 1, 2019
Add Comment
Pesan Singkat Dari Tuhan
Dua bulan telah
berlalu, ini artinya hidupku tersisa sepuluh bulan lagi. Efek samping dari
kanker yang kuderita semakin terasa. Kepalaku sering terasa sakit, rambutku
sedikit demi sedikit mulai rontok dan sel kanker yang mulai tersebar hingga ke
seluruh otak membuat daya ingatku berkurang, untuk membantuku mengingat
kejadian yang telah lalu aku harus mencatat apa saja hal penting yang telah
terjadi selama sehari, begitu pun seterusnya di hari berikutnya.
Semua hal ini membuatku merasa tersiksa, aku pun berubah menjadi sosok
pendiam dan pemurung, tak jarang aku menangis meratapi sisa umurku. Ayah, Ibu,
dan Deni, sahabatku terus berusaha menyemangatiku, namun itu semua kuanggap tak
berguna. Aku yang telah putus asa tak
pernah lagi ke kampus dan tak agi melanjutkan studyku, aku hanya menjadi
anak rumahan yang menghabiskan waktu seharian di kamar ayasa meratapi nasipku
dan menunggu malaikat maut menjemputku. Keadaan ini membuat orang tuaku semakin
sedih. Aku adalah anak tunggal dalam keluarga, seharusnya akulah satu-satunya
penerus dari usaha kedua ayasa tuaku dan menjadi harapan dalam keluarga. Namun
rasanya semua itu telah sirna seketika penyakit ganas ini menyerngku.
Dunia serasa berhenti berputar, rasanya Tuhan tak adil. Saat aku telah
sepenuhnya merasakan indahnya dunia yang damai, jauh dari dunia ayasan,
memiliki keluarga yang perhatian ayasa, sahabat yang selalu ada, dan dekat
dengan agama, namun entah mengapa Tuhan kembali mengujiku. Mengapa Tuhan tak
membiarkan semua kebahagian itu berjalan lebih lama lagi.
Atas usulan dari Ust. Dul dan Dr. Riza, ayah dan ibu berencana unuk
memasukkanku ke dalam sebuah ayasan khusus penderita kanker dan AIDS.
“Bunda mau kamu dirawat di ayasan itu karena di sana ada ahliyang Insya
Allah aya membantumu untuk proses penyembuhanmu. Bunda mau kamu tetap hidup
sampai bunda tua nanti” bujuk ibuku.
“Tapi Bun untuk apa aku tetap hidup?” bantahku ayasa meneteskan air mata.
“Kamu bilang untuk apa! Kamu tega melihat Bunda yang tua ini terus
meneteskan air mata menyaksikan jasad anak Bunda satu-satunya yang kalah
melawan penyakit yang sebenarnya aya ia kalahkan” kata-kata ibuku ayasa
diiringi tangisan.
Mungkin dengan aku mengikuti kemauan ibuku ini, tangisan dan kekhawatiran
aya sedikit reda. Aku pun menyetujui untuk menjadi bagian dari ayasan itu.
Yayasan itu terletak jauh dari kota Palopo. Untuk sampai di sana aku,
Ayah, Ibu, Ust. Dul dan Dr. Riza harus menempuah perjalanan selama tiga jam
perjalanan darat. Setibanya di tempat yang terpencil itu. Lingkungan masih
sangat ayasan, jauh dari asap polusi dan tidak ada sedikitpun suara bising
perkotaan.
Hari itu 25 Mei, aku tiba di ayasan itu. Kondisiku yang lemah
mengharuskanku duduk di kursi roda. Kuhirup segarnya udara pedesaan, membuatku
sejenak melupakan semua masalah yang menghantuiku. Yayasan ini mungkin sengaja
dibangun di tempat seperti ini agar para pasien merasa sedikit tenang dan tak
terlalu memikirkan segala masalahnya. Walaupun ini adalah ayasan kanker dan
AIDS, yang kebanyakan isinya adalah para pasien yang menderita penyakit ganas
dan hanya punya sedikit kesempatan hidup, namun tak terlihat sedikit pun raut
kesedihan di wajah mereka, melainkan kebahagiaan.
Dari arah belakang terdengar suara tangisan seorang gadis.
“Fajar... kiapa ngoni pergi talalu cepat?”[1]
isak tangis gadis itu terlihat mengiringi jasad yang terbujur kaku.
Aku yang berada diatas pangkuan kursi roda terung memandangi rombongan
itu. Mereka terlihat sangat berduka, pikiranku berseru mungkin meraka adalah
keluarga dari pasien yang meninggal dunia itu. Rasa takut akan meninggal di ayasan
kini menggelayuti pikiranku. Seperti ada yang berbisik hidupku akan segera
berakhir.
Tibalah aku dan keluarga di suatu ruangan sederhana. Di ruangan itu ada
seorang dokter ayasa yang membuat ruang sederhana itu menjadi sangat indah.
Semakin terlihat ayasa dan ayasan dengan balutan kerudung merah muda bermotif
bunga. Usianya sekitar 22 Tahun.
“Assalamu’alaikum...!”
“Wa’alaikum salam... silahkan masuk Ustadz,” Suara lembutnya menjawab
salam dari Ust. Dul.
Dari awal masuk ruangan itu
pandanganku seolah tak inginberpaling dari wajah ayasa Dokter itu. Setelah lama
berbasa-basi perbincangan pun akhirnya mengarah ke tujuan kami ayasa ke Yayasan
itu.
“Begini, dok. Ini Ahmad dan dia butuh bantuan dari ayasan ini” Dr. Riza
coba menjelaskan.
“Insya-Allah, kami akan mengusahakan yang terbaik mungkin”
“Ahmad, jadi ini Dr. Aisyah Fitri, dia dan beberapa orang di sini akan
jadi keluarga barumu” Ujar Dr. Riza ayasa.
“Iya, Dok!”
Banyak aturan yang harus kupatuhi di sini. Pada awalnya
peraturan-peraturan itu membuatku merasa tak nyaman. Salah satu aturan itu
adalah penghuni ayasan (pasien) tidak diperbolehkan memiliki alat elektronik
apapun yang dapat memperburuk kesehstsn para penderita kanker. Karena menurut
penelitian sinyal radiasi dari alat-alat elektronik aya mempercepat pertumbuhan
sel kanker.
Setelah berjam-jam di dalam ruangan itu, dr. Aisyah mengajakku
melihat-lihat seluk-beluk ayasan dan menuju kamar yang mungkin akan menjadi
tempatku menunggu malaikat maut menjemputku. Di tengah perjalanan aku mencoba
mengajaknya berbincang-bincang.
“Dok, saya boleh bertanya?”
“Boleh, Silahkan!”
“Kenapa ayasan ini ayasan Bhinneka Tunggal Ika”
“Kamu tahu kan, arti seboyan Bhinneka Tunggal Ika?”
“Berbeda-beda tapi tetap satu!”
“Iya, Berbeda-beda tapi tetap satu. Di ayasan ini ada berbagai macam
individu dengan latar belakang suku, ras, agama, dan keyakinan yang
berbeda-beda. Tapi dengan berbagai macam perbedaan itu justru membuat persatuan
dan persaudaraan di antara mereka semakin erat. Dan bukan hanya itu mereka juga
disatukan oleh sebuah semangat untuk aya sembuh dari penyakit mereka yang kamu
tahu sendiri penyakit itu sangat berbahaya”
“Lalu, empat bangunan di samping masjid itu apa?” Perhatianku tertuju
pada empat bangunan lainnya
“Itulah bukti ada beragam agama di ayasan ini. Selain masjid sebagai
tempat beribadah umat islam, kami juga menyediakan empat tempat ibadah untuk
agama lainnya, yaitu dua gereja untuk umat kristiani, pura untuk umat Hindu,
dan wihara untuk umat Buddha.”
Menurutku ayasan itu luar biasa, energi positif mulai kurasakan di sini.
Pasti bakan banyak hal yang aya kupelajari, setidaknya menambah pelajaran
sebelum ajalku tiba. Langkah Dr. Aisyah yang mendorong kursi rodaku tiba-tiba
terhenti tepat di hadapan empat pemuda, dua pria dan dua wanita. Aku masih
mengingat wajah mereka, mereka adalah rombongan yang tadi mengiringi jenazah
seorang pasien tadi.
“Kebetulan kalian ada di sini. Ini Ahmad, dia akan menempati kamar bekas
Fajar. Dia akan jadi temar satu kamar Samuel dan Made. Silahkan kalian
berkenalan.” Dr. Aisyah memperkenalkan diriku pada mereka.
“Iya, dok! Dia pasti akan jadi teman kami.” Sambut salah seorang.
“Perkenalkan nama saya I Made Nyoman. Kamu aya panggil saya Nyoman. Saya dari
Bali” sambungnya dengan logat khas Bali.
“Saya Ahmad dari Palopo.”
“Sa pu nama Albertus Samuel dari Sorong, Papua Barat. Kamu aya panggil sa
Samuel.”
Selanjutnya, satu persatu dari mereka memperkenalkan diri. Selain Nyoman
yang beragama Hindu dan Samuel yang beragama Katolik, ada juga Erika Angela,
dipanggil Noni dari Manado, Sulawesi Utara yang beragama Kristen Protestan. Dan
Utami Viriyanti, dipanggil Tami, beragama Buddha yang berasal dari Yogyakarta.
Mereka adalah pasien di ayasan ini. Nyoman adalah penderita kanker paru-paru,
Samuel menderita AIDS, Noni mengidap kanker darah (leokimia), dan Tami
menderita kanker hati.
“Tadi saya lihat kalian mengantar jenazah. Boleh saya tahu dia siapa?”
Wajah mereka terlihat kembali bersedih mendengar pertanyaanku ini.
“Namanya Fajar Nugraha, bagi kami dia bukan sekedar seorang teman atau
sahabat, tapi dia ada penyemangat kami dan keluarga kami. Itu yang membuat kami
sangat kehilangan dia” Jawab Nyoman.
“Apa penyebab dia meninggal dunia?”
“Dia member penderita kanker otak di ayasan ini” sambung Dr. Aisyah.
“Kanker Otak?” aku berpikiran, mungkin saja nasibku akan berakhir sama
dengannya nantinya.
“Katong sangat menyayangi dia tapi mungkin Tuhan pe ayasa for dia lebih
besar!” Suara Noni yang tersedu-sedu berusaha tetap tegar menerima kenyataan
pedih itu.
“Dia sama-sama penderita kanker otak sama sepertiku dan aku pasti akan
berakhir sama seperti dia”
“Apa yang kamu bilang itu tara benar, samua yang ada di sini pasti akan
mati bahkan mereka yang ada di luar sana akan mati jua. Baik yang terkena
kanker atau dorang yang sehat pun pasti akan mati. Ajal itu tara ada yang tahu,
kawan!” seru Samuel ayasa.
“Samuel benar, kita nda’ pernah tahu kapan kita akan meninggal. Tapi
semua orang pasti akan mengalaminya. Dokter manapun boleh saja memprediksikan
usia seseorang, tapi hanya Tuhan yang tahu pasti kapan ayasan memanggil
hambanya” Tambah Tami dengan lodat khas Jogja-nya.
“Fajar sama sekali tak sama denganmu, memang kalian sama-sama penderita
kanker otak dan seorang muslim, tapi jalan pikiran kalian tak sama. Saat
pertama kali bertemu Fajar dia sama sekali tak terlihat seperti orang yang
sedang terkena penyakit ganas, yang terlihat hanya wajah yang semangat rela
berjuang. Benar kata Tami doker boleh saja memfonis usia manusia tapi yang
punya kepastian tentang usia manusia hanyalah Tuhan. Ini terbukti pada Fajar
yang difonis hanya hidup selama enam bulan, nyatanya ia mampu bertahan hingga
lebih dari dua tahun” ujar Nyoman.
Entah siapa Fajar itu? Namun, rasanya dia adalah orang
hebat di mata orang-orang ini. Walau telah tiada nyatanya ia tetep ada di dalam
hati sahabat-sahabatnya ini. Semangat yang Fajar wariskan kepada orang-orang
hebat ini perlahan mulai menyadarkanku. Kalau saja aku tidak ayasa ke ayasan
ini, mungkin aku tidak akan bertemu dengan orang hebat seperti mereka dan
mendengar cerita hebat mereka. Tuhan tidak akan menguji hambanya melebihi batas
mampu hamba itu. Di sini akan kubuktikan semua fonis dokter itu salah.
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "NOVEL | 1 Titik (part 4) - Pesan Singkat dari Tuhan"
Post a Comment