CERPEN | Kawan Sejalan


Kawan Sejalan
Siapa pun mereka di masa depan nanti, aku akan tetap bangga. Sebab, setidaknya aku pernah berada di jalan yang sama dengan mereka.
***
Senin adalah hari paling menyebalkan dari semua hari yang ada dalam sepekan. Itu adalah hari di mana hal paling membosankan harus dilakukan, ‘upacara bendera’. Belum lagi jika yang bertugas sebagai pelaksana adalah kelas XII IPA 1 -yang isinya adalah aku dan kawan-kawan lelaki brandal di kelas-. Ini akan semakin memburuk jika mentari pagi menyengat menusuk kulit tanpa ampun, ditambah lagi ceramah panjang kali lebar dari pembina upacara kami, yang tak lain dan tak bukan adalah kepala sekolah sendiri; atau kusebut saja kepala madrah, agar lebih islami sesuai dengan label sekolah ini.
“UNTUK SELURUHNYA, SIAAAAPPP GRAK!”
Hari ini yang harus menatap mata sang kepala sekolah secara langsung alias pemimpin upacara adalah ketua kelas kami, Fardi. Sedang aku ada di posisi salah satu dari tiga pasukan pengibar bendera merah putih, rasanya sama saja seperti pemimpin upacara, aku harus memberi aba-aba yang baik kepada dua rekanku, agar gerakan kami seirama dan enak dipandang.
“Pengibaran bendera sang merah-putih dengan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya.”
“Siap grak!” aba-abaku mengawali prosesi sakral itu.
...
Semua berjalan dengan lancar. Dan tibalah saatnya untuk—
“Amanat pembina upacara, barisan diistirahatkan.”
Tak perlu kujelaskan apa aba-aba selanjutnya dari pemimpin upacara, kau pasti langsung mengetahuinya. Yang jelas ini adalah moment paling membosankan dari semua rangkaian yang menyebalkan ini.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” sudah dimulai dan semua menjawab salamnya dengan serentak.
“Jadi, saya sangat kecewa dengan apa yang terjadi beberapa hari lalu,” kali ini beliau memulai tanpa mukadimah, mungkin sudah sangat kesal, “seorang siswa Madrasah Aliyah Rantu berani menghina gurunya sendiri, bahkan kepala sekolahnya sendiri. Dan yang lebih memprihatinkannya lagi dia adalah siswa kelas tiga, yang beberapa bulan lagi akan mengikuti ujian nasional.”
...
Namanya adalah Ucok. Bukan nama sebenarnya, hanya sebuah nama panggilan dan nama sebenarnya jauh lebih keren dari itu, Fadilah Putra. Dia dianggap melakukan tindakan ‘menghina’ kelapa sekolah, yang imbasnya ia harus diskorsing dari sekolah selama kurang lebih dua minggu ke depan.
Saat itu kelas kami -yang seluruh isinya adalah siswa laki-laki- sedang menerima pelajaran Bahasa Inggris dari seorang guru wanita. Awalnya semua baik-baik saja. Hingga tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menggelegar dari luar ruang kelas kami.
“Wahahahahaha.”
Sontak si ‘Ucok’ mengikuti gaya tertawa tersebut dengan nada sedikit meledek, “Wahahahaha.”
Sang ibu guru pun keluar dari ruangan dan melaporkan kejadian tersebut kepada sang pemilik gelak tawa, pak Kepsek. Pak Kepsek pun masuk ke ruangan kelas kami dengan mata yang menyala-nyala dan mengeluarkan kutukan dari mulutnya.
“Fadilah Putra, mulai hari ini sampai dua minggu ke depan kamu saya skorsing!”
Sepele bukan?
...
“Selain itu, beberapa siswa kelas tiga lainnya kedapatan membolos dan merokok di tempat umum. Ini tindakan yang sangat tidak mencerminkan seorang siswa yang terpelajar,” lanjut sang mahaguru yang makin berapi-api, “kalian ini sudah kelas tiga sebentar lagi akan ujian. Kalau kalian tidak merubah perilaku buruk kalian, saya tidak bisa menjamin nilai kalian aman.”
Peringatan-peringatan seperti ini sudah sering kami dengar. Bukan hanya saat upacara, bahkan hampir semua guru yang mengajar di kelas kami sudah sering memperingatkan. Tapi, namanya juga ‘brandal’, diberi peringatan hari ini, besok pasti bertingkah lagi.
Bahkan pernah di suatu ketika. Salah seorang teman kami kedapatan merokok di kebun belakang sekolah. Tak tanggung-tanggung, hukuman yang diberikan adalah berdiri di hadapan tiang bendera dengan sengatan terik matahari sambil menghisap tiga batang rokok sekaligus tanpa jeda. Sadis? Belum cukup sampai di situ, yang teradili harus menanggung malu karena disaksikan oleh seisi sekolah.
“Saya harap kalin bisa merubah itu semua dan—”
Upacara mungkin akan semakin lama dengan ocehan sang Kepsek. Matahari pagi itu pun tak begitu bersahabat, sangat menyengat. Bahkan bayangan-bayangan pohon dan gedung pun seolah tak ingin membaur bersama kami di lapangan upacara. Tapi ada satu hal yang membuat suasana panas nan mencekam itu sedikit ‘adem’. Di ujung barisan itu seorang bidadari cantik tersenyum indah, Nurlaila namanya., sama-sama siswa kelas tiga tapi di ruang kelas berbeda karena kelas kami dibedakan berdasarkan jenis kelamin. —seandainya dia yang menjadi pembina upacara, aku rela berdiri di sini bahkan hingga sore nanti.
...
“Pembacaan doa.”
Jika sudah berada di bagian ini, artinya tak lama lagi semua rangkaian menyebalkan ini berakhir. Walau aku bisa dikatakan orang yang ‘lumayan rajin’, tapi untuk hal seperti ini aku justru jadi orang yang munafik: terlihat menikmati rangkaian acara tapi dalam hati ingin cepat selesai.
“UNTUK SELURUHNYA, BUBAR BARISAN, JALAN!”
Merdekalah sudah!
...
Senin ini sepertinya jam pertama tak ada mata pelajaran. Mungkin karena para guru sedang mengadakan rapat di ruangan yang barangkali membahas pasal si ‘Ucok’. Itu artinya, kami bebas.
“Mau ko ke mana semua kalau sudah lulus?”[1] tiba-tiba Fardi menanyakan sesuatu.
Tae kuisseng mi aku te,[2] seorang teman menimpali.
Mate bammi ko iko, Agung!”[3] Ari menimpali dengan nada sedikit bercanda.
Dau duka e,[4] dengan tingkah panik yang dibuat-buat Agung bangkit dari tempat duduknya dan mengundang gelak tawa yang lain, “masih mau ka’[5] saya hidup, masih mau ka’ gapai cita-citaku.”
“Adakah pale’[6] cita-citamu?” aku ikut menimpali.
“Ada-lah! Mau ka’ masuk pelayaran.”
“Bagaimana kau mau masuk pelayaran? Lanjutkan saja warisannya keluarganya bapakmu, jadi penjual ayam potong!” ejek Fardi.
“Wahahaha...”
Tanpa sedikit pun merasa tersinggung yang diejek malah ikut tertawa. Di kelas kami hal seperti ini sudah sering terjadi.
“Kalau kau, Ali mau ko lanjut di mana?” sekarang giliranku yang ditanyai.
“Tidak tahu ka’ juga, maunya yang ada kaitan dengan komputer!”
Selanjutnya, masing-masing dari kami menjelaskan harapan ke depannya. Entah siapa yang akan terlebih dahulu berhasil menggapai semua cita-citanya. Yang kami tahu, mulai saat ini apa pun impian kita, harus dikejar sampai sejauh apa pun.
“Berarti kalau ketemu ki’[7] suatu hari nanti, ada mi[8] yang ahli komputer, ada mi yang jadi kapten kapal, ada mi yang ... pokoknya macam-macamlah!” kata Dandi.
“Aamiin!”
Fardi bangkit dari tempat duduknya. Diraihnya sebuah spidol dan mulai melakukan aksi ‘nakal’-nya kembali. Pintu kelas menjadi sasarannya, di sana ia menuliskan sebuah kalimat, tidak begitu jelas karena terhalang tubuhnya.
“Saya tunggu pembuktiannya kalimatmu itu!” tanpa disadiri seorang guru berdiri di sampingnya, pak Khaidir.
Fardi tertangkap basah, dia hanya meringis yang menandakan ia malu kemudian berkata, “siap, pak.”
Beliau berlalu dari pintu ruang kelas kami.
***
Tiga bulan kemudian, kami dinyatakan lulus seratus persen: termasuk si ‘Ucok’ yang sudah kembali dari masa skorsingnya. Sebuah tempat wisata di daerah Sidrap menjadi saksi acara perpisahan kami ­—tempat yang jauh sebenarnya dari Madrasah kami, butuh empat jam perjalanan untuk ke sana—.
Mulai dari sini, masing-masing kami menentukan jalannya sendiri. Aku berhasil masuk sebuah Universitas Swasta di kota Palopo, dengan mengambil jurusan Teknik Informatika. Agung, mengambil jurusan tataboga di salah satu Universitas di Makassar, katanya supaya jadi Chef profesional di kapal, —ya, tetap bisa berlayar—. Fardi, aku jarang mendengar kabar dari dia. Sementara pujaan hatiku, Nurlaila telah dilamar seorang pengusaha muda setahun setelah kami lulus dari MA. Rantu. Itu tak mengejutkan, yang mengejutkan adalah ‘Ucok’, dia masuk Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar.
...
Setahun kemudian,  aku kembali menginjakkan kaki di halaman MA. Rantu. Tepat di mana biasanya kami mengikuti prosesi ‘membosankan’ dulu, ‘upacara bendera’. Yang membuatku tersenyum adalah ketika menatap pintu kelas XII IPA 1 yang masih sama seperti dulu, tak banyak yang berubah termasuk tulisan Fardi di pintu itu.
“HARI INI KAMI BOLEH NAKAL, SUATU HARI NANTI KAMI PASTI SUKSES.”


[1] Dialek Bugis-Luwu: “Kalian mau ke mana kalau sudah lulus?”
[2] “Saya tidak tahu.”
[3] “Matilah saja kau, Agung!”
[4] “Jangan juga begitu!”
[5] Ka’= kata ganti ‘saya’ atau ‘aku’ dalam dialek Sulawesi Selatan
[6] Pale’= hanya kata bantu, tanpa kata ini pun tujuan dari kalimat bisa diketahui, dapat pula bermakna ‘juga’.
[7] Ki’ = bisa diartikan kita, atau kata ganti kamu dalam tutur yang lebih sopan
[8] Mi= kata bantu

_____________________________
Terima kasih atas kunjungan Anda dan telah bersedia membaca karya-karya sederhana kami. Dukung blog Kosan Karya dengan mengklik iklan yang tampil. Klik share jika Anda menganggap karya ini menarik dan layak dibagikan, atau tinggalkan komentar, kritik, dan saran agar dapat menjadi acuan bagi penulis.
Salam,

Terima Kasih.

0 Response to "CERPEN | Kawan Sejalan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo

Iklan Tengah Artikel 1



Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Iklan Tengah Artikel 2




Iklan Bawah Artikel

oOoOoOo
DUKUNG KOSAN KARYA UNTUK TERUS BERKARYA:

Donasi Via Saweria atau dukung Kosan Karya dengan klik iklan google (Google Adsense) yang tampil


Klik Di Sini Untuk Mengiklankan Produk Anda di Blog ini.

Beberapa karya dalam blog ini telah dibukukan dan diterbitkan, silakan klik DI SINI untuk melihat beberapa buku karya kami. Buku dapat dibeli secara resmi di toko Shopee kami Seputar Komputer Project
oOoOoOo