CERPEN | Kawan Sejalan
Friday, January 4, 2019
Add Comment
Kawan Sejalan
Siapa
pun mereka di masa depan nanti, aku akan tetap bangga. Sebab, setidaknya aku
pernah berada di jalan yang sama dengan mereka.
***
Senin adalah hari paling menyebalkan dari semua hari yang
ada dalam sepekan. Itu adalah hari di mana hal paling membosankan harus
dilakukan, ‘upacara bendera’. Belum lagi jika yang bertugas sebagai pelaksana
adalah kelas XII IPA 1 -yang isinya adalah aku dan kawan-kawan lelaki brandal
di kelas-. Ini akan semakin memburuk jika mentari pagi menyengat menusuk kulit
tanpa ampun, ditambah lagi ceramah panjang kali lebar dari pembina upacara
kami, yang tak lain dan tak bukan adalah kepala sekolah sendiri; atau kusebut
saja kepala madrah, agar lebih islami sesuai dengan label sekolah ini.
“UNTUK SELURUHNYA, SIAAAAPPP GRAK!”
Hari ini yang harus menatap mata sang kepala sekolah
secara langsung alias pemimpin upacara adalah ketua kelas kami, Fardi. Sedang
aku ada di posisi salah satu dari tiga pasukan pengibar bendera merah putih,
rasanya sama saja seperti pemimpin upacara, aku harus memberi aba-aba yang baik
kepada dua rekanku, agar gerakan kami seirama dan enak dipandang.
“Pengibaran bendera sang merah-putih dengan diiringi lagu
kebangsaan Indonesia Raya.”
“Siap grak!”
aba-abaku mengawali prosesi sakral itu.
...
Semua berjalan dengan lancar. Dan tibalah saatnya untuk—
“Amanat pembina upacara, barisan diistirahatkan.”
Tak perlu kujelaskan apa aba-aba selanjutnya dari
pemimpin upacara, kau pasti langsung mengetahuinya. Yang jelas ini adalah moment paling membosankan dari semua
rangkaian yang menyebalkan ini.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh!” sudah
dimulai dan semua menjawab salamnya dengan serentak.
“Jadi, saya sangat kecewa dengan apa yang terjadi
beberapa hari lalu,” kali ini beliau memulai tanpa mukadimah, mungkin sudah sangat kesal, “seorang siswa Madrasah
Aliyah Rantu berani menghina gurunya sendiri, bahkan kepala sekolahnya sendiri.
Dan yang lebih memprihatinkannya lagi dia adalah siswa kelas tiga, yang
beberapa bulan lagi akan mengikuti ujian nasional.”
...
Namanya adalah Ucok. Bukan nama sebenarnya, hanya sebuah
nama panggilan dan nama sebenarnya jauh lebih keren dari itu, Fadilah Putra.
Dia dianggap melakukan tindakan ‘menghina’ kelapa sekolah, yang imbasnya ia
harus diskorsing dari sekolah selama kurang lebih dua minggu ke depan.
Saat itu kelas kami -yang seluruh isinya adalah siswa
laki-laki- sedang menerima pelajaran Bahasa Inggris dari seorang guru wanita.
Awalnya semua baik-baik saja. Hingga tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menggelegar
dari luar ruang kelas kami.
“Wahahahahaha.”
Sontak si ‘Ucok’ mengikuti gaya tertawa tersebut dengan
nada sedikit meledek, “Wahahahaha.”
Sang ibu guru pun keluar dari ruangan dan melaporkan
kejadian tersebut kepada sang pemilik gelak tawa, pak Kepsek. Pak Kepsek pun
masuk ke ruangan kelas kami dengan mata yang menyala-nyala dan mengeluarkan
kutukan dari mulutnya.
“Fadilah Putra, mulai hari ini sampai dua minggu ke depan
kamu saya skorsing!”
Sepele bukan?
...
“Selain itu, beberapa siswa kelas tiga lainnya kedapatan
membolos dan merokok di tempat umum. Ini tindakan yang sangat tidak
mencerminkan seorang siswa yang terpelajar,” lanjut sang mahaguru yang makin
berapi-api, “kalian ini sudah kelas tiga sebentar lagi akan ujian. Kalau kalian
tidak merubah perilaku buruk kalian, saya tidak bisa menjamin nilai kalian
aman.”
Peringatan-peringatan seperti ini sudah sering kami
dengar. Bukan hanya saat upacara, bahkan hampir semua guru yang mengajar di
kelas kami sudah sering memperingatkan. Tapi, namanya juga ‘brandal’, diberi
peringatan hari ini, besok pasti bertingkah lagi.
Bahkan pernah di suatu ketika. Salah seorang teman kami
kedapatan merokok di kebun belakang sekolah. Tak tanggung-tanggung, hukuman
yang diberikan adalah berdiri di hadapan tiang bendera dengan sengatan terik
matahari sambil menghisap tiga batang rokok sekaligus tanpa jeda. Sadis? Belum
cukup sampai di situ, yang teradili harus menanggung malu karena disaksikan
oleh seisi sekolah.
“Saya harap kalin bisa merubah itu semua dan—”
Upacara mungkin akan semakin lama dengan ocehan sang
Kepsek. Matahari pagi itu pun tak begitu bersahabat, sangat menyengat. Bahkan
bayangan-bayangan pohon dan gedung pun seolah tak ingin membaur bersama kami di
lapangan upacara. Tapi ada satu hal yang membuat suasana panas nan mencekam itu
sedikit ‘adem’. Di ujung barisan itu seorang bidadari cantik tersenyum indah,
Nurlaila namanya., sama-sama siswa kelas tiga tapi di ruang kelas berbeda
karena kelas kami dibedakan berdasarkan jenis kelamin. —seandainya dia yang
menjadi pembina upacara, aku rela berdiri di sini bahkan hingga sore nanti.
...
“Pembacaan doa.”
Jika sudah berada di bagian ini, artinya tak lama lagi semua
rangkaian menyebalkan ini berakhir. Walau aku bisa dikatakan orang yang
‘lumayan rajin’, tapi untuk hal seperti ini aku justru jadi orang yang munafik:
terlihat menikmati rangkaian acara tapi dalam hati ingin cepat selesai.
“UNTUK SELURUHNYA, BUBAR BARISAN, JALAN!”
Merdekalah sudah!
...
Senin ini sepertinya jam pertama tak ada mata pelajaran.
Mungkin karena para guru sedang mengadakan rapat di ruangan yang barangkali
membahas pasal si ‘Ucok’. Itu artinya, kami bebas.
“Mau ko ke mana
semua kalau sudah lulus?”[1] tiba-tiba Fardi menanyakan
sesuatu.
“Tae kuisseng mi
aku te,”[2]
seorang teman menimpali.
“Mate bammi ko iko,
Agung!”[3]
Ari menimpali dengan nada sedikit bercanda.
“Dau duka e,”[4] dengan tingkah panik yang
dibuat-buat Agung bangkit dari tempat duduknya dan mengundang gelak tawa yang
lain, “masih mau ka’[5] saya hidup, masih mau ka’ gapai cita-citaku.”
“Adakah pale’[6]
cita-citamu?” aku ikut menimpali.
“Ada-lah! Mau ka’ masuk
pelayaran.”
“Bagaimana kau mau masuk pelayaran? Lanjutkan saja
warisannya keluarganya bapakmu, jadi penjual ayam potong!” ejek Fardi.
“Wahahaha...”
Tanpa sedikit pun merasa tersinggung yang diejek malah
ikut tertawa. Di kelas kami hal seperti ini sudah sering terjadi.
“Kalau kau, Ali mau ko
lanjut di mana?” sekarang giliranku yang ditanyai.
“Tidak tahu ka’ juga,
maunya yang ada kaitan dengan komputer!”
Selanjutnya, masing-masing dari kami menjelaskan harapan
ke depannya. Entah siapa yang akan terlebih dahulu berhasil menggapai semua cita-citanya.
Yang kami tahu, mulai saat ini apa pun impian kita, harus dikejar sampai sejauh
apa pun.
“Berarti kalau ketemu ki’[7]
suatu hari nanti, ada mi[8] yang ahli komputer, ada mi yang
jadi kapten kapal, ada mi yang ...
pokoknya macam-macamlah!” kata Dandi.
“Aamiin!”
Fardi bangkit dari tempat duduknya. Diraihnya sebuah
spidol dan mulai melakukan aksi ‘nakal’-nya kembali. Pintu kelas menjadi
sasarannya, di sana ia menuliskan sebuah kalimat, tidak begitu jelas karena
terhalang tubuhnya.
“Saya tunggu pembuktiannya kalimatmu itu!” tanpa disadiri
seorang guru berdiri di sampingnya, pak Khaidir.
Fardi tertangkap basah, dia hanya meringis yang
menandakan ia malu kemudian berkata, “siap, pak.”
Beliau berlalu dari pintu ruang kelas kami.
***
Tiga bulan kemudian, kami dinyatakan lulus seratus persen:
termasuk si ‘Ucok’ yang sudah kembali dari masa skorsingnya. Sebuah tempat
wisata di daerah Sidrap menjadi saksi acara perpisahan kami —tempat yang jauh
sebenarnya dari Madrasah kami, butuh empat jam perjalanan untuk ke sana—.
Mulai dari sini, masing-masing kami menentukan jalannya
sendiri. Aku berhasil masuk sebuah Universitas Swasta di kota Palopo, dengan
mengambil jurusan Teknik Informatika. Agung, mengambil jurusan tataboga di
salah satu Universitas di Makassar, katanya supaya jadi Chef profesional di kapal, —ya, tetap bisa berlayar—. Fardi, aku
jarang mendengar kabar dari dia. Sementara pujaan hatiku, Nurlaila telah
dilamar seorang pengusaha muda setahun setelah kami lulus dari MA. Rantu. Itu
tak mengejutkan, yang mengejutkan adalah ‘Ucok’, dia masuk Politeknik Ilmu
Pelayaran Makassar.
...
Setahun kemudian,
aku kembali menginjakkan kaki di halaman MA. Rantu. Tepat di mana
biasanya kami mengikuti prosesi ‘membosankan’ dulu, ‘upacara bendera’. Yang
membuatku tersenyum adalah ketika menatap pintu kelas XII IPA 1 yang masih sama
seperti dulu, tak banyak yang berubah termasuk tulisan Fardi di pintu itu.
“HARI INI KAMI BOLEH
NAKAL, SUATU HARI NANTI KAMI PASTI SUKSES.”
[6] Pale’= hanya kata bantu,
tanpa kata ini pun tujuan dari kalimat bisa diketahui, dapat pula bermakna
‘juga’.
_____________________________Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,
Terima Kasih.
0 Response to "CERPEN | Kawan Sejalan"
Post a Comment